Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #17: Krisis Ruang Tunggu

"Kalau nanti kita nikah, kamu mau punya anak berapa?"

"Kok 'kalau', sih?"

"Yah, siapa tahu besok kamu ketemu cewek yang lebih cantik, lebih sabar, nggak galak—"

"Namanya Aya, nggak?"

"Hah?"

"Kalau namanya bukan Aya, aku enggak mau."

"Kalau namanya Aya, tapi bukan aku, gimana?"

"Ya gapapa, yang penting namanya Aya."

"Gatraaa!"

Gatra tertawa puas mendengar protes lantang Aya. "Iya, iya, enggak. Aku maunya sama cewek yang namanya Aya, cantik, nggak sabaran, galak, suka marah-marah—"

"Ih—"

"Terus... tinggalnya di Graha Dewata, punya kakak namanya Lala, adek namanya Abim dan Tata. Yang namanya Tata harus selebgram juga."

Aya ganti tertawa. "Terus yang namanya Abim harus jail. Yang namanya Lala harus bossy abis. Terus..."

Gatra tersenyum, menatap Aya yang sedang berbaring di sisinya. Kepala gadis itu bertumpu nyaman di lengan Gatra yang terulur. Gatra tidak pernah suka berbaring lama-lama di tempat tidur, tapi kalau ada Aya, rasanya laki-laki itu tidak mau bangun. Beban kepala Aya, hangat tubuhnya, wangi parfumnya, helai-helai rambutnya yang mencuat tak tentu arah. Gatra bisa mendengarkan gadis itu mengoceh sepanjang malam tanpa bosan. Kritik-kritik tajam soal kebijakan pemerintah, sindiran halus pada dewan kampus, sarkasme di bibirnya yang lama-lama ingin Gatra bungkam dengan ciuman.

Orang-orang bilang Aya selalu jadi sosok yang berbeda saat bersamanya. Lebih banyak bicara. Lebih ceria. Lebih santai. Gatra rasa, justru itu sosok Aya yang sebenarnya. Sosok yang tidak Aya tampilkan ke semua orang karena takut terluka.

Kalau dipikir-pikir, Aya sudah menempuh banyak peperangan selama hidupnya. Ada bekas-bekas luka tak kasat mata di sekujur tubuhnya yang tidak pernah mau banyak ia ceritakan pada Gatra. Hanya sekali, waktu mereka masih remaja tanggung. Malam yang tidak akan pernah Gatra lupakan.

Tapi semakin hari, semakin Gatra mengerti. Gatra tidak perlu menuntut Aya bicara apa-apa. Aya boleh diam selamanya dan Gatra akan tetap mencintainya.

"Kalau aku enggak mau punya anak, kamu masih mau sama aku nggak, Gat?"

Gatra mengerjap. Sebelum akhirnya menggeser posisinya, bertumpu pada satu siku untuk menatap Aya tepat di kedua netranya. Jemari Gatra menyentuh ujung hidung Aya. Mengusap pipinya. Bermuara di dagunya.

"Kita bakal punya berapa pun anak yang kamu mau."

Gatra tidak pernah bertanya 'kenapa'.

"Nggak sama sekali pun, nggak apa-apa."

Gatra tidak perlu mempertanyakan hal-hal yang mungkin tidak pernah punya waktu untuk sembuh bagi Aya.

"Buatku, kamu udah cukup."

Mata Aya berkilau seperti permata. Ujung bibirnya melengkungkan senyum. Senyum yang mahal, kata orang-orang. "Jangan tinggalin aku ya, Gat?"

Kalau Gatra tidak dibesarkan oleh Papi dan Mami yang menjunjung tinggi prosesi sakral pernikahan, mungkin detik itu juga dia akan berlutut dan melamar Aya agar gadis itu percaya padanya. "Aku di sini, Ay... apa pun yang terjadi, aku nggak akan pernah ninggalin kamu."

Aya mengubur wajahnya di perpotongan leher dan dada Gatra. "Apa pun?"

Gatra mengecup puncak kepala gadisnya. "Apa pun."

***

"Aya? Aya! Buka!"

Ketukan di pintu semakin keras bersamaan dengan Aya menutup seat toilet dan terduduk lemas di lantai dingin kamar mandi. Isi perutnya yang cuma air itu sudah habis dia muntahkan.

Pintu tak terkunci akhirnya dibuka sendiri oleh Lala. Wanita itu menghela napas, membantu Aya bangun, dan memapahnya kembali ke kamar.

"Gue harus berangkat kerja. Udah cuti dua hari."

Lala dan skala prioritasnya. Kalau adiknya sakit, tentu dia akan ambil cuti. Kalau adiknya tidak kunjung sembuh, tentu dia akan kembali masuk kerja. Tidak ada cukup waktu untuk menunggui Aya pulih.

Pikiran-pikiran buruk berenang di kepala Aya sembari gadis itu meringkuk di atas tempat tidur.

"Lo harus makan. Minum obat. Kalau demam lo masih belum turun juga, nanti malem kita ke rumah sakit."

Aya hanya bergumam. Gadis itu memberi isyarat agar Lala mengulurkan tisu dari atas nakas sebelum pergi. Aya berusaha menyedot ingus meski hidungnya tersumbat.

Dari pintu kamar yang terbuka, Abim dan Tata melongok, berusaha melambaikan tangan menyapa. Aya tidak kuasa membalas. Sebelum dia sempat mengumpulkan tenaga, Lala sudah keburu keluar kamar dan menutup pintu di belakangnya. Tapi Aya masih bisa mendengar samar-samar percakapan di luar.

"Gue jadi bolos ya, Kak? Cuma satu kelas kok, hari ini."

"Tata juga, Tata juga!"

"Ck, enggak. Lo udah mau UN. Sana, tunggu gue di mobil."

Terdengar decak kecewa Tata dan langkahnya menuruni tangga.

"Sorry, ya, Bim. Kerjaan kantor udah numpuk. Gue usahain pulangnya lebih cepet."

"Santai, Kak. Gue jagain Aya."

"Kalo gitu gue pulang agak sorean nggak apa-apa? Gue sebenernya ada urusan bentar."

"Aman, Kak, udah lo tenang aja. Dokter Abim siap sedia dua puluh empat jam mendampingi pasien Aya!"

Terdengar tawa kecil Lala. "Thanks, Bim. Jangan kesenengan bolos lo!"

Hal terakhir yang Aya dengar adalah langkah cepat Lala menuruni tangga dan pintu depan yang ditutup.

***

"Nirmala Gauri Lazuardi?"

Bahkan untuk ukuran wanita 27 tahun, duduk sendirian di ruang tunggu pasien akan selalu jadi sesuatu yang Lala benci. 'Urusan' yang dia katakan pada Abim sudah menantinya sepulang kantor sore itu. Masih dengan setelan rok dan blazer merah batanya, Lala meringis mendengar nama belakangnya ikut dipanggil. Kalau tidak harus, wanita itu tidak pernah menyertakannya.

"Saya, Sus."

"Ibu Nirmala, nanti masuk ke ruangan tiga, ya."

Lala mengangguk singkat. Kedua lengannya sedikit memeluk tubuh.

Sudah empat kali dia kemari, tapi rasanya ruang tunggu pasien ini masih terlalu dingin. Menyebut dirinya sendiri pasien terasa agak aneh di lidah Lala. Mungkin karena dia tidak merasa sakit. Setidaknya bukan fisiknya. Tapi setelah Lala pikir-pikir lagi, mungkin justru ini sakit yang paling menyakitkan. Mengingat orang yang membuatnya harus pergi ke sini setiap minggu sudah entah pergi ke mana. Membuang delapan tahun Lala sia-sia begitu saja.

Lala mendengus dalam hati. Pandangannya diedarkan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna putih. Bangku-bangku panjang berjajar, tapi jarang ada yang mendudukinya. Di pojok, seorang bapak-bapak paruh baya duduk bersama anak perempuan kecil. Memikirkan siapa yang "pasien" di antara mereka berdua saja sudah membuat Lala mual. Tidak ada yang pantas antri di sini.

Waktu pertama kali dirujuk ke psikiater, Lala menolak sungguh-sungguh. Berulang kali ia menegaskan alasannya menenggak obat tidur dalam dosis tinggi hanyalah ia butuh tidur. Pikiran Lala hanya dipenuhi tumpukan dokumen yang harus ia tandatangani di kantor, masalah pegawai di pabrik, dan penurunan sales bulan ini. Lagipula, bagaimana mungkin Lala terpikir untuk mengakhiri hidup kalau ada tiga manusia yang jelas-jelas bergantung padanya? Tapi sepertinya dokter yang menanganinya tidak mengerti, karena alih-alih menuliskan resep insomnia seperti yang Lala pinta, ke sini lah ia mengirim wanita itu.

Dokter bilang ini tempat praktik khusus. Psikiater-psikiater di sini terlatih untuk menangani isu-isu serupa dengan milik Lala. Lala nyaris mendengus. Itu hanya kalimat tidak langsung untuk mengatakan dia dirujuk ke psikiater khusus korban perselingkuhan.

Lala belum pernah merasa serendah ini.

Kadang, ia bertanya-tanya apa yang ada di pikiran orang-orang seperti Laksa. Seperti Ibu.

Memangnya apa yang salah dari Lala? Apa yang kurang darinya sampai-sampai orang yang dia cintai selama bertahun-tahun memutuskan untuk membagi hati dengan orang lain? Apa dia memang tidak pantas jadi satu-satunya?

Jauh di dalam hati Lala, dia ingin meneriakkan bagaimana dia sudah memberikan segalanya. Waktu, usaha, cinta. Sudah terlalu banyak rahasia yang Lala bagi dengan Laksa. Tidak seperti orang-orang sekitar yang hanya tahu bahwa Lala anak perempuan pertama yang sempurna, Lala bisa mengurus segala sesuatu sendiri, Lala selalu dapat diandalkan, Lala memberitahu Laksa apa saja yang harus Lala bayar untuk itu. Pertaruhan apa yang menantinya setiap hari. Pisau macam apa yang dipasang dekat nadinya.

Tetap saja, Laksa memilih untuk mendua. Mungkin karena Lala terlalu sibuk bekerja. Mungkin karena Lala tidak memberi cukup perhatian. Mungkin karena Lala terlalu memikirkan dirinya sendiri. Mungkin Laksa tidak mau terpaksa ikut menanggung hidup adik-adik Lala nantinya, walaupun Lala tidak pernah meminta. Tapi kalau begitu kenapa diam saja? Kenapa Laksa menggenggam tangan Lala sepanjang delapan tahun dan memutuskan untuk melepasnya di detik-detik terakhir?

Bagaimana Lala bisa duduk di ruang tunggu pasien sendirian sekarang?

Dan seolah membatalkan pernikahan mereka bukan pukulan yang cukup keras, Laksa menarik modal dari PRAJNA. Sengaja meninggalkan Lala agar mati terkubur bersama puing-puing mimpinya. Mimpi mereka. Mimpi yang keduanya bangun dan besarkan bersama-sama. Padahal Laksa tahu, Lala tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Seluruh kerja keras dan keringat yang ia cucurkan tidak pernah untuk dirinya sendiri. Membunuh PRAJNA tidak hanya akan membunuh Lala, tapi juga rumah yang mati-matian ia pertahankan agar tetap utuh. Adik-adiknya...

Apa yang nanti harus Lala sampaikan pada adik-adiknya kalau sampai dia gagal menyelamatkan PRAJNA dari ambang kebangkrutan?

"Ibu Nirmala?"

Lala mengerjap. Air mata di sudut matanya dihapus sekilas.

"Silakan masuk ke ruangan tiga setelah pasien terakhir keluar ya."

Lala mengangguk dan berdiri. Mungkin memang Laksa tidak peduli. Mungkin memang cuma Lala yang selama ini buta karena cinta. Mungkin memang sejak awal harusnya Lala fokus saja pada adik-adiknya. Orang-orang yang tidak akan mengkhianatinya.

Kini hanya mereka yang tersisa. Lala bersumpah, dia akan melindungi Aya, Abim, dan Tata dari siapa pun yang berani menyakiti mereka.

Siapa pun.

Pintu ruangan tiga terbuka. Pasien terakhir keluar.

Lala mengangkat alis.

"Gatra?"

bersambung

a/n:

Bab selanjutnya sudah bisa dibaca lebih dulu di KaryaKarsa @chocotwister! ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro