Bab 11
Kala itu hari masih pagi. Sang surya baru saja merangkak naik dari peraduannya. Susan mengerjap-ngerjapkan matanya, terbangun karena sebuah sensasi dingin dan lunak menjalar di sepanjang tangan kanannya. Rasa kantuknya mendadak lenyap ketika ia mendapati seekor ular hitam melilit di situ.
Perempuan itu terkesiap dan berteriak spontan, "Aargh! Pergi! pergi!" Ia mengibas-ngibaskan tangan berusaha menjauhkan binatang melata itu dari dirinya. Namun, karena merasa terancam, reptil itu justru menyerang dan menancapkan taringnya ke lengan Susan.
"Aww!" teriaknya kesakitan. Pogna langsung terbangun, menangkap kepala ular itu, lalu melepaskan taringnya yang tertancap di lengan Susan.
Binatang melata itu cukup besar, dengan diameter sekitar tujuh sentimeter dan panjang mencapai lebih dari satu setengah meter. Agar tidak membahayakan yang lain, Pogna bergegas membunuhnya dengan memotong kepala ular itu menggunakan pisau miliknya.
Susan duduk di bawah pohon sambil memegangi lengannya yang sakit. Anna berjongkok di sebelahnya untuk melihat bekas luka gigitan ular tadi. Nampak dua buah titik merah berdarah, sementara kulit di sekitarnya memucat. "Oh tidak, ular tadi sepertinya beracun," gumam Anna.
"Dingin ...." Tubuh Susan menggigil. Racun itu nampaknya mulai bekerja dan menjalar ke seluruh tubuhnya dengan cepat.
"Regulum induscent." Anna merapal mantra sambil mendekatkan telapak tangannya pada luka di lengan Susan. Secercah sinar lembut berwarna hijau tosca pun nampak memancar, diiringi cairan berwarna merah kehitaman yang mengalir keluar dari kedua titik bekas gigitan ular tadi. Setelah beberapa saat, cairan yang tadinya hitam itu berangsur-angsur berubah menjadi merah segar. Susan kini merasa lebih baik. Ia tak lagi menggigil tetapi tubuhnya masih terasa lemah.
"Aku baru saja menyedot darahmu untuk mengeluarkan racunnya. Maka dari itu, kau akan merasa lemah. Volume darah yang mengalir dalam tubuhmu berkurang cukup banyak karena racunnya menyebar dengan cepat tadi," jelas Anna. "Saat ini kau sudah aman, aku sudah mengeluarkan seluruh racunnya. Tapi aku membutuhkan tanaman obat untuk membantumu pulih lebih cepat." Anna lalu berdiri dan bersiap pergi mencari tanaman yang ia maksud.
"Aku akan pergi bersamamu." Peter bergegas ikut berdiri. Meski ia sadar tak akan banyak membantu, membiarkan Anna pergi sendiri di tengah hutan membuatnya khawatir.
"Baiklah, aku akan menjaga Susan bersama Borin, sambil memanggang daging ular untuk kita makan." Pogna segera berusaha membangunkan Borin yang masih saja terlelap setelah semua kehebohan tadi.
Anna dan Peter mengangguk lalu beranjak pergi. Kondisi hutan di pagi hari terasa jauh lebih baik. Sinar matahari yang memancar menembus dedaunan membentuk sorotan-sorotan memanjang, membuat suasana menjadi lebih terang. Keduanya pun berjalan melewati rumput dan dedaunan yang masih basah oleh embun pagi.
Anna menjelaskan bahwa ada beberapa alternatif tanaman yang dapat dijadikan obat penambah darah. Beberapa di antaranya anggur, stroberi, bayam maupun kangkung. Setelah mendapat penjelasan, Peter pun ikut melihat-lihat sekelilingnya, berharap menemukan salah satu dari apa yang mereka cari.
Beberapa saat kemudian, tampaklah pohon anggur merah yang sedang berbuah di dekat situ. Keduanya pun mendekat dan bergegas memetikinya. "Kurasa ini cukup." Anna terlihat senang berhasil mendapatkan apa ia cari. Mereka lalu bergegas kembali ke tempat Susan beristirahat.
Anna berjongkok di sebelah Susan sambil menggenggam lima buah anggur yang baru saja ia petik. Ia pun kembali merapal satu kalimat mantra. "Truce sangerin." Secara ajaib, secercah sinar lembut berwarna merah muda memancar dari genggamannya. "Ini, makanlah." Anna pun menyodorkan anggur itu ke mulut Susan.
Kemampuan sihir Anna memang bukan omong kosong belaka. Stamina Susan berangsur membaik setiap kali ia memakan buah ajaib itu. Tenaganya pun pulih sepenuhnya usai menelan butir anggur yang kelima. "Terima kasih, aku berhutang nyawa padamu," ujar Susan sambil menggenggam tangan Anna erat-erat.
"Bukan masalah. Aku senang bisa membantu," jawab Anna sambil tersenyum.
"Ini ular panggangnya sudah siap," seru Pogna kemudian.
Setelah itu, mereka semua makan dengan lahap. "Enak juga rasanya," kata Borin dengan mulut penuh. Berbeda dengan Pogna yang sudah terbiasa hidup di alam liar, Peter dan Borin sama sekali belum pernah menyantap daging ular.
"Tunggu, sepertinya ada sesuatu di sana." Tiba-tiba Pogna berhenti makan dan menatap tajam ke suatu tempat. Sosok berwarna cokelat dengan garis-garis hitam tampak seperti sedang mengintai dari balik semak.
Kelima anak itu langsung terkesiap ketika mengetahui bahwa ternyata sosok itu adalah seekor harimau loreng besar.
"LARI!!" teriak Pogna. Sejurus kemudian, harimau besar itu melompat menerkam. Rahangnya menganga lebar mengeluarkan geraman menyeramkan yang menciutkan nyali. Air liur menetes dari taring-taringnya yang setajam pisau. Anak-anak itu pun lari pontang-panting untuk menyelamatkan diri.
Lari, lari, dan terus berlari. Hanya itu yang ada dalam benak mereka saat ini. Dengan napas memburu dan jantung berdebar, mereka melesat menembus rimbunnya hutan terlarang. Angin berdesir menerpa wajah mereka yang basah oleh keringat.
"Lompat!" teriak Pogna memberi aba-aba pada teman-temannya ketika melihat sebatang akar menjulur di depannya. Setelah itu, mereka harus merunduk menghindari cabang-cabang pohon. Tak ada waktu lagi untuk mempedulikan perihnya luka akibat goresan ranting-ranting.
Sementara itu, sang harimau raksasa menubruk semua yang ada di depannya membuat seisi hutan porak poranda. Pada suatu kesempatan, Pogna menarik Susan berbelok tajam ke kanan untuk memecah perhatian predator yang mengejarnya. "Ke sini!" teriaknya pada Susan.
Binatang buas itu lebih memilih untuk mengejar Peter, Anna, dan Borin. Ketika ada sebuah pohon besar di depannya, Peter memberi aba-aba kepada Anna dan Borin untuk berbelok tajam ke kanan. Rencana Peter berhasil, harimau besar itu tidak dapat mengikuti pergerakan lincah buruannya dan menabrak pohon di depannya.
Tak mau kehilangan kesempatan memperbesar jarak dari pengejarnya, Peter, Anna dan Borin terus berlari sekuat tenaga, sementara sang monster menggeleng-gelengkan kepalanya yang sakit karena terbentur. "Apakah kita sudah aman?" tanya Peter sambil terus berlari. Napasnya memburu dan wajahnya bercucuran keringat.
"Tu ... Tunggu ... Aku sudah tak kuat." Borin berhenti berlari dan jatuh terduduk di tanah.
Namun, ternyata mereka sama sekali belum aman. Sesaat kemudian, hewan buas itu muncul kembali meneruskan perburuannya. "Ayo kita memanjat." Peter pun menolong Anna memanjat sebuah pohon lalu menyusulnya dari belakang.
Sementara itu, Borin, karena tubuhnya yang lebih besar, tampak kesulitan memanjat. Peter berusaha menggapai tangan sahabatnya itu namun selalu gagal. Anak gendut itu melompat-lompat putus asa sementara sang predator sudah semakin dekat.
Borin pun menyerah dan memilih untuk berlari lagi. Namun, tubuhnya sudah mencapai batas. Kakinya tak mampu lagi bergerak dengan cepat. Sang predator melompat menerkam dan membuat anak itu jatuh terjerembab.
"Aargh!!" teriak Borin kesakitan ketika cakar harimau menancap di punggungnya. Anak itu menggapai-gapai berusaha merangkak menjauh, namun percuma saja. Beban yang menindihnya terlalu berat. Rahang besar penuh taring itu kini tinggal berjarak beberapa sentimeter saja. Air liur berbau busuk menetes membasahi punggungnya. Kini tak ada lagi yang bisa dilakukan Borin. Rahangnya mengeras sementara tangannya meremas tanah sebagai reaksi atas sakit dan ketakutan yang menjalar di sekujur tubuhnya. "T ... Tolong ...," ratapnya putus asa.
Tiba-tiba, sebuah anak panah melesat cepat dan tepat menancap di mata sebelah kiri dari sang harimau. Binatang buas itu pun nampak kesakitan dan segera menggeram marah. Susan berdiri di sana memegang busur sambil mempersiapkan anak panah berikutnya.
Sedetik kemudian, tembakan kedua melesat mengenai punggung predator besar itu, membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi. Ia bergerak meninggalkan Borin dan bersiap untuk menerkam Susan. Beruntung, Pogna beraksi tepat pada waktunya. Ia, yang sebelumnya sudah memanjat pohon di dekat binatang buas itu, melompat dengan berani ke atas punggung harimau dan menancapkan sebatang bambu runcing ke bagian belakang kepalanya.
Sang harimau mengaum kesakitan, lalu dalam sebuah embusan napas yang berat, binatang itu pun ambruk ke tanah. Susan dan Pogna segera menghambur ke dekat Borin untuk melihat kondisi anak itu.
"Kau tak apa?" tanya Susan khawatir.
"Ya, kurasa ini tidak fatal," sahut Borin sambil meringis menahan sakit. Susan segera memberi kode pada Anna untuk turun dari pohon dan membantu.
Belum sempat Anna dan Peter turun, tiba-tiba sebuah keanehan lain terjadi. Kabut asap tiba-tiba muncul menyelimuti tubuh harimau tadi dan membawanya lenyap seperti ditelan bumi. Tak ada bekas yang tersisa dari tubuh cokelat bergaris-garis hitam itu.
"Sihir apa lagi ini?" Mulut Borin ternganga dan matanya membelalak. Ia tak dapat mempercayai apa yang baru saja dilihatnya.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara seperti gonggongan anjing bersahut-sahutan. Mencium adanya bahaya, Susan dan Pogna refleks bersembunyi di balik pepohonan. Namun, malang bagi Borin. Anak itu belum sempat beranjak ketika sebuah batu sebesar bola pingpong melayang dan dengan telak menghantam kepalanya. Ia pun jatuh tak sadarkan diri.
Rupanya segerombolan kobold datang menyerang. Mereka melemparkan batu-batu kecil menggunakan ketapel. Karena Susan dan pogna telah bersembunyi, sementara Anna dan Peter masih berada di atas pohon, kobold-kobold itu pun membawa Borin pergi.
Peter dan Anna bergegas turun dari pohon. "Ayo ikuti mereka. Kita tak boleh kehilangan jejak kali ini." Peter memimpin teman-temannya yang lain berjalan membuntuti kawanan makhluk setengah buaya itu.
Setelah berjalan ke timur kira-kira satu kilometer jauhnya, mereka akhirnya tiba di sebuah lereng bukit. Ternyata di situlah para kobold tinggal. Rumah mereka berbentuk lingkaran dan lebih pendek daripada rumah manusia pada umumnya. Temboknya terbuat dari batu-batu yang disusun dengan menggunakan tanah liat sebagai perekatnya. Atapnya terbuat dari jerami yang ditata berbentuk seperti cangkang telur.
Peter dan kawan-kawannya tak bisa mendekat lebih jauh karena banyaknya kobold yang ada di situ. Anak-anak itu pun hanya bisa menyaksikan Borin dibawa ke dalam sebuah gua di bawah bukit batu dengan penjagaan yang ketat.
"Mungkin Nona Gladys juga ada di sana," gumam Anna pelan.
"Ya tapi bagaimana cara kita masuk ke sana tanpa ketahuan? Mereka banyak sekali." Peter merasa nyalinya menciut.
Belum sempat menemukan cara menerobos pemukiman kobold, tiba-tiba seekor kadal terjatuh dari pohon, tepat di depan muka Anna. Ia pun menjerit kaget, dan seketika itu juga, para kobold mengetahui keberadaan mereka.
"Lari!!" teriak Peter pada teman-temannya. Makhluk setengah manusia setengah buaya berwarna hijau itu pun mulai mengejar. Mereka muncul dari berbagai penjuru dan bergerak dengan cepat. Batu-batu kecil pun kembali berterbangan ditembakkan menggunakan ketapel. Tak ada jalan lain bagi Peter dan kawan-kawannya selain berlari kembali menuju ke sungai. "Aduhh ...," rintih Anna ketika sebutir batu menghantam lengannya. Namun ia sadar bahwa tak mungkin berhenti saat itu.
Berlari sekuat tenaga. Hanya itu yang ada dalam pikiran Peter dan teman-temannya. Meski beberapa bagian tubuh terasa sakit karena tergores ranting ataupun terkena lemparan batu, tak ada waktu untuk sekedar mengeluh apalagi berhenti dan mengobatinya. Beruntung, meski saat itu awan gelap mulai menggelayut, intensitas sinar matahari masih cukup tinggi. Mereka pun dapat mengetahui arah yang benar serta melompat menghindari rintangan.
Dalam situasi mendesak, tubuh manusia dapat mengeluarkan kemampuan yang lebih dari biasanya. Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk tiba di dekat sungai. Meski begitu, musuh belum menyerah. Mereka terus mengejar dan menembak dengan ketapel.
"Lompat!" perintah Pogna pada kawan-kawannya ketika mereka berhasil mencapai tepi sungai.
Setelah semua masuk ke dalam perahu, Pogna langsung mendayung sekuat tenaga. Para kobold akhirnya menyerah dan menghentikan pengejaran. Entah mengapa, mereka tidak mau menyeberang sungai. Mungkin sang dewa melarangnya, pikir Peter.
"Hampir saja ...." Pogna menghela napas lega setelah melihat kerumunan kobold itu berangsur kembali ke dalam hutan terlarang. Saat itu hujan mulai turun rintik-rintik.
"Maafkan aku." Anna merasa bersalah karena akibat teriakannya, para kobold itu menyadari keberadaan mereka.
"Itu bukan salahmu. Kau tidak sengaja," hibur Susan.
"Lalu bagaimana dengan Borin?" sergah Peter dengan air muka khawatir. Seumur hidupnya, baru kali ini ia terpisah dari sahabatnya itu.
"Untuk sementara ini kita tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka terlalu banyak." Susan mengambil kesimpulan.
"Hari masih siang, kita bisa kembali," sahut Peter bersikeras. Meski begitu, kawan-kawannya tetap tak sependapat. Mereka semua sudah terlalu lelah setelah terus berlari. "Tapi kita harus beristirahat dan merawat luka-lukamu dulu," bujuk Anna pada Peter.
"Ya, kita pasti akan kembali untuk menolongnya. Tapi tidak sekarang," imbuh Susan lagi.
Peter pun terpaksa menerima keadaan bahwa saat itu bukan waktu yang tepat untuk kembali ke hutan terlarang. Tubuh yang lelah dan penuh luka akan terlalu berisiko jika dipaksa. Apalagi saat itu hujan turun semakin deras. Mereka pun memutuskan untuk kembali ke dalam gua tempat Susan menyembunyikan mereka kemarin.
Setibanya di gua, Pogna membuat sebuah api unggun untuk menghangatkan badan, sementara Anna menawarkan diri untuk menyembuhkan luka Peter. "Tunjukkan bagian mana yang sakit," katanya.
"Ini tak terlalu sakit. Kau sembuhkan luka-lukamu saja dulu." Peter merasa tak enak karena ia tahu bahwa Anna sendiri juga terkena beberapa lemparan batu tadi.
"Tubuhku bisa pulih dengan sendirinya," ungkap Anna sambil menunjukkan lengannya yang tadinya memar kini sudah bersih kembali.
Peter menjadi semakin takjub akan kemampuan Anna dalam hal penyembuhan. Akhirnya ia pun bersedia menunjukkan luka-luka di badannya. "Passima laetrix" Anna mengucap mantra dan dalam sekejap, memar-memar di tubuh Peter pun lenyap tak berbekas.
Susan dan Pogna, secara bergantian juga dirawat oleh Anna. Namun, akibat terlalu banyak mengeluarkan sihir, tubuh Anna menjadi lemah. Ia merasa kepalanya pening dan harus bertumpu pada sebelah tangannya agar tidak terjatuh.
"Tenanglah ini tidak fatal. Aku hanya harus beristirahat selama beberapa waktu untuk memulihkan kembali kondisi serta kemampuan sihirku," ujar Anna. Ia berusaha menenangkan teman-temannya yang tampak cemas, karena melihat wajah Anna berubah pucat. Susan pun segera membantunya untuk beristirahat dengan lebih nyaman.
"Sepertinya untuk sementara tak ada yang dapat kita lakukan." Pogna menyampaikan isi kepalanya.
"Ya, kita harus menunggu kondisi Anna pulih kembali. Pergi ke hutan terlarang tanpa bantuannya akan terlalu berbahaya." Susan sependapat dengan Pogna. Sementara itu, Peter hanya duduk terdiam. Pikirannya kalut karena khawatir akan keselamatan sahabatnya. Namun, di sisi lain, perempuan yang ia sayangi, yang sudah begitu banyak berkorban untuknya sedang terbaring lemah di sisinya. Ia tak mungkin meninggalkan Anna dalam kondisi seperti ini. Mereka pun terdiam selama beberapa saat dengan pikiran yang melayang-layang.
"Bagaimana kalau kita kembali dulu ke desa. Ayah ibuku pasti khawatir," ujar Pogna memecah keheningan.
"Yah, kurasa kau benar," sahut Susan pelan. "Baiklah, untuk sementara ini kami akan kembali ke desa. Para warga yang lain akan curiga jika aku dan Pogna menghilang terlalu lama," kata Susan pada Peter yang hanya bisa mengangguk lemah.
"Di sini aman. Kalian akan baik-baik saja. Kami akan kembali lagi besok untuk melihat keadaan," imbuh Susan lagi. Setelah itu, mereka pun pergi, meninggalkan Peter berdua bersama Anna di dalam gua.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro