Bab 9
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Will dan Gladys akhirnya tiba di Trudid, sebuah kota yang lebih kecil jika dibandingkan dengan Fortsouth ataupun Girondin. Rumah-rumah penduduknya---yang mayoritas terbuat dari kayu---juga tampak sederhana. Hanya kastel milik Tuan Rafael yang tampak cukup gagah berdiri di tengah kota.
"Jadi apa rencanamu?" tanya Gladys pada Will. Kala itu keduanya sedang berbaring di tempat penyimpanan jerami. Mereka cukup beruntung karena bertemu dengan seseorang yang baik dan diizinkan untuk menginap sementara di situ.
"Hmm ... kurasa besok aku akan menemui Tuan Rafael Nygell. Kuharap setelah mendengar kematian ayahku ia sudi berbaik hati untuk menghapus hutang kami dan membebaskan adikku," ujar Will dengan pandangan menerawang.
Gladys mengangguk mengerti. "Yah, semoga saja ini bisa berhasil," gumamnya.
Sementara Gladys terlelap tak lama kemudian, Will masih tetap terjaga sambil memandangi atap yang dipenuhi sarang laba-laba. Meski merasa bahwa Tuan Rafael tak akan mudah untuk menyerahkan adiknya, bagaimanapun juga ia tak punya banyak pilihan.
Keesokan paginya, setelah berpamitan dengan Gladys dan sang tuan rumah, Will pun bergegas pergi ke kastel. Kakinya melangkah gontai sementara pikirannya kalut membayangkan seperti apa nasib adiknya kini, juga bagaimana tanggapan dari Tuan Rafael ketika menemukan ia datang tanpa uang sepeser pun.
Setelah menyusuri jalanan kota, Will akhirnya tiba di pintu gerbang kastel. Ia pun segera menghampiri penjaga yang tampak berdiri di sana dan memperkenalkan diri. "Selamat pagi, aku Willfred Gawin, putra dari Andryr Gawin. Bermaksud menghadap Tuan Rafael Nygell."
"Baiklah, tunggu sebentar." Setelah itu, sang penjaga pun pergi untuk menyampaikan pesan pada tuannya.
Beberapa saat menunggu, seseorang yang lain datang juga ke situ dan berkata pada salah seorang penjaga.
"Namaku Dave Howkin, berniat bertemu dengan Tuan Rafael." Suaranya berat sementara tubuhnya terlihat gagah. Kumis dan jenggot hitam lebat menghiasi wajahnya dan memancarkan aura maskulin. Dari pakaian yang ia kenakan, Will menyimpulkan bahwa Dave adalah orang yang berkecukupan.
Sementara Will masih harus menunggu, salah seorang penjaga yang masih tinggal mempersilakan Dave untuk segera masuk. Sepertinya Tuan Rafael sendiri memang sudah menunggunya.
Beberapa saat sepeninggal Dave, penjaga yang tadi akhirnya kembali dan mempersilakan Will masuk. Ia lalu membawa sang tamu berjalan melewati halaman kastel menuju sebuah ruangan yang cukup luas. Di sana Rafael dan Dave telah duduk berhadap-hadapan. Mereka terpisah oleh sebuah meja kayu panjang.
"Willfred Gawin ... aku tak menyangka kau akan datang," ujar Rafael sambil tersenyum. Namun, senyuman itu segera pudar ketika melihat Will tak membawa apa pun. "Mana uangku?" tanyanya langsung pada intinya.
"Selamat pagi, Tuan Rafael," sahut Will dengan suara gemetar. "Ma-maaf Tuan, aku kemari bermaksud memohon belas kasihan Tuan untuk membebaskan Evelyn, adikku. Ayahku meninggal beberapa minggu yang lalu dan kami tidak punya uang sepeser pun."
Mendengar itu, Tuan Rafael memukul meja dengan berang. "Aku sudah memberimu toleransi waktu yang panjang! Dan sekarang kau kemari hanya untuk memohon belas kasihan!" bentaknya dengan napas memburu. "Bawa Evelyn kemari dan serahkan pada Dave. Dia bisa membayar dengan harga yang lebih layak!" perintah Tuan Rafael pada salah seorang pelayannya.
"T-tunggu Tuan, aku akan berusaha. Beri aku waktu lagi." Will berusaha memohon.
"Tidak! Aku sudah memberimu cukup waktu. Sekarang bahkan sudah lebih seminggu dari batas yang seharusnya. Beruntung Dave bersedia memberikan penawaran yang bagus untuk adikmu."
Mendengar itu, Will seketika jatuh bersimpuh. "Mohon bebaskan adikku, bawa saja aku," pintanya.
"Itu terserah pada Dave. Aku sudah sepakat untuk menyerahkan adikmu padanya," sahut Rafael.
Mendengar itu, Will pun ganti memohon pada Dave. "Tolong, Tuan, aku akan melakukan apa saja yang kau minta."
Dave terkekeh sebagai balasan. "Maaf, tapi kau tidak bisa memuaskan nafsu lelaki," sahutnya enteng.
Bersamaan dengan itu, pelayan yang tadi diperintahkan untuk membawa Evelyn pun datang. Dengan tangan dan kaki terikat rantai, gadis berambut pirang itu dihadapkan pada Dave yang kini beranjak dari kursi untuk mengamati apa yang hendak ia beli.
"Tanggalkan pakaiannya! Aku perlu memeriksanya secara menyeluruh," ujar Dave.
"Jangan!" Bersamaan dengan itu, Will bangkit berusaha menahan pelayan yang berniat melucuti pakaian Evelyn.
"Kurang ajar!" hardik seorang penjaga. Ia lalu memukul Will dan menjatuhkannya ke lantai.
"Kakak ..." rintih Evelyn melihat sang kakak yang mengerang kesakitan.
"Bawa dia pergi!" perintah Tuan Rafael pada para penjaga yang kini berdatangan karena mendengar keributan.
"Tunggu! Aku akan membayar sekarang juga!" ujar Will seketika para penjaga berusaha mencekalnya.
"Oh ya? Bukankah kau bilang tadi tak punya uang?" tanya Tuan Rafael dengan tatapan menyelidik.
"Aku akan membayarnya dengan seseorang yang lain," lirih Will.
"Ini menarik ... siapa yang hendak kau tawarkan." Tuan Rafael mendekat dengan senyum licik tersungging di bibir.
Seketika itu Will tiba-tiba merasa lidahnya kelu. Dengan bibir bergetar, ia terdiam sambil menatap mata Evelyn yang basah oleh air mata.
"Apakah kau akan bilang atau aku mulai menelanjanginya?" ancam Dave sambil mulai membuka kancing pertama baju Evelyn.
"Tunggu!" seru Will.
Dave pun menoleh pada sang pemuda.
"D-dia ... N-nona Gladys Fernir." Bersamaan dengan terucapnya nama itu, Will tertunduk lesu. Rahangnya mengeras sementara tangannya terkepal erat. Jauh di lubuk hati, ia sebenarnya tak mau menyerahkan Gladys, tapi melihat sendiri perlakuan keji Rafael dan Dave pada sang adik, membuatnya tak punya pilihan.
"Kau tidak sedang membohongiku kan?" tanya Dave menyelidik. Ia jelas tertarik dengan penawaran Will. Sebagai seorang pedagang budak, nama Gladys Fernir tentu sudah tak asing baginya. Kecantikan dan statusnya sebagai seorang putri bangsawan membuat gadis itu sangat berharga.
"Aku tidak berani, Tuan," sahut Will masih sambil tertunduk.
"Di mana dia?"
"Bersembunyi di rumah salah satu penduduk."
"Ayo tunjukkan! Aku baru akan membebaskan adikmu setelah mendapatkan Gladys," tegas Dave.
Setelah itu, Dave dan Rafael, serta beberapa penjaga yang membawa Evelyn pun pergi mengikuti Will menuju tempat persembunyian Gladys.
"Ayo cepatlah!" hardik Dave ketika Will melangkah dengan gontai. Bagaimanapun juga hatinya berat untuk berkhianat.
Beberapa menit kemudian, mereka akhirnya tiba di rumah yang dimaksud. Atas perintah Tuan Rafael, para penjaga pun masuk dan membawa keluar semua orang yang ada di situ. Selain Gladys yang kini berpenampilan layaknya pria, sang tuan rumah beserta anaknya pun ikut dibawa menghadap.
"Nona Gladys Fernir ... aku tak menyangka kita akan bertemu lagi." Dave tersenyum licik menatap Gladys. "Kau boleh saja mengubah penampilan, tapi mataku tak akan tertipu." Keduanya memang pernah bertemu saat sang pedagang budak menjual Anna.
Sementara para penjaga mulai membelenggunya, Gladys menatap tajam pada Will yang telah berkhianat. "Kau ... ternyata aku salah menilaimu," geramnya sementara Will terus tertunduk di samping adiknya.
Setelah mendapatkan Gladys, Rafael, Dave, dan para penjaganya pun kembali ke kastel, meninggalkan Will dan Evelyn berdiri sambil tertunduk lesu.
***
"Lepaskan!" jerit Gladys berusaha membebaskan diri dari orang-orang yang menyeretnya. Di tengah teriknya sengatan matahari, ia digelandang layaknya seorang kriminal. Keributan itu pun menarik perhatian para penduduk, menjadikan Gladys tontonan bagi seisi kota.
"Diam! Atau aku akan mempermalukanmu lebih jauh lagi," hardik Dave tepat di telinga Gladys. Lidah sang putri seketika kelu mendengar ancaman itu. Ia sudah lama mengenal reputasi Dave sebagai seorang pedagang budak yang keji. Diiringi tetesan air mata, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain menyeret langkah mengikuti kemauan sang pedagang budak.
Setibanya di aula kastel, Tuan Rafael pun memerintahkan orang-orangnya untuk berjaga di luar sementara ia bernegosiasi dengan Dave mengenai harga yang pantas. Sementara Rafael dan Dave duduk berhadap-hadapan, Gladys dibiarkan berdiri dalam kondisi masih terikat.
"Kurasa kita perlu membahas harga yang pantas untuk tuan putri," ujar Tuan Rafael membuka pembicaraan.
"Tentu. Aku akan membayar tiga ratus keping emas untuknya."
"Tidak-tidak. Itu terlalu murah. Dia adalah Gladys Fernir. Pewaris tunggal kekuasaan atas wilayah Fortsouth. Kurasa aku pantas mendapat lebih. Setidaknya lima ratus keping emas."
Dave terdiam sejenak sambil mengelus janggut hitamnya. "Empat ratus koin ditambah seorang budak yang lain," tawar Dave lagi.
"Hmm ... baiklah kalau begitu. Bawakan budak-budakmu yang terbaik," sahut Rafael.
"Baik, kalau begitu aku pergi dulu. Akan kubawakan tiga yang terbaik untuk kau pilih." Setelah itu, Dave pun bangkit dan bersiap pergi dari situ. "Oh ya, jangan menyakitinya. Aku tak mau harganya turun jika ada luka di tubuhnya," ujar Dave sambil menatap Gladys.
"Huh ... baiklah," sahut sang tuan rumah.
Sepeninggal Dave, Rafael pun membawa perut buncitnya mendekati Gladys.
"Hai, Cantik ..." ujar Rafael sambil mengelus pipi Gladys.
"Cuih!" Tak terima dengan perlakuan Rafael yang terkesan melecehkan, Gladys langsung meludahinya.
"Hahaha ... kau perempuan yang agak kasar rupanya. Aku suka itu," sahut Rafael sambil menyeka ludah di wajahnya.
"Lepaskan aku!" hardik Gladys.
"Uuh ... kau mengancamku ya? Aku takuut," timpal Rafael sambil berpura-pura gemetar. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Gladys. "Kau berharga empat ratus koin emas. Kau pikir aku bodoh, mau melepaskanmu begitu saja?"
"Kau tidak bisa menilaiku dengan uang! Aku bukan barang!"
"Tapi aku baru saja melakukannya. Kau lihat sendiri bukan?"
"Kau tak boleh menyakitiku!" hardik Gladys lagi.
"Tentu tidak. Aku hanya akan menyentuhmu dengan lembut," sahut Rafael sambil tersenyum licik. Setelah itu, tangannya mulai bergerak melepaskan kancing baju pertama Gladys.
"Tolong ... jangan ... lepaskan aku." Merasa tak ada lagi harapan, kali ini Gladys mengiba. Air matanya luruh membasahi pipi. Ingatan mengerikan kala mendapat perlakuan buruk dari Victor di Pulau Amui kembali menyeruak dalam benaknya.
"Hahaha ..." Seketika itu tawa Rafael pun pecah. "Ke mana kegaranganmu yang tadi?" ejeknya. Ia lalu menatap mata Gladys lekat-lekat.
"Ssh... tenang saja, aku tak akan menyakitimu..." tangan Rafael pun bergerak membuka kancing yang kedua. "Aku hanya ingin menikmati kemolekan tubuhmu," ujarnya sambil menyeringai.
"Kumohon ... Jangan, Tuan." seiring pakaiannya yang mulai tersibak, air mata Gladys pun mengalir semakin deras.
Seketika itu Gladys merasa pikirannya gelap. Meski Tuan Rafael menepati janji untuk tak menyakitinya secara fisik, batinnya sungguh tersiksa. Harga dirinya hancur ketika lekuk tubuhnya dijadikan tontonan bagi sang penguasa Trudid.
Sungguh menjijikkan ...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro