Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1 - Perspektif

Special dedication
hunterspin88
-

--

Fatiya berjalan menuju parkiran perusahaan tempatnya mendedikasikan ilmu. Menjabat sebagai sekretaris divisi pemasaran dan melakoni tugas dengan cekatan, membuat ia selalu berhadapan langsung dengan direktur. Begitulah ia dikenal, memesona dan menjadi daya tarik sekitar.

Wanita berponi itu memasuki mobil pribadi. Mengenakan kacamata andalannya saat berkendara, lalu melesat pergi. Sembari menyetir kemudi, dering notifikasi Line menghampiri ponsel Fatiya. Tak ada balasan yang ia kirimkan. Namun, saat melihat isi pesan yang tertera dari notification bar, mantap membuatnya putar balik dan menuju ke suatu tempat.

Zein : Datanglah ke kantor. Aku menunggumu.

---

Fatiya berdecak. Sudah lima menit ia menunggu di sekitar area. Seseorang yang dicarinya masih belum kunjung menunjukkan batang hidung. Entah sudah berapa kali ia memperingatkan orang itu bahwa ia tidak suka keterlambatan.

“Maaf, tadi ada kesibukan mendadak.”

Fatiya menoleh. Seorang lelaki berumur tiga puluh tahun dengan rambut klimis, kameja putih dan celana kain formal berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya.

Wanita itu berdecak sebal. “Aku yang nunggu atau kamu, hmmm?” Zein tertawa renyah. Seluruh beban yang memenuhi pundaknya luruh begitu saja.

“Makan malam yuk, sebentar? Aku yang jemput.” To the point berbicara, Tangan kanannya terangkat mengusap rambut poni milik Fatiya.

Fatiya lagi-lagi berdecak. “Ckkk, kapan aku nolak kamu?”

“Nggak pernah.” Ia menyengir malu.

“Berarti jadi, ya?”

Hmmm.”

“Ya udah, itu aja kok. Aku nggak tahu mau bilang apa lagi.” Zein terkekeh sambil memasang tampang tanpa dosa yang membuat wanita itu geram.

"Kamu nyuruh aku datang ke sini, nungguin sejauh lima meter dari jarak kantor, dan hanya ingin bilang 'pengen ngajak aku makan'?"

Zein tertawa geli. Ekspresi marah Fatiya yang membuatnya tertegun saat pertama kali mereka bertemu, Zein tidak akan bosan menikmati momen lucu itu. Bermula saat Fatiya yang memprotes model strategi pemasaran yang dirancangnya, dan Zein yang tidak terima hasil analisisnya dihinakan.

Dua minggu ia mencari penggalan-penggalan profil lengkap Fatiya. Tak bisa ditampik, Zein jatuh pada pesona wanita berponi itu.

“Hati-hati.” Zein melambai kala mobil Fatiya mulai melaju meninggalkannya.

Masih dengan senyum yang tertawan, suara dering ponsel membuyarkan atensi Zein. Senyumnya tiba-tiba saja luntur. Wajah yang semula berseri langsung datar begitu saja dalam sekali petikan jari.

Tanpa pikir panjang ia  mematikan panggilan dan menyimpan kembali ponselnya. Lima kali ponsel itu berdering, lima kali pula ia menolak panggilan itu.

---

Matahari mulai menepikan cahaya ke ufuk barat. Sementara Fatiya masih belum sepenuhnya bersiap. Tinggal satu sentuhan make up di wajah, dan ia akan selesai.

Zein masih menunggu di depan. Pria itu sibuk memperbaiki tampilan sejak tadi, dan sesekali memantau arloji yang menempel di pergelangan tangan.

Fatiya keluar membuka pintu apartemen, Zein tersenyum lebar. Lain halnya dengan Fatiya yang berusaha memandang Zein secara normal, dan tiba-tiba saja pandangannya memburam lalu … gelap. Samar-samar ia mendengar suara pekikan Zein yang memanggil dirinya, sebelum kesadaran mengentak keluar dari jiwanya.

---

Tidak ada kencan berkedok makan malam. Semua yang dipersiapkan Zein gagal total dan tidak masalah baginya. Tetapi Fatiya yang sedari tadi tak kunjung sadar, hampir membuat kewarasannya kehilangan kabar.

Cepat-cepat Zein menghubungi dokter yang bersedia, dan betapa terkejutnya ia kala dokter yang menemuinya adalah seseorang yang begitu ia kenal. Ekspresi yang sama juga tak dapat ditolak oleh seseorang yang dipanggil dokter itu. Dokter Rudi. Dokter pribadi keluarga Zein.

“Maaf saya sedikit terlambat. Siapa yang mau saya periksa, Zein?” tanya Dokter Rudi.

Zein merutuki dirinya sendiri. Bodoh!

Dia tak punya banyak waktu.

Dengan canggung ia membawa Dokter Rudi mendekati Fatiya, kemudian meminta agar Fatiya diberikan perawatan paling intensif.

“Aku tidak menyangka, Zein,” kata Dokter Rudi sambil memeriksa keadaan Fatiya. Mengeluarkan beberapa alat yang Zein ketahui adalah stetoskop dan senter untuk merasakan reaksi jantung serta melihat pupil mata.

Sementara Zein masih diam memandang Dokter Rudi. Pria itu tiba-tiba melangkah untuk mengambil segelas mineral. Meletakkannya di samping Dokter Rudi, dan menduduki sofa yang terletak paling dekat dengan Fatiya.

Dokter Rudi telah selesai dengan peralatan medisnya. Ia menatap Zein yang pula menatapnya. Keduanya tak bisa diterka. Entah apa yang mereka pikirkan di kepala, masing-masing saling menutup mulut rapat-rapat.

Sebuah suara memecah keheningan. Zein memandang Dokter Rudi yang meneguk segelas mineral itu hingga tandas lalu berucap, “Pasien tidak mengalami hal yang serius, dia hanya-“ belum selesai Dokter Rudi menyampaikan informasi pasien, perutnya tetiba bergejolak. Tubuhnya terhuyung seperti orang mabuk, dan matanya terbelalak menatap Zein. Belum sempat ia berbicara, belum selesai ia bersuara, beberapa detik setelah itu Dokter Rudi jatuh melintang di lantai. Sesaat mengalami kejang-kejang, lalu berakhir dengan mulut penuh busa.

Zein masih menatap Dokter Rudi. Tatapan yang tidak seorangpun tahu apa makna dibalik itu. Tangan kanannya  merogoh saku jaket dan menghubungi seseorang.

“Masuk. Silakan urus jenazahnya!”

---

Zein masih bersama Fatiya. Pria itu duduk dengan mata terpejam. Entah sudah berapa kali ponselnya berdering mengagetkan, namun ia tak berminat untuk mengangkat. Ia tidak peduli. Pikirannya sekarang dipenuhi oleh hal penting yang harus segera dibereskan.

Jemari Fatiya perlahan-lahan bergerak. Lamat-lamat ia menyapu keadaan sekitar dan terkejut mendapati Zein sedang tertidur di atas sofa di sampingnya.

“Ze ... Zein?” Zein membuka mata terkejut. Dengan binar bahagia, ia refleks memeluk Fatiya erat. Sangat erat.

“ZEIN, SESAK!”

“Kamu baru sadar, udah teriak-teriak aja,” Zein terkekeh. Pria itu mengambil air hangat dan memberikannya pada Fatiya.

Fatiya tersenyum menyambut, lalu menyeruput. “Makasih.”

“Dengan senang hati.” Pria itu tersenyum lebar. Tak pernah ia sebahagia ini di samping seorang perempuan kecuali ibunya.  Zein tak kuasa melihat Fatiya yang jatuh sakit. Ia kehilangan kendali, dan menghubungi siapa saja yang bisa ia hubungi. Sungguh kesalahan fatal saat ia justru menghubungi dokter pribadinya.

Fatiya menggenggam tangan Zein yang bergetar, “Kamu takut?” Zein tersenyum, merengkuh tangan milik Fatiya, dan mengecupnya.

“Karena kamu sudah sadar, aku tidak lagi takut.” Sejenak hening, Zein kehilangan suara. Berganti dengan kecupan yang terus ia daratkan di jemari Fatiya. “Cepatlah sembuh dan jangan lagi sakit. Cukup malam ini saja aku kehilangan kesempatan memberimu kejutan.” Setelah mengucapkan itu, Zein lantas beranjak dan pergi keluar.

Fatiya menatap kepergian Zein. Perasaannya campur aduk sekarang. Ada kesenjangan yang menghantam kuat di dada. Fatiya tidak boleh begini terus, ada hal yang harus ia bereskan sebelum tergerus.

---

Dua hari berlalu setelah kejadian itu. Siang ini adalah siang tercerah, Zein menghabiskan waktu siangnya dengan membaca artikel di kafe yang tidak terlalu ramai apalagi padat. Kali ini ia sendirian, tidak ditemani siapapun sebab Fatiya bahkan tidak bisa ia hubungi.

Belum ada sebab yang jelas kenapa Fatiya seolah hilang begitu saja dari peredarannya. Usai malam itu, Fatiya seolah tidak membiarkan Zein menghampirinya. Hari ini ia bertekad untuk mencari Fatiya dengan  melepaskan seseorang yang sejak awal tidak ia prioritaskan.

“Eh, Nin! Lo tahu nggak, kemarin gue lihat berita koruptor ‘kan ya?”

Hmmm, terus?”

Zein terusik. Netranya menatap nyalang pada dua gadis yang sedang bergosip ria di sampingnya.

“Nah, nggak lama isterinya minta cerai. Katanya ada hubungan gelap yang dijalanin si koruptor.”

"Ngeri, ya ... udah korup, selingkuh pula!"

Berisik. Zein ingin pindah tempat. Secepat ia yang ingin beranjak dan pergi ke sisi lain kafe, secepat itu pula perutnya tiba-tiba bergejolak. Meringkuk dan mencengkeram perut, rintihan sakit susah payah ia tahan agar tak terlihat payah.

Nahas, ia langsung jatuh dan berteriak kencang. “Arghhh.”

Suara panik orang-orang bersahutan disusul dengan langkah-langkah kaki yang mendekati sumber suara. Zein ditolong dengan pertolongan pertama. Dua perempuan yang asyik bergunjing di sampingnya tadi menghubungi rumah sakit terdekat untuk didatangkan ambulans. Ia diangkat, dilarikan ke rumah sakit, dan langsung di bawa ke salah satu bilik inap. Disusul dengan seorang dokter yang datang terburu-buru kemudian memeriksanya.

Napas Zein tertahan saat melihat siapa yang memeriksanya. “Maaf ya, saya sedikit terlambat,” kata Dokter Rudy dengan mulut yang sedikit berbusa.

.
.
.

Pygmy members :

Annarahma

asaderai

vinelvey

irisselene_

Putrinwd

jangnarajang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro