Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 35

"Tidak ... tidak! Ini tidak adil!" rintih Peter sambil terus memeluk tubuh Anna. Air matanya mengalir deras.

Sementara itu Borin, Jack, Susan, Andrew, dan Gladys hanya bisa menyaksikan pemandangan memilukan itu dalam diam. Mereka bisa merasakan kesedihan mendalam yang dialami Peter.

Di tengah suasana duka itu, Ainsel tiba-tiba berjalan mendekati Peter lalu menjilatinya, seolah berusaha menguatkan pemuda itu. Setelah itu, ia berpaling pada Gladys lalu berbisik padanya, Aku bisa menghidupkannya kembali.

Gladys pun menoleh pada sang unicorn. "Bagaimana caranya?"

Potonglah tandukku dengan kapak dari kristal armelin. Kau akan mendapatkan cairan berwarna keperakan dari dalamnya. Itu adalah intisari keabadianku.

"Intisari keabadian? Itu berarti kau akan kehilangan keabadianmu?"

Ya, tenang saja, aku tak akan mati. Aku hanya akan kehilangan keabadian dan menjadi seperti kuda biasa.

"Kau yakin?" tanya Gladys lagi.

Ya, dia orang yang sangat layak mendapatkan anugerah ini. Aku sudah memberitahunya bahwa ia akan mati dalam perang ini, tapi, ia tak memedulikan itu dan tetap menolong orang lain. Jika ia rela mati untuk orang lain, maka adalah sebuah kehormatan bagiku jika bisa mati untuk kebangkitannya. Ini memang adalah takdirku.

"Terima kasih," bisik Gladys sambil memeluk Ainsel erat. Ia lalu menyampaikan kabar gembira itu pada Peter. 

Perasaan Peter seketika campur aduk. Ada kelegaan karena Anna bisa dibangkitkan, bersyukur atas pengorbanan Ainsel, hingga khawatir mengenai hubungannya sendiri. Seandainya pun Anna bangkit, gadis itu bukanlah miliknya. Ada Andrew yang sudah resmi menjadi suaminya.

Setelah itu, Borin mendekat sambil membawa kapaknya sementara Ainsel berbaring di tanah. "Bersiaplah," ujar Borin sambil mengangkat kapaknya.

Dalam sekali ayun, kapak Borin menghantam tanduk Ainsel dan memotongnya. Seperti apa yang sudah dikatakan oleh sang unicorn, ada cairan perak di dalam tanduk itu. Peter pun segera membawanya pada Anna, lalu menyuapkannya.

Ajaib, dalam beberapa saat, wajah Anna yang semula pucat berangsur-angsur kembali merona. Ia lalu tersentak dalam sebuah tarikan napas yang keras sementara matanya membelalak terkejut. 

"A-apa yang terjadi?" gumam Anna.

Sementara itu, Peter yang kegirangan tak dapat menyembunyikan perasaannya lagi. Ia segera memeluk Anna erat-erat. Air matanya pun jatuh tak terbendung lagi. "Syukurlah, kau kembali," isaknya.

Anna pun membalas pelukan Peter tak kalah erat. Selama beberapa saat, keduanya pun larut dalam renjana.

Namun, sesaat kemudian, Anna melihat Andrew yang berdiri tak jauh darinya. Merasa tak enak, ia spontan melepaskan pelukan Peter.

"Ma-maafkan aku," gumam Anna sambil berusaha menghindari tatapan mata Andrew.

Andrew menghela napas panjang lalu berujar lirih, "Ternyata yang kudengar itu benar."

"A-apa maksudmu?"

"Sebenarnya ada seseorang yang sempat mencuri dengar pembicaraanmu dengan Gladys beberapa hari yang lalu. Ia lalu menyampaikannya padaku. Sebenarnya aku tak mau percaya begitu saja sebelum menanyaimu secara langsung. Namun, sekarang aku sudah melihat semuanya sendiri." Andrew mendesah berat. "Ternyata selama ini kau tak pernah mencintaiku."

"Maaf." Tak ada hal lain yang bisa Anna sampaikan selain permintaan maaf.

Andrew terdiam lagi sambil memandang ke kehancuran di sekitarnya. Ia lalu ganti menatap Anna. "Tak perlu minta maaf. Tak ada yang salah dengan perasaan. Tak ada yang bisa mengendalikannya." 

"Tapi aku sudah menipumu dengan berjanji setia dalam ikatan perkawinan."

"Kau tidak menipuku. Hanya maut yang bisa memisahkan ikatan perkawinan. Dan dia baru saja melakukannya." Andrew tersenyum sekilas lalu ganti menatap Peter.

"Jaga dia baik-baik."

Peter terdiam sejenak belum bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, detik berikutnya ia segera berlutut di hadaan sang raja. "Terima kasih, Yang Mulia," ujarnya.

"Tak perlu seperti ini," sahut Andrew. Ia lalu meminta Peter berdiri dan menyalaminya erat. "Terima kasih karena telah berjuang bersama-sama. Tanpamu, Ethardos akan hancur." Keduanya lalu saling berpelukan hangat.

Semua yang menyaksikannya pun tersenyum bahagia.

Namun, saat kegembiraan merekah di hati banyak orang, Gladys justru terduduk lesu di sebelah Ainsel. "Kau bilang bahwa kau tak akan mati dan hanya menjadi kuda biasa?"

Ya, aku terpaksa mengatakan itu agar kau tidak terbebani ketika harus memotong tandukku, sahut Ainsel melalui telepati pada Gladys. Rupanya kuda putih itu telah berbohong. Setelah tanduknya dipotong, tubuhnya berangsur-angsur melemah dan menjadi kurus seperti tulang berbalut kulit.

Usiaku sudah sangat tua. Tanpa cairan keabadian itu, aku akan mati. Terima kasih telah menemaniku sampai akhir. Setelah itu, Ainsel pun mengembuskan napas terakhirnya.

Gladys terdiam sambil memeluk erat Ainsel. Matanya basah dan tubuhnya gemetar.

Tanpa suara, Anna lalu datang menghampiri Gladys dan memeluknya untuk memberikan penghiburan. Bagaimanapun, Ainsel mati demi membawanya hidup kembali.

Kini perang telah usai, tetapi para prajurit masih harus bekerja dengan membereskan jasad-jasad yang bergelimpangan. Di tengah-tengah kesibukan itu, Karl dan Ramon datang menemui Andrew.

"Sepertinya kita perlu bicara," ujar Karl pada Andrew.

"Tentu," sahut Andrew. "Apa yang kalian inginkan?"

Karl maju dan angkat bicara. "Setelah semua yang terjadi, tak ada lagi yang kuinginkan. Aku percaya apa yang kuperjuangkan sudah kaupahami. Kurasa sebaiknya aku pergi untuk tinggal bersama kaum orc di dunia mereka. Tak ada gunanya lagi terus bertikai."

"Itu keputusan yang bijak. Aku pernah membuat kesalahan dengan meremehkan hukum agama Herod. Aku sudah melihat sendiri keajaiban Ignam Vintris, dan mulai saat ini, agama Herod akan menyebar hingga ke seluruh pelosok negeri." tukas Andrew.

"Terima kasih," sahut Karl. Ia lalu pergi diiringi oleh para orc yang masih tersisa.

Andrew lalu ganti menatap Ramon dan mempersilakannya bicara. 

"Ayahmu telah mengingkari janji. Ia membunuh anakku, dan merebut Doria. Aku datang untuk membalas dendam."

"Ayahku melakukan itu demi melindungi Isabel. Kuharap kau bisa mengerti itu. Dan sekarang ayahku juga sudah wafat. Kau akan mendapatkan kembali wilayahmu dan kurasa tak ada yang perlu diperpanjang lagi."

"Baiklah, tapi kurasa aku perlu menyerahkan ini." Ramon menghampiri Jack lalu mengambil sebilah pisau dengan batu rubi di gagangnya. 

"Karena dibutakan oleh dendam, aku telah menyalahgunakan benda sakti ini. Barangsiapa memilikinya, ia memiliki kuasa atas para kobold." Ia lalu memberikan pisau itu pada Jack. "Bawalah mereka kembali ke Pulau Amui. Aku bersalah telah mengubah penduduk suku di sana menjadi kobold. Kuharap kalian bisa mengembalikan mereka seperti semula." 

Setelah itu, Ramon pun pergi.

"Bagaimana dengan Dickens dan Arden?" tanya Andrew pada salah seorang jenderalnya.

"Dickens ditemukan tewas di medan perang, tapi Arden tak dapat ditemukan," sahut sang jenderal.

"Baiklah kalau begitu, terima kasih untuk perjuangan kalian semua. Hari ini akan dicatat dalam sejarah sebagai kemenangan besar!"

Para prajurit yang tersisa pun bersorak. Semua perjuangan mereka membuahkan hasil, meski tak sedikit nyawa yang harus melayang.  

***

Di tengah kegelapan malam, Arden melangkah tergesa. Napasnya memburu sementara keringatnya menetes membanjiri wajah. Ambisinya telah gagal dan ia memilih lari menyelamatkan diri. Suara lolongan serigala terdengar dari kejauhan membuatnya kian ngeri.

Hingga menjelang tengah malam ia kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Di bawah sebuah pohon besar, Arden pun duduk sambil menghela napas panjang.

Namun, belum sampai staminanya pulih, seekor serigala muncul dari balik pepohonan hutan.

"Pergi kau!" hardik Arden dengan tubuh gemetar.

Mencium ketakutan, serigala itu justru melangkah mendekat. 

Tak mau jadi santapan serigala, Arden pun memaksa kakinya melesat lagi. Namun, karena kurang hati-hati, ia justru tersandung dan jatuh terjerembab ke tanah. Detik itu juga, ia merasa bahwa ajalnya akan segera tiba. Ia menoleh ke belakang, tetapi aneh, serigala itu tidak menerkam. Ia hanya menggeram dari jarak beberapa meter.

Meski sudah lelah setengah mati, Arden terpaksa bangkit dan berlari lagi. Kecepatannya kini sudah jauh menurun. Ia sesekali berhenti untuk mengambil napas. Namun, melihat serigala itu masih mengikuti, ia sama sekali tak bisa beristirahat. Sebentar kemudian ia pun memacu lagi langkahnya.

Di tengah keputusasaan, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan menancap di sebuah pohon di sebelah Arden. Terkesiap, ia menoleh dan mendapati seorang perempuan berambut kemerahan menggenggam sebailah busur.

"G-gladys?" ujarnya tergagap. Matanya membola karena ketakutan. Dalam ingatannya yang telah dimodifikasi, Gladys sudah mati saat malam pemberontakan Harduin. 

"Akhirnya kita bisa bertemu lagi," ujar Gladys sinis. Ia menarik busur lalu melepaskan anak panahnya. 

Arden menjerit ketika anak panah itu menembus lengan kirinya.

"Ini untuk ayahku," ujar Gladys sambil menarik lagi busurnya.

Ketakutan, Arden pun berbalik mencoba kabur. Namun, anak panah berikutnya melesat lagi, mengenai lengan kanannya.

"Ini untuk ibuku," lanjut Gladys. 

Meski rasa sakitnya semakin tak tertahankan, Arden terus memaksakan diri untuk melangkah. Sementara itu, Gladys kembali merentang busur bersiap untuk menembak. Kali ini, ia menyasar jantung Arden.

Namun, seketika anak panah siap dilesatkan, Borin datang dan menghalanginya. Ia menyentuh lengan Gladys lembut sambil menatap matanya.

"Tak perlu mengotori tanganmu dengan membunuhnya. Ia sudah kalah. Jangan biarkan nafsu membunuh itu menguasaimu." 

Keduanya lalu saling bertatapan dalam diam. Angin malam berembus lembut menenangkan. Suara langkah kaki Arden yang terseok-seok terdengar semakin menjauh hingga akhirnya lenyap ditelan kesunyin hutan. Gladys melepaskan busurnya, membiarkannya jatuh ke tanah. Ia terisak lalu memeluk Borin erat-erat. 

"Terima kasih. Aku hampir saja jatuh dalam kegelapan," bisik Gladys.

Borin tak menyahut. Di tengah gelapnya malam, keduanya saling berpelukan erat. Beberapa saat kemudian, mereka duduk bersebelahan di bawah pohon.

"Apa rencanamu setelah ini?" tanya Borin.

"Andrew mengatakan bahwa sebagai keturunan terakhir dari keluarga Fernir, aku berhak mengambil kepemimpinan atas Fortsouth," ujar Gladys. "Kau sendiri? Kau akan kembali ke Gunung Grimforge?"

"Jika kau mengizinkan, aku akan kembali ke Fortsouth. Di sanalah rumahku."

Untuk sesaat Gladys menatap Borin dalam diam. "Maksudmu?" tanyanya kemudian.

Borin, tiba-tiba berdiri lalu berlutut di hadapan Gladys dengan sebentuk cincin bertakhtakan kristal armelin. "Aku mencintaimu. Dan aku berharap kau bersedia menjadi rumahku, tempatku selalu pulang kembali."

Gladys terdiam sejenak lalu tersenyum sambil mengangguk sementara air matanya menitik. "Tentu. Kau boleh pulang kapan pun," ujarnya dengan mata berlinang. Ia lalu mengulurkan tangannya sementara Borin memasangkan cincin pemberiannya.

"Terima kasih, sudah menerimaku," ujar Borin. Mereka lalu duduk kembali, saling bersebelahan.

"Sebenarnya aku pun menyukaimu. Tapi aku merasa takdir kita terlalu jauh. Aku memiliki tanggung jawab sebagai keturunan terakhir keluarga Fernir, sementara kau adalah raja kaum dwarf," ujar Gladys.

"Takdir? Mulai sekarang, kita akan menentukan takdir kita sendiri."

Gladys tersenyum tipis mendengarnya. "Lalu bagaimana dengan kaum dwarf?"

"Aku akan menyerahkan kekuasaan pada Thikram. Ia dapat memimpin para dwarf lebih baik dariku."

Gladys lalu menggenggam tangan Borin dengan lembut. "Kau telah tumbuh semakin dewasa."

Malam itu, di tengah sinar lembut sang rembulan, keduanya saling berpadu rasa. Tak ada lagi kekhawatiran akan hari esok. Berdua, mereka bisa menghadapi apa pun yang akan terjadi kelak.

*** 

Siang itu, Andrew mengumpulkan para pejabat penting untuk berkumpul di aula kastel. Ada beberapa pengumuman yang akan ia sampaikan.

Sambil berdiri di hadapan para hadirin, ia pun berkata, "Saudara-saudaraku semua. Perang telah usai, dan kini Ethardos akan menyongsong era yang baru. Beberapa wilayah yang sempat dikuasai musuh telah kembali dalam persatuan dengan Ethardos. Untuk itu, aku telah menunjuk para pejabat baru yang akan menjadi penguasa atas beberapa wilayah Ethardos."

"Peter Cornell," ujarnya memanggil. Peter pun maju dan berlutut di hadapan sang raja.

"Dengan ini, aku menunjukmu sebagai penguasa atas Bergstone. Bangunlah kembali wilayahmu dan hukum para penyihir akan berlaku di sana."

"Terima kasih, Yang Mulia," ujar Peter. Setelah mendapat surat pelantikan, ia mundur kembali.

"Gladys Fernir," ujar Andrew lagi. Gladys pun maju dan berlutut. 

"Kau adalah keturunan terakhir keluarga Fernir, penguasa yang sah atas Fortsouth. Dengan ini, aku memulihkan kembali hakmu atas wilayah itu."

Ayah, Ibu, sekarang kalian bisa beristirahat dengan tenang. Aku akan kembali ke rumah, bisik Gladys dalam hati. Ia lalu bangkit dan kembali dengan air mata haru berlinang di pelupuk matanya. 

"Remnant dari Girondin!" panggil Andrew kemudian.

Sang kesatria pun maju dan berlutut, siap menerima perintah.

"Dengan menolong Nona Zalika, kau telah menunjukkan keberanian, kemanusiaan, serta kesetiaan yang besar. Untuk itu, aku menunjukmu sebagai penguasa atas Girondin."

"Terima kasih, Yang Mulia," sahut Remnant.

Setelah menyerahkan mandat pada masing-masing penguasa wilayah, Andrew berkata lagi. "Pada kesempatan ini, aku ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya untuk semua yang telah berjuang dengan sekuat tenaga. Dan dengan gembira, aku juga menyampaikan restu pada pernikahan Saudara Peter dan Saudari Anna, serta Saudara Borin dan Saudari Gladys." Saat itu, tepuk tangan riuh pun membahana memenuhi aula.

Andrew mengangkat tangan untuk menenangkan hadirin lalu berkata lagi, "Kepada Tuan Herbert silakan maju untuk memimpin upacara pernikahan."

Sebagai kepala gerpa, Tuan Herbert pun maju dan memanggil para mempelai untuk melangsungkan upacara perkawinan.

Di hadapan semua orang, Peter menatap Anna dengan mata berbinar dan berujar lantang, "Aku, Peter Cornell, memilih engkau, Anna Elyas sebagai istriku. Aku berjanji untuk menghormati dan mencintaimu sepenuh hati. Dalam untung dan malang, di waktu sehat maupun sakit. Sepanjang hidupku, hingga maut memisahkan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro