Bab 28
Setelah beberapa hari berlatih, Peter merasakan kemajuan yang cukup pesat dalam menggunakan tongkat sihir. Dasar-dasar gerakan yang pernah dipelajarinya dari Eric membantu pemuda itu bergerak dengan lebih luwes.
"Wow! Luar biasa!" Jane bertepuk tangan ketika melihat Peter baru saja melontarkan kilatan petir melalui ujung tongkat sihirnya.
Peter pun tersenyum semringah
Ia lalu berjalan mendekati Jane. "Kurasa aku sudah bisa menggunakan benda ini," ujarnya penuh semangat.
"Selamat! Aku ikut senang." Jane menepuk bahu Peter sambil tersenyum. "Asyik juga punya teman seorang penyihir."
"Karena aku sudah mendapatkan tongkat sihir, besok kita bisa kembali ke Arvendale dan menyusul ke Kingsfort."
"Kau mengkhawatirkan Anna ya?"
Tebakan jitu Jane membuat Peter tak bisa berkata apa-apa lagi selain mengalihkan topik dan mengajak Jane menemui Kildan.
Keduanya lalu berjalan beriringan kembali ke rumah. Namun, ketika sudah dekat, mereka menangkap kehadiran dua orang pria dan seorang wanita asing sedang berbicara dengan Kildan.
Merasakan atmosfer yang kurang nyaman, Jane segera menarik Peter untuk bersembunyi.
Namun sayang, mereka terlambat. Salah seorang dari antara orang asing itu sudah merasakan kehadiran mereka dan menoleh.
"Tepat sekali kalian datang," ujar pria asing itu sambil berjalan mendekat.
"Siapa kalian?" tanya Peter. Ia mengacungkan tongkat sihirnya secara refleks.
"Namaku Stevan, dia Lily, dan yang itu Dave," ujar pria tadi memperkenalkan rekan-rekannya. "Kami datang kemari sebenarnya untuk meminta bantuan Kildan membuat tongkat sihir. Namun, ia mengatakan bahwa saat ini kemampuannya telah lenyap sementara tongkat sihir terakhir buatannya telah diberikan pada orang lain," ujar Stevan sambil tersenyum pada Peter. "Aku percaya orang itu adalah dirimu."
Seketika itu Peter merasa ketegangan menjalari sekujur tubuhnya. Ia hanya diam terpaku di tempatnya.
Stevan terkekeh renyah. "Tenang saja anak muda, kami tak akan memaksamu menyerahkan tongkat itu. Pertikaian sesama penyihir tidak terdengar bagus bagiku. Bagaimanapun juga Kildan telah memberikan tongkat itu padamu."
"Lalu apa yang kau mau?" tanya Peter tetap dengan posisi siaga.
"Bergabunglah bersama kami untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih adil bagi kaum penyihir."
"Maaf, tapi aku benar-benar tidak mengerti apa yang kau maksud."
"Tidakkah kau merasa bahwa selama ini kaum penyihir sering mendapat perlakuan tidak adil? Meski aku sendiri adalah seorang adik raja dan berhak mendapat keistimewaan, aku bisa merasakan penderitaan para penyihir biasa. Mereka selalu menjadi kambing hitam atas hal-hal buruk yang terjadi masyarakat. Sudah saatnya kaum penyihir bersatu dan bangkit untuk membangun sebuah tatanan dunia baru. Jika menjadi raja, aku berjanji akan memperhatikan hak-hak penyihir maupun rakyat biasa agar bisa hidup berdampingan."
"Jadi kau berniat merebut takhta?" tanya Peter.
"Ya. Hanya dengan menjadi raja aku bisa mewujudkan hal itu."
"Tapi pemberontakan akan mengakibatkan banyak korban."
"Yahh ... Meski mungkin itu harga yang harus dibayar, tapi kami sungguh berharap hal itu tak perlu terjadi. Kami sudah mengupayakan semua hal yang mungkin untuk membuat Raja Ethardos bersedia menyerahkan takhta tanpa peperangan."
Mendengar itu, Peter hanya bisa terdiam. Meski perkataan Stevan ada benarnya, ia sama sekali tak mengenal mereka yang berdiri di hadapannya. Apalagi, menentang Raja Ethardos bisa berarti bahwa ia harus berseberangan juga dengan Ronald--gurunya sendiri--yang adalah sahabat dekat Agra.
Setelah menelan ludah susah payah, Peter akhirnya berujar, "Maaf, tapi kurasa aku tak bisa bergabung bersama kalian."
"Oh ..." sahut Stevan singkat. Senyum di bibirnya sirna seketika.
"Kau lihat? Dugaanku benar. Ia sama keras kepalanya seperti Hans," tukas Lily.
"Hans? M-maksudmu ayahku?"
"Ya. Wajahmu sangat mirip dengannya."
Detik itu juga Peter menyadari bahwa tongkat yang ada dalam genggaman perempuan itu adalah milik Ronald. "T-tongkat itu? Bukankah itu milik Ronald?"
"Ya, bagaimana kau tahu?" tanya Lily.
"Dia guruku! Bagaimana tongkat itu bisa ada di tanganmu?! Apakah kalian membunuhnya?" tanya Peter dengan suara meninggi.
"Tidak. Bagaimanapun ia cukup berjasa untuk kaum penyihir. Apakah ia masih hidup atau sudah mati, semua tergantung pada Andrew. Hanya saja kabar terakhir yang kudengar, ia sudah mati di tangan para prajurit kerajaan."
"Kalian pasti sudah menjebaknya!" hardik Peter. Genggamannya mengeras sementara percikan-percikan petir bermunculan dari ujung tongkat sihirnya. "Jangan-jangan kalian juga yang telah membunuh ayahku?" geramnya lagi.
"Maaf, tapi itu adalah kecelakaan," sahut Lily.
Detik itu juga Peter tak sanggup lagi menahan emosi dan kilatan petir pun melesat dari ujung tongkatnya.
Memahami bahaya yang mengancam, Dave langsung membawa Stevan dan Lily menghilang dan muncul lagi tak jauh dari situ.
"Jaga sopan santunmu! Kau sedang bicara dengan orang yang lebih tua!" hardik Dave.
"Tak apa. Dia masih muda, emosinya masih labil," ujar Stevan menenangkan rekannya. Ia lalu melangkah mendekati Peter yang masih mengacungkan tongkat sihirnya.
"JANGAN MENDEKAT!" hardik Peter lagi. Bahunya bergerak naik turun menahan amarah.
"Baik-baik. Aku tak akan mendekat lagi," ujar Stevan. "Kurasa kita masih bisa membicarakan ini baik-baik kan?"
"Cepat ceritakan apa yang terjadi pada ayah dan guruku!" sergah Peter gusar.
Mendengar itu Stevan pun mendesah panjang. "Bukankah sudah disampaikan oleh Lily bahwa nasib gurumu diputuskan oleh Andrew, sementara kematian ayahmu adalah sebuah kecelakaan? Jika kau masih ingin mengungkit hal itu, kurasa kita sama sekali tak bisa bernegosiasi."
"Kau benar! Aku tak mungkin berada dalam pihak yang sama dengan orang-orang yang telah mencelakai guru dan ayahku!"
Stevan pun mendesah kecewa. "Baiklah kalau begitu, kurasa tak ada yang bisa kita dapatkan di sini. Ayo pergi," ujarnya lalu berbalik pada Dave dan Lily.
"TUNGGU!" sergah Peter. "Hadapi aku! Aku punya dendam dengan kalian! Tak akan kubiarkan kalian pergi begitu saja!"
"Jangan bodoh! Mereka terlihat seperti penyihir berpengalaman," bisik Jane pada Peter, tetapi pemuda itu hanya bergeming. Kemarahan telah menguasainya.
"Kami tak punya waktu meladenimu!" sergah Dave.
"Kalian menginginkan tongkat sihir ini bukan? Kalahkan aku dan ini jadi milik kalian!" balas Peter.
"Huh! Dasar bocah," gumam Lily seraya menoleh pada Peter. "Biarkan aku yang menghadapinya. Bagaimanapun aku punya andil lebih besar dalam kematian ayah dan gurunya."
"Baiklah jika itu maumu," ujar Stevan tenang. Ia lalu menyingkir bersama Dave.
Sementara itu, Jane—yang merasa upayanya membujuk Peter untuk membatalkan pertarungan sia-sia belaka—akhirnya menyingkir dan berdiri di samping Kildan. Kekhawatiran jelas terpancar dari wajahnya. Ia sama sekali tak yakin bahwa Peter—yang baru saja menguasai tongkat sihir—bisa menghadapi penyihir lain yang jauh lebih berpengalaman.
Peter terus menatap Lily dengan sorot mata penuh amarah sementara tongkatnya teracung siap menembakkan sihir.
"Kau yakin ingin meneruskan pertarungan ini?" tanya Lily. "Kematian ayahmu benar-benar tak disengaja sementara gurumu sangat keras kepala. Kami tak punya pilihan."
"DIAM!" bentak Peter. Dan bersamaan dengan itu kilatan petir menyambar dari ujung tongkatnya.
Lily mengayunkan tangan dengan sigap, membuat sihir Peter terlempar ke arah lain. Keduanya lalu saling menatap tajam.
"Huh, baiklah jika kau bersikeras," gumam Lily. Ia tahu bahwa Peter sudah menutup pintu komunikasi. Sesaat kemudian tongkat sihirnya terayun bersamaan dengan energi dingin yang melesat ke arah Peter.
Peter yang tahu bahwa di lokasi sedingin ini sihir api tak akan efektif, membalas serangan Lily dengan sihir serupa. Energi keduanya pun bertemu dan saling beradu.
Sambil menahan sihir es dengan tongkat di tangan kanan, Lily melontarkan petir dengan tangan kiri.
Peter yang terkejut melompat menghindar lalu berguling beberapa kali. Meski sudah bisa menggunakan tongkat sihir, ia belum pernah mencoba mengeluarkan sihir dari kedua tangan secara bersamaan.
Belum sempat berdiri tegak, Lily sudah melontarkan semburan api padanya.
Beruntung, Peter masih sempat menegakkan tongkat di hadapannya membentuk sebuah perisai sihir. Dalam posisi berlutut, ia terus bertahan dari sihir Lily. Pemuda itu tak menyangka, lawannya mampu mengeluarkan sihir api di tengah dinginnya udara pegunungan.
"Kuat juga kau," desis Lily di sela-sela serangannya. "Tongkat buatan Kildan benar-benar luar biasa." Detik berikutnya, ia mengganti serangan dengan melontarkan petir untuk menghancurkan perisai sihir Peter.
Kekuatan petir Lily berhasil membuat Peter terpental beberapa meter. Beruntung perisai sihirnya membuat pemuda itu tidak terluka parah.
Sial, dia sangat kuat, batin Peter. Perasaan takut kini menyusupi hatinya. Namun, ia tak mau menyerah dan segera berdiri untuk kembali bersiap.
Serangan berikutnya datang lagi. Kali ini Lily memukul tanah, menyalurkan energi dingin melaluinya.
Peter melompat menghindar dan membiarkan serangan Lily menghantam sebuah pohon, membekukannya seketika. Dalam posisi masih melayang di udara, Peter pun melontarkan petir menyasar lawan.
Lily masih cukup sigap untuk menahan serangan itu. Ia ganti menciptakan sebuah perisai sihir dengan tangannya, membuat petir Peter terhenti beberapa meter di hadapannya. Tak hanya itu, detik berikutnya ia mengayunkan tongkat untuk menciptakan tiupan angin kencang yang dalam sekejap mengempaskan tubuh Peter.
"Argh," keluh Peter yang kesakitan karena baru saja terempas menghantam sebuah pohon. Untung saja ia masih sempat menciptakan angin untuk mengurangi dampak kerasnya hantaman itu.
"Kau masih ingin bertarung? Atau menyerahlah dan serahkan saja tongkat itu," ujar Lily.
"TIDAK AKAN!" sergah Peter gusar. "Aku pasti bisa membalaskan dendam ayah dan guruku!" Seketika itu, Peter menciptakan angin dan mendorong tubuhnya melesat maju. Jika pertarungan jarak jauh tidak menguntungkan karena keahlian Lily menggunakan sihir, pemuda itu berniat memangkas jarak.
Melihat Peter yang melesat ke arahnya, Lily segera mengayunkan tongkat menciptakan embusan angin kencang.
Peter yang sudah menduga hal itu segera menciptakan angin lagi untuk mendorong tubuhnya ke arah lain dan menghindari serangan lawan.
Lily kembali menyerang, kali ini dengan melontarkan petir dari tangan kirinya. Sementara itu, Peter terus memanfaatkan sihir angin dan bergerak gesit memutari lawan. Taktik Peter tampaknya berhasil. Lily terlihat kebingungan mengikuti pergerakan Peter yang terus berpindah tempat dengan cepat.
Hingga pada suatu kesempatan, Peter berhasil memangkas jarak dan segera mengayunkan tongkatnya untuk menghantam Lily.
Beruntung bagi Lily, perempuan itu masih sempat berguling untuk menghindar. Ia lalu menciptakan sebuah perisai sihir ketika Peter melemparkan petir. Namun, pertahanan mendadak itu tidak cukup kuat untuk menahan sambaran sihir lawan. Lily pun terpental sejauh beberapa meter.
Tak mau memberi lawan kesempatan, Peter melesat lagi dengan tongkat teracung. Beruntung bagi Lily. Ia masih sempat menciptakan pusaran angin di sekitar tubuhnya dan mengempaskan tubuh Peter ke belakang.
Pemuda itu bahkan belum sempat mengaduh kesakitan ketika Lily bangkit dan melemparkan petir. Untuk menahan serangan kilat itu, Peter mengayunkan tangan untuk menciptakan sebuah perisai sihir.
Peter berhasil menghentikan petir Lily beberapa meter di hadapannya. Namun, ia kini berada dalam posisi terdesak karena hanya bisa bertahan. Memanfaatkan situasi, Lily pun berusaha menambah intensitas serangannya. Sambaran petirnya semakin besar dan dahsyat.
Mendapatkan serangan dahsyat dengan intensitas tinggi, Peter pantang menyerah. Ia berkonsentrasi sekuat tenaga untuk mempertahankan perisainya sambil berharap Lily kehabisan energi lebih dulu.
Setelah beberapa saat terus mendapat serangan, perisai Peter mulai menampakkan retakan tipis. Namun, pemuda itu yakin bahwa ia bisa bertahan. Kekuatan sihir Lily terasa berangsur-angsur melemah. Peter pun yakin bahwa tak lama lagi lawannya itu akan kehabisan energi. Sihir petir tentu menyedot lebih banyak energi daripada sekadar sihir perisai.
Di sisi lain, Jane yang tidak mengetahui hal itu merasa semakin khawatir. Retakan tipis di permukaan perisai sihir Peter membuatnya berpikir bahwa rekannya itu akan kalah. Diam-diam, ia mengambil sebilah pisau yang terselip di pinggangnya lalu melemparkannya ke arah Lily.
Namun, tepat sebelum pisau itu mengenai sasaran, Dave berteleportasi ke dekat Lily lalu membuka sebuah portal kecil di hadapannya, membuat pisau Jane masuk ke situ. Penyihir loctrum itu lalu membuka portal lain dengan tangan kirinya, mengarahkannya pada Peter.
Detik berikutnya, pisau Jane keluar dari portal dan menghunjam perisai Peter, menghancurkannya bak memecahkan selapis kaca. Sihir petir Lily akhirnya berhasil menembus pertahanan terakhir Peter dan menyambarnya tepat di dada. Tanpa sempat berkata apa pun lagi, pemuda itu terpental sejauh beberapa meter.
Ia terkulai dan tak bergerak lagi.
"TIDAAAK!!" teriak Jane sambil berlari menghambur ke arah Peter. Asap tipis mengepul dari dada, tempat petir Lily menyambar dengan telak.
Sementara Jane meratap, Lily menghela napas panjang. Ia tahu bahwa seandainya pertarungan berlangsung lebih lama, ia akan kalah. Energinya telah habis terkuras karena terlalu agresif menyerang. Sementara itu, Peter lebih banyak menghindar dan bertahan sehingga masih punya cukup energi untuk melanjutkan pertarungan. Sayang, Jane tak mengerti itu dan malah bertindak gegabah sehingga memberi peluang Dave mengintervensi.
Dave lalu berjalan menghampiri Peter. Ia mengambil tongkat buatan Kildan yang sudah tergeletak di tanah dan menyerahkannya pada Stevan. Sementara itu, Jane tak bisa melakukan apa-apa selain menangis sambil memeluk tubuh Peter yang terkulai lemas.
"Ayo kita pergi," ujar Dave pada Stevan dan Lily. Ia lalu merapal mantra dan membuka sebuah portal sihir.
"Maaf, semua harus berakhir seperti ini," ujar Stevan sambil menatap Kildan yang masih terpaku di depan rumahnya. Ia lalu melompat ke dalam portal dan lenyap bersama kedua rekannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro