Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5

Hari berganti. Peter merasa emosinya sudah lebih stabil meski jiwanya tetap kosong. Kala itu ia berjalan-jalan di kebun belakang kastel yang dulu menjadi tempat favorit Muriel. Ia berharap setidaknya bisa mendapat sedikit penghiburan.

Sambil melangkah gontai, Peter melihat Eric sedang duduk di tepi kolam. Kesatria itu menatap hampa pada tanaman ginseng seribu tahun yang kini sedang berbuah. Tanaman yang dulu diberikan mendiang orang tua Aileen---seorang bangsawan dari negeri seberang---sebagai hadiah pernikahan dengan Gideon.

Tanpa suara, Peter mengambil tempat di sebelah Eric. 

"Hai," ujarnya singkat.

"Hai juga," balas Eric tak kalah lesu.

Keduanya lalu terdiam lagi dengan tatapan kosong.

"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Eric setelah beberapa lama larut dalam keheningan.

Peter mengangkat bahu. "Entahlah. Mungkin sebaiknya aku segera kembali ke Girondin untuk berlatih sihir. Ronald menungguku di sana."

Eric menatap Peter lalu tersenyum sekilas. "Pergilah. Kau masih muda dan berbakat. Aku yakin kau akan menjadi seseorang yang besar di masa depan."

"Terima kasih." Peter memaksakan seulas senyum. Bagaimanapun ia masih merasa gagal karena tak bisa berbakti pada ibunya.

Setelah itu suasana hening lagi. Burung-burung tampak bermain sambil berkicau di sela pepohonan dan bunga-bungaan. Kupu-kupu terbang dan hinggap mengisap sari bunga.

"Kalau begitu kapan kau berniat pergi? Aku bisa membantumu mendapatkan kapal," tanya Eric.

"Kurasa secepatnya akan lebih baik. Terus berada di sini hanya akan membuatku semakin sulit untuk bangkit. Setidaknya belajar sihir membuatku merasa masih punya tujuan hidup."

"Bagus kalau begitu." Eric menepuk bahu Peter. "Tetaplah bersemangat. Aku akan membuatkanmu surat yang bisa kau berikan pada seorang kapten kapal di dermaga. Ia akan segera mengantarmu."

"Terima kasih." Peter mengangguk singkat lalu melangkah pergi meninggalkan kebun. Sementara itu, Eric meremas selembar surat yang ia terima pagi itu dari seseorang yang mengaku utusan Harduin. Isinya meminta Eric untuk datang seorang diri ke hutan selatan jika ingin sang istri selamat. Di dalamnya juga terselip cincin pernikahan dan sejumput rambut merah Egelina.

Tak mau Peter celaka karena terlibat dalam masalah pribadinya, Eric berniat mengirim Peter pergi sebelum berusaha menyelamatkan Egelina. Ia pun beranjak meninggalkan kebun bunga dengan wajah gusar.

***

Suatu malam, ketika semua orang terlelap dan Peter telah berangkat ke Girondin, Eric bersiap mengenakan baju perangnya. Meski sadar bahwa kemungkinan besar tak bisa selamat, ia ingin memberikan perlawanan terakhir yang cukup berarti bagi para pemberontak Harduin. Dengan pedang dan perisai terselip di punggung, ia pergi meninggalkan kamarnya.

Pria itu melangkah terburu-buru tanpa memedulikan para penjaga kastel yang menatapnya keheranan. Sesampainya di istal, ia langsung menunggang kuda dan meminta penjaga untuk membuka gerbang kastel. 

Meski bertanya-tanya dalam hati, penjaga itu tak mempunyai pilihan. Ia tetap membukakan pintu karena yang memberikan perintah adalah Eric, sang kepala pasukan.

Dengan hati yang gundah, Eric langsung memacu kuda menembus belantara. Ia tak tahu apa yang kini sedang menunggunya, atau apakah ia akan berhasil menyelamatkan Egelina. Namun, seandainya pun gagal, ia berharap setidaknya bisa bertemu dengan sang istri sebelum ajal.

Suara binatang-binatang malam kini menjadi pengiring derap langkah kudanya melewati pepohonan.

Beberapa saat kemudian, terlihat beberapa obor menyala di kejauhan. Semburat kemerahan tampak berpendar mewarnai langit malam. Eric pun memperlambat laju kudanya. Kini ia harus bertindak lebih hati-hati. Musuh sudah tak jauh lagi.

Semakin jauh melangkah, Eric menemukan obor-obor itu terikat pada pepohonan. Sementara itu suasana senyap. 

Tak ada siapa pun di sana.

Sepertinya ini jebakan, gumam Eric lalu melompat turun dari kudanya. Meski curiga, tekadnya untuk menyelamatkan Egelina sudah bulat. Apa pun risikonya. Pria itu berjalan pelan menyusuri obor-obor yang disusun semakin lama semakin rapat. Hingga sayup-sayup, terdengarlah suara isakan seorang wanita.

Egelina? Eric menoleh ke sumber suara dan menemukan istrinya itu tengah terikat di bawah pohon dengan mulut tersumpal dan mata tertutup kain.

Tanpa pikir panjang, Eric langsung melesat.

"Tenanglah, ini aku," ujarnya berusaha menenangkan sang istri yang tampak gelisah. Ia terus menggeleng-gelengkan kepala sambil menangis.

Secepat kilat, Eric memotong tali yang mengikat Egelina lalu membuka penutup mata dan melepaskan kain penyumpal mulutnya.

Namun, seketika itu, Egelina mendorong tubuh Eric hingga terjatuh lalu mengayun-ayunkan tangannya, seolah meminta sang suami untuk segera pergi sementara ia terus menangis.

"K-kenapa?" tanya Eric. "Ayo kita pergi." Kesatria itu menarik tangan Egelina dan detik itu juga, ia menyadari bahwa lidah istrinya telah dipotong. Rupanya tadi Egelina sedang berusaha memperingatkan suaminya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa Rena telah mempersiapkan jebakan.

Bersamaan dengan itu, sebuah anak panah melesat tiba-tiba. Hanya beberapa sentimeter dari telinga Egelina.

Dengan panik, Eric langsung mengajak Egelina berlari secepat mungkin sementara anak panah terus berdesing di sekitar mereka. Rupanya pasukan Harduin telah mengepung. Mereka menyerang dari balik kegelapan hutan.

Meski tampaknya sama sekali tak ada harapan, Eric tak mau menyerah. Ia terus membawa Egelina berlari menuju kuda yang ia tambatkan tak jauh dari situ. Namun malang, ketika sudah begitu dekat, tiba-tiba kaki Egelina tertusuk panah. Sambil menjerit kesakitan, wanita itu pun jatuh terjerembab.

Eric berusaha menolong tetapi Egelina tampak menolak. Ia sudah pasrah jika memang harus mati saat itu.

Namun, Eric tetap bersikeras. Ia menggendong tubuh sang istri lalu mendudukkannya di atas kuda. Namun malang, seketika itu sebilah panah melesat menembus dada Egelina, membuatnya terkulai lemas dan jatuh dari atas tunggangan.

Eric hanya bisa terpaku melihat wanita yang sangat dicintainya itu ambruk bersimbah darah. Dengan tangan gemetar, ia memeluk tubuh Egelina yang terasa semakin dingin.

"Ma-maafkan aku ...," Eric tak kuasa lagi menahan tangisnya.

Sementara itu, Egelina memaksakan seulas senyum di bibir seolah mencoba mengatakan bahwa tak ada penyesalan dalam hidupnya. Ia bersyukur telah mengenal dan menikah dengan Eric, meski hidupnya kini harus berakhir tragis.

Dengan sisa sisa-sisa tenaga, perempuan itu mengelus pipi Eric. Hanya sedetik sebelum akhirnya jatuh terkulai ke tanah.

Egelina pun wafat. Ia mengembuskan napas terakhir sambil tersenyum dalam pelukan sang suami.

Dengan napas memburu dan tubuh gemetar hebat, Eric berteriak memecah keheningan hutan. Air matanya luruh tak terkendali lagi. Giginya bergemeretak marah sementara tangannya terkepal erat.

"KELUAR KALIAN PENGECUT!" teriaknya marah. Dengan rahang mengeras, ia menatap nyalang pada kegelapan hutan. Kesatria itu merasa separuh jiwanya baru saja pergi.

Bersamaan dengan itu, mendadak hujan panah di sekitarnya berhenti dan suasana pun senyap.

Rena Harduin keluar dari persembunyian bersama para pasukan. "Selamat datang, maaf kami terlambat menyambut." Seringai kemenangan terukir di bibir Rena.

"Kau! Dasar pengecut!" Eric meludah lalu menarik pedang dan perisainya. Ia sudah bertekad untuk bertarung sampai mati.

"Eric Dorner ... sang kesatria. Kau benar-benar seorang pemberani." Rena bertepuk tangan sambil terkekeh. "Sayang sekali ... sebentar lagi kau akan mati."

Tanpa mengucap sepatah kata, Eric langsung menyerbu dengan pedang terhunus. Rena memilih mundur, membiarkan pasukannya meladeni lawan. Ia tahu kemampuan berpedangnya tak mampu menandingi sang kesatria.

Dentang pedang beradu seketika terdengar memecah kesunyian malam. Terbakar amarah, Eric pun menyerang membabi buta. Ia tahu dirinya tak mungkin menang melawan musuh yang jumlahnya jauh lebih banyak. Mereka tertawa-tawa mengejek sambil menangkis dan menghindar.

"Ternyata hanya segitu kemampuanmu?"

"Nama besarmu sama sekali tak sepadan."

"Kesatria terhebat dari Fortsouth ... cuih."

Sambil terus tertawa, para pasukan Harduin berdiri membentuk lingkaran dan mengepung Eric. Mereka tampak menikmati kesempatan langka itu. Sementara dihina dan diludahi, Eric berusaha menyabetkan pedang pada siapa pun yang ada di depannya. Namun percuma saja, lawan dapat menghindar dengan mudah.

Menyerang tanpa kendali justru membuat Eric harus terluka. Seseorang menusuk bahu kanannya dari belakang. Sambil berteriak kesakitan, pedangnya pun jatuh berkelontangan ke tanah.

"Jangan terlalu cepat membunuhnya, kita buat dia menderita dulu," ujar salah seorang dari pasukan sambil terkekeh lalu menendang tubuh Eric, membuatnya berguling kesakitan.

Eric kini sama sekali tak berdaya. Tanpa senjata, ia hanya bisa meringkuk pasrah ketika lawan-lawannya mulai menendang dengan beringas. Kaki, perut, dada, kepala, tak ada yang lolos dari serangan mereka. Dengan hidung dan mulut berdarah serta sekujur tubuh terluka, Eric merasa kesadarannya kian menurun.

Namun, ketika kegelapan sudah hampir merenggut seluruh kesadarannya, pasukan Harduin tiba-tiba tampak berlari kocar-kacir. Anak panah berdesing ditembakkan menyasar mereka. Satu per satu pun ambruk meregang nyawa.

Sebelum pingsan sepenuhnya, samar-samar Eric melihat Arden muncul memimpin pasukan, mengepung dan mencerai-beraikan kelompok Harduin.

Hutan yang semula tenang kini telah berubah menjadi sebuah medan perang. Darah tertumpah membasahi tanah dan rerumputan. Jerit kesakitan seketika menyeruak memenuhi belantara. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasukan Harduin akhirnya berhasil ditumpas.

Sementara itu, Arden berjalan mendekati Rena yang kini telah terkepung.

"K-kenapa? Kau sudah berjanji---"

Tanpa membiarkan Rena menyelesaikan kalimat, Arden menusuk perut wanita itu, membiarkannya ambruk bersimbah darah.

"Jangan pernah percaya siapa pun," bisik Arden seolah mengantar kematian sang keturunan terakhir Harduin. Dengan mata membelalak, Rena pun wafat di tangan sang calon suami.

Sukses meraih kemenangan, para prajurit pun bersorak. Setelah bertahun-tahun, mereka akhirnya berhasil menumpas kelompok Harduin sampai ke akar-akarnya. Dan Arden mengklaim seluruh kredit bagi dirinya. Ia pun memperoleh kepercayaan dari semua pasukan, termasuk para loyalis Eric yang semula masih menaruh curiga terhadapnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro