Bab 10
Kala itu langit cerah bertabur bintang. Sinar lembut sang rembulan berpendar menyinari ibu kota. Namun, perasaan Aileen justru semakin buruk. Ia tak lagi dapat tidur dengan nyenyak karena selalu dihantui mimpi yang mengerikan akan kematian putranya. Malam itu menjadi malam ketiga di mana ia terbangun dari tempat tidur. Keringat dingin membasahi wajahnya yang pucat. Gideon pun ikut terjaga dan berusaha menenangkan istrinya.
"Mimpi itu lagi," ratap Aileen gusar. "Apakah ia akan baik-baik saja?"
"Aku pun tak tahu." Gideon tak bisa berkata apa-apa. Ia juga merasakan kegelisahan yang sama.
Gideon mengusap punggung Aileen lembut, sambil berharap mereka dapat bertahan menghadapi malam-malam yang kini terasa semakin berat. Keduanya pun terdiam selama beberapa saat.
"Aku akan berjalan-jalan sejenak untuk menenangkan diri." Aileen menatap mata suaminya sekilas kemudian bangkit dari peristirahatannya.
"Apakah kau mau aku ikut menemanimu?" tanya Gideon.
"Tidak perlu. Aku hanya akan pergi sebentar saja," sahut Aileen seraya mencium kening suaminya. Ia pun beranjak pergi dari kamarnya, lalu berjalan pelan menyusuri lorong-lorong kastel. Udara malam itu cukup dingin. Angin berembus menyapa wajah Aileen, membuatnya memeluk diri sendiri sambil mengeratkan mantel bulunya. Beberapa obor yang ditempelkan di dinding batu tidak mampu menghangatkan ruangan dan hanya memberikan penerangan ala kadarnya.
Aileen berhenti sejenak di tepi pembatas batu lalu berdoa dalam hati bagi keselamatan putra-putrinya. Kingsfort di malam hari sangat sunyi. Sama sekali tak ada aktivitas yang dilakukan para warganya. Semuanya tengah menikmati istirahat malam dalam kehangatan rumah mereka masing-masing.
Belum lama terdiam, tiba-tiba Aileen melihat sekelebat bayangan di ujung lorong. Terdorong oleh rasa penasaran yang seketika muncul, ia pun bergegas mengikutinya.
Sosok itu berbelok ke kanan dan terus berjalan cepat menuju bagian utara kastel. Melihat postur tubuhnya yang kecil dan gerak-geriknya yang anggun, Aileen dapat menyimpulkan bahwa orang yang ia ikuti adalah seorang wanita. Rambut pirangnya nampak sedikit keluar dari kerudung yang ia pakai untuk menutupi wajahnya.
Aileen terus mengekor hingga akhirnya mereka tiba di sebuah koridor terbuka. Istri Gideon itu pun sengaja menyembunyikan dirinya di balik tembok batu karena tak ingin kehadirannya diketahui.
Setelah menoleh ke sekeliling untuk memastikan bahwa tak ada yang membuntuti, perempuan berkerudung itu membuka penutup wajahnya untuk membuatnya dapat bernapas lebih lega. Itu putri Isabel. Napas Aileen tertahan. Rupanya cerita ratu mengenai anak perempuannya yang suka pergi malam-malam terbukti benar.
Sejurus kemudian, sang putri memanjat pagar pembatas yang tingginya hanya sekitar satu meter lalu melompat ke bawah. Aileen yang melihat hal itu terkejut bukan kepalang. Ia tahu kastel tempatnya berdiri memiliki ketinggian sekitar lima meter dari tanah. Secara nalar, tak mungkin seseorang dapat melompat dari situ tanpa terluka. Wanita paruh baya itu pun bergegas mendekati tempat di mana sang putri melompat lalu melongok ke bawah.
Rupanya ada tumpukan jerami kering di bawah tembok kastel, tempat Isabel baru saja terjun. Setelah mendarat, sang putri segera mengenakan kembali penutup wajahnya dan bergegas pergi meninggalkan kastel menuju ke sebelah barat kota. Didorong oleh keingintahuannya yang semakin besar, Aileen memutuskan untuk mengikuti langkah Isabel.
Ia memanjat tembok pagar dengan perlahan. Meski mengetahui ada landasan empuk di bawah, ketinggian tembok tetap membuatnya ragu sejenak. Setelah menarik napas beberapa kali untuk menenangkan diri, ia pun melompat.
Desiran angin terasa berembus kencang ketika gaya gravitasi menariknya dengan cepat ke bumi. Sedetik kemudian, tubuhnya telah terbenam dalam timbunan jerami, membuat napasnya terhenti sesaat. Ia keluar dari situ lalu bergegas menyusul Isabel ke barat. Ke mana sang putri? Benarkah ia akan menemui Bram, sang gerpa muda? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Keduanya berjalan melewati jalanan kota yang sempit, gelap, dan sepi. Tak ada lagi obor yang menerangi jalanan. Hanya cahaya bulan temaram yang tetap setia membantu penglihatan. Beberapa kali Aileen harus bersembunyi di balik tembok atau berjongkok di belakang sebuah gentong agar sang putri tidak menyadari kehadirannya.
Tak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah penginapan. Aileen membiarkan putri Isabel masuk ke dalamnya, sementara ia bersembunyi di balik sebuah gang sempit.
Untuk apa sang putri masuk ke situ? Pikiran Aileen kembali dipenuhi hal-hal negatif tentang Isabel. Sudahlah, aku tak perlu mengetahuinya. Hal ini justru akan membuatku masuk dalam masalah. Tak mau larut terlalu jauh ke dalam urusan pribadi orang lain, Aileen pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke kastel.
Namun, ketika hendak berbalik arah, tiba-tiba ia dikejutkan oleh kehadiran Karl Agerd, sang gerpa kepala. Bersama dengan lima orang gerpa muda lainnya, mereka semua memakai pakaian berlengan panjang dan penutup kepala berwarna putih. "Apa yang mungkin dilakukan seorang wanita terhormat seperti Anda di malam selarut ini?" Mendapat pertanyaan itu, Aileen hanya diam. Mulutnya menganga lebar, tetapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia tak mampu menjelaskan apa pun.
"Mari kita masuk ke dalam. Akan kutraktir kau minum. Mereka bilang sang empunya penginapan ini memiliki anggur terbaik." Sang gerpa tua berkata pelan sambil menyunggingkan sedikit senyuman. Ia lalu mencengkeram tangan Aileen dan menariknya masuk ke dalam penginapan.
"Maaf Tuan, kami sudah tutup." Sang empunya penginapan terkejut kedatangan banyak orang meski hari telah larut.
"Tapi aku yakin kau baru saja menerima seseorang bukan?" kata Karl sinis.
"Err ... Y ... a, ia tamu yang menginap di sini," gagap Sang empunya penginapan. Wajahnya memucat seketika itu juga.
"Tunjukkan ia ada di kamar mana, dan semua akan baik-baik saja," ujar Karl sambil tersenyum miring.
"I ... Itu, Tuan. Ia masuk ke kamar tiga," sahut sang tuan rumah dengan tangan gemetar.
"Baiklah, kalau begitu kami tak akan merepotkanmu. Ini sedikit uang karena telah mengganggumu malam-malam begini. Juga untuk membeli satu gentong anggurmu." Karl menyerahkan lima keping emas, lalu berkata lagi, "Pergilah tidur. Kami akan menyelesaikan urusan kami sendiri."
"Tapi tolong jangan merusak barang-barang hamba, Tuan." Merasa akan terjadi keributan, sang tuan rumah tak mau terlibat di dalamnya. Ia pun memilih untuk bergegas pergi.
"Kita duduk di sini saja." Karl mengajak Aileen duduk di sebuah meja kosong lalu memberi kode kepada para gerpa muda untuk pergi ke atas dan mulai bekerja.
"Apa yang akan mereka lakukan?" Aileen nampak ketakutan.
"Menjalankan perintah Tuhan," jawab Karl singkat.
"Perintah apa?" Aileen semakin kebingungan.
"Sebentar lagi kau akan tahu." Karl menuang sedikit anggur yang ada di situ lalu menyesapnya. "Cobalah, ini lezat." Ia menyodorkan anggur itu kepada Aileen yang segera menggelengkan kepalanya. Ia merasa sangat tidak nyaman berada dalam situasi semacam ini. Tak ada yang dilakukannya selain duduk dengan gelisah sambil menekuri tepian meja kayu yang sepertinya sudah agak lapuk.
Tak lama kemudian, terdengar suara teriakan dari atas. "Lepaskan kami!" Bram berusaha memberontak, sementara Isabel hanya menunduk pasrah ketika para gerpa muda menangkap basah mereka sedang berdua di dalam satu kamar—suatu hal yang dilarang menurut hukum agama Herod. Beberapa tamu yang menginap di situ pun melongok keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Keduanya kemudian digelandang menuruni tangga menghadap Karl. Sang gerpa kepala menatap tajam Bram. Wajahnya memerah seperti sedang menahan marah. "Sungguh memalukan! Ayahmu akan sangat kecewa terhadapmu!" Sang gerpa kepala memang sudah lama berkawan dengan ayah Bram, sang penguasa wilayah utara.
"Huh ... Apa pedulinya dia padaku. Aku cuma seorang anak angkat."
PLAKK!! Sebuah tamparan keras pun segera mendarat di pipi Bram. "Dasar Anak kurang ajar! Tak tahu diuntung!" Karl seketika murka mendengar jawaban Bram.
"Kau boleh menghukumku sesuka hatimu, tapi kau harus mengampuni sang putri," pinta Bram.
"Semuanya akan diputuskan nanti di pengadilan. Bawa mereka pergi!" Karl memerintahkan bawahannya untuk memenjarakan sepasang manusia itu, sementara ia tinggal untuk menenangkan kembali keributan yang terjadi. "Sudah selesai. Kembalilah ke kamar kalian. Maaf atas keributan yang terjadi." Mendengar itu, para tamu penginapan yang tadi keluar karena keramaian pun berangsur masuk kembali. Kini tinggallah Aileen bersama sang gerpa tua.
"Kau akan memenjarakan putri raja?" tanya Aileen dengan nada keheranan.
"Tentu saja. Hukum Tuhan berlaku untuk semua orang, bahkan raja sekalipun," jawab Karl sambil menyesap kembali anggurnya.
"Kau tidak takut pada pasukan kerajaan?" selidik Aileen kemudian.
"Untuk apa takut? Semua orang toh akan mati. Jika pun harus mati, aku akan memilih mati karena mempertahankan kehormatan ajaran Tuhan." Karl menjelaskan prinsip hidupnya yang sekilas terkesan radikal. Menurutnya, dunia saat ini berjalan dengan cara-cara yang tidak adil. Seorang raja yang memiliki kekuasaan absolut akan cenderung bertindak sewenang-wenang. Hukum diterapkan tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Pria tua itu merasa perlu adanya pemisahan kekuasaan antara raja yang bertugas menjalankan roda pemerintahan dan para gerpa yang melakukan penegakan hukum. Hal itulah yang saat ini diterapkan di wilayah utara.
"Ya mungkin pendapatmu cukup masuk akal." Aileen menyadari ada kebenaran dalam pemikiran Karl. "Tapi apakah bijak memperlakukan sang putri seperti ini tanpa komunikasi dengan pihak kerajaan terlebih dahulu?"
"Kau pikir bagaimana aku bisa ada di sini malam-malam begini?" Pertanyaan Karl itu dibalas dengan gelengan kepala Aileen, tanda ia tak mengerti.
"Sang ratu sendiri yang meminta kepadaku untuk lebih mengawasi Bram. Ia tak suka anak itu terlalu dekat dengan putrinya. Maka dari itulah aku mulai memberikan perhatian khusus padanya. Dan hal itu menuntunku kemari."
"Tapi, itu tak berarti ratu mengijinkanmu untuk memperlakukan putrinya seperti tadi," sanggah Aileen.
"Seperti yang kubicarakan tadi, para penegak hukum tidak seharusnya memiliki wewenang yang lebih rendah daripada kerajaan. Jika aku membutuhkan ijin ratu untuk menangkap anaknya, bukankah aku mengingkari idealismeku sendiri?" jelas Karl panjang lebar.
Aileen mulai memahami jalan pikiran sang gerpa tua. Di satu sisi ia merasa ada kebenaran di situ, namun di sisi lain ia juga tak yakin bahwa tindakan Karl dengan menangkap Putri Isabel cukup bijak. Hal itu bisa menyebabkan kericuhan antara kerajaan dan para gerpa yang berpotensi menimbulkan korban tak berdosa. Ia pun merasa semakin tak nyaman terus berada di situ.
"Err ... malam sudah larut, kurasa aku sebaiknya kembali ke istana." Aileen mengajukan pengunduran dirinya.
"Ya, aku juga akan segera pergi dari sini. Terima kasih atas obrolan yang menarik." Karl pun bangkit dari tempat duduknya dan berjalan bersama Aileen keluar dari penginapan itu. "Jika bersedia, kau boleh menjadi saksi saat persidangan nanti." Karl mencium tangan Aileen lalu pergi.
Dalam perjalanan pulang, pikiran Aileen masih terus dipenuhi kegamangan. Haruskah ia mendukung idealisme Karl dengan bersedia menjadi saksi ataukah sebaiknya ia mundur dari ini semua dan memilih untuk tidak terlibat.
"Aileen! Ke mana saja kau?" Suara Gideon terdengar panik. "Aku mencarimu kemana-mana."
"Maaf, aku tadi mengikuti putri Isabel ke penginapan di sana," jawab Aileen pelan.
"Kau yakin tidak salah lihat?" Ekspresi Gideon yang tadinya sudah berubah lega, seketika kembali menegang.
Aileen hanya mengangguk. "Semua akan kujelaskan nanti di kamar. Ini bisa menjadi masalah besar," jawabnya gusar. Wajah perempuan itu sama khawatirnya seperti suaminya.
***
Sementara itu, di sebuah desa yang terletak sekitar 100 kilometer jauhnya dari ibu kota, Eric mulai tersadar. Pandangannya masih kabur dan sakit di sekujur tubuhnya kembali terasa. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, di mana ini?
Langit-langit kayu yang sudah lapuk nampak di atas pembaringannya. Ia berusaha bangkit untuk melihat situasi, namun luka-lukanya terasa begitu nyeri. "Argh ...," erangnya kesakitan.
"Kau sudah sadar?" Suara seorang wanita terdengar tak jauh dari tempat Eric terbaring. "Ini minumlah." Perempuan itu menyodorkan segelas air ke mulut Eric.
"Terima kasih." Eric merasa lebih baik setelah cairan menyegarkan itu mengalir melewati tenggorokannya yang kering. Ia tak tahu sudah berapa lama dirinya terbaring tak sadarkan diri. "Siapa kau?" pandangan Eric terpaku pada sesosok wanita muda yang duduk di hadapannya. Parasnya elok dengan rambut cokelat panjang terikat menjadi dua, khas gadis desa.
"Namaku Egelina." Senyumannya manis menghiasi wajahnya yang berbintik-bintik merah muda akibat terlalu banyak terpapar sinar matahari. "Kau sendiri? Siapa namamu?" Perempuan itu ganti bertanya.
"Aku Eric. Di mana ini?"
"Kau berada di Desa Peteonia. Kami menemukanmu kemarin tergeletak penuh luka di hutan."
"Ia sudah sadar?" Seorang wanita lain yang lebih tua pun masuk ke rumah itu sambil membawa sebuah keranjang penuh sayuran.
"Iya, Bu ... Ia baru saja tersadar." sahut Egelina sembari membantu Eric yang berusaha duduk untuk melihat situasi lebih jelas.
"Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan makanan. Kau pasti lapar." Wanita paruh baya itu kemudian segera bekerja di dapur.
"Namanya Elise, ia ibuku," jelas Egelina kemudian.
Rumah itu kecil namun nyaman. Dindingnya terbuat dari papan kayu dengan jendela di beberapa sisinya sehingga membuat ruangan cukup terang.
"Aku harus pergi ke Kingsfort." Eric berusaha berdiri namun luka di kedua kakinya membuatnya terhuyung. Beruntung, Egelina memegangi lengan pria itu, mencegahnya terjatuh.
"Beristirahatlah dahulu, Tuan. Kondisimu masih lemah." Egelina membantu Eric kembali duduk di sebuah dipan yang menjadi tempat pembaringannya tadi. Tak lama kemudian, Elise kembali dari dapur sambil membawa sayuran dan potongan kentang rebus dalam sebuah piring. "Ini makanlah dulu. Hati-hati masih panas."
"Terima kasih." Eric pun makan dengan lahap setelah perutnya kosong selama sehari.
"Mengapa kau harus buru-buru pergi ke ibu kota?" Pertanyaan Elise itu pun dijawab apa adanya oleh Eric. Ia menjelaskan semuanya mulai dari tuannya yang ada di ibu kota sementara putranya—yang adalah tanggung jawabnya—masih terdampar di sebuah pulau terpencil. Ia sedang dalam misi mencari bantuan untuk menyelamatkan sang tuan muda.
Elise dan Egelina mengangguk-angguk memahami kondisi sang kesatria. "Tapi lukamu belum sembuh dan kami tak memiliki kuda. Setidaknya tunggulah sampai lukamu sembuh. Jarak dari sini ke ibu kota masih jauh." Elise menjelaskan kondisi yang dihadapi Eric saat ini.
"Ya, tampaknya aku tak punya pilihan. Maafkan aku harus merepotkan kalian selama beberapa hari ke depan." kata Eric sopan.
"Itu bukan masalah. Putriku akan melayanimu sementara ini." Elise pun mengelus rambut Egelina sekilas lalu beranjak pergi.
"Ini bajumu sudah kuperbaiki." Egelina menyerahkan pakaian Eric yang kini dihiasi beberapa tambalan di beberapa bagian.
"Terima kasih." Eric merasa sangat beruntung diselamatkan oleh orang yang sangat baik, meski perjalanannya harus tertunda selama beberapa hari. Dari percakapannya dengan Egelina, ia mengetahui bahwa ayah perempuan muda itu sudah wafat belum lama ini karena dibunuh oleh gerombolan perampok yang kemarin melukai Eric. Belakangan ini, komplotan itu memang sering membuat onar di sekitar desa. Hal itulah yang menyebabkan tak ada penginapan di jalan menuju desa Peteonia.
Cerita Egelina itu pun harus menjadi sebuah dilema tersendiri bagi Eric. Apakah ia sebaiknya tinggal lebih lama untuk membantu mengusir para perampok atau bergegas meneruskan misinya menyelamatkan sang tuan muda. Apa pun pilihan yang nantinya harus diambil, prioritasnya kini adalah beristirahat demi pemulihan luka-lukanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro