QLC #18: Krisis Pasca Puncak
Janji pertemuan Lala dengan psikiater hari ini otomatis batal. Perjumpaan tak sengaja dengan Gatra di tempat praktik itu sudah cukup menjadi alasan. Lala yakin ini ada hubungannya dengan Aya yang tiba-tiba demam tinggi setelah pulang dari Puncak.
Lala akhirnya memutuskan untuk mengajak laki-laki itu mengobrol di kafe terdekat. Di antara uap panas kopi dan kemacetan Jakarta yang tampak jelas dari dinding kaca, Gatra akhirnya menuturkan ceritanya.
Dan Lala tidak tahu harus berkata apa.
"Tadinya gue nggak mau percaya orang selain Aya. Tapi Aya udah pernah bohong soal Juna. Jadi gue pikir, gue harus denger dari sisi dia juga." Gatra mendengus pelan, nyaris kepada dirinya sendiri. "Gue cuma nggak ngerti aja."
Lala menelan ludahnya yang terasa pahit.
"Emangnya gue salah apa, Kak?"
Kadang, Lala bertanya-tanya apa yang ada di pikiran orang-orang seperti Laksa. Seperti Ibu.
"Dia pulang dari Puncak pake baju cowok lain... emangnya gue kurang apa?"
Sakit. Sakit yang paling menyakitkan.
Lala pernah merasakannya. Sekarang Gatra juga.
***
Puluhan panggilan tak terjawab muncul begitu Gatra menyalakan ponsel. Nama di layar serasa menggores dadanya berulang kali.
You have missed calls from Ay <3
Gatra melempar ponsel ke kasur, disusul tubuhnya. Tatapannya dipatri pada langit-langit kamar apartemen. Laki-laki itu menoleh ke arah lengannya yang terulur, membayangkan beban yang kini tidak ada di sana. Beban kepala Aya yang biasanya disandarkan penuh ke lengannya, seolah gadis itu milik Gatra seutuhnya.
Laki-laki itu menggeleng, berusaha mengenyahkan bayangan itu dari kepalanya.
Gatra tahu seharusnya dia menanyai Aya langsung. Gatra tahu seharusnya dia tidak percaya begitu saja pada omongan Juna. Tapi Aya tidak memberinya banyak pilihan dengan berbohong. Gatra tahu mungkin itu hanya sekali waktu, tapi sulit untuk mengembalikan kepercayaan yang sudah dirusak.
Jemari Gatra kembali meraih ponsel. Menatap kosong notifikasi yang tidak berubah sekali lagi.
You have missed calls from Ay <3
Untuk siapa simbol hati di situ? Rasanya Gatra ingin berteriak. Untuk Aya bagi dengan adik tingkat yang bukan apa-apa itu? Menang apa Juna dibanding Gatra? Kalah apa Gatra dibanding Juna?
Gatra pikir lama-lama dia bisa gila kalau pertanyaan-pertanyaan semacam itu terus menusuki benaknya pagi ke malam, malam ke pagi. Mungkin itu sebabnya Gatra memutuskan berangkat ke psikiater sore tadi. Setidaknya ada seseorang yang bisa ikut mendengarkan pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalanya agar dia tidak jadi gila sendiri.
Kemudian seperti takdir bicara, tiba-tiba saja dia bertemu Lala. Gatra belum sempat bertemu wanita itu lagi sejak insiden masuk rumah sakit. Di malam yang sama Gatra mengebut untuk mengurus administrasi Lala di rumah sakit, Aya justru tidak bisa dia temukan di mana-mana. Di saat Gatra mengkhawatirkannya, gadis itu justru memilih untuk tidak memberi kabar.
Gatra menggertakkan gigi.
Mungkin harusnya dia sudah curiga sejak Aya bermalam di markas Warkom berdua dengan bocah tengil brengsek itu.
Tapi tentu saja tidak. Tentu saja Gatra tidak curiga karena dia begitu percaya gadisnya. Tentu saja Gatra tidak curiga karena dia lebih khawatir Aya kabur semalaman dan tidak bisa mencari rasa aman kepadanya.
Kalau pun ada sesuatu yang mengusiknya, itu hanya perihal Gatra tahu Juna suka Aya dari gerak-gerik bocah itu. Tapi Gatra pikir, Aya tidak mungkin memberi kesempatan. Toh Aya menutup pintu pada semua orang, tidak mungkin anak magang ingusan semacam Juna jadi pengecualian.
Dan tentu saja Gatra salah.
Laki-laki itu memejamkan mata. Hampir empat tahun mereka bersama, Gatra baru sadar mungkin dia tidak pernah benar-benar mengenal Aya.
Tepat saat itu bel apartemen barunya berbunyi.
Gatra membuka sebelah mata. Siapa yang bertamu malam-malam begini?
***
"Bang, sumpah ya, kalo Kak Lala pulang gue nggak ikut-ikutan."
"Diem. DIEM. Mending lo bantu gue mikir."
"Bang! Kok bisa sampe kabur, sih? Emangnya lo lagi-"
"Gue lagi masak bubur, Dek! Aya nggak mau makan nasi, jadi gue pikir-"
"Kan lo bisa order! Nggak harus lo yang jadi koki? Lagian emangnya lo bisa masak?!"
"Ya kan gue pikir kalo dimasak pake cinta-"
"Cinta lo bikin Kak Aya kabur! Kalo Kak Lala balik terus dia belum ketemu, bisa-bisa kita yang jadi bubur, Bang!"
Kepanikan Tata belum sempat Abim serap sepenuhnya waktu suara gerbang diseret dan derum mobil terdengar.
"Mampus! Bang, mampus kita, Bang!"
Abim pucat. "Lo!" tudingnya pada Tata. "Lo masuk selimut! Buruan, buruan!"
Tata pasrah didorong-dorong. "Tas gue! Tas gue umpetin-"
"SSSSSTTTTT!" Abim menendang tas Tata ke bawah kasur dan membungkus kepala adiknya dengan selimut. "Diem lo di situ. Jangan gerak, jangan bersuara."
"Bim? Ta?"
Abim buru-buru keluar kamar. "Ya, Kak! Tata belum pulang!"
Tata merutuk sebal dalam selimut. Kenapa pula harus dia yang jadi korban?
"Kok bisa? Bukannya kalau Jumat bimbel libur, ya?"
"Nggak tahu, tuh. Main sama temennya, kali."
"Ah, kebiasaan nggak ngabarin."
"Eh, Kak! Paling bentar lagi juga pulang, nggak usah di telp-"
Nada dering terdengar nyaring dari bawah tempat tidur Aya. Tata melompat keluar selimut waktu Lala membuka pintu.
"KAK LALA SUMPAH DEMI MINGYU INI IDE BANG ABIM TATA NGGAK IKUT-IKUTAN!"
***
Semenit penuh Gatra membeku di depan pintu apartemen yang tertutup.
Tubuhnya bergeming menyaksikan gadis yang dia cintai berdiri di balik pintu dari video interkom. Hanya mengenakan jaket dan celana training. Memakai sandal rumah. Rambutnya dirapikan sebisanya. Tubuhnya gemetar.
"Gat... please. Aku mohon... aku perlu bicara... aku... aku perlu jelasin ke kamu..."
Suara dari monitor membuat Gatra mengepalkan tangan.
"Ngomong aja dari situ."
Gatra tidak menyangka kalimatnya akan keluar sedingin itu. Tapi Gatra tidak ingin Aya mendengarnya sedang terluka. Gatra tidak ingin Aya berpikir gadis itu telah menyakitinya sedemikian rupa.
"Aku... aku salah..." isak Aya, "...aku punya kamu... kamu... kamu segalanya buat aku... tapi aku sia-siain... aku bodoh, Gat... maafin aku..."
Gatra memejamkan mata.
"Tolong... tolong kasih aku kesempatan... please... aku janji bakal berubah... aku janji nggak bakal ngancurin kepercayaan kamu lagi..." Aya sesenggukan hebat. "Maaf, Gat... jangan tinggalin aku... jangan tinggalin aku... aku nggak bisa... aku nggak mau ditinggalin lagi..."
Pintu apartemen itu dibuka.
Aya tidak pernah seperti ini. Aya yang selalu melangkah dengan dagu terangkat itu tidak pernah terlihat sesakit ini.
Gatra tidak pernah bertanya 'kenapa'. Gatra tidak perlu mempertanyakan hal-hal yang mungkin tidak pernah punya waktu untuk sembuh bagi Aya.
"Gatra... aku... aku minta maaf..."
Mata Aya berkilau seperti permata. Ujung bibirnya melengkungkan senyum. Senyum yang mahal, kata orang-orang. "Jangan tinggalin aku ya, Gat?"
"Jangan... jangan tinggalin aku, Gat..."
Gatra melangkah mendekat dan mendekap Aya erat-erat.
"Aku di sini, Ay."
Seolah dia berusaha menyumbat luka di sekujur tubuh gadis itu.
"Apa pun yang terjadi, aku nggak akan pernah ninggalin kamu."
Seolah Gatra lupa hatinya sendiri belum berhenti berdarah.
bersambung
a/n:
Bab selanjutnya sudah bisa dibaca lebih dulu di KaryaKarsa @chocotwister! ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro