Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

QLC #16: Krisis Awan Badai

"Udah semua, nih? Kok cuman enam? Perasaan kemarin kita berangkat bertujuh?"

Ines mengerutkan kening, jarinya menghitung anak-anak yang berdiri di sekeliling mobilnya. "Aya... Aya mana?"

"Ngikut mobil Ndan, kali?"

"Lah, bukannya udah penuh?"

"Udah cabut duluan sama cowoknya, Nes!"

"Oh..." Ines manggut-manggut. "Ya udah. Jun, tolong, dong. Ini titip di bagasi belakang."

Perempuan itu sekuat tenaga mengangkut ransel berat dari tanah. "Woi! Juna!"

Juna mengerjap. "Hah? Iya, Mbak?"

"Bengong mulu lo! Kesurupan baru tau rasa!"

Juna minta maaf. Laki-laki itu mengusapi tengkuk dan membantu Ines meletakkan barang-barang di bagasi mobil. Ada yang lebih berat dari ransel di tangannya.

Perjalanan pulang dari Puncak tidak semeriah saat berangkat. Semua orang sudah kehabisan tenaga, sisanya masih separuh mengantuk. Juna duduk di pojok belakang, menatap kosong ke luar jendela. Mobil Ines terasa lengang. Komposisinya hilang satu orang.

Udah cabut duluan sama cowoknya, Nes!

Kalimat itu masih membentur dinding kepala Juna berulang kali sejak setengah jam lalu. Ulu hati laki-laki itu serasa ditonjok.

Persis ketika Juna membenarkan duduknya, rintik hujan pertama pagi itu turun di jalanan Bogor.

Juna mendongak bodoh. Atap mobil tidak mungkin bocor.

Tidak mungkin seperti di markas Warkom.

Atau tempat itu.

***

"Duh, sialan..."

Juna tidak ingat kapan terakhir kali hujan memukul aspal Jakarta sekeras sore ini. Mendung sudah menaung sejak pagi, meski badainya baru mulai lima menit lalu.

"Ya gimana? Lo jadi orang tanggung jawab, dong! Itu kan kerjaan lo. Masa gue juga yang ngerjain?"

Halte TransJakarta sesak. Orang-orang saling berhimpit, menghindari tetesan air dari atap— yang sebetulnya percuma, karena angin tetap saja membawa butiran hujan ke sana kemari. Seragam putih abu-abu milik Juna sudah setengah kuyup, bahkan sudah mulai kering lagi. Satu jam dia duduk di sini. Ponselnya sudah habis baterai. Rambut keritingnya sudah menempel ke kulit kepala dan separuh dahi. Panjangnya yang sudah nyaris sampai pundak itulah yang jadi alasan Juna kena omel guru-guru di sekolah setiap hari.

"Maksud lo apa? Gila ya? Lo kalau nggak becus mah keluar aja dari Warkom. Nyusahin amat."

Juna akhirnya menoleh penasaran. Kepada seorang perempuan yang baru semenit lalu berlari ke bawah atap halte untuk berteduh. Pundak dan telinganya menjepit ponsel yang sedang ada dalam panggilan suara. Panggilan suara yang penuh tensi, sepertinya.

Rambut perempuan itu dipotong pendek setengkuk. Hitam legam. Kacamatanya sedikit basah kena hujan, disangga tulang hidung yang mancung. Bibirnya yang tipis pucat karena dingin. Tali sleeve laptop menggantung dari satu bahunya. Tubuhnya kurus, nyaris terlalu kurus. Tulang selangkanya menonjol di balik kaos band warna merah gelap dan jeans lusuh.

Juna tidak bisa melupakan matanya. Sorotnya keras. Caranya berdiri dan mengetuk-ngetukkan Converse usang ke trotoar membuat Juna menyimpulkan dia bukan penyabar. Kerutan di antara kedua alisnya tercetak jelas. Caranya memborbardir orang di seberang telepon mengingatkan Juna pada pembawaan seorang jurnalis investigasi yang sering dia tonton di televisi. Juna tidak ingat siapa namanya. Tapi yang jelas perempuan ini lebih cantik.

Cantik sekali, malah.

"Ya nggak bisa. Gue mending beritanya nggak naik daripada kurang riset."

Suara derum mesin dan roda menerobos genangan air akhirnya terdengar membauri deras hujan. Keluh puas dan desah lega secara bersamaan memenuhi udara. TransJakarta mendekat. Orang-orang segera berdiri, saling senggol dan desak. Juna nyaris jatuh dari duduknya. Ketika laki-laki itu berhasil menyeimbangkan kedua kakinya, si perempuan masih di sana. Bersandar ke tiang tanpa sedikit pun acuh dengan antrian penumpang yang kini sudah mulai bergerak masuk bus.

Juna seharusnya juga naik.

"Justru karena lo senior, gue pikir lo tahu cara nulis liputan yang proper! Gue nggak mau tahu, lo revisi lagi dan malem ini harus jadi. Atau gue sendiri yang ngomong ke Mas Bondan."

Telepon itu ditutup. Pemiliknya mendecih ke arah layar. "Dasar amatir."

Cengiran Juna mengembang sendiri.

TransJakarta berangkat.

Halte yang kosong membuat si perempuan melangkah menuju bangku panjang yang Juna duduki. Catnya sudah mengelupas di sana-sini. Selain sunyi, udara hanya disela petrikor bergemulung dengan aroma khas besi.

Perempuan ini jelas-jelas tidak duduk di halte untuk naik bus.

Pembawaannya rawan bahaya. Dia tidak memeluk sleeve laptopnya seperti kebanyakan orang di tempat umum. Dia tidak menyimpan ponselnya di bagian saku dalam. Kedua kakinya tidak dirapatkan ketika dia duduk.

Hampir seolah perempuan ini tidak takut apa-apa.

Dia mirip sekali seseorang yang pernah Juna tonton di televisi.

"Mbak mirip Diana Tjandra."

Perempuan itu seketika mematung.

"Jurnalis itu lho, Mbak," tambah Juna, mencoba mencari reaksi. "Yang suka investigasi kasus-kasus pejabat korup."

Juna memerhatikan kerut di kening si perempuan yang perlahan lenyap. Berganti ke tangan kanannya yang mengepal kuat.

Decit klakson tiba-tiba memecah berisik hujan. Perempuan itu tampak seperti baru tersadar dari trans. Ia berdiri dan melangkah menuju sedan yang berhenti tanpa menoleh barang sedikit pun.

Laki-laki bersetelan rapi turun menyangga payung sambil membukakan pintu. Mereka berpelukan di bawah hujan.

Cengiran Juna lenyap.

Badai masih betah mengguyur kota dan dia ketinggalan TransJakarta.

***

"Yuk, turun, turun!"

"Akhirnyaaa! Nyampe markas juga!"

"Bantuin angkatin, woi!"

"Pinjem payung bentar, dong! Basah nih, gue!"

Juna mengerjap tersadar ketika telinganya mendengar suara pintu mobil Ines digeser lebar. Percik gerimis merembet masuk, membuat Juna buru-buru beringsut keluar.

Awan mendung rupanya ikut berkendara sampai Jakarta. Juna meletakkan telapak tangan di kening untuk menghalau air dan mendongak ke angkasa. Abu-abu gelap sejauh mata memandang. Kilat tampak di kejauhan, menyusul guntur.

"Woi, buru, Jun! Bantuin sana!"

Seruan senior-seniornya membuat laki-laki itu akhirnya memutuskan untuk mengosongkan pikiran. Kepalanya digelengkan. Perkara Asmara Prajna sepertinya harus menanti sebentar.

Rupanya Juna salah.

Baru tiga langkah di aspal, kerah kaos Juna sudah direnggut kasar dan tahu-tahu saja punggungnya membentur tembok dalam bunyi derak mengerikan.

Jeritan Ines tertahan di udara.

Tanpa perlu mengangkat wajah pun, Juna tahu siapa yang kini nyaris mencekik lehernya.

"Lo berani sentuh Aya?"

Mas Bondan refleks maju tapi Ines menahan lengannya seketika.

Juna meneguk ludah. "Sabar, Mas—"

BRAK!

Juna menutup mulut ketika tubuhnya ditumbuk ke dinding sekali lagi. Di tangan Gatra dan amarahnya, Juna benar-benar seringan bulu angsa. Mata laki-laki yang lebih tua darinya itu penuh api. Gerimis tidak sedikit pun memadamkannya.

"Ngapain aja?" geram Gatra. "Lo berdua ngapain aja?"

Hujan menderas. Anggota Warkom di sekitar mereka merapat sambil berbagi payung. Bertukar pandang. Saling bisik.

Juna berusaha mencari Aya tapi gadis itu tidak terlihat di mana-mana.

Hanya Gatra dan tatapan membunuh di matanya.

"Jawab!"

Juna memejamkan mata ketika—untuk ketiga kalinya—punggungnya dibenturkan.

"C-ciuman, Mas."

Juna pikir nyawanya akan tamat, tapi cengkeraman Gatra justru lepas. Laki-laki itu mundur, seperti kehilangan arah, mengabaikan bisik-bisik penonton yang semakin nyaring. Baju polo putihnya basah dan bernoda tanah. Belum sempat Juna membenahi bajunya sendiri, telapak tangan Gatra sudah kembali bersemayam di lehernya.

Kali ini lebih erat.

Juna sulit bernapas.

"Itu aja?"

Juna berusaha mengangguk. Oksigennya dengan cepat habis.

"Ada lagi yang perlu gue tahu?"

Juna dengan cepat menggeleng.

Gatra melepaskannya. Laki-laki itu tampak dimakan pikirannya sendiri. Napasnya tak beraturan.

"Sekali lagi lo berani—" Gatra mondar mandir di hadapan Juna. "Sekali lagi lo—"

"Saya minta maaf."

Langkah laki-laki itu terhenti. Juna jadi saksi bagaimana kobaran api dalam diri Gatra meretih dan mendesis. "Minta maaf?"

Juna mengusapi lehernya yang memerah. Nyaris kehabisan oksigen perkara dicekik Gatra mengingatkan Juna rasanya kehabisan oksigen di kolam renang villa.

Napasnya yang tertahan. Jantungnya berdebar kencang dan sedikit nyeri. Gemuruh air di telinganya.

Hanya sesaat. Tapi tidak ada Gatra di sana. Hanya ada Juna, dan Aya yang bukan milik siapa-siapa.

"Saya minta maaf sama Mas Gatra."

Juna sama sekali tidak menyesal.

"Saya minta maaf sama Mas Gatra, karena waktu saya cium Mbak Aya, Mbak Aya bales ciuman saya."

Dagu Juna terangkat persis ketika tinju Gatra menghantamnya.

bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro