Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Rembulan tengah menggantung di langit Kota Fortsouth. Arden bersama dua orang pengawal membawa Egelina keluar dari kastel melalui lorong rahasia.

"Ayo cepat!" hardiknya pada sang wanita yang tengah mengandung itu. Tangannya terikat sementara mulutnya tersumpal. Tak ada yang mampu ia lakukan untuk melawan, selain terus terisak tanpa suara.

Mereka keluar dari mulut lorong dan terus berjalan menembus kegelapan hutan. Hingga beberapa saat kemudian, Arden melihat beberapa obor menyala yang bergerak mendekat.

"Itu mereka," ujarnya lalu melangkah lebih cepat.

Sesosok wanita paruh baya berkerudung tampak dari keremangan cahaya obor. Ia berdiri ditemani dua orang pria yang semuanya mengenakan pakaian hitam.

"Arden ... kau datang juga."

Arden membalas senyuman wanita itu lalu menyahut, "Rena Harduin ... satu-satunya keturunan Harduin yang tersisa."

"Tak perlu berbasa-basi. Hadiah apa yang kaubawa untukku?" sahut Rena ketus.

"Hahaha ... kau memang selalu tidak sabaran," sahut Arden. Ia lalu melambaikan tangan pada kedua pengawalnya untuk menyerahkan Egelina pada Rena.

"Siapa dia?" Alis Rena tampak berkerut melihat wanita berambut merah itu.

"Egelina. Dia istri kesayangan Eric."

"Kenapa kau tidak membawa Gladys?"

"Dia sudah mati," sahut Arden singkat. Ia lalu melanjutkan kalimat sambil menatap Egelina. "Perempuan ini juga sandera yang berharga. Cukup untuk membuat Eric bersedia menyerahkan diri."

Tanpa suara, Rena menatap Egelina dari puncak kepala hingga ujung kaki. Wanita itu kini tampak sangat kusut. Rambutnya lepek dan acak-acakan sementara wajahnya basah oleh air mata. "Huh, Eric menyayangi perempuan seperti ini? Seleranya buruk sekali," gumamnya.

"Baiklah, aku percaya padamu." Wanita itu lalu menatap Arden lagi. "Tapi kenapa kita harus repot-repot menggunakan sandera? Bukankah semua akan beres jika sekarang aku masuk dan menikah denganmu? Sekarang kau yang berkuasa di sana bukan?"

"Eric mengetahui identitasmu sebagai keturunan terakhir Harduin. Jika kita menikah sekarang, dia akan berusaha menyingkirkanmu begitu kembali dari Girondin. Kita harus menyingkirkannya dulu sebelum kita bisa menikah. Setelah itu kita memerintah Fortsouth bersama-sama."

"Kurasa kita bisa mencegahnya masuk ke kota. Pasukannya pasti sudah lelah setelah berperang dan menempuh perjalanan jauh dari Girondin."

"Hal itu bisa saja kita lakukan, tapi akan cukup berisiko. Beberapa orang mungkin bisa selamat dan menyebarkan informasi bahwa Fortsouth telah dikudeta. Jika itu terjadi, bukan tak mungkin raja akan mendengar dan mengirimkan pasukan untuk merebut kembali kota ini. Kau tahu? Aku lebih suka menggunakan cara-cara yang halus."

Rena terdiam sejenak mendengar penuturan Arden. Sejauh ini, pria itu tampak bisa dipercaya. Ia bahkan sudah membunuh tuannya sendiri demi membuktikan diri. "Lalu bagaimana rencanamu?" tanyanya sejurus kemudian.

"Setelah ini, bersembunyilah bersama pasukanmu di hutan sebelah selatan. Ketika Eric sudah kembali, aku akan menyuruh seseorang untuk memberikan surat ancaman padanya. Isinya meminta dia agar menyerahkan diri padamu demi keselamatan Egelina. Saat itu lah kau bisa membunuh mereka berdua sekaligus. Aku yakin dia cukup kesatria sekaligus bodoh untuk datang sendiri demi cintanya. Apalagi saat ini Egelina sedang mengandung buah hatinya. Jika semua berjalan lancar, kau bisa masuk ke Fortsouth dengan identitas baru dan menikah denganku."

"Hahaha ... Kau benar-benar licik," puji Rena sambil tersenyum. "Baiklah, kalau begitu sekarang aku pergi dulu. Terima kasih untuk sandera berharga ini." Rena pun pergi membawa Egelina meninggalkan Arden dengan seulas senyum di bibir.

***

Beberapa hari kemudian, Eric dan Peter tiba di Pulau Yaendill bersama para pasukan. Arden sengaja datang ke dermaga untuk menyambut kedatangan mereka.

"Selamat datang kembali," ujar Arden sambil tersenyum dan menepuk bahu Eric.

"Terima kasih," sahut Eric. "Bagaimana kabar Tuan Gideon dan keluarga?"

Seketika itu, raut wajah Arden berubah sedih. Ia terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Ini salahku. Aku tak bisa menjaga amanat dengan baik."

"A-apa yang terjadi?" Melihat reaksi Arden, Eric mendadak khawatir.

"Ayo ikut aku. Akan kuceritakan sembari kita makan. Aku yakin kau pasti lelah setelah berperang dan menempuh perjalanan yang jauh," sahut Arden.

Setelah itu, keduanya pun berjalan beriringan menuju sebuah kedai makan yang masih terletak di sekitar dermaga.

Sementara Eric pergi bersama Arden, Peter memilih menunggu di dekat kapal. Ia makan hidangan yang telah disediakan untuk para pasukan. Pemuda itu tak mau memanfaatkan kedekatannya dengan Eric untuk mendapat keistimewaan lebih.

Setibanya di sebuah kedai, Arden langsung memesan ikan dan udang bakar pada seorang pelayan. "Makanan laut di kedai ini terkenal lezat karena masih segar," ujar Arden pada Eric yang kini telah duduk di hadapannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Mengabaikan percakapan basa-basi Arden, Eric memilih untuk langsung menuju inti permasalahan.

Arden mengembuskan napas panjang sebelum menjawab. "Sepuluh hari yang lalu kelompok Harduin menyusup ke dalam kastel melalui lorong rahasia---"

"Bagaimana mungkin? Tak ada yang tahu jalan rahasia itu selain orang dalam," sergah Eric.

"Itulah masalahnya. Dalbot berkhianat. Dia bekerja sama dengan kelompok Harduin untuk menjatuhkan keluarga Gideon." Arden mendesah sejenak sebelum melanjutkan. "Malam itu, Tuan Gideon wafat oleh kelompok Harduin."

"Astaga!" Mendengar berita kematian tuannya, rahang Eric mengeras. Dengan tangan terkepal erat, ia bertanya lagi, "Lalu bagaimana dengan Nyonya Aileen dan Nona Gladys?"

"Sayang sekali, mereka juga tidak selamat." Arden mendesah gusar. "Malam itu, sementara para penjaga yang masih setia berjuang melawan pengkhianat, aku membawa Gladys bersama istrimu, Egelina, keluar dari kastel untuk bersembunyi di hutan. Saat itu kondisi sedang kacau dan aku tidak berhasil menemukan Aileen. Kemudian, setelah mendapatkan tempat yang kurasa cukup aman, aku meninggalkan mereka dan kembali ke kastel untuk membantu melawan para pengkhianat. Kami beruntung karena akhirnya mereka berhasil dikalahkan. Aileen juga masih hidup saat itu." Arden berhenti sejenak karena seorang pelayan telah datang untuk mengantarkan makanan.

"Lalu apa yang terjadi?" Tanpa menghiraukan makanan yang telah tersedia, Eric mendesak Arden untuk melanjutkan cerita.

"Setelah kondisi dalam kastel cukup terkendali, aku kemballi ke hutan untuk menjemput Gladys dan Egelina." Setelah itu Arden terdiam dengan raut wajah sendu. "Apakah tidak sebaiknya kita makan dulu?" tanyanya.

"Tidak! Aku harus tahu cerita selengkapnya dulu," sahut Eric gusar.

"Baiklah," sahut Arden lalu terdiam sejenak. Ia menghela napas panjang. "Setibanya di hutan, Gladys dan Egelina telah menghilang."

"B-bagaimana mungkin?" tanya Eric dengan suara parau.

"Sepertinya pasukan Harduin yang tersisa berhasil menemukan dan menangkap mereka .... Maafkan aku," jawab Arden lirih.

Seketika itu rahang Eric mengeras. Jiwanya kalut karena mengetahui istrinya yang sedang hamil kini menghilang. Ia hanya bisa terdiam menatap Arden yang tampak merasa begitu bersalah.

"Setelah itu, dengan hati yang hancur aku kembali ke kastel untuk memberitahu Aileen bahwa Gladys telah menghilang. Ia tampak sangat terpukul mendengarnya," desah Arden. "Meskipun begitu, dalam keterpurukan dan kondisi yang tidak menentu, ia memintaku untuk menikahinya demi mencegah gejolak politik yang tidak perlu. Kau tahu, kursi penguasa yang kosong akan menarik banyak pihak untuk memperebutkannya." Arden mengambil segelas anggur lalu minum sebelum melanjutkan. "Ia benar-benar seorang wanita yang berjiwa besar."

Eric mengangguk-angguk setuju pada pernyataan Arden.

"Aku benar-benar prihatin dengan nasib Aileen. Beberapa hari kemudian, kami menemukan jasad Gladys di hutan dalam kondisi tertusuk panah."

Seketika itu juga, Eric tak mampu lagi menahan kesedihannya. Orang-orang yang selama ini ia lindungi sekuat tenaga, meninggal dalam waktu yang hampir bersamaan sementara tak ada yang bisa ia lakukan. Tanpa suara, air matanya pun menetes membasahi meja.

"L-lalu bagaimana dengan Nyonya Aileen?"

"Setelah mengetahui putri kesayangannya wafat, ia menjadi sangat terpukul dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan minum racun." Arden mendesah mengakhiri ceritanya.

"Sekali lagi, maafkan aku," lirih Arden.

Setelah itu, keduanya terdiam. Hingga beberapa saat kemudian, Arden memecah keheningan dan menyodorkan makanan pada Eric.

"Ini makanlah. Semoga bisa membuatmu merasa lebih baik," tukasnya.

Tak memiliki banyak pilihan, Eric tetap diam ketika Arden meletakkan beberapa potong ikan dan udang ke piringnya. Sesaat kemudian ia bertanya lagi, "Bagaimana aku bisa mempercayaimu begitu saja?"

Arden terdiam sejenak lalu menyandarkan punghung di sandaran kursinya.

"Jika aku mengarang semua cerita itu, untuk apa aku datang ke sini menemuimu? Lebih baik aku diam di dalam kastel dan menghujanimu bersama seluruh pasukan dengan panah. Atau aku bisa saja mengirimkan pasukan untuk menyergapmu dalam perjalanan. Mereka pasti kelelahan dan tak bisa memberikan perlawanan maksimal."

Mendengar itu, Eric hanya bisa terdiam. Seluruh penjelasan Arden terdengar sangat meyakinkan dan masuk akal.

"Makanlah, akan menjadi tidak enak jika sudah dingin," tutur Arden. Ia kemudian diam untuk menunggu reaksi Eric.

"Baiklah," lirih Eric. Keduanya lalu makan dalam suasana hening.

Eric yang masih sangat terpukul tampak sama sekali tak bisa menikmati hidangan lezat di hadapannya. Ia hanya makan sedikit lalu memutuskan pergi meninggalkan Arden. Ia membutuhkan udara segar untuk menjernihkan pikiran.

Setelah cukup istirahat, rombongan pasukan membentuk barisan dan mulai bergerak kembali ke Fortsouth.

Dalam perjalanan, meski masih bersedih, Eric berusaha tegar dan menceritakan kematian keluarga Gideon pada Peter dan orang-orang terdekatnya yang lain. Mereka semua pun terkejut dan ikut larut dalam duka mendalam.

Sementara itu, Peter yang belum mengetahui nasib ibunya dari Eric langsung memberanikan diri bertanya pada Arden.

"Maaf, tapi apakah ibuku masih hidup?" tanya Peter cemas.

Arden menghela napas sejenak.  "Maaf, Muriel telah wafat karena berusaha melindungi Nyonya Aileen."

Detik itu juga, air mata Peter jatuh berlinang. Batinnya merana karena tak sempat berpisah dengan sang ibu untuk yang terakhir kali. Sambil melangkah gontai, Peter merasa awan kelabu seolah sedang menaungi jiwanya---meski saat itu mentari sedang bersinar cerah.

Suasana duka tetap terasa hingga akhirnya rombongan tiba di kota. Tak ada sambutan meriah pun sorak sorai membahana. Itu semua menjadi tidak layak mengingat kematian Gideon yang belum lama.

Sementara Eric masuk ke kamar yang kini senyap---tak ada lagi sambutan hangat dari sang istri---Peter memilih menyendiri untuk mengunjungi Muriel yang telah dimakamkan bersebelahan dengan sang suami

"Ibu, aku kembali ..." Peter berbisik sambil berurai air mata. Ia pun jatuh bersimpuh di hadapan pusara kedua orang tuanya.

"Maaf aku terlambat," lirihnya lagi. Dalam hati ia merasa bersalah karena telah pergi terlalu lama.

Awan kelabu yang menggantung di angkasa membuat suasana sore itu terasa hampa. Suara burung gagak terdengar di sela-sela angin yang berdesir mempermainkan helai-helai ilalang.

Dalam hati, Peter merutuki diri sendiri yang kembali disusupi perasaan tidak berguna. Kala ia belum berhasil menguak misteri kematian sang ayah, ibunya justru sudah harus menyusul ke alam baka.

Dengan tangan terkepal erat, ia pun berteriak kencang meluapkan emosi yang terasa menghimpit jiwa. Jika dulu masih Anna untuk saling berbagi rasa, kini ia harus menghadapi semuanya seorang diri.

Bersamaan dengan guntur yang menggelegar di angkasa, hujan pun turun membasahi bumi. Peter membiarkan sekujur tubuhnya basah, seolah berharap air dapat membasuh dan menghanyutkan duka yang menggelayut di dalam dada.

Hingga setelah lama terduduk tak berdaya, Peter akhirnya berhasil mengumpulkan sisa-sisa tenaga untuk melangkah gontai dan kembali ke kastel.

Semua terasa berbeda meski secara fisik tak ada yang berubah. Kasih sayang Muriel, keramahan Gideon dan Aileen, juga kecantikan Gladys kini telah lenyap. Hanya jejak nostalgia yang perlahan menyusupi jiwa. Bahkan Borin juga kini tengah berada di lokasi yang sangat jauh.

Peter merasa hampir gila ketika tiba-tiba ia juga merindukan perseteruan abadinya dengan Ramos. Seluruh pengalaman masa kecilnya telah lenyap berganti kenangan. Dan Fortsouth kini tak lagi terasa seperti rumahnya. Ia merasa asing di tempat kelahirannya sendiri.

Setelah mengeringkan tubuh di kamar yang disediakan Arden baginya, Peter rebah di atas pembaringan dan membiarkan air matanya kembali mengalir. Ia hanya terdiam hingga akhirnya jatuh terlelap. Fisiknya terasa begitu lelah sementara jiwanya hampa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro