Bab 6
Pagi itu, Ramos baru saja terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Udara dingin dan basah menusuk kulitnya yang putih pucat. Ia pun menggosok-gosokkan kedua tangannya di bahu untuk menghangatkan tubuh seraya menengok ke luar untuk melihat situasi.
Hutan belantara terhampar seluas mata memandang. Tak ada kehangatan perapian, pun pelayan yang mengantarkan sarapan ke kamarnya. Sungguh sesuatu yang tak pernah terlintas di benak Ramos selama hidupnya yang serba mewah. Awan kelabu menyelimuti angkasa, menghalangi terik mentari yang telah beranjak dari peraduannya. Ramos mengusap wajahnya sambil menghembuskan napas panjang. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain menerima keadaan dan tetap berusaha bertahan hidup.
Sementara itu, Gladys tampak masih terlelap. Bekas air mata yang telah mengering tampak samar di pipinya yang tirus. Ramos pun menepuk pundak adiknya untuk membangunkannya. "Persediaan makanan sudah habis. Ayo kita pergi berburu."
Merasakan goncangan pada tubuhnya, Gladys mengerjapkan mata, meregangkan tubuhnya, lalu menguap sejenak. "Ugh ... apakah sudah pagi?" tanyanya. Hamparan awan kelabu yang mengurangi intensitas cahaya matahari membuat gadis itu merasa bahwa hari masih gelap.
"Ya, hanya mendung," sahut Ramos singkat lalu mengambil sebilah tongkat runcing yang sudah disiapkan Eric sebelum pergi meninggalkan pulau. Gladys pun mengusap wajah lalu bangkit untuk menyusul kakaknya yang sudah beranjak dari tenda mereka. Eric berpesan pada keduanya untuk tetap bersama setiap kali pergi mencari makanan supaya dapat saling membantu seandainya ada kemalangan yang menimpa.
Kakak beradik itu pun berjalan beriringan, masuk ke dalam hutan yang masih basah oleh embun pagi. Setelah beberapa hari hanya makan buah, sayur, serangga, dan umbi-umbian, kini mereka berharap bisa mendapatkan binatang buruan sebagai asupan protein. Setelah berjalan beberapa lama, Gladys melihat beberapa ekor kambing di balik semak.
"Lihat di sana," bisik anak perempuan itu.
"Tunggu di sini. Aku akan menangkap salah satunya." Ramos berjalan mengendap sambil menggenggam erat tongkat runcingnya. Selangkah demi selangkah, ia bergerak mendekati binatang buruannya.
Namun karena kurang hati-hati, tiba-tiba Ramos jatuh terperosok ke dalam sebuah lubang perangkap yang tertutup ranting-ranting. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, karena terlalu fokus pada buruannya, ia lupa untuk memperhatikan langkahnya. Kambing-kambing itu pun lari berhamburan.
"Oh tidak!" Gladys terperanjat melihat kakaknya terjatuh. Gadis itu bergegas berlari mendekati lubang perangkap untuk melihat kondisi Ramos.
"Aduuh ...." Ramos merintih kesakitan sambil memegangi kakinya yang terkilir dan berdarah karena tergores ranting.
"Tunggu di situ! Aku akan menarikmu keluar." Gladys bergegas mencari akar-akaran yang ada di sekitar situ.
"Pegang dengan erat!" Sang adik melemparkan sebuah sulur panjang untuk menarik kakaknya keluar. Ramos pun melilitkan sulur itu ke tangannya lalu mencoba memanjat ke atas. Setelah berhasil naik beberapa langkah, tiba-tiba sulur itu patah dan mengempaskan tubuhnya kembali ke tanah.
"Aargh!" erang Ramos kesakitan. "PILIH SULUR YANG KUAT!! DASAR BODOH!" umpatnya kasar pada adik perempuannya.
"Ma-maaf ...." Gladys bergegas pergi lagi untuk mencari sesuatu yang lebih kuat. Sebuah sulur yang ditemukannya putus ketika ia mencoba menarik-nariknya. Kekuatannya harus dipastikan terlebih dahulu, pikirnya.
Tak mendapatkan apa yang ia cari, gadis itu pun bergegas mendekati sejulur akar lainnya. Namun malang, ketika telapak tangannya menggengam, ia merasakan perih yang amat sangat. Ternyata ada duri-duri kecil di sepanjang sulur itu. "Aduuh ...." Gladys meringis. Air matanya menetes karena menahan sakit. Ia pun harus berjuang lagi, mencari akar-akaran yang lain dengan telapak tangannya yang lecet.
Setelah berusaha keras, akhirnya Gladys menemukan satu yang cukup kuat. Ia bergegas menyeretnya kembali ke lubang perangkap lalu melemparkannya ke bawah. Perempuan itu pun menyuruh kakaknya untuk berpegangan ke situ. Dengan tangan yang penuh luka, Gladys harus memegang erat akar yang digunakan kakaknya untuk naik.
Perjuangan mereka akhirnya membuahkan hasil. Ramos berhasil keluar dari lubang dengan susah payah.
"Lama sekali kau!" Alih-alih berterima kasih kepada adiknya, Ramos justru mengeluh, membuat Gladys hanya bisa terduduk sambil menyeka air matanya yang mengalir semakin deras.
"Sudah diamlah! Akan kucarikan air untuk mencuci lukamu." Ramos berbicara kasar. Gengsinya terganggu karena harus ditolong oleh seorang perempuan yang dianggapnya cengeng. Bukan hal mudah bagi anak laki-laki itu untuk mengubah perangainya. Meski selama beberapa minggu Arden telah membimbingnya, dalam situasi genting, sifat aslinya kembali lagi.
Ramos pun beranjak pergi mencari sumber air. Namun, belum sempat berjalan jauh, langkahnya harus terhenti karena seseorang berkulit gelap dan bertelanjang dada tiba-tiba muncul menghadangnya. Ia menggenggam sebilah bambu yang ujungnya tajam karena telah dipotong miring. Pikiran Ramos untuk melawan sirna seketika dua orang lagi muncul—juga dengan senjata terhunus. Ia pun menengok kepada adiknya dan menemukan dua orang lain di situ, mengepung Gladys yang sudah tak berdaya lagi.
"Berdiri!" Orang-orang asing itu menarik Gladys dengan kasar lalu mengikat kedua tangannya. Tali yang sama juga digunakan untuk mengikat Ramos. Mereka pun menggelandang kedua kakak beradik itu pergi.
Sementara itu, Peter, Anna, dan Borin yang sedang menjelajah di sekitar situ, terkejut karena mendengar keributan. Mereka pun berjalan mendekat sambil mengendap untuk mengetahui apa yang terjadi.
Ketika melihat Gladys diperlakukan dengan kasar, Anna langsung memohon kepada teman-temannya untuk menolong. "Mereka jahat sekali, kita harus menolong Nona Gladys," pinta Anna.
Namun, melihat orang-orang berkulit gelap itu bertubuh kekar, Peter dan Borin merasa sangsi. "Bagaimana kita bisa mengalahkan mereka?" decit Borin ketakutan. Ia lebih suka untuk tetap tinggal di persembunyiannya.
"Tapi bagaimana dengan Nona Gladys? Ia pasti sangat ketakutan." Suara Anna terdengar putus asa. Ia tahu bahwa kekuatan mereka tak sebanding dengan lima orang bertubuh kekar itu.
"Sihir saja mereka," ucap Peter spontan, yang langsung dibalas Anna dengan sebuah lirikan kemarahan. Sementara itu Borin tampak keheranan.
"Err ... maksudku seandainya saja kita bisa menyihir mereka." Peter beralasan.
"Ayo cepat! mereka mulai menjauh." Anna bergerak perlahan mengikuti ke mana mereka membawa Ramos dan Gladys. Peter dan Borin pun terpaksa mengekor di belakangnya.
Setelah berjalan cukup jauh menembus hutan, mereka akhirnya tiba di sebuah perkampungan. Anna dan teman-temannya tak bisa mendekat lebih jauh lagi karena di situ adalah tanah lapang. Tak ada lagi tempat yang bisa digunakan untuk persembunyian.
Dari kejauhan, mereka hanya dapat menyaksikan orang-orang asing tadi memasukkan Ramos dan Gladys ke dalam sebuah kurungan kayu lalu menggantungnya pada sebuah pohon. Tampak seorang kakek tua keluar dari salah satu gubuk dan berbincang dengan kelima orang tadi. Tak ada percakapan yang dapat mereka dengar dari jarak sejauh itu.
"Kita harus mendekat ke sana." Anna berdiri dari tempat persembunyiannya untuk menuju ke perkampungan. Namun, belum sempat melangkah, tiba-tiba ia merasa seperti ada sesuatu yang menusuk lehernya. Secara refleks, Ia pun meraba bagian yang kini terasa gatal itu. Sesuatu semacam jarum telah menancap di situ.
"Apa ini?" tanya Anna keheranan. Belum sempat mendapat penjelasan, tiba-tiba kepalanya terasa pening dan kesadarannya menurun. Tak lama kemudian, ia pun jatuh tersungkur ke tanah—tak sadarkan diri.
"Anna ... Anna ...." Peter yang keheranan menepuk-nepuk pipi Anna, berusaha membangunkannya. Namun, usahanya sia-sia belaka. Tak lama kemudian, hal yang sama terjadi juga pada Borin. Ia jatuh tak sadarkan diri beberapa saat setelah sebuah jarum kecil menancap di lehernya.
Peter mulai curiga dan melihat ke sekelilingnya untuk mencari siapa yang menembakkan jarum bius itu. Ia menemukan sesosok perempuan berdiri agak jauh di belakangnya sembil memegang semacam seruling di mulutnya.
"Hei siapa kau?!" teriak Peter. Namun terlambat. Sebuah jarum telah ditembakkan dan melesat menyasar lehernya. Oh tidak. Peter hanya mampu berteriak dalam hati. Sama dengan kedua kawannya, sebentar kemudian, ia pun kehilangan kesadaran dan jatuh terjerembab ke tanah.
***
Sementara itu, Eric dan Berinon terus berjuang sekuat tenaga mendayung sekoci ke arah barat. Semakin lama berada di laut berarti risiko kematian yang semakin besar. Beruntung, pada hari kelima, mereka akhirnya tiba di sebuah kampung nelayan di Pulau Nohr. Suasana di sana cukup ramai dengan banyak kapal tertambat. Para nelayan tampak sibuk menurunkan hasil tangkapan mereka.
"Kerang, tiram, cumi, udang!!" terdengar beberapa orang berteriak menawarkan barang-barang dagangannya.
Setelah makan dan beristirahat sejenak, keduanya pun pergi berkeliling untuk mencari kapal yang dapat digunakan untuk menyelamatkan Ramos dan Gladys.
"Apakah kau bisa berlayar ke timur?" tanya Eric pada salah seorang pelaut.
"Maksudmu ke timur yang di sana?" sahut pelayan itu menunjuk ke arah timur.
"Tentu saja. Kau pikir ada timur yang lain?" sahut Berinon tak sabar.
"Tidak, tidak. Aku dengar ada banyak karang di sana."
"Tolonglah, tuan muda kami terdampar di sana," pinta Eric.
Pelaut itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menyahut ketus, "Berapa banyak yang kau punya?" Eric mengeluarkan lima koin perak dan dua koin emas dari kantongnya.
"Hanya ini," sahut Eric. Semua perbekalan yang ia bawa telah tenggelam bersama puing-puing kapal.
Pelaut itu menutup mulut untuk menahan tawa. "Hanya itu? Sekalipun kau punya satu peti emas, aku tetap tak mau pergi ke timur. Sudah banyak kapal yang tenggelam karena menabrak karang di sekitar sana." Pelaut itu menolak pemberian Eric, lalu menatap pada Berinon. "Bukankah kau juga seorang kapten kapal? Sepertinya aku pernah melihatmu berlayar."
"Ya, kapalku juga tenggelam di sana," sahut Berinon apa adanya.
Jawaban itu sontak membuat pelaut asing tadi tertawa terbahak lalu berkata, "Seorang kapten yang tak punya kapal, ingin memakai kapal orang lain agar bernasib sama seperti miliknya? Sungguh bodoh!" Ia pun tertawa lebih keras lagi.
Tak terima diejek, Berinon terpancing emosinya dan merangsek ke depan untuk meninju wajah sang pelaut. Beruntung Eric masih sempat mencegahnya. "DASAR MANUSIA SIALAN!!" teriak Berinon marah. Sementara itu, Eric berusaha keras menariknya pergi dari situ.
"Ini tidak akan berhasil!" ujar Berinon gusar sambil menenggak segelas anggur. Mereka kini berada di sebuah kedai. Eric sengaja mengajak rekannya ke situ untuk mendinginkan kepala.
"Ya, sepertinya begitu." Sang kesatria tak bisa membantah. Sudah beberapa pelaut yang ia temui, semuanya menolak meminjamkan kapalnya dengan bayaran berapa pun. "Tampaknya kita harus pergi ke Kingsfort untuk menemui Tuan Gideon. Dia pasti bisa membantu mendapatkan kapal." Eric menyampaikan usulnya.
Keduanya pun terdiam sambil menyesap anggur dari gelasnya masing-masing. Tiba-tiba terdengar suara seseorang berteriak memanggil Berinon. Seorang pria bertubuh kurus pendek tampak berjalan mendekat sambil tersenyum.
"Ogier?!" Berinon bangkit berdiri lalu memeluk pria yang ternyata adalah kawan lamanya itu. "Bagaimana kabarmu sekarang? Perkenalkan, ini kawanku Eric." Setelah memperkenalkan sang kesatria Fortsouth, ia duduk kembali dan mempersilakan Ogier untuk ikut bergabung bersama mereka.
"Baik ... baik sekali .... Setelah meninggalkan dunia pelayaran, aku memulai usaha kedai dan penginapan ini." sahut Ogier yang ternyata adalah pemilik tempat itu. "Kau sendiri? Bagaimana kabarmu sekarang?"
Berinon menggeleng lalu menyahut. "Nasibku buruk. Aku kehilangan kapalku." Ia pun menceritakan kemalangan yang menimpanya. Ogier tampak bersimpati namun juga tak bisa berbuat apa-apa.
"Maaf, aku tak bisa membantu karena aku pun tak memiliki kapal. Sudah lama sekali aku meninggalkan dunia pelayaran semenjak menjadi awak kapalmu waktu itu." Roda berputar, pria pendek yang dulu bekerja sebagai bawahan Berinon itu kini lebih berhasil dengan kehidupannya sebagai pengusaha kedai dan penginapan.
"Aku hanya bisa menawarkan minuman dan penginapan gratis malam ini. Atau jika kau bersedia, bekerjalah bersamaku dan gunakan hasilnya untuk membeli kapal lain." Ogier menepuk pundak Berinon. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk menjaga keamanan kedaiku. Belakangan ini para pencuri sering datang mengambil uangku." Ogier meneguk anggurnya lalu berkata lagi "Pikirkanlah dahulu malam ini." Pria kecil itu pun kemudian pergi untuk mengurus hal yang lain.
Malam itu, mereka beristirahat di penginapan Ogier. Berinon belum juga tertidur meski saat itu sudah hampir tengah malam. Ia masih memikirkan tawaran dari Ogier untuk bekerja bersamanya. Kini ia sudah tak memiliki apa-apa lagi. Pergi ke Kingsfort bersama Eric juga sepertinya terlalu berbahaya. Meski bisa bertarung, kemampuannya menggunakan senjata tidak sebanding dengan seorang kesatria.
"Jadi kau ingin tinggal di sini?" Eric nampaknya memahami pikiran Berinon dari tatapan kosongnya.
"Ya, kurasa begitu," sahut Berinon dengan suaranya yang berat.
Eric terdiam beberapa saat sebelum menyahut, "Baiklah kalau begitu .... Aku bisa mengerti." Suaranya terdengar tenang. "Sejak awal aku pun sadar bahwa semua ini adalah tanggung jawabku. Akulah yang sudah bersumpah setia pada keluarga Fernir. Sementara kau hanyalah seorang pelaut yang mendapat imbalan atas jasa pelayaranmu. Aku sangat berterima kasih karena kau, aku bisa tetap hidup sampai sekarang."
"Terima kasih kawan," sahut Berinon pelan.
Keesokan paginya, Eric pun mempersiapkan segala sesuatu yang akan dibawanya. Namun, ada satu hal penting yang tidak ia miliki—seekor kuda. Perjalanan ke Kingsfort masih jauh. Bahkan dengan menunggang kuda sekalipun, akan dibutuhkan waktu sekitar delapan hari. Dalam kebingungannya, Berinon muncul bersama Ogier dengan seekor kuda berwarna cokelat.
"Ini untukmu." Berinon menyerahkan kuda itu kepada Eric. "Ogier yang membelikannya tadi."
"Dan kau akan membayarnya dengan bekerja selama sebulan," sahut Ogier. Sementara Berinon hanya bisa tersenyum kecut.
"Bawa ini juga untuk bekalmu di perjalanan," ujar Ogier seraya menyerahkan sekantung emas pada Eric.
"Terima kasih banyak, Kawan. Aku akan membalas ini nanti setelah misiku berhasil." Eric memeluk Berinon dengan erat lalu menjabat tangan Ogier. "Senang mengenalmu." Sang kesatria itu memberikan salam perpisahan lalu menunggangi kudanya pergi berderap ke ibukota.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro