Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31

Bulan dan bintang masih bertakhta kala sebuah portal terbuka di kastel Kingsfort. Dave melompat keluar dan mendarat di lantai kamar sang raja. Andrew tampak sedang tertidur lelap di samping Anna. 

Dave berjalan mengendap ke sisi Andrew dengan sebilah pisau tergenggam di tangan. Setelah kegagalan Julia mempengaruhi putranya, Arden mengutusnya untuk membunuh Andrew. Tanpa pemimpin, kekuatan Ethardos tentu akan jauh berkurang.

Di tengah kesunyian malam, Dave mengangkat pisau lalu menghunjamkannya tepat ke dada Andrew.

Namun, apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Andrew sama sekali tak terluka. Pisau Arden bak menghantam lempengan besi keras.

Sementara Dave terkejut bukan kepalang, Andrew tersadar dari tidurnya. Secara refleks, ia mengunci tangan Dave dan membuat pisaunya jatuh berkelontangan di lantai.

Karena keributan itu, Anna tersadar dari lelapnya. Ia sangat terperanjat begitu melihat Dave. Wajah itu tak akan pernah ia lupakan. Wajah seorang pedagang budak yang pernah membuat hidupnya begitu sengsara.

"TOLOONG!" Secara refleks, Anna berteriak memanggil para penjaga di depan pintu.

Sementara itu, Dave masih bergelut dengan Andrew. Dalam posisi yang tidak bebas, sang penyihir tak bisa merapalkan sihir teleportasi. Berkali-kali tinjunya melayang ke wajah Andrew, tapi sang raja sama sekali tak merasa sakit. Ia tetap mencengkeram lengan Andrew sekuat tenaga. Tak lama kemudian, para penjaga berhamburan masuk dan menangkap sang penyihir loctrum.

"Sial!" desis Dave. Meski berusaha melawan sekuat tenaga, ia tak bisa melepaskan diri dari cengkeraman para penjaga yang segera membelenggu dan menyeretnya ke penjara.

"Ikat dia dengan rantai yang tertanam di tembok!" perintah Andrew. Berkat aktivitasnya membaca buku-buku penyihir, ia tahu kelemahan seeorang loctrum yang tak bisa berpindah dalam kondisi terikat. Para penjaga lalu pergi dan melakukan apa yang diperintahkan Andrew.

"Aku tak menyangka akhirnya kita bisa menangkap salah satu pemain kunci dari pihak lawan." Anna mendesah lega sambil mendudukkan diri di tepi kasur. Jantungnya masih berdebar akibat kejadian barusan.

"Ya, untung saja aku menuruti nasihatmu untuk memakai kalung ivoltaros setiap saat," sahut Andrew sambil menyodorkan segelas air untuk istrinya.

"Terima kasih," sahut Anna sambil meneguk minumannya. "Semenjak kematian ayahmu, aku merasa bahwa bahaya bisa datang kapan saja."

"Kau benar. Sekarang istirahatlah dulu. Aku perlu menginterogasinya." Andrew lalu pergi meninggalkan Anna di kamar untuk menemui Dave yang sudah terikat di penjara.

"Berapa jumlah pasukan kalian?" tanya Andrew sambil menarik sebuah kursi kayu ke hadapan Dave.

"Ratusan ribu. Kau tak akan bisa membayangkannya, apalagi mengalahkannya," sahut Dave mengintimidasi. "Menyerahlah. Aku bisa memohonkan ampun untukmu."

"Huh, kau tak bisa melihat siapa yang seharusnya memohon ampun?" sindir Andrew. "Katamu kau punya pasukan yang begitu hebat, tapi mengutus seseorang untuk membunuhku malam-malam? Bukankah itu pengecut?"

"Jika itu bisa mencegah jatuhnya banyak korban, kenapa tidak?"

"Lalu apa yang sebenarnya kalian inginkan?"

"Kekuasaan," tegas Dave. "Selama ini ayahmu memerintah dengan tidak benar. Kami datang untuk memperbaikinya."

"Kau pikir kalian yang paling benar? Ayah sudah wafat, dan sekarang aku menggantikannya."

"Jujur saja, aku sama sekali tak yakin bahwa kondisi kaum penyihir akan lebih baik di bawah kepemimpinanmu."

"Kau meragukanku?"

"Ronald mati atas perintahmu. Itu sudah membuktikan kualitas kepemimpinanmu."

"KURANG AJAR!" Seketika itu, Andrew bangkit dan menampar wajah Dave.

"Kenapa marah? Bukankah faktanya memang begitu?" sahut Dave sambil menyeringai. Ia tampak puas melihat wajah Andrew yang memerah. Tangannya terkepal sementara rahangnya mengeras.

"Bahkan ibumu sendiri meragukanmu dan memilih berada di sisi Arden. Sayang, pengkhianat wanita itu harus mati. Padahal ia calon istri yang tepat untuk Arden," imbuh Dave.

"DIAM!" Andrew memukul wajah Dave sekali lagi, membuat darah mengalir dari sudut bibirnya.

"Kau lihat? Betapa mudahnya aku memanipulasi emosimu. Pemimpin yang baik bertindak karena pertimbangan matang, bukan emosi sesaat."

"Jangan mengguruiku," geram Andrew sambil menatap Dave tajam.

"Kau masih muda, bukankah sudah sepantasnya orang yang lebih tua memberikan nasihat? Ingat, tak bisa mendengarkan nasihat juga menunjukkan buruknya kualitas dirimu."

Terbakar emosi, Andrew lalu memukul perut Dave kuat-kuat, membuat sang tawanan terbatuk-batuk. Rantai terdengar bergemrincing ketika tubuh Dave berguncang. Andrew lalu memalingkan wajah dan menjauh sambil mendengkus kasar.

"Kau masih punya ... pertanyaan? Jika tidak, sebaiknya ... bunuh saja aku," ujar Dave masih sambil terbatuk-batuk.

"Satu lagi. Setelah itu aku akan mengabulkan permintaanmu," sahut Andrew sambil duduk kembali. Ia sudah lebih tenang sekarang. "Para penyihir itu. Kenapa mereka bersedia bekerja sama denganmu?"

"Huh! Kau benar-benar naïf. Selama ayahmu berkuasa, para penyihir selalu mendapat perlakuan yang tidak adil di masyarakat. Ketika ada masalah, mereka selalu dituduh dan dihukum tanpa bukti. Hanya penyihir yang dekat dengan kerajaan mendapatkan keistimewaan."

"Lalu apa yang akan kalian lakukan jika berhasil berkuasa?"

"Tak ada yang perlu kami lakukan. Dengan Stevan duduk sebagai raja, hal itu sudah menjadi peringatan bagi orang-orang biadab itu untuk tidak bermain-main lagi dengan nyawa seorang penyihir."

"Stevan? Pamanku? Bukankah dia sudah mati?"

"Ya, kami menghidupkannya lagi."

"Demi takhta, kalian sampai membangkitkan orang dari kubur. Huh, aku tak yakin mayat hidup bisa memerintah dengan baik," cibir Andrew.

"Terserah kau saja. Pembicaraan ini tak akan mendapatkan titik temu."

"Ya, kurasa kau benar. Tak ada gunanya lagi aku terus menanyaimu." Andrew lalu keluar dan memerintahkan para prajurit untuk membunuh tawanannya. Penyihir itu terlalu berbahaya jika dibiarkan hidup.

Diselimuti udara lembap dan tembok penjara yang dingin, Dave akhirnya tewas setelah pedang seorang penjaga menusuk jantungnya. Malam itu, meski Andrew berhasil menumbangkan salah satu pemain kunci yang menyebabkan kematian sang ayah, hatinya sama sekali tidak tenang. Tak lama lagi perang akan pecah dan tak ada yang menyenangkan dari hal itu.

***

Peter terbangun di sebuah tempat yang sangat asing. Ia merasa seperti melayang di ruang hampa sementara kerlip cahaya berbagai warna melayang-layang di sekitarnya. Dipenuhi tanda tanya, ingatannya kembali pada kejadian saat petir Lily menyambar dadanya. Pemuda itu meraba bekas luka itu yang kini tak terasa sakit lagi.

Apa yang terjadi? Di mana aku? gumam Peter sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saat itu, tiba-tiba terdengar panggilan bergaung dalam kepalanya.

"Peter ..."

Peter menoleh ke sekelilingnya, tetapi tak ada siapa pun yang bisa ia temukan. "Siapa kau?"

"Ignam Vintris, sang kehidupan."

"A-apakah aku sudah mati?"

"Belum ... kau hanya sedang tidak sadar. Ini alam bawah sadarmu."

"Untuk apa kau menemuiku?"

"Untuk mempersiapkanmu menghadapi takdir."

"Takdir? Apa maksudmu?"

"Saat ini dunia sedang berada di ambang kehancuran. Sang Kematian akan bangkit untuk mengambil sebanyak mungkin kehidupan. Semua yang hidup harus berjuang menghentikannya. Termasuk kau."

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?"

"Menyelamatkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa dari kematian."

"Bagaimana caranya?"

"Aku akan mempersiapkanmu. Tapi, sebelum itu aku perlu mengujimu."

Sesaat kemudian, Peter mendapati dirinya berada di atas sebuah tebing. Tak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah desa yang tenang dan damai. Beberapa orang warganya tampak sedang berkebun, memotong kayu, atau sekadar duduk-duduk di bangku halaman rumah. Canda tawa ceria sesekali terdengar dari anak-anak yang sedang asyik bermain.

Tiba-tiba, Peter mendengar suara teriakan seorang perempuan meminta tolong. Suara yang sangat dikenalnya.

Itu suara Anna, batin Peter.

Pemuda itu langsung berlari menuju sumber suara dan mendapati Anna berada di dinding tebing. Tangannya berpegangan erat pada sebuah tonjolan batu sambil menahan tubuhnya yang hampir jatuh. Mendadak, Peter merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Ketenangan yang baru saja ia rasakan seketika berganti ketegangan.

"Pegang tanganku!" ujar Peter sambil mengulurkan tangan.

Anna segera meraih tangan Peter dan menggenggamnya erat.

Namun, seketika itu muncul seorang penyihir hitam yang menyerang desa. Ia membakar rumah-rumah dan membunuhi warga. Semua orang pun berteriak panik sambil berlari ketakutan.

Peter menoleh dan melihat kekacauan itu. Hati kecilnya ingin segera menolong, tapi nyawa Anna berada dalam genggamannya. Ia tak mungkin melepaskan dan membiarkan kekasihnya jatuh begitu saja.

Dalam kegamangannya, Anna berkata lembut. "Lepaskan tanganku dan pergilah menolong mereka."

"TIDAK! Aku tak mungkin melepaskanmu!" sahut Peter sambil terus menggenggam tangan Anna erat.

"Tapi mereka membutuhkanmu," gumam Anna dengan mata yang mulai basah. "Lebih baik satu orang mati daripada seluruh warga."

Tak ada jawaban lagi dari bibir Peter. Hanya isak tangis tertahan disertai air mata yang menetes membasahi pipi. Dadanya terasa begitu sesak sementara rahangnya terkatup rapat. Teriakan-teriakan para warga terdengar kian nyaring menusuk rungu dan merobek kalbu. Namun, Peter tetap bergeming sambil menggenggam tangan Anna erat. Rasanya sangat berat ketika ia harus melepaskan seseorang yang amat disayanginya jatuh ke dasar kegelapan. Bagaimanapun, perjumpaan ini terasa sangat nyata.

"Lepaskan aku," bisik Anna sekali lagi. Ia tersenyum meski dengan air mata yang mengalir semakin deras.

Peter menatap Anna dalam-dalam. Sesaat kemudian, ia berpaling sambil berkata lirih, "Maafkan aku." Setelah itu, ia pun melepaskan genggamannya.

Seketika itu, Anna pun jatuh dan menghilang ditelan kegelapan. Sambil mengusap air mata, Peter berusaha keras untuk bangkit. Entah kenapa tubuhnya terasa sangat berat. Hatinya begitu sakit seperti diiris-iris. Meski semua hanya ilusi, perjumpaan barusan terasa seperti obat rindu baginya.

Diiringi air mata yang jatuh berderai, Peter lalu memacu langkah menuju ke desa tempat sang penyihir jahat membuat kekacauan.

"Hadapi aku!" ujar Peter dengan suara nyaring. Tatapan matanya berkilat-kilat sementara telapak tangannya tampak terbakar api.

"Huh! Anak kecil sepertimu berani menantangku?"

Peter tak menyahut lagi dan memilih meleparkan api pada sang lawan. Penyihir hitam itu tak tinggal diam dan membalas serangan Peter dengan sihir es. Api dan es pun bertemu saling beradu kekuatan.

Perlahan tapi pasti, Peter mulai terdesak. Lawan memiliki sebuah tongkat sihir sementara ia tidak. Namun, pemuda itu pantang menyerah. Ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan terus berusaha melawan.

Hingga ketika sihir lawan sudah hampir mencapai dirinya, Peter merasa ada kekuatan lain yang muncul dari dalam. Tangannya mulai bersinar dan muncullah sebuah tongkat ungu sepanjang satu setengah meter dalam genggamannya. Tongkat itu bersinar begitu terang dan menyilaukan lawan.

Seketika itu, keadaan pun berbalik. Peter dengan tongkat barunya berhasil mendesak lawan dan menghancurkannya.

Suasana mendadak berubah drastis. Kegelapan dan kerlip cahaya berbagai warna kembali menyelimuti suasana di sekeliling Peter. Desa dan seluruh warganya lenyap seiring dengan hancurnya sang penyihir jahat.

"Selamat, kau berhasil lulus dalam ujian dan mendapatkan tongkat Irrastar," ujar suara yang kini kembali bergema dalam benak Peter. "Semoga kau menangkap maksud ujian tadi. Dalam perang, kau mungkin akan kehilangan orang yang paling kau sayangi. Tapi ingatlah, bahwa kau harus bisa memihak pada kepentingan yang lebih luas."

Peter hanya mengangguk tanpa suara. Rasa sakit akibat harus kehilangan Anna masih terasa begitu nyata. Hatinya kini terasa seperti berlubang.

Setelah itu muncullah sosok seorang pria dengan wajah yang bersinar-sinar. Tubuhnya tinggi dan kekar seperti layaknya seorang elzif. Ia lalu berkata dengan suara yang selama ini terngiang dalam benak Peter.

"Aku akan melatihmu menggunakan tongkat itu. Bersiaplah!"

Setelah itu sang elzif melemparkan sihir petir ke arah Peter. 

Terkejut, Peter berguling menghindari serangan sang elzif. "Tunggu! Apa maksudmu menyerangku?"

"Lawan aku. Aku akan menjadi lawan tandingmu." 

Peter lalu berdiri dan menggenggam tongkat irrastar erat-erat. "Baiklah," ujarnya dengan sorot mata tajam.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro