Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Putri Boneka

Namaku Arindi Silvania. Aku baru saja terbangun dari mesin hibernasi. Bukan, aku bukan seorang astronot; ibu mengharuskanku tidur di mesin ini agar aku dapat terbangun saat aku berusia dua puluh satu tahun.

Ternyata rasanya seperti tidur malam di hari-hari biasa. Bedanya, aku tertidur dalam mesin bersuhu dingin dan proses penghangatan terjadi saat menit-menit menuju siuman. Ketika aku terbangun, suhu tubuhku sudah kembali normal.

Sebagaimana prosesi ketika aku masuk ke dalam mesin, beberapa tahun lalu ibu berpesan bahwa ketika terbangun aku akan disaksikan oleh ibu, saudara kembarku, serta dua asisten artifisial bernama Mel dan Mo. Pagi ini berbeda. Aku melihat Arinda menyapaku penuh semangat.

"Arindi! Aku merindukanmu!" Ia memeluk tubuhku begitu erat. Kubalas pelukannya. Dari rambutnya yang tergerai, aroma sampo lidah buaya menyeruak memasuki lubang hidungku. Kuharap bau rambut dan tubuhku tidak parah-parah amat.

Aku menitikkan air mata. "Hai, Nda. Sudahkah kita berusia dua puluh satu?"

Arinda menggelengkan kepala. Rambut ikalnya lebih panjang sejak terakhir kali aku melihatnya. "Masih sembilan belas. Ibu bilang kau memang akan dibangunkan lebih awal. Mesin torpor ini memerlukan sedikit perbaikan sekaligus penambahan fitur, katanya." Ia mengangkat bahu.

Ah, iya. Torpor. Itu sebutan yang kerap digunakan oleh Nda. Lebih praktis daripada 'mesin hibernasi'. Kutengok mesin berbentuk kapsul itu dengan cermat. Tidak ada asap atau bunyi mendesis, tetapi tampaknya dua lampu indikator tidak berfungsi. Nda lalu mempersilakan diriku untuk bersih-bersih dan kumanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Sekarang, rambut kami berdua sama-sama menguarkan aroma lidah buaya. Omong-omong, ruangan ini layaknya kamar dilengkapi fasilitas kamar mandi di dalam. Kendati kamar pribadiku ada di lantai tiga, tapi aku juga merasa nyaman di sini. Aku telah terbiasa menyebut ruangan ini sebagai ruanganku.

"Aku punya kejutan untukmu, Ndi. Aku membuat permainan yang—"

Tunggu. Seperti ada yang aneh, tapi apa, ya? Kuamati letak lemari, meja, sofa, serta layar holo. Semuanya sama persis seperti ketika sebelum aku memasuki mesin torpor. Jendela serta tumpukan buku pun agaknya tak berubah, tapi kenapa aku merasa situasi ini agak asing?

"Rindi?"

"Ah, i-iya? Maaf, sepertinya aku butuh minum."

Tapi kenyataannya aku tidak haus sedikit pun. Hei, bukankah ini aneh? Menu sarapan juga sebenarnya telah tersaji di atas meja, tapi aku juga tidak lapar sekalipun ada roti serta berbagai selai, lengkap pula dengan susu dan buah-buahan. Ini terlalu banyak untukku seorang diri. Saudari kembarku pun menolak tawaranku dengan halus.

Nda berujar setelah aku menghabiskan segelas air mineral. "Kau pasti suka!" tebaknya. "Berkat Mel dan Mo, aku bisa mewujudkan ideku membuat berbagai jenis permainan."

"Wah, virtual reality?"

"Augmented reality." Nda mengoreksi. "Aku sering menyebutnya 'simulasi'." Ia pun memakaikan benda semacam helm padaku. Ah, untunglah rambutku sudah agak kering. Warna perangkat itu seputih susu, senada pula dengan lantai ruangan ini. Kutaksir bobotnya lumayan, tapi ternyata ketika dipakai terasa ringan.

"Pilihan dan gerakanmu dikendalikan oleh pikiranmu, Ndi. Aku berani bertaruh kau pasti menyukai menu ketiga."

Aku hendak bicara pada Nda, tapi suara dalam alat ini keburu meyapa. "Selamat datang, Arindi Silvania. Silakan pilih menu permainanmu."

Aku memilih menu sesuai perkataan Nda. Perasaan haru membeludak dalam dadaku ketika seorang pria berambut ikal tersenyum dan berkata, "Ayo kita memancing, Arindi." Ia lantas memakaikan sebuah kupluk di kepalaku. Di kejauhan, kulihat matahari kian mendekati ufuk barat. Sungguh sesuai nama permainannya: Memancing Bersama Ayah. Kupikir hanya sebuah tontonan, tapi ternyata aku dilibatkan.

Oh, Ayah. Senang sekali dapat melihatnya lagi meski melalui video rekayasa. Sekalipun kegiatan ini sesederhana pergi ke danau untuk memancing ikan, aku menikmati detik demi detik yang berselang. Aku tengah dibantu ayah menggulung senar guna menarik ikan nila yang kudapat ketika sebuah sinar menyilaukan membuatku menutup kedua kelopak mata.

Sebuah perangkat terlepas dari kepalaku. Alih-alih duduk di sofa, benda yang menopang tubuhku mirip dengan kursi pasien dokter gigi. Bedanya, Mel dan Mo mondar-mandir di hadapanku setelah mendokumentasikan kondisi fisikku pada layar holo. Ini bahkan bukan ruanganku atau kamarku. Uh, inikah rasanya terbangun setelah tidur empat tahun?

Suara wanita yang amat familier bergumam lembut di sampingku. Bahkan dengan kondisi disorientasi seperti ini, aku dapat menebak warna bibir itu pastilah merah dengan nuansa matte.

"Hai, Arindi Silvania," gumam ibu lembut. "Maaf membangunkanmu dengan cara seperti ini."

•••

Pantas saja aku disorientasi.

Aku dikondisikan tetap tidak sadar bahkan setelah mereka memindahkan tubuhku ke ruang pemulihan. Memang ada kerusakan yang mengakibatkan mesin torporku mendesis, tapi itu bukan hal fatal dan mereka kini tengah memperbaikinya. Ibuku, berkat jiwa kreatif sekaligus eksperimentalnya, ingin menguji apakah aku dapat membedakan antara realita dan rekayasa. Kehadiran Arinda dengan helm ajaibnya ternyata rekayasa. Permainan memancing bersama ayah? Rekayasa dalam rekayasa. Luar biasa.

'Mereka' yang kumaksud tentu saja ibu, Mel, dan Mo. Aku yakin saudariku tidak terlibat dalam perencanaan ini.

"Maafkan aku," gumam Arinda. Ucapannya terdengar jauh lebih tulus dibandingkan dengan ucapan ibu. "Aku sudah sebisa mungkin membujuk mereka agar membiarkanmu terbangun sebelum menggunakan perangkat itu."

"Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja, kok." Aku berkata dengan lembut. Satu suapan terakhir dalam menu sarapan hari ini masuk ke dalam mulutku. Kini aku tahu kenapa tadi aku tidak lapar atau haus ketika terbangun. Ya iyalah. Kan, alam rekayasa. Makan dan minum bukanlah agenda utama. Atau justru ... itu merupakan bukti keterbatasannya?

"Jadi, kau sudah tahu di mana letak kekeliruanmu, Arindi sayang?" Ibu datang bersama ketukan irama sol stileto yang tenang dan anggun. Ia memilih untuk duduk di kursi seberang.

Aku mengangguk. "Sudah, Bu. Pertama-tama, setelah terbangun dari mesin aku seharusnya melaporkan kondisiku di layar holo. Lalu aku bersih-bersih dan menunggu Mel atau Mo datang ke ruanganku."

Ibu mengangguk. Rambutnya yang digelung membuat lehernya terlihat begitu jenjang. Satu fakta tentang ibu: ia sangat cantik. Kulitnya mulus dan kencang, seringkali membuat orang-orang mengira usianya masih dua puluh lima tahun. Senyumnya begitu manis—dengan mata bulat, hidung lancip, serta bibir mungil seperti bayi—membuat siapa saja bakal terpana, bahkan wanita sekalipun. Belum lagi postur tubuhnya nyaris sempurna; tak heran ia begitu dipuja dan kerap tampil di layar kaca. Pakaiannya pun selalu pas badan. Aku dan Arinda? Kami berdua—untungnya—mewarisi lebih banyak ciri-ciri fisik ayah. Mata kami lebih sipit dan kulit kami kuning langsat. "Bukannya kau tidak boleh mengobrol dengan saudarimu, tapi melaporkan kondisi fisik jauh lebih penting."

Bagaimana dengan kondisi mental? Tidakkah kau menganggapnya perlu? Aku bertanya dalam hati. Sebenarnya ada serangkaian alat mumpuni yang dapat melaporkan kondisi ragawi, tapi aku tetap perlu melaporkan secara manual hal-hal seperti: suhu tubuh, berat badan, adakah nyeri yang terasa, dan sebagainya.

"Kau beruntung, Arindi. Berhubung ini pertama kalinya kau terbangun dari mesin torpor, ibu memaklumi semua yang terjadi padamu hari ini."

Aku mengangguk. "Terima kasih, Bu."

"Untuk menu makan siang dan malam, kau boleh menentukan apa pun yang kau mau, sayang." Ibu tersenyum dan berkedip pelan.

Aku sontak menatap saudariku. Ia mengangguk tanpa ragu; mempersilakanku untuk memilih. Bibirku baru terbuka setengah ketika suara dari layar holo ruang tengah terdengar.

"Mau cantik luar dan dalam? Pakai Glimglow dari sekarang."

•••

Aku sangat membenci kosmetik dan produk perawatan wajah. Ironisnya, ibu adalah pemilik perusahaan Glimglow—aku yakin setidaknya tiga perempat penduduk negara Nusanesia ini pernah mendengar merk tersebut. Dengan total jumlah karyawan sekitar enam ribu berikut ratusan outlet yang tersebar di seluruh penjuru negeri, tak heran Glimglow sangat digemari para gadis hingga wanita sepuh. Tak jarang make up artist profesional pun menggunakan Glimglow mengingat kualitas serta keamanan produknya.

Lalu, apa hubungannya mesin torpor dan Glimglow?

Begini. Olivia Ravanti sekaligus ibu kami tercinta memiliki rencana yang amat brilian. Dulu, ketika aku berusia sembilan tahun, aku pernah mengalami kecelakaan hingga kritis. Saat aku pulih total, ibu berkata bahwa ia sengaja mengabarkan pada orang-orang bahwa aku telah meninggal. Sejak itu, Arinda Silvania saja yang muncul ke publik.

Bagaimana denganku? Aku direncanakan muncul ke publik setelah usia kami dua puluh lima tahun. Dua puluh lima tahun berikutnya, aku kembali hidup dalam bayang-bayang sedangkan Arinda kembali hidup dengan leluasa. Selama hidup tersembunyi, kami dihadapkan pada dua pilihan: berlatih dan menunggu, atau masuk mesin torpor. Bisa juga keduanya (pemakaian maksimal mesin itu hanya delapan tahun dengan minimal interval selama tiga tahun).

Seandainya ayah masih hidup, ia pasti akan menentang rencana busuk ibu. Bukan ini alasan serta tujuan ayah membelikan mesin torpor untuk kami. Tujuan ayah jauh lebih mulia. Ia berpesan agar mesin itu dapat digunakan dalam perjalanan jauh (sifatnya portabel) juga dapat membantu mengatasi insomnia yang kerap diderita ibu. Tapi, tujuan Olivia malah sebaliknya.

Permainan kotor. Tindakan keji. Kami hanya dianggap sebatas pion alih-alih anak kandung. Percayalah, kata-kata itu sempat aku lontarkan pada ibu.

"Sayang, justru inilah bentuk kasih sayang ibu pada kalian. Sebagai perempuan, sudah sepatutnya kita senantiasa tampil cantik luar dan dalam; tanpa lekang oleh waktu. Awet muda hingga akhir hayat. Kalian akan selalu dipuji dan dipuja. Bukankah semua itu anugerah?"

"Aku lebih memilih menjadi brand ambassador, Bu! Supaya aku bisa mempromosikan Glimglow sesuai kontrak. Tak perlu seumur hidup apalagi meneruskan kepemilikan perusahaan itu!" Arinda juga sempat memprotes.

Sayangnya, Olivia Ravanti terlampau licik untuk kami kalahkan. Permainannya terlalu kotor hingga aku dan Arinda memutuskan untuk mengikuti arahannya untuk sementara hingga kami siap untuk melawan. Persetan dengan Glimglow. Kami butuh kebebasan, bukan penjara berkedok kemewahan. Kuakui pengalaman serta usia kami yang masih sembilan belas tahun belumlah mumpuni untuk menumbangkan sandiwara ini.

Karena itulah, aku dan Arinda gemar bertukar informasi secara diam-diam. Cara satu ini baru kami sadari beberapa bulan sebelum aku memasuki mesin torpor. Tiada seorang pun selain kami tahu hal ini, termasuk ibu.

Malam itu aku tak ingin tidur di kamar pribadi dan memilih untuk menghampiri kamar Nda. Setibanya di ranjang yang ternyata masih muat untuk kami berdua, kami berpegangan tangan begitu erat.

Simulasi tadi sangat memuakkan, aku mengawali.

Selalu, Ndi. Oh, ya. Ada beberapa hal yang harus kau tahu. Di dunia simulasi ada hal-hal yang tak bisa dilakukan. Kita tak bisa menguap, tidak bisa mengedipkan sebelah mata, juga tidak bisa meregangkan jemari kaki.

Aku mengangguk mengerti. Dengan kata lain: lakukanlah salah satu atau ketiganya. Kalau tak ada hasil, berarti aku memang berada dalam dunia simulasi. Aku lantas melanjutkan, tidak merasa lapar dan haus?

Nah, itu juga. Kuharap ke depannya semua keterbatasan itu sama sekali tak berkurang.

Tapi tadi aku seakan mencium aroma sampo lidah buaya, kataku dalam hati.

Itu sebuah kemajuan, sayangnya. Mereka membuat kita berpikir suatu aroma sampai di hidung kita.

Kami lantas sama-sama bergidik.

Bagaimana kalau kita menggali informasi dari Mel dan Mo?

Sudah kulakukan, tentu saja. Bagaimanapun mereka berpihak pada ibu. Kau mau membuktikannya juga?

Saat itu sialnya aku terlalu lelah untuk menjawab. Empat hari setelahnya, aku memberanikan diri bertanya pada Mel. Strategi ini pelan, tapi pasti. "Apa lagi yang harus kupersiapkan sebelum muncul ke publik, Mel?"

Seraya mengetuk-ngetuk layar holo dengan ujung jari, Mel menjawab. "Mengingat skor penguasaan produk Glimglow meningkat hingga angka lima puluh delapan (sedikit melebihi target ibumu bulan ini yaitu empat puluh) kau hanya perlu fokus berlatih bicara di depan publik dan meningkatkan bobot tubuhmu."

Aku menggumam dan manggut-manggut. "Boleh kulihat daftar apa saja yang boleh dan tidak boleh kuumbar? Aku khawatir akan keceplosan soal mesin torpor dan sebagainya. Hehe," ucapku seraya memasang tampang bloon.

Kalau kalian penasaran bagaimana caraku menjalani hidup tersembunyi: bayangkan hidup di sebuah paviliun yang terlihat kecil dari luar, tapi ternyata memiliki akses ke ruang bawah tanah maha luas yang terhubung ke rumah induk.

Mel lantas memperlihatkan sebuah catatan di layar holo dan memperbesarnya. Daftar hijau berarti boleh, daftar merah berarti sebaliknya. Oh, ternyata publik sudah tahu keluarga kami memiliki mesin torpor—Mel bilang hampir semua pebisnis memilikinya, bukan hanya badan antariksa seperti halnya beberapa dekade lalu. Selain itu ada juga rumah sakit, mengingat mesin torpor dapat berguna bagi pasien yang sedang menunggu donor.

Aku bergidik ngeri. Apakah hanya ibu yang menyalahgunakan mesin itu? Atau justru hal yang sama dilakukan oleh pebisnis lain? Atau siapa pun itu?

Tanganku kemudian mengarah pada daftar merah di sebelah kiri. "Pemeriksaan dari Badan Pusat Mesin Hibernasi?"

"Maksudnya, agar kita merahasiakan pengecekan dari badan tersebut. Ibumu sudah mengurusnya sejak lama, jadi mesin torpor di rumah ini tak pernah lagi dicek oleh pihak berwenang."

Ah, akhirnya sebuah celah. Tak lupa aku berterima kasih pada Mel. Kuamati lagi daftar merah hingga paling bawah. Sejauh ini belum ada celah lain yang sesuaidengan harapan kami.

Tiga minggu berlalu. Aku tengah beranjak menuju ruang makan untuk sarapan ketika Nda memanggilku.

"Arindi! Bantu aku!"

Suara itu ... ruang kerja ibu! Aku lantas menaiki tangga dan mendekati asal suara. Di samping Arindi, Mel terlihat seperti kejang-kejang ringan.

"Prosedur seratus empat belas," ucapku. Cepat-cepat kubuka laci untuk meraih sarung tangan anti listrik. Aku mendapati dua pasang—satu pasang kulempar ke arah saudariku. Aku hendak membuka katup Mel di bagian punggung ketika tangan Nda menepisku.

Tubuhku sontak mematung.

"Kita bisa memanfaatkan kesempatan ini, Ndi. Kita bisa menyambungkan tangan Mel menuju server holo. Kita reset kata sandinya dan perintah apa pun dari kita akan dipatuhi. Setidaknya satu asisten berpihak pada kita."

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Arinda. Bukan itu yang seharusnya kita lakukan."

Mata Arinda kian menyipit. "Kenapa, kau takut?" Ia menyeringai. Rasanya seperti tengah bercermin mengingat ia kembaranku, tetapi kali ini ekspresi Arinda membuat bulu-bulu halus di tubuhku meremang. Bahkan dalam balutan piama serta wajah polos selepas bangun tidur, ia menatapku seolah aku adalah musuh besarnya. "Si Olivia toh lebih menyayangi robot sialan ini daripada kita! Aku bosan dianggap putri boneka, Ndi! Dianggap sebagai budak!"

"Kau salah, Arinda! Tindakan ibu mungkin terkesan menyimpang, tapi sebenarnya ia peduli—"

"Omong kosong!"

Nda bersikeras mendekatkan tangan Mel ke perangkat berwarna hitam di atas meja yang memproyeksikan holo. Aku menerjang, menjauhkan perangkat pipih itu menggunakan sebelah tangan sebelum kemudian mendekap benda itu kuat-kuat. Tubuhku lantas berguling sebelum kembali menapaki lantai.

"HENTIKAN!" sergahku. "Kumohon, Arinda!"

Beberapa helai rambut Nda terlepas dari kuciran, sedangkan rambutku masih aman di balik penutup kepala berbahan satin. Baiklah. Prosedur ke-128 siap kulaksanakan. Dengan napas terengah aku menekan tombol proyektor yang akan mengaktifkan mode pendaratan darurat sebelum melemparkannya ke luar jendela. Paling tidak, alat itu akan jatuh di sekitar rerumputan.

Arinda kian geram. Kedua tangannya menarik kain piamaku, barangkali ia hendak membanting tubuh ini ....

Napasku masih tak beraturan ketika helm putih diangkat dari kepalaku. Ruang pemulihan. Lagi.

Suara tepuk tangan terdengar dari sisi utara. "Kerja bagus, anak-anakku. Ibu sangat bangga pada kalian." Wanita itu tersenyum seraya menatap kami bergantian.

Aku hendak tersenyum pada Nda. Saling melempar 'senyum keberhasilan' dalam rangka selebrasi kecil patut dilakukan, tapi kami tetap harus hati-hati sekalipun tidak ada Mel dan Mo. Ibu lantas berdeham seolah akan memberikan pengumuman penting. Persis seperti sebelumnya, aku mencoba mengedipkan sebelah mata dengan kepala tertunduk—takkan kentara karena aku memiliki poni. Berhasil. Aku—ralat—kami tidak lagi berada dalam simulasi.

"Arindi dan Arinda. Kalian memang penerus ibu yang luar biasa. Sebagai wujud cinta ibu pada kalian, setelah kalian berusia dua puluh lima tahun Mel dan Mo akan mematuhi kalian berdua sebagai komando utama. Yeay! Semoga berita ini terdengar menyenangkan."

"Terima kasih banyak, Bu." Kami berdua berseru kompak.

Tersenyum. Mendekap. Tampak bersemangat. Aku dan Arinda sudah terlampau sering melakukannya. Entah apa maksud ibu membiarkan kami kelak menjadi komando utama Mel dan Mo, tapi firasatku mengatakan bahwa ibu memang memiliki rencana permainan yang lebih besar dan tak terduga.

Dengan keteguhan tekad serta kekompakan kami, aku dan saudariku tidak gentar sedikit pun. Melanjutkan sandiwara sebagai putri boneka tampaknya menjadi satu-satunya jalan agar kami menemukan titik terang. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro