Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

"Yay! Aku dapat lagi!" Peter bersorak ketika ujung kailnya bergerak-gerak. Anak muda itu segera menarik pancing lalu memasukkan hasil tangkapan barunya ke dalam sebuah keranjang anyaman yang kini sudah terisi setengahnya.

"Sepertinya ini sudah cukup!" seru pemuda itu kepada Borin—sahabatnya—sambil berusaha menyalakan api untuk membakar ikan. "Matahari sebentar lagi tinggi. Ayo kita makan! Atau kau ingin bekerja dengan perut kosong?!" teriak Peter lagi. Sementara itu, Borin masih duduk termenung di tepi sungai sambil memegangi tongkat pancingnya yang sejak tadi diam tak bergerak.

Meski kesal karena tak mendapatkan seekor ikan pun, Borin terpaksa mengikuti Peter menggosok ranting kering untuk membantu menyalakan api. Keduanya lalu segera makan dengan lahap.

"Nih, makan lagi. Tubuh besarmu pasti membutuhkan lebih banyak asupan." Peter menyorongkan dua ekor ikan yang baru saja matang kepada sobatnya. Jika dibandingkan dengan Peter yang memiliki perawakan biasa saja, postur tubuh Borin lebih pendek dan gemuk.

Sambil menyambar pemberian itu, Borin terkekeh. "Terima kasih, kau memang paling memahamiku."

Kedua remaja itu memang sudah akrab sejak kecil karena dibesarkan oleh Muriel, ibu kandung Peter. Borin sendiri tidak tahu di mana orang tuanya, apakah mereka sudah mati atau masih hidup.

Karena fisiknya sangat berbeda dengan Peter, yang mata dan rambutnya sehitam jelaga, Borin—yang berambut pirang bergelombang—pernah bertanya pada Muriel mengenai orang tuanya. Namun, wanita paruh baya itu hanya mengatakan bahwa enam belas tahun lalu, ia menemukan seorang bayi di tepi sungai bersama sebuah sapu tangan dengan nama yang terbordir di salah satu sudutnya—Borin Halten.

Hanya itu yang Borin ketahui.

Setelah makan sampai kenyang, keduanya pun berjalan beriringan menuju gerbang kota yang berupa pintu kayu besar dengan tembok dari susunan batu-batu di sekelilingnya. Di bagian atasnya terdapat bendera biru putih dengan gambar pedang dan mahkota di tengahnya. Di bagian bawah bendera, terdapat tulisan :

"SELAMAT DATANG DI KOTA FORTSOUTH, IBU KOTA PULAU YAENDILL, BAGIAN DARI KERAJAAN ETHARDOS."

Di kota itulah Peter dan Borin tinggal. Sebagai kota terbesar di pulau Yaendill, Fortsouth sangat ramai. Jalannya cukup lebar untuk kereta kuda berlalu lalang. Di kanan kirinya banyak bangunan kayu bertingkat milik para pedagang kaya.

Peter dan Borin terus berjalan sambil menyapa beberapa orang yang mereka kenal. Dari pintu gerbang kota, hanya dibutuhkan waktu beberapa menit untuk tiba di kastel yang merupakan tempat tinggal keluarga bangsawan Fernir. Kedua remaja itu sehari-hari memang beraktivitas di sana. Jika Peter adalah ajudan bagi seorang kesatria bernama Eric Dorner, Borin bertugas melayani Tuan Muda Ramos Fernir.

Setelah berpisah dengan Borin di gerbang, Peter pun menemui Eric di kediamannya—yang juga terletak di dalam kompleks kastel.

"Selamat pagi Tuan Eric," sapa Peter sopan.

"Peter Cornell ... kau selalu tiba tepat waktu," sahut Eric sambil tersenyum. "Tak sia-sia aku memintamu menjadi ajudanku."

"Bukankah aku tak boleh menyia-nyiakan kepercayaan seseorang." Peter membalas senyuman Eric. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong siapkan sarapan untukku. Setelah itu kau bisa berlatih menggunakan pedang kayu."

"Baik, Tuan." Tanpa menunggu, Peter pun segera menjalankan tugasnya.

Peter cukup beruntung karena diangkat sebagai ajudan oleh Eric. Banyak hal yang dapat dipelajari remaja berkulit putih itu dari tuannya. Selain kemampuan menggunakan pedang, anak itu juga mengetahui informasi mengenai ayahnya, yang tak pernah dikenalnya karena wafat pada hari ia lahir.

Sambil meletakkan makan dan minum untuk tuannya di sebuah meja, Peter menanyakan sesuatu yang selama ini sering membuatnya penasaran. "Maaf, kalau boleh tahu, mengapa kau bersedia mengangkatku menjadi ajudan? Bukankah ajudan kesatria pada umumnya adalah remaja dari keluarga terhormat?"

"Ayahmu dulu juga adalah orang terhormat," sahut Eric singkat. Ia lalu menyerahkan sebatang pedang kayu dan duduk untuk mulai makan. "Latih kembali gerakan yang kemarin kuajarkan. Aku akan menghabiskan sarapanku dulu."

Peter menurut dan melangkah ke halaman kastel lalu mulai berlatih dengan pedangnya.

Setelah Eric selesai makan dan sedang bersantai sambil memperhatikan latihan Peter, pemuda itu pun bertanya lagi, "Kalau ayahku orang terhormat, mengapa ibuku harus hidup sebagai pelayan?" Ia berhenti berlatih sejenak sambil menatap sang kesatria.

"Hmm ... anggapan umum mengatakan kalau dia berkhianat," jawab Eric sambil menghabiskan teh hangatnya. "Namun aku sendiri tidak mempercayai itu sepenuhnya." Pria yang sudah berusia empat puluh tahunan itu lalu berdiri dan mengambil sebilah pedang kayu, bersiap menjadi lawan tanding bagi Peter.

"Aku mengenalnya dengan baik. Ia sahabatku. Maka dari itulah aku tidak percaya dia berkhianat." Sang kesatria menebas dengan kuat dan menjatuhkan Peter berikut pedang kayunya. "Bahkan sampai sekarang pun aku masih menaruh hormat padanya."

"Lalu apa yang membuat orang-orang menuduh ayahku seorang pengkhianat?"

"Bukti-bukti yang ada mengarah ke sana." Eric membantu Peter berdiri lagi. "Bukti-bukti yang menurutku tidak cukup kuat. Kadang kala, hatimu menemukan kebenarannya sendiri sehingga membuatmu tidak mampu mempercayai hal yang lain."

"Lalu apa yang kau percayai mengenai ayahku? Apa yang menjadi kebenaranmu?"

"Dia difitnah ... tapi aku belum punya cukup bukti untuk mendukungnya." Eric kembali bersiap dengan kuda-kudanya.

"Genggam pedangmu lebih erat!" Eric menutup pembicaraan pagi itu dan meminta Peter lebih fokus pada latihannya lalu menyerang lagi.

***

Sementara itu, di sebuah kamar dalam kastel, Borin menyiapkan air hangat dalam bak kayu untuk tuannya mandi. Ia memanaskan air di sebuah perapian lalu mencampurkannya dengan air dingin sehingga suhunya pas. Sesuatu hal yang selalu ia lakukan setiap hari.

"Tuan, air hangatnya sudah siap," kata Borin sambil menunduk. Ia lalu berdiri diam di sudut ruangan yang temboknya terbuat dari susunan batu-batu. Adalah tidak sopan bagi kaum rendah seperti Borin untuk menatap mata tuannya.

Tuan Muda Ramos adalah seorang anak muda laki-laki berusia dua puluh tahun. Wajahnya membulat dengan postur tubuh yang cukup besar sementara rambut dan matanya senada berwarna cokelat gelap.

Borin terus menunduk menunggu reaksi tuannya, sementara Ramos hanya berdiri diam sambil melihat ke luar jendela. Dari situ, ia dapat melihat Peter yang sedang berlatih pedang bersama Eric.

"Huh ... gerakan apa itu?" Anak bangsawan itu mendengkus mengejek lalu bergegas pergi tanpa menghiraukan Borin yang tetap diam mematung tanpa tahu apa yang harus dilakukan.

Ramos pergi menuruni tangga batu dan keluar menuju halaman. Ia menghampiri Eric sambil berkata dengan ketus, "Minggir, biarkan aku yang menjadi lawan tandingnya!"

Sang kesatria pun terpaksa menuruti kemauan sang tuan muda dan memberikan pedang kayunya. Peter merasa kesal tetapi tak ada pilihan baginya. Ia hanya bisa diam sambil menjaga kuda-kudanya, menunggu sang lawan bertindak lebih dulu.

Ramos menyerang dengan kuat dan cepat. Peter berhasil menangkisnya dengan sigap namun tubuhnya terhuyung akibat kekuatan pukulan lawan. Meski serangan berikutnya masih dapat ditangkis dan belum mampu menjatuhkan Peter, anak itu yakin jika Ramos menyerang lagi, ia akan segera tumbang.

Beruntung bagi Peter, Gideon Fernir—ayah Ramos sekaligus orang yang paling berkuasa di Fortsouth—datang melintas tepat waktu. "Hentikan, Ramos! jangan ganggu anak itu!" Suaranya tegas dan berwibawa.

Ramos tampak kesal tetapi tidak berani membantah. Ia membuang pedang kayunya dan bergegas pergi. "Lain kali akan kuhajar kau!" Anak sombong itu berbisik di telinga Peter lalu berjalan kembali ke kediamannya. Ia memarahi Borin ketika mendapati air mandinya sudah berubah menjadi dingin.

Sementara itu, Gideon menghampiri Peter sambil menepuk pundaknya bersahabat. "Maafkan sikapnya yang arogan."

"Terima kasih, Tuan." Peter membungkukan badannya memberi hormat.

"Dulu aku juga sombong ketika seusianya. Kekuasaan memang bisa menyilaukan. Aku harap waktu akan mengubahnya menjadi lebih baik." Gideon berkata ramah lalu beranjak pergi meninggalkan Peter dan Eric. Ia kembali berjalan menyusuri halaman bersama Arden Yabert, Penasihatnya.

Meski berkuasa, Gideon bukanlah orang yang semena-mena. Ia mau bergaul dengan semua kalangan dan tak segan untuk menerima nasihat dari orang lain. Hal itu membuat ia dihormati di seluruh wilayahnya.

"Saat ini Ramos sudah cukup usia. Menurutmu siapa pasangan yang tepat untuknya?" Gideon meminta pendapat dari penasihatnya.

"Raja Agra memiliki seorang putri bernama Isabel. Usianya juga sudah matang. Saya rasa baik jika Anda mengajukan lamaran pada raja untuk putrinya. Hal ini akan memperkuat hubungan baik yang telah terjalin selama ini."

"Hmm ... masuk akal." Gideon tampak setuju dengan saran dari penasihatnya. "Lalu kapan saat yang tepat untuk mengajukan lamaran itu?"

"Saat ini kondisi negeri sedang aman. Menurut saya, secepatnya akan lebih baik."

"Baiklah, kalau begitu ia akan ikut denganku ke Kingsfort. Kebetulan, beberapa hari lagi aku berencana pergi ke sana untuk memenuhi undangan raja yang akan menggelar turnamen para kesatria."

"Maaf, Tuanku, saya pikir mengajak Ramos untuk langsung ke ibu kota adalah hal yang kurang bijak. Dengan sikapnya yang kasar dan arogan, saya khawatir jika sang raja mengetahuinya, ia akan menolak perjodohan ini."

"Lalu, bagaimana saranmu?" tanya Gideon kebingungan.

"Anda dapat berangkat lebih dulu ke sana untuk mengajukan perjodohan ini. Setelah sekiranya raja tak berkeberatan, sampaikan pada Ramos, bahwa jika ingin perjodohannya dengan putri Isabel disetujui, ia harus mengubah sikapnya menjadi lebih ramah dan bersahabat. Saya akan memastikan Ramos berubah selama Anda pergi. Setelah semua selesai diatur, barulah dia boleh menyusul Anda ke Kingsfort."

"Ide yang bagus! Aku yakin sang raja juga tidak akan menarik kata-katanya lagi jika sudah setuju." Gideon mengangguk puas dengan saran dari penasihatnya. Setelah itu, keduanya pergi untuk memastikan kesiapan para kesatria Fortsouth yang akan ikut berlaga dalam turnamen kerajaan.

Saat malam menjelang, Gideon mengumpulkan keluarganya di ruang makan. Ia berniat menyampaikan rencananya sesuai nasihat Arden kepada Ramos. "Besok aku akan pergi ke Kingsfort untuk menghadiri turnamen para kesatria sekaligus mengajukan lamaran untuk Putri Isabel, apakah kau setuju?" tanya Gideon pada sang putra.

"Tentu saja, Ayah!" Anak muda itu langsung mengangguk setuju. Mata cokelatnya tampak berbinar dan senyumnya mengembang lebar.

"Tapi sebelum itu, kau harus mengubah sikapmu menjadi lebih ramah," lanjut Gideon. Arden akan membantumu berubah selama aku pergi.

"Baik, Ayah. Aku pasti bisa!" sahut Ramos bersemangat. "Ini hebat! Aku akan tinggal di ibu kota bersama dengan putri Isabel yang cantik!"

"Tapi ingat, kau harus mengubah sikapmu dulu." Ibunya—Nyonya Aileen Gillard—menekankan lagi syaratnya.

"Baik, Ibu. Aku akan memperlakukan Putri Isabel seperti ini." Ramos pun beranjak dari kursinya, membungkukkan badan lalu mencium tangan Gladys, adik perempuannya.

Mendapat perlakuan seperti itu dari kakaknya sendiri, sang putri justru merasa tidak nyaman. Dengan wajah cemberut, ia segera menarik tangannya lalu meletakkannya bertumpuk di atas pangkuan.

Anak perempuan itu bernama Gladys Fernir. Ia memiliki rambut panjang bergelombang yang berwarna cokelat kemerahan. Bibirnya yang tipis dan pipinya yang tirus membuatnya menjadi standar kecantikan bagi anak-anak perempuan di Fortsouth.

"Bolehkah aku juga ikut ke ibu kota?" pinta Gladys kepada kedua orang tuanya. Ia merasa tertarik sekaligus ingin tahu mengenai kehidupan gemerlap di ibu kota.

"Jangan, Ayah. Perempuan manja seperti dia hanya akan menjadi beban saja," ejek Ramos. Ia kini sudah kembali duduk di kursinya. Hubungan mereka selama ini memang kurang baik karena sifat buruk keduanya. Jika Ramos arogan dan kasar, Gladys adalah seorang putri manja yang cengeng.

"Kau baru saja berjanji akan bersikap baik bukan?" Aileen mengingatkan putranya, sementara Gladys memandang kakaknya dengan sebal. Ramos pun hanya bisa diam. Wajahnya jelas menunjukkan ketidaksukaan.

"Baiklah, kau boleh ikut menyusul bersama kakakmu ketika kami sudah selesai mengurus semuanya."

Jawaban Tuan Gideon itu langsung disambut Gladys dengan gembira. "Benarkah?! Terima kasih ayah!" Anak perempuan itu tersenyum ceria. Meski sebenarnya ia lebih suka pergi bersama ayah ibunya, tetapi mendapat izin pergi ke ibu kota tampaknya sudah cukup menyenangkan baginya.

***

Setelah semua pekerjaan hari itu selesai, Peter dan Borin kembali ke tempat para pelayan, yakni sebuah aula di bawah tanah yang pengap dan lembap. Di situlah mereka biasa makan dan beristirahat. Penerangan dari beberapa batang obor dan lilin di ruangan menerpa tembok berbatu, membuat pencahayaan menjadi temaram. Setelah mengantre untuk mendapatkan semangkuk sup hangat dan sepotong roti keras, Peter duduk di lantai bersebelahan dengan Borin.

"Menurutmu mengapa Tuan mudamu sangat membenciku?" tanya Peter sambil menatap manik mata cokelat milik sahabatnya.

Borin mengangkat bahu lalu menyahut, "Dia juga membenciku tahu?! Dia sering memakiku karena badanku bau, dia juga memarahiku karena aku gendut, bahkan ketika aku diam saja, dia tetap mengumpatiku. Apa saja yang aku lakukan atau tidak lakukan selalu salah baginya."

Mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Peter merasa agak lebih beruntung karena tidak harus menjadi pelayan Ramos. Mereka lalu terdiam sesaat.

"Sepertinya dia membenci semua orang." Peter menyimpulkan.

"Oh ya, apakah kau sudah dengar? Beberapa hari lagi, Tuan Gideon akan pergi ke ibu kota untuk menjodohkan tuan muda kita dengan putri raja?" tanya Borin.

"Oh ya? Dari mana kau tahu?"

"Ramos terlalu bersemangat dan tak bisa menahan diri untuk menceritakannya pada semua orang," jawab Borin. "Dan aku lah yang selalu ada di dekatnya."

"Itu akan bagus kalau dia juga tinggal di sana. Setidaknya, penderitaan kita di sini akan berkurang." Peter tersenyum kecut. Ia kadang merasa iri dengan kehidupan para bangsawan yang tampaknya serba mewah dan menyenangkan. Anak itu pun membiarkan pandangannya menerawang menyapu ruangan.

Tiba-tiba, Peter terpaku melihat seorang perempuan sebayanya yang duduk di seberang ruangan. Sinar wajahnya lembut dan menenangkan tersapu cahaya lilin yang berpendar. Rambut cokelatnya sedikit terlihat di balik kerudung berwarna krem yang menutupi kepalanya.

"Kau tahu siapa dia?" Peter menyenggol Borin yang sedang fokus dengan makanannya.

"Dia pelayan baru Nona Gladys," jawab Borin dengan mulut penuh roti.

"Ooh ..." gumam Peter singkat. Dia sangat cantik, pikirnya. Tidak banyak perempuan cantik di kalangan para pelayan.

Setelah menghabiskan makanan dan mencuci mangkuknya, Peter berkeinginan untuk mendekati perempuan itu, tetapi ia sudah menghilang entah kemana.

"Istirahatlah Peter." Ibu Muriel menegur anaknya yang sedang melamun.

"Baik, Bu." Peter merebahkan tubuhnya di lantai berbatu lalu meringkuk ke samping. Ia berusaha membayangkan seperti apa ayahnya—yang kematiannya masih diselimuti kabut misteri. Seperti Eric, anak itu pun tidak percaya kalau ayahnya adalah seorang pengkhianat. Peter bertekad, suatu hari kelak ia akan membongkar misteri itu, membersihkan nama keluarganya, dan mengembalikan hidupnya sebagai orang terhormat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro