Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

Malam itu adalah malam kurban untuk suku Amui. Sesuai kesepakatan dengan Susan kemarin, Peter, Borin, dan Anna pergi ke halaman desa—tempat para warga mulai berkumpul mengitari sebuah api unggun—dan bersembunyi di balik rerumputan tinggi. Susan juga tampak di situ duduk di barisan depan. Ketika semua sudah siap, seorang kakek tua—yang waktu itu juga muncul saat Ramos dan Gladys dimasukkan ke dalam kurungan—keluar dari gubuknya. Dengan memegang tongkat dan memakai hiasan kepala yang dipenuhi dengan bulu burung, ia tampak seperti seorang dukun.

Setelah diberi perintah oleh si kakek, beberapa orang pria suku yang bertelanjang dada menurunkan kurungan Ramos dan Gladys ke tanah. Keduanya hanya diam, pasrah menunggu nasib. Seorang warga suku membuka kurungan lalu menyeret mereka berdua keluar. Tidak ada perlawanan dari kedua anak itu. Tubuh mereka sangat lemah setelah beberapa hari tidak diberi makan.

"Kasihan tuan putri," gumam Anna pelan.

Ramos dan Gladys lalu diikat saling berpunggungan pada sebatang tonggak kayu yang sudah disiapkan di tengah halaman. Ritual pun dimulai. Empat orang menabuh genderang berirama nyaring diikuti oleh enam orang wanita suku yang menari-nari mengelilingi api unggun. Sang kakek tua pun maju dengan membawa seekor ayam lalu menyembelihnya. Ia mengoleskan darahnya pada dahi Ramos dan Gladys yang langsung mengernyit jijik.

Setelah itu, kakek tadi kembali duduk di bangkunya. Makanan pun disajikan dalam sebuah nampan bulat yang terbuat dari anyaman bambu. Sang dukun adalah orang yang berhak mengambil untuk pertama kali sebelum nampan itu diedarkan berkeliling. Seluruh warga makan bersama-sama dari situ menggunakan tangan. Dua orang lelaki maju sambil membawa obor lalu menyemburnya, menimbulkan kobaran api di udara. Sementara itu, para wanita terus menari.

"Apakah tak ada yang bisa kita lakukan?" rengek Anna. Hatinya sedih melihat Gladys diperlakukan dengan begitu kejam.

"Tak ada gunanya bertindak sekarang. Mereka akan menangkap kita dengan mudah," jawab Peter gusar.

Suasana terasa semakin panas dan mencekam. Gladys sama sekali tidak berani membuka matanya. Ia terus menerus menunduk sambil menitikkan air mata. Penyiksaan batin itu terus berlangsung selama sekitar satu jam. Ayah ibu... apakah aku akan mati? Hatinya menjerit ketakutan hingga akhirnya api unggun yang tadinya menyala terang kini telah padam menjadi abu dan arang.

Ritual telah selesai. Dua orang suku lalu melepaskan ikatan Ramos dan Gladys dari tiang. Mereka diarak oleh seluruh warga suku dengan membawa obor menuju ke arah timur. Peter, Anna dan Borin pun mengikuti arak-arakan itu dari kejauhan. Dalam perjalanan, Gladys terjatuh karena tubuhnya yang sudah begitu lemah. Anna mungkin sudah berlari untuk menyelamatkan tuan putrinya jika saja Peter tidak mencegahnya.

Mereka berjalan sekitar dua kilometer jauhnya hingga akhirnya tiba di sebuah sungai yang lebar. Sebuah perahu nampak tertambat di situ. Sang kakek dukun pun naik ke atasnya dan diikuti oleh dua orang warga suku yang membawa Ramos dan Gladys. Setelah semua naik, seorang pria kemudian menyusul dan mulai mendayung ke seberang.

Peter melihat ada sebuah tali panjang yang mengikat perahu itu ke sebuah tongkat yang tertancap di tempat asalnya. Entah untuk alasan apa, sepertinya tali itu digunakan untuk menarik kembali perahu ke tempat semula.

Di seberang sungai sangat gelap. Peter hanya bisa melihat siluet deretan pepohonan tinggi nan rindang. Anak itu merasakan aura misterius menguar begitu kental, membuat tubuhnya bergidik ngeri.

"Ke mana mereka akan membawanya?" tanya Borin pada dirinya sendiri.

"Ke hutan terlarang." Tiba-tiba Susan muncul di belakang mereka, membuat Peter terlonjak kaget. Ia hampir berteriak jika saja Borin tidak menutup mulutnya. Perempuan suku itu sudah siap dengan busur dan panah tersampir di punggung, serta sumpit tiup yang terselip di pinggang.

"Perkenalkan, ini kawanku, Pogna." Gadis suku itu memperkenalkan seorang lelaki berkulit gelap. Sebuah pisau terselip di pinggangnya, sementara tangannya menggenggam sebilah bambu runcing. Perawakannya hampir sama seperti Peter, hanya saja lebih berotot. Dari pandangan pertama, Anna menangkap kesan bahwa pemuda itu punya perasaan spesial terhadap Susan. Mungkin itulah yang membuatnya mendukung niat gila Susan untuk mendobrak tradisi suku Amui yang sudah berlangsung begitu lama.

"Lalu apa yang ada di seberang sana?" tanya Borin penasaran.

"Tenang dan lihatlah dulu." Susan berkata sambil berjongkok untuk mengurangi risiko terlihat oleh orang-orang suku yang masih berdiri di tepi sungai.

Dari situ, mereka dapat melihat Ramos dan Gladys dibawa turun dari kapal lalu diikat pada sebatang pohon yang ada di sana. Setelah itu, sang kakek dukun beserta dua orang warga yang tadi ikut menyeberang, bergegas menaiki perahu lagi untuk kembali ke kerumunan warga yang masih menunggu.

"Mengapa mereka ditinggalkan di sana?" Anna mencicit seperti ingin menangis. "Tuan putri pasti sangat ketakutan. Di sana gelap sekali."

"Apakah kita bisa menyeberangi sungai ini?" tanya Peter pada Susan.

"Tidak tanpa perahu itu," jawab Susan singkat

"Sungai itu dipenuhi buaya," tambah Pogna kemudian.

Kini Peter mulai menyadari bahwa benda yang disangkanya balok-balok kayu terapung itu sebenarnya buaya. "Satu... Dua... Tiga... Empat..." Borin mulai menghitung jumlah binatang reptil itu. "Apakah buaya-buaya itu tidak mengganggu warga? Mengapa kalian tidak menangkap dan membunuhnya saja?"

"Buaya itu adalah binatang peliharaan sang dewa. Kami tidak boleh membunuhnya kecuali jika ada yang tersesat dan menyerang desa," jelas Pogna.

"Lalu untuk apa tali itu?" Peter mempertanyakan seutas tali panjang yang mengikat perahu.

"Untuk menarik perahu kembali," sahut Susan.

"Jika sedang kurang beruntung, mereka semua yang ada di atas perahu itu belum tentu bisa bertahan hidup," tambah Pogna lagi.

"Apa maksudmu?" tanya Peter dengan nada sedikit tinggi.

"Lihat saja. Kau akan segera tahu." Susan kemudian menempelkan telunjuknya dekat bibir, memberi isyarat agar Peter diam.

Setibanya kembali di kerumunan warga, sang kakek dukun turun dari perahu, lalu memimpin rombongan warga kembali ke perkampungan. Tugasnya memimpin ritual telah selesai. Sang pendayung perahu menjadi orang terakhir yang pergi setelah memastikan perahunya tertambat dengan aman.

"Apakah kita bisa menyeberang sekarang?" tanya Anna. Ia merasa begitu sedih melihat Gladys terikat tak berdaya di seberang sungai sambil menangis ketakutan.

"Tunggu dulu. Lihat itu," sahut Susan sambil menunjuk ke seberang sungai. Sesosok makhluk bermoncong seperti buaya tiba-tiba muncul dari kegelapan. Kulitnya berwarna hijau dan ia berdiri dengan dua kaki layaknya manusia. Makhluk itu berjalan mendekati Gladys dan Ramos yang terikat. Jerit ketakutan kedua kakak beradik itu pun terdengar dengan jelas dari tempat Peter dan kawan-kawannya mengintai.

"Makhluk apa itu?" suara Borin bergetar karena ngeri. Sementara Peter mengusap-usap matanya berulang kali karena tidak mempercayai apa yang sedang ia lihat. Namun, siluet itu begitu jelas. Perawakannya membungkuk dan sedikit lebih pendek dari manusia. Ia juga memiliki ekor yang panjang. Tak lama kemudian, muncul dua ekor lagi dari balik kegelapan. Mereka membawa tombak panjang layaknya prajurit.

"Kami mengenalnya sebagai kobold. Makhluk setengah manusia setengah buaya," jelas Susan. "Jika sedang kelaparan, makhluk itu akan menjadi buas dan menyerang siapapun yang menginjakkan kaki di hutan terlarang. Itu sebabnya perahu harus diikat agar jika mereka semua yang pergi menyeberang mati dimangsa, kami dapat menarik kembali perahunya."

"Menurut tradisi, mereka adalah pasukan dewa," jelas Pogna lebih lanjut. "Merekalah yang akan mengantarkan kurban kepada dewa."

"Maksudmu, jika ingin menyelamatkan Ramos dan Gladys, kita harus berhadapan dengan mereka?" Peter menegaskan apa yang baru saja ia dengar. Susan dan Pogna menjawab dengan mengangguk berbarengan.

"Lalu ada berapa banyak dari mereka?" tanya Borin lebih lanjut.

"Aku tak tahu. Menurut legenda yang diceritakan turun temurun, jumlah mereka banyak. Namun, tentu saja tak pernah ada yang mengetahuinya dengan pasti. Tak satupun dari kami berani menyeberang." Susan bercerita panjang lebar, sementara ketiga ekor kobold itu membawa Ramos dan Gladys masuk ke dalam hutan. Tangis mereka pun lama kelamaan menghilang ditelan pekatnya kegelapan malam.

"Ini mustahil! Kita hanya lima orang biasa. Bagaimana mungkin dapat mengalahkan banyak monster bersenjata seperti itu?" sergah Peter gusar.

"Kita bukan hanya orang biasa. Ada seorang petarung dan dua orang penyihir di sini." Susan tiba-tiba menyanggah pernyataan Peter. Semua orang pun diam sambil melongo keheranan. Apa maksud Susan berkata seperti itu? Seorang petarung yang ia maksud pastilah Pogna. Peter dapat mengetahui hal itu dengan melihat tubuhnya yang kekar.

Lalu dua orang penyihir? Apakah ia tahu kalau Anna adalah seorang penyihir? Dari mana ia mengetahuinya? Jika memang ia tahu, siapa satu orang penyihir lainnya? batin Peter.

Anak itu tahu kalau dirinya adalah putra dari seorang penyihir, tapi ia sama sekali tidak tahu bagaimana cara menggunakan sihir. Begitu pun dengan Borin. Ia yakin bahwa sahabatnya itu hanyalah seorang remaja gendut biasa. Apakah Susan atau Pogna adalah seorang penyihir? Begitu banyak pertanyaan bermunculan dalam kepala Peter, membuatnya linglung.

"Siapa yang penyihir?" tanya Borin dengan polosnya.

"Jadi kau belum tahu?" Susan pun menatap mata Anna dalam-dalam sebagai sebuah isyarat. Ia berharap perempuan itu bersedia mengungkap identitasnya sendiri.

"Ya aku adalah seorang penyihir." Anna tak bisa lagi menyembunyikan rahasianya.

"Maafkan aku harus membongkar identitasmu. Tapi, agar bisa saling percaya, kita tidak boleh menyimpan rahasia satu sama lain. Kita juga harus saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing agar dapat bekerjasama dengan baik." Susan berbicara kepada kawan-kawan barunya.

"Tak apa. Cepat atau lambat kalian semua akan mengetahuinya," jawab Anna, lalu senyumnya mengembang. "Aku justru merasa lega tak perlu menyembunyikan apa-apa lagi dari kalian. Tapi dari mana kau bisa tahu?" Anna mewakili pertanyaan dalam benak Peter.

"Ya, aku juga seorang penyihir," jawab Susan kalem. "Aku bisa membaca pikiran."

"Benarkah? Coba tebak apa yang sedang kupikirkan?" tanya Borin sambil memikirkan daging panggang kesukaannya.

"Aku tak bisa begitu saja membaca pikiranmu. Setidaknya belum bisa. Aku masih harus melakukan kontak secara fisik dan merapal mantra untuk bisa menyelami otakmu. Maafkan aku sudah lancang memasuki area pribadi kalian saat pingsan kemarin." Susan lalu memegang tangan Anna lembut. "Aku turut sedih atas masa lalumu."

"Terima kasih," sahut Anna lirih.

"Apakah kau pernah membaca pikiran kakek dukun itu? Mungkin ia mengetahui sesuatu mengenai sang dewa atau para pasukannya?" Peter berusaha mencari petunjuk lain.

"Ya, aku pernah melakukannya dulu saat berusaha melepaskan nenekku. Dewa itu sering menampakkan diri kepadanya dalam wujud seperti cahaya lidah api," kata Susan serius. "Ia biasanya meminta kurban setiap pergantian musim seperti sekarang ini. Atau ketika terjadi bencana alam seperti kemarau panjang maupun gempa bumi."

"Lalu apa yang terjadi jika sukumu tidak mengirimkan kurban?"

"Para kobold itu akan datang untuk mengambil sendiri kurbannya. Tidak hanya satu, namun berapa pun yang mereka suka." Pandangan Susan menerawang menatap rembulan seperti mengenang sebuah peristiwa yang telah lampau. Mereka pun terdiam dalam kesunyian yang mencekam.

Dewa berbentuk cahaya lidah api dan sepasukan kobold yang mengerikan. Semuanya terasa begitu ajaib bagi Peter. Sama ajaibnya seperti dunia sihir yang dulu hanya terasa seperti sebuah dongeng ternyata adalah sesuatu yang benar-benar nyata dan hidup.

"Lalu apakah kita akan menyeberang?" Anna memecah keheningan tak mengenakkan itu.

"Ya, kurasa kita tak punya petunjuk lain," jawab Susan tegas.

"Baiklah kalau begitu." Meski masih sedikit ragu, Peter merasa malu dengan Anna dan Susan, yang sebagai seorang wanita, justru lebih berani. Rombongan itu pun bergerak perlahan, keluar dari tempat persembunyiannya dan mendekati perahu yang tertambat di tepi sungai. Mereka harus berjalan dengan hati-hati agar tidak mengganggu seekor buaya yang tertidur di situ.

Setelah semua naik, Pogna pun mulai mendayung perlahan. Perahu itu meluncur dengan tenang melewati beberapa ekor buaya yang tampaknya tak memedulikan kehadiran mereka.

Cahaya bulan purnama terpantul indah di permukaan air sungai yang tenang. Angin malam yang dingin berembus menyapa, menggoyangkan helai-helai rambut mereka. Para remaja itu terdiam, larut dalam pikirannya masing-masing sambil menerka-nerka misteri apa yang menunggu di hutan terlarang.

Setibanya di seberang sungai, Susan memimpin rekan-rekannya turun perlahan dari perahu dan melangkah masuk ke dalam gelapnya hutan. Mereka berjalan mengikuti jejak kaki yang ditinggalkan Ramos dan Gladys. Hutan terlarang tampak sama seperti hutan tropis pada umumnya dengan banyak pepohonan tinggi nan rindang. Suara burung hantu yang terdengar bersahut-sahutan membuat bulu kuduk meremang.

Cahaya di situ sangat minim karena rimbunnya vegetasi. Sinar lembut sang rembulan tak mampu menembus rapatnya bebayang ranting-ranting bercabang. Anak-anak itu pun harus terus membesarkan pupil mata mereka hanya untuk dapat berjalan tanpa tersandung akar-akaran. Meski tak yakin lagi ke mana arah yang benar, mereka terus melangkah. Jejak kaki yang tadi mereka ikuti kini telah lenyap tak nampak lagi.

"Nampaknya kita hanya berputar-putar." Pogna mengenali goresan di pohon yang dibuatnya sambil berjalan tadi.

"Ya, sepertinya kita sudah kehilangan jejak," simpul Borin.

"Kita beristirahat di sini saja dulu. Tubuhku juga sudah lelah." Susan mengajak kawan-kawannya duduk di bawah sebuah pohon rindang.

"Baiklah, aku akan berjaga lebih dulu." Peter menawarkan diri.

"Aku akan menemanimu." Anna tersenyum lalu duduk di sebelah Peter.

Suasana malam itu terasa kosong. Tak ada percakapan yang terjadi. Entah karena semua sudah merasa lelah, atau karena atmosfer hutan yang memunculkan suatu sensasi penuh misteri. Sepertinya anak-anak itu sepakat, kalau sedikit suara dapat berisiko membangunkan monster-monster hutan, atau makhluk apa pun yang mungkin sedang bersembunyi di balik rimbunnya vegetasi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro