Bab 3
Akibat berjam-jam meringkuk di sebuah lubang perangkap, Gladys terbangun dengan sakit yang mendera sekujur tubuh. Lehernya sakit dan pinggangnya terasa seperti hampir patah. Sambil mengerang, ia berusaha meluruskan kembali otot-ototnya. Kakinya yang terkilir semalam tampak sedikit membengkak.
Sambil duduk memeluk lutut, gadis itu hanya bisa meratap. Setelah kemalangan yang menimpanya di Pulau Amui, ia benar-benar berharap bisa hidup kembali dengan tenang. Namun ternyata takdir berkata lain. Ujian yang lebih berat kini harus ia hadapi, seorang diri.
Meski saat itu mentari telah mencapai puncaknya, Gladys masih terduduk putus asa. Air matanya telah mengering. Dengan tubuh yang kini terasa remuk, ia sama sekali tak memiliki semangat untuk setidaknya mencoba keluar dari lubang.
Hingga beberapa saat kemudian, tiba-tiba terdengar suara gemeresak rumput yang semakin mendekat.
Apakah mereka lagi? gumam Gladys dalam hati. Seketika itu jantungnya kembali berdebar. Namun tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa agar dirinya tak ditemukan.
Jantungnya terasa mencelus ketika bayangan seseorang muncul dan menghalangi sinar yang masuk ke lubang. Mati aku, gumam Gladys. Namun, ia tak dapat melihat dengan jelas karena sosok itu membelakangi arah datangnya sinar.
"Astaga ... Bagaimana kau bisa ada di situ?" tanya sosok itu setengah terkejut.
Pertanyaan tadi membuat Gladys merasa bahwa orang itu bukanlah kaki tangan Arden. Ia pun merasa sedikit lebih tenang. "T-tolong aku," rintihnya dari dasar lubang.
Tanpa kata, pria itu kemudian menghilang selama beberapa saat untuk mencari seutas sulur. Ia lalu segera melemparkannya ke lubang.
"Pegang ini," ujarnya. Suara itu terdengar berat dan asing.
Tak punya pilihan, Gladys menurut saja. Ia memegang erat sulur itu ketika sang pria berusaha menariknya keluar dari lubang.
Untuk beberapa saat, Gladys terduduk di samping penolongnya yang tampak sedang berusaha mengatur kembali napasnya.
"Terima kasih," ujarnya mengapresiasi pertolongan sang orang asing.
"Bukan masalah," sahut si pria yang kini sosoknya sudah terlihat jelas. Garis rahangnya tegas dengan kulit wajah yang tampak kecoklatan karena terbakar sinar matahari. Matanya hitam. Perawakannya agak kurus.
"Siapa kau? Bagaimana kau bisa jatuh ke dalam perangkap yang kubuat?" tanyanya lagi.
"Namaku ... Violet." Gladys merasa bahwa ia harus merahasiakan identitas aslinya untuk menjaga diri. "Siapa namamu?"
"Panggil saja aku Will," sahut si pria. "Lalu bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Gladys terdiam karena tak tahu harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah putri Fernir, penguasa Fortsouth. Ia sama sekali belum mengenal Will dan apa motivasinya. Gladys pun hanya menatap Will dengan sorot mata sendu.
"Sepertinya kau baru saja mengalami sesuatu yang berat. Tak apa jika kau belum siap menceritakannya." Will menyahut sambil tersenyum tipis. Setelah itu ia bangkit seraya mengulurkan tangan untuk membantu Gladys. "Ayo kita pergi ke gubuk."
Sambil menghela napas lega karena tak harus menjawab pertanyaan Will, perempuan itu pun tersenyum dan segera mencoba bangkit. Namun, ia kembali meringis kesakitan karena kakinya yang terkilir. Dan ketika hampir terjatuh, Will bergerak sigap untuk menahan.
"Terima kasih," ujar Gladys sambil tersenyum. Sambil tertatih-tatih, ia pun berjalan dengan merangkulkan tangan ke pundak Will.
"Beristirahatlah, aku akan mengambil air dan mencari makanan," ujar Will setibanya mereka di gubuk. Ia lalu memapah sang putri berjalan menuju sebuah pembaringan.
"Kau tinggal seorang diri?" tanya Gladys ketika ia tak menemukan orang lain di situ.
Will mengangguk sambil melempar seulas senyum ramah. Ia lalu segera pergi meninggalkan gubuk.
Gladys menghela napas panjang sambil merebahkan tubuh di pembaringan. Setelah semua yang terjadi, fisik dan mentalnya kini terasa begitu lelah. Ia memejamkan mata dan segera terlelap tak lama kemudian.
***
"Bangun putri tidur, makanan sudah siap ..." Bisikan itu terdengar lembut di telinga Gladys yang masih setengah terlelap.
"Ugh ... maaf aku ketiduran," ujarnya sambil berusaha bangkit.
"Tak apa," sahut Will. "Ayo makan. Aku sudah membuat sup kentang dan sayuran."
Gladys mengangguk sambil mengulas senyum. Ia lalu bangkit untuk menyusul Will yang sudah melangkah ke sebuah meja kecil di tengah gubuk.
"Bagaimana dengan kakimu? Sudah lebih baik?" tanya Will yang melihat Gladys sudah bisa berjalan sendiri.
"Ya, sepertinya aku sudah membaik."
"Baguslah. Aku sudah mengompres kakimu tadi."
"Terima kasih banyak," ujar Gladys sambil duduk di sebuah kursi lalu mulai makan. "Ini lezat. Ternyata kau sangat pandai memasak."
"Yah, karena tinggal sendiri, aku terpaksa belajar memasak." Will tersenyum getir.
"Kenapa kau tinggal sendiri di tengah hutan?"
Will mendesah berat sebelum mulai bercerita.
"Dulu, kami sekeluarga tinggal di kota. Ibu sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, sementara ayah adalah seorang pedagang. Saat itu, kami hidup berkecukupan. Namun, pada suatu hari, gudang penyimpanan ayah terbakar dan ia mengalami kerugian besar. Hari-hari berikutnya, hidup kami menjadi tidak tenang. Banyak orang yang datang untuk menagih hutang. Karena tak tahan terus-menerus dikejar, ayah akhirnya meninggalkan rumah dan membawa kami semua ke sini."
Mendengar itu, Gladys pun merasa ikut prihatin. Ternyata bukan ia sendiri yang sedang tertimpa kemalangan. "Lalu di mana keluargamu sekarang?"
Will mendesah lagi sebelum menjawab, "Ayah meninggal beberapa hari kemarin. Sementara adik perempuanku ... dia diculik."
"Diculik? Siapa penculiknya?" tanya Gladys spontan.
"Tuan Rafael Nygell. Dia penguasa Trudid, sebuah kota kecil di sebelah barat Girondin."
"Oh, astaga. Bagaimana dia bisa menculik adikmu?"
"Ayahku juga berhutang padanya. Meski sudah bersembunyi di sini, Tuan Rafael mengirimkan utusan untuk terus mencari. Mereka akhirnya menemukan kami dan membawa adik perempuanku sebagai jaminan atas hutang. Lalu, karena beban pikiran yang sangat berat, ayah jatuh sakit dan akhirnya wafat," desah Will sedih. "Tuan Rafael memberikan tenggat waktu tiga bulan untuk membayar hutang atau ia tak bisa menjamin keselamatan adikku."
Gladys pun tertegun mendengar cerita Will. "Maaf ... aku ikut prihatin," lirihnya kemudian.
"Tak apa. Aku senang bisa bertemu denganmu dan memiliki teman untuk mengobrol." Wil tersenyum lalu menyuapkan sesendok sup lagi ke dalam mulutnya.
Setelah itu, keduanya terdiam beberapa saat sambil menikmati santapan. Gladys selalu menunduk setiap kali keduanya tak sengaja saling bertatap. Will hanya tersenyum melihat tingkah malu-malu perempuan yang sedang duduk di hadapannya itu.
Selang beberapa saat kemudian, Gladys melihat keluar jendela dan beberapa orang prajurit dengan obor di tangan tampak berjalan mendekat. Seketika itu, jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Ia yakin bahwa para prajurit itu sedang mencarinya.
"Apakah kau punya tempat bersembunyi yang aman? Mereka sedang mencariku." Gladys beranjak gugup dari tempatnya.
"Masuklah ke dalam gentong itu." Dengan sigap, Will membukakan sebuah gentong air yang kosong lalu membantu Gladys melompat ke dalam dan menutupnya kembali.
"Bawa ini bersamamu. Mereka akan curiga jika melihat ada dua mangkuk di meja." Will membuka sedikit tutup gentong dan menyerahkan mangkuk bekas Gladys makan. Bersamaan dengan itu, pintu rumahnya digedor dari luar.
Will pun bergegas membukakan pintu.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu?" tanya Will sopan.
"Kami adalah utusan dari penguasa Fortsouth. Apakah kau pernah melihat seseorang seperti ini?" salah seorang prajurit itu menunjukkan lukisan wajah seorang gadis cantik berambut panjang berwarna cokelat kemerahan. Sangat mirip dengan Gladys.
"Maaf, aku tak pernah melihatnya. Mana mungkin seorang gadis masuk hutan sendirian. Kurasa dia sudah mati dimangsa binatang buas," sahut Will berusaha meyakinkan.
"Hmm ... benar juga," sahut salah seorang prajurit. Sementara itu, seseorang yang lain melongok ke dalam rumah untuk memastikan ucapan Will.
"Baiklah, kami percaya padamu." Tak menemukan apa pun, para penjaga itu kemudian pergi.
Setelah memastikan para prajurit itu benar-benar pergi, Will membuka gentong dan membantu Gladys keluar dari situ.
"Terima kasih," bisik Gladys.
Sementara itu, Will terdiam sambil menatap gadis itu lekat-lekat. Menyelidikinya dari ujung kaki hingga puncak kepala.
"A-ada apa?" Gladys tampak risih ditatap seperti itu.
"Siapa kau sebenarnya? Mengapa seorang penguasa sampai mengirim utusan untuk mencarimu?"
Mendengar pertanyaan itu, Gladys hanya bisa terdiam. Ia tak bisa mengelak lagi. Sambil menghela napas panjang, gadis itu pun terpaksa mengungkap identitasnya.
"Namaku Gladys dan aku adalah putri dari penguasa Fortsouth. Kemarin telah terjadi pengkhianatan yang menewaskan kedua orang tuaku ... untungnya aku berhasil melarikan diri."
Sambil menatap Will sendu, gadis itu berkata lagi, "Maaf karena telah tidak jujur padamu."
"Tak apa-apa, aku bisa memahamimu. Saat itu kita sama sekali belum saling mengenal," balas Will sambil tersenyum. Keduanya kini duduk bersebelahan di tepi pembaringan.
"Lalu bagaimana rencanamu? Kau tak mungkin terus bersembunyi di sini. Cepat atau lambat mereka akan menemukanmu," tukas Will setelah keduanya hening beberapa saat.
"Aku tak tahu. Kurasa sebaiknya aku pergi secepatnya dari pulau ini."
"Bagaimana kalau kau ikut aku ke Trudid? Tenggat waktu yang diberikan Tuan Rafael sudah hampir habis. Aku harus pergi ke sana untuk membebaskan adikku," tawar Will.
Gladys menatap mata pria di sebelahnya lalu mengangguk. "Terima kasih sudah bersedia mengajakku."
"Bukan masalah. Aku senang bisa membantu," sahut Will. "Tapi kurasa kita tak bisa berpergian seperti ini. Kau harus mengubah penampilan agar tak mudah dikenali."
"Baiklah ... aku akan memotong pendek rambutku dan berpakaian seperti laki-laki," sahut Gladys.
Will tersenyum getir, "Ya, kurasa itu ide yang bagus. Berpenampilan seperti pria juga bisa membuatmu lebih aman selama perjalanan. Banyak orang jahat di luar sana yang tak akan membiarkan kecantikan sepertimu lolos begitu saja."
Setelah itu, Will beranjak untuk kembali ke kamarnya sambil berpesan. "Malam sudah larut, tidurlah. Besok kita harus bersiap."
Beberapa lama setelah Will pergi, Gladys masih terjaga dengan gelisah. Ini akan menjadi sebuah petualangan baru yang penuh tantangan baginya. Selain terdampar di Pulau Amui, gadis itu belum pernah melakukan perjalanan keluar pulau sebelumnya.
Karena tak jua mengantuk, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil sebilah pisau dan mulai memotong rambut.
Sedikit demi sedikit, seiring jatuhnya helai-helai tipis rambut indahnya, berbagai kenangan mulai menyusup ke dalam benak. Masa kecil yang menyenangkan, kenyamanan kamar dan kehangangatan perapian, serta kasih sayang kedua orang tua, semua sudah menjadi masa lalu yang tak mungkin bisa kembali.
Bersama air mata yang kembali berlinang, Gladys menanggalkan seluruh kemewahan putri bangsawan dan berjanji pada diri sendiri bahwa ini akan menjadi air mata terakhir yang boleh tertumpah.
***
Beberapa hari berselang. Setelah mempersiapkan perbekalan, Will dan Gladys pergi dari hutan menuju dermaga. Mereka berharap bisa mendapatkan kapal untuk menyeberang.
Kini, dengan penampilan barunya, Will yakin bahwa Gladys tak akan mudah dikenali. Berambut pendek dan mengenakan celana panjang, gadis itu sekilas tampak seperti seorang lelaki.
Perjalanan dari hutan menuju dermaga membutuhkan waktu beberapa hari. Beruntung, kini Gladys telah mahir menggunakan panah sehingga bisa membantu Will berburu.
Pada pagi hari ketiga, mereka akhirnya tiba di dermaga. Suasana di sana cukup ramai. Banyak kapal pedagang yang sedang melakukan bongkar muat sementara para nelayan menjual hasil tangkapan mereka.
Sambil berjalan menyusuri dermaga, Gladys melihat poster bergambar dirinya terpampang di dinding sebuah bangunan kayu. Di bawahnya tertulis sebuah pengumuman,
DICARI, HIDUP ATAU MATI
HADIAH BESAR MENANTI
Secara spontan, Gladys mengeratkan kerudung penutup kepalanya. Meski sudah berpenampilan berbeda, tetap saja ada kekhawatiran yang menyeruak dari dalam hatinya.
Sementara itu, Will melangkah mendekati seseorang yang tampak sedang mengawasi aktivitas bongkar muat di kapalnya.
"Apakah kau yang bertanggung jawab atas kapal ini?" Will bertanya sementara orang itu terdiam sambil memandang penuh tanya pada Will.
"Aku dan adikku berniat menyeberang ke Pulau Nohr. Kami bersedia mengerjakan apa pun," lanjut Will memperjelas niatnya.
Memahami maksud pemuda di hadapannya, pria berjenggot itu lalu tersenyum tipis. "Baiklah, bantu aku mengangkat barang-barang itu ke dalam kapal. Kita harus berangkat sebelum tengah hari," sahutnya.
"Baik, terima kasih, Tuan." Will membungkuk lalu menarik tangan Gladys untuk segera bekerja mengangkut berkarung-karung gandum ke atas kapal.
Meski sudah berusaha sekuat tenaga, Gladys tetap kepayahan. Setelah berhasil mengangkat satu karung, ia justru terjatuh pada langkah ketiga dan menumpahkan seluruh isinya.
Melihat itu, sang pemilik kapal segera murka. "Payah sekali kau! Kau bahkan lebih lemah dari seorang wanita! Aku bisa rugi kalau begini! Cepat pungut kembali gandum-gandum itu!" teriaknya sambil memukul kaki Gladys menggunakan tongkat.
"Ma-maaf, Tuan." Sambil meringis kesakitan, Gladys segera memunguti barang-barang yang ia tumpahkan.
Will yang melihat kekacauan itu segera mendekat. "Tolong maafkan adikku, Tuan. Dia memang memiliki kelainan fisik," ujar Will berusaha membela.
"Huh, aku tak peduli! Yang aku tahu, kapal harus berangkat sebelum tengah hari!"
"B-baik, Tuan." Setelah itu, Will segera membantu Gladys membereskan kekacauan. Keduanya lalu mulai mengangkat lagi karung-karung gandum itu. Karena sang putri tak mampu mengangkut satu karung sendirian, Will pun terpaksa membantu. Mereka pun berjalan bolak-balik dari dermaga ke kapal lalu kembali lagi untuk mengangkut karung berikutnya.
Hingga menjelang tengah hari, mereka akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaan.
"Bagus! Meski lemah, ternyata kalian memiliki semangat," puji sang pemilik kapal. "Naiklah, kita akan segera berangkat."
"Terima kasih, Tuan." Will dan Gladys menunduk bersamaan lalu segera masuk ke kapal.
"Astaga, aku lelah sekali," keluh Gladys sambil menyeka keringat yang menetes membanjiri wajah. Mereka kini duduk berselonjor di geladak kapal untuk beristirahat.
"Ini, minumlah." Will menyodorkan sebuah kantung air pada Gladys untuk membantunya menyegarkan kerongkongan yang kering.
"Terima kasih," sahut Gladys sambil tersenyum. Meski harus menghadapi kenyataan pahit, Gladys memegang teguh janjinya pada diri sendiri untuk tetap tegar. Ia harus kuat atau pengorbanan ayah dan ibunya akan sia-sia.
Berada kembali di atas kapal membuat Gladys memutar lagi memori kala ia berlayar bersama Eric, Anna, Peter, dan Borin. Namun, semuanya kini telah berbeda. Jika ketika itu ia berstatus seorang putri bangsawan, kali ini ia hanyalah pemuda lemah yang tak sanggup menangkat sekarung gandum.
Beberapa saat kemudian, kapal mulai bergerak meninggalkan dermaga. Laut yang menghampar seluas mata memandang bertemu dengan birunya langit di cakrawala. Burung camar terbang dalam rombongan, mengisi kekosongan di antara gemawan.
Ombak berdebur dan angin yang menderu menjadi pengiring kepergian Gladys dari rumahnya. Tak ada yang tahu apakah ia bisa kembali kelak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro