Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Merpati pembawa pesan itu diterima oleh Arden pada suatu siang. Tanpa membuka segelnya, ia bergegas menyampaikan surat itu kepada Ramos. Isinya singkat saja tetapi berhasil membuat sang tuan muda berseru kegirangan.

Untuk anakku Ramos,

Sang raja ingin menemuimu. Berangkatlah ke Kingsfort bersama Gladys dan Eric. Ia yang akan menjaga kalian selama perjalanan.

Tertanda,

Gideon

"Ini hebat! Kapan kita bisa berangkat?" Ramos bersorak seperti anak kecil yang mendapatkan sekotak permen.

"Dua hari lagi. Persiapkan segala sesuatu yang kau butuhkan," jawab Arden singkat lalu segera berlalu. Ia bermaksud menyampaikan pesan Tuan Gideon itu pada Eric dan Gladys.

Sementara itu, Peter seolah kehilangan semangat berlatihnya. Dalam beberapa hari terakhir, kemampuannya seperti tidak berkembang. Pikirannya dipenuhi oleh misteri kematian sang ayah. Ia tidak habis pikir mengapa ayahnya, yang semasa hidup memiliki reputasi baik, bisa berubah menjadi seorang pengkhianat.

Muriel, ibu Peter, juga sama tidak percayanya. Meskipun begitu, dia tak punya pilihan. Tak ada bukti yang mendukung bahwa suaminya telah difitnah. Ia pun terpaksa menerima hidupnya sebagai seorang pelayan. Gideon yang menggantikan kakaknya sebagai penguasa Fortsouth cukup baik untuk tidak menghukum mati Muriel. Ia berpendapat bahwa tidak seharusnya menimpakan kesalahan seseorang kepada istri dan anaknya.

"Kita akan berangkat ke Kingsfort dalam dua hari." Eric memberitahu Peter di sela-sela latihannya yang tidak fokus.

"Apakah aku harus ikut?" Peter merasa tidak nyaman harus berada dekat dengan Ramos selama perjalanan.

"Yah ... kurasa kau membutuhkan penyegaran. Terus berada di sini tidak akan membawamu ke mana-mana. Mungkin ada petunjuk mengenai ayahmu yang bisa kau dapatkan di ibu kota."

Peter terdiam sejenak. Tatapannya menerawang ke kejauhan.

"Hmm ... baiklah." Pada akhirnya pemuda itu menyahut lirih. Meski tidak yakin sepenuhnya dengan apa yang dikatakan Eric, ia merasa hal itu ada benarnya juga. Tetap berada di Fortsouth hanya akan membuatnya semakin terpuruk. 

Setelah itu, ia pun membantu tuannya mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa ke ibu kota.

"Jika ayahku seorang penyihir, mungkinkah aku juga seorang penyihir?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Peter.

"Mungkin saja. Aku tidak tahu," jawab Eric singkat.

Pada sore harinya, usai membantu Eric mempersiapkan segala sesuatu, Peter diajak oleh ibunya berkunjung ke makam ayahnya. Mereka berdua pun pergi keluar dari kota menuju sebuah tanah lapang. Di sana terdapat banyak batu nisan bertuliskan nama-nama orang yang dimakamkan.

Suasana hening. Hanya terdengar suara burung gagak yang sesekali menggaok. Peter mengikuti ibunya menyusuri jalan setapak dan tiba di sebuah batu nisan yang sederhana. Di situ tertulis :

Hans Cornell

785-820

Peter terdiam sejenak, tangannya terkepal erat sementara matanya terpejam. Anak itu jelas merindukan sosok seorang ayah.

"Mintalah perlindungan untuk perjalananmu besok," bisik Ibu Muriel. Peter hanya menurut saja meski sebenarnya ia sama sekali tak percaya bahwa orang yang sudah mati bisa melindunginya. Angin pun bertiup lembut membelai wajahnya yang tertunduk di hadapan makam sang ayah. Berbagai macam spekulasi mengenai apa yang terjadi saat kematiannya kembali berputar-putar dalam benak Peter.

Beberapa saat kemudian, anak itu mendesah berat lalu melingkarkan tangannya di tubuh Muriel. Ia bisa melihat sudut mata ibunya tampak basah. Kehilangan seorang suami di saat kelahiran anaknya, ditambah tudingan pengkhianat yang harus dipikul seorang diri sama sekali bukan beban yang ringan untuk seorang wanita.

"Terima kasih, Bu," bisik Peter pada sang ibu.

Muriel pun membalas pelukan putranya. "Terima kasih juga untuk menjadi anak kebanggaan ibu." Keduanya pun berpelukan erat selama beberapa saat sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke kastel karena hari sudah mulai gelap.

Rona jingga yang mewarnai langit senja pun menemani perjalanan kedua ibu dan anak itu kembali ke kota.

Malam itu, Borin dan Peter mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa. Tak ada yang istimewa. Hanya beberapa helai baju.

"Untunglah kau juga diajak oleh Eric, jika tidak aku akan kesepian di sana," ujar Borin sambil memasukkan sehelai bajunya yang sudah kumal ke dalam sebuah buntalan kain. Sebagai seorang pelayan, ia harus ikut ke mana saja tuannya pergi.

"Setidaknya kita masih bisa bersama," sahut Peter sambil tersenyum tipis. "Apakah dia akan ikut juga?" Peter melirik ke arah perempuan berkerudung di seberang ruangan.

"Ya, sepertinya begitu. Kudengar ia akan menemani Nona Gladys. Menjadi satu-satunya wanita selama perjalanan tidak akan menyenangkan bagi sang putri."

Mendengar itu, Peter merasa cukup baik. Paling tidak, sahabat karibnya, bersama seseorang yang menarik hatinya, akan ada di dekatnya selama beberapa waktu.

"Istirahatlah, Nak. Besok kau akan pergi pagi-pagi sekali," pesan Muriel pada anaknya.

"Baik, Bu ...," jawab Peter lirih seraya memejamkan matanya. Meski tubuhnya lelah, anak itu tak kunjung terlelap. Hatinya berdebar terlalu kencang dan pikirannya melayang kemana-mana. Ini akan menjadi petualangan pertamanya pergi dari Fortsouth. Ia heran dengan sahabatnya Borin yang begitu mudahnya sudah tertidur sejak tadi.

Hari keberangkatan pun tiba. Peter dan Borin membantu membawakan barang-barang ke atas kapal. Entah apa yang dibawa Ramos sehingga Peter harus kepayahan membantu sahabatnya menggotong sebuah tas besar.

Setelah semua siap, sang kapten memberi aba-aba kepada petugas di darat untuk melepaskan tali tambang yang terikat pada sebuah tonggak kayu. Arden berdiri di dermaga untuk melepas kepergian mereka sambil melambaikan tangan. Dia akan bertugas memerintah Fortsouth untuk sementara waktu.

"Selamat pagi Tuan Ramos dan Nona Gladys. Aku Berinon, kapten kapal." Pria itu tampak mengerikan dengan jenggot tebal dan bekas luka di wajahnya. "Mari kuantar kalian ke kamar." Setelah menerima dua kantung koin emas dari Eric, sang kapten pun menawarkan pelayanannya pada Ramos dan Gladys.

"Baiklah, ayo kita berangkat." Berinon kemudian memberi aba-aba kepada para awaknya untuk segera mulai mendayung. Kapal itu pun bergerak perlahan meninggalkan Fortsouth menuju ke utara.

Kapal itu memiliki dua ruangan, satu untuk Gladys beserta pelayannya, satu lagi untuk Ramos, Eric dan Berinon. Sementara Peter, Borin dan awak kapal lainnya tetap tinggal di geladak.

Kapal terus bergerak semakin lama semakin jauh ke laut lepas. Goncangan ombak yang tadinya pelan, kini mulai terasa.

"Kembangkan layar!" Berinon yang sudah ratusan kali melaut tentu paham bagaimana angin dapat membantu mereka sampai ke tujuan lebih cepat.

Sementara itu, Peter duduk di geladak sambil merasakan semilir angin laut yang menyegarkan menerpa rambut hitamnya. Langit biru berbaur hamparan awan putih membentang tak berbatas seluas cakrawala. Sementara, burung camar terbang berkelompok mengisi kekosongan udara di angkasa.

Ternyata laut tidak semenyeramkan seperti cerita orang-orang, begitu pikirnya. Lain halnya dengan Borin, anak gemuk itu tampaknya sama sekali tidak bisa menikmati apa pun. Wajahnya justru pucat dan berkeringat.

"Ada apa denganmu?" tanya Peter dengan wajah khawatir.

"A-aku ...," belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Borin memuntahkan semua isi perutnya ke laut.

"Air ...." Ia baru bisa berkata setelah merasa agak lega.

Peter pun menyodorkan kantong air miliknya.

"Ia menderita mabuk laut," ujar Eric yang tiba-tiba muncul di geladak. "Ramos memanggilnya untuk membersihkan ruangan."

"Tapi ia sedang tidak sehat." Peter menyahut. "Biar aku saja."

"Apakah kau yakin?" tanya Eric dengan nada sangsi.

Peter hanya mengangguk pelan. Meski ia tahu kalau Ramos tidak akan menerimanya dengan baik, membiarkan Borin melakukan pekerjaannya hanya akan membuat kondisi semakin buruk.

"Baiklah, biarkan aku berbicara dengan tuan muda. Jika dia setuju, aku akan memanggilmu." Eric pun masuk ke dalam ruangan, sementara Peter berdiri menunggu di depan kamar. Matanya tertarik untuk melirik ke sebuah celah pintu yang terbuka sedikit di hadapannya.

Tiba-tiba si pelayan berkerudung keluar dari ruangan seberang, tepat di depan mata Peter. Selama sepersekian detik mereka berdua saling bertatapan. Mata perempuan itu cantik berwana cokelat terang. Dagunya kecil dan pipinya sedikit berisi terbingkai oleh rambut lurus sebahu. Bibir tipisnya tersenyum dan seketika Peter merasakan hatinya mencelos. Tak ada kata terucap selama beberapa saat yang canggung itu.

Sesaat kemudian, Nona Gladys keluar dari kamar dan berjalan diikuti oleh pelayannya menuju geladak kapal untuk sekedar menikmati pemandangan laut. Peter mengikuti kedua perempuan cantik itu dari sudut matanya.

"Baiklah, Ramos setuju menjadikanmu pelayan sementara ini." Eric yang tiba-tiba muncul membuyarkan lamunan Peter.

"Eh ... I ... iya ..." Peter menyahut tergagap lalu bergegas masuk ke ruangan Ramos.

"Permisi, Tuan, saya akan merapi-"

"Cepat lakukan saja!" potong Ramos dengan kasar.

Meski merasa dongkol, Peter tak punya pilihan. Ia harus segera bekerja membersihkan kamar sang tuan muda.

Kamar itu pengap dan temaram karena penerangan dari beberapa batang lilin. Jendela kecil yang ada di salah satu sisi ruangan lumayan menambah intensitas cahaya di situ. Tak mau mempedulikan hal lainnya, Peter bergegas mengambil sapu dan kemoceng lalu mulai bekerja membersihkan ruangan Ramos. Ia hanya ingin segera keluar dan kembali bersantai di geladak bersama Borin.

Sementara itu, pelayan Gladys yang berada di geladak, melihat Borin sedang kepayahan dengan mabuk lautnya. Ia pun meminta ijin kepada tuan putrinya untuk membantu. "Mohon ijinkan hamba membantunya, Tuan Putri. Kondisinya tampak buruk."

Setelah mendapatkan ijin, perempuan pelayan itu pun memberikan sekantong air kepada Borin yang nampak pucat pasi. "Minumlah, ini akan membuatmu lebih baik."

Tanpa pikir panjang, Borin segera meminum air pemberian si perempuan pelayan. Rasanya agak manis dan sedikit pedas. Cairan itu meluncur melewati kerongkongannya dan masuk ke dalam lambung, membuat perutnya terasa hangat.

"Terima kasih nona ...?" Borin menatap perempuan pelayan itu menanyakan namanya.

"Anna," jawab perempuan muda itu sambil tersenyum lembut

"Aku Borin."

"Ini simpanlah jika kau membutuhkannya lagi nanti." Anna menyerahkan kantung air miliknya.

"Air apa ini?"

"Air rebusan tanaman herbal. Aku biasa membawanya saat berpergian. Ini baik untuk mengurangi rasa mual," sahut Anna seraya pergi meninggalkan Borin beristirahat di situ.

Malam itu, Peter mengeluh mengenai pekerjaannya membersihkan kamar Ramos yang tidak membiarkan setitik debu pun tertinggal; sementara Borin, mengisahkan pertemuannya dengan Anna yang menolognya saat menderita mabuk laut.

Cerita sahabatnya itu segera membuat Peter merasa iri. Anak itu berharap, dialah yang mendapat kesempatan untuk berbincang berdua dengan Anna, alih-alih menyapu kamar pengap tuan muda arogan. Langit di atas lautan sangat indah bertabur bintang. Sesuatu yang setidaknya bisa mengurangi rasa kesal di hati Peter. Kedua sahabat itu pun tak butuh waktu lama untuk segera tertidur lelap.

Meski sering menghabiskan waktu di geladak pada hari-hari berikutnya, Peter tidak mendapat kesempatan berbincang berdua dengan Anna karena Gladys selalu ada di sampingnya. Anak itu juga tak punya alasan untuk bisa mendekati Anna.

Sementara itu, Borin sudah mulai terbiasa dengan goncangan kapal. Meski sesekali masih merasa mual, ia sudah dapat kembali bekerja melayani Ramos berkat air ajaib pemberian Anna.

Selama beberapa hari, pelayaran mereka berjalan mulus tanpa hambatan yang cukup berarti. Namun, pada suatu malam, sebuah kilatan cahaya petir tampak menyambar di kejauhan. Beberapa detik kemudian suara Guntur menyusul memecah keheningan.

"Sepertinya badai akan datang," gumam Berinon. Wajahnya menyiratkan gurat kekhawatiran. Ia pun segera melaporkan kondisi cuaca kepada Eric. Berinon tahu kapasitas kapalnya. Ia dapat melewati kondisi cuaca buruk dan badai biasa. Namun, apa yang baru dilihatnya bukanlah sesuatu yang sering ia hadapi. Akan dibutuhkan keberuntungan yang besar untuk dapat melewati malam itu. Berinon segera memerintahkan awak kapalnya untuk menutup layar.

Beberapa jam kemudian, angin mulai bertiup semakin kencang, disertai rintik-rintik hujan yang turun membasahi geladak kapal. Kilat menyambar-nyambar bersahutan dengan suara Guntur yang menggelegar. Kapal pun bergoncang ke sana kemari, semakin lama semakin kencang. Borin menjadi orang yang terakhir terbangun tatkala semua orang sudah menampakkan kecemasan luar biasa.

"Oh tidak ... kita akan tenggelam." Suara Borin tercekat.

Ombak yang tadinya hanya setinggi satu meter, kini telah mencapai hampir lima meter. Air laut pun menyembur masuk ke dalam geladak. "PEGANG ERAT APAPUN YANG BISA KALIAN PEGANG!" Berinon berteriak memberikan instruksi. Benar saja, tak lama kemudian, kapal oleng dengan sudut yang semakin tajam hingga hampir mencapai 90 derajat. Beberapa awak yang gagal menahan pegangannya pun jatuh terlempar ke dalam laut.

Selama hampir tiga jam, angin ribut dan hujan badai terus menerus menghajar tanpa ampun. Dalam sebuah hempasan yang dahsyat, pegangan Peter terlepas. Beruntung, tubuhnya tertahan oleh tiang layar. Ia merasa bersyukur meski punggungnya sakit luar biasa karena menghantam kayu keras. Tak ada waktu merintih, kapal sudah bergoyang ke arah lain dan melemparkan tubuhnya ke laut.

Jika Borin terlambat sedetik saja, Peter mungkin sudah jatuh tercebur. Sahabatnya itu berhasil menangkap Peter dan memegangnya erat sampai kapal kembali bergoyang ke arah sebaliknya. Dengan susah payah, kedua sahabat itu kembali ke geladak sambil berusaha bertahan melawan badai.

Namun, kondisi ekstrim yang terus berlangsung membuat Borin merasa amat lelah. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya sakit. Beberapa saat kemudian, ia pun jatuh pingsan. Peter terpaksa harus menahan tubuh sahabatnya agar jangan sampai terlempar ke tengah laut.

Peter sendiri sudah merasa amat kelelahan. Kaki dan tangannya kebas. Ditambah Borin, yang keselamatannya kini hanya tergantung padanya, Peter benar-benar merasa akhir hidupnya sudah dekat. Namun, anak itu menolak menyerah demi sahabatnya. Apa pun yang terjadi, tangannya tetap mencengkeram sekuat tenaga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro