Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 25

Setelah beberapa hari memantau penginapan, penjaga utusan Andrew akhirnya mendapati seseorang bernama Dave melakukan reservasi. Ia pun bergegas menghadap Andrew untuk melaporkan apa yang sudah dilihatnya.

Saat itu juga, Andrew menemui Anna untuk segera menjalankan rencana mereka. Ia meminum ramuan menghilang yang sudah dipersiapkan lalu bergegas menuju penginapan bersama sang mata-mata. Di bawah sinar lembut sang rembulan yang baru saja menggantikan surya, keduanya berjalan cepat menyusuri kota yang kini telah sepi.

Setibanya di penginapan, Andrew langsung memesan sepiring makanan di atas nampan. Seperti yang sudah ia rencanakan sebelumnya, sang pengawal akan menyamar sebagai pelayan yang mengantarkan makanan sementara ia menyelinap ke dalam begitu pintu terbuka.

Ketika semua siap, Andrew merapal mantra dan membuat tubuhnya menghilang. Sementara itu, sang pengawal mengetuk pintu kamar.

Pintu berayun terbuka dan Dave melongok keluar. "Maaf, kami tidak memesan makanan," ujarnya kebingungan.

"Ini layanan gratis dari kami," sahut sang penjaga.

"Baiklah kalau begitu," sahut Dave. Ia lalu membuka pintu lebih lebar. Memanfaatkan kesempatan, Andrew bergegas menyelinap.

Untuk sejenak Andrew mengamati keadaan di kamar itu. Tak ada yang istimewa, hanya sebuah tempat tidur kayu, meja, kursi, serta lemari. Sang ibu ternyata juga sudah ada di sana bersama Arden. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, ia lalu beringsut ke bawah kasur dan bersembunyi di sana.

"Tak lama lagi kita akan berhasil," ujar Arden. "Kingsfort tak punya kesempatan untuk menghadapi gabungan pasukan Girondin, Fortsouth, dan bangsa orc sekaligus. Selain itu ada beberapa penyihir yang juga memihak kita."

"Luar biasa," puji Julia. "Tak kusangka kau benar-benar melakukan semua demi aku."

Arden terkekeh sejenak lalu berkata, "Ini berkat bantuan Dave. Aku tak mungkin berhasil tanpanya," sahut Arden sambil menepuk bahu rekan penyihirnya itu.

"Ya, kau benar-benar penyihir yang hebat. Tanpa bantuanmu, aku juga akan kesulitan menyingkirkan Alice dan lolos dari masalah," timpal Julia.

"Terima kasih, kalian terlalu menyanjung," sahut Dave tenang.

"Berikutnya adalah tugasmu untuk meyakinkan Andrew agar bersedia menyerahkan takhta. Kita tak menginginkan pertumpahan darah bukan?" tanya Arden pada Julia.

"Tentu saja. Aku akan mengatur semuanya. Tak lama lagi kau akan menjadi raja dan akhirnya kita bisa bersama."

"Hmm ... mengenai itu, kita belum bisa mendapatkannya dalam waktu dekat. Untuk sementara, biarkan Stevan yang menggantikan Agra. Selain dia memang lebih berhak, aku juga sudah berjanji dengan para penyihir untuk membiarkannya menjadi raja."

"Stevan? Bukankah dia sudah mati?"

"Para penyihir itu akan membangkitkannya kembali."

"Astaga," desah Julia. Ia tak menyangka, setelah belasan tahun, adik iparnya itu akan bangkit dari kematian. "Lalu di mana kita akan tinggal jika Kingsfort akan dikuasai Stevan?"

"Kuharap Fortsouth cukup bagus untukmu," jawab Arden.

"Tentu saja. Selama itu bersamamu," sahut Julia sambil tersenyum.

"Hmm ... kurasa sebaiknya aku pergi dari sini. Kalian bisa melakukannya tanpaku," ujar Dave. Melihat gelagat keduanya, keberadaannya jelas tak diharapkan. "Aku akan kembali sebelum fajar." Penyihir itu lalu menghilang.

Sementara itu, dari bawah tempat tidur, Andrew mulai melihat helai demi helai pakaian yang jatuh ke lantai disertai suara desahan ibunya sendiri. Dengan tangan terkepal kuat, Andrew berusaha menahan emosi. Ia benar-benar ingin segera keluar dari situ. Perasaan muak, jijik, geram, dan marah bercampur aduk menjadi satu.

Meskipun begitu, Andrew masih berusaha menahan diri. Bertindak gegabah tanpa perencanaan hanya akan membuat semuanya berantakan. Sambil terus memendam perasaan, ia pun bertahan hingga Dave kembali dan membawa Julia serta Arden pergi dari situ.

Setelah aman, Andrew beringsut keluar dari kolong tempat tidur lalu pergi meninggalkan penginapan.

Begitu pagi menjelang, Andrew langsung memerintahkan pengawal untuk menangkap dan membelenggu sang ibu. Meski terus memberontak dan berteriak marah, para pengawal sama sekali tak peduli. Mereka menyeret Julia ke hadapan anaknya sendiri yang kini duduk di ruang takhta.

"Apa ini Andrew?! Cepat perintahkan mereka untuk melepaskanku!" bentak Julia.

"Maaf, Ibu. Tapi aku lah yang memerintahkan mereka untuk menangkapmu."

"Kurang ajar! Dasar anak durhaka! Belum genap seminggu kau dilantik tapi sudah berani memperlakukan ibu kandungmu seperti penjahat?!"

Tanpa menyahut, Andrew meminta semua orang pergi lalu turun dari takhta dan berjalan mendekati sang ibu. Dengan suara lirih ia berkata, "Maaf, tapi aku tak punya ibu yang tega menjual kerajaan hanya demi bersama selingkuhannya."

"A-apa maksudmu? Aku tidak pernah berbuat seperti itu," sangkal Julia. 

"Masih mau menyangkal? Aku sudah mendengarnya sendiri kemarin malam di penginapan!" sahut Andrew geram. Hatinya berkecamuk hebat. "Ternyata selama ini ibu tega berselingkuh?!" Saat itu juga, rahang Andrew mengeras, tangannya terkepal erat seperti sudah siap untuk menghajar sang ibu.

Julia terkejut bukan kepalang. Dengan mata nanar ia menatap Andrew yang tak sudi menatapnya balik. Sesaat berikutnya ia pun jatuh bersimpuh. "Ma-af ...," ujarnya dengan suara yang terdengar bergetar. Sesaat kemudian air matanya menetes tak terkendali.

"Maaf? Seharusnya kau mengatakan itu pada ayah," sahut Andrew dengan air mata yang mulai menetes.

Untuk beberapa saat, Andrew hanya berdiri dalam diam ketika Julia memeluk kakinya erat-erat. "Ampuni aku," ujarnya lagi. "Ibu berjanji tak akan berhubungan dengannya lagi."

Namun, Andrew memilih tetap tak mengindahkan permohonan Julia. Ia melangkah pergi, melepaskan kaki dari pelukan sang ibu. "Sekarang semua sudah terlambat, Ibu. Ayah sudah mati. Dan atas perintahku, para pasukan juga telah membunuh Ronald, seorang yang paling setia pada kerajaan." Andrew mendesah panjang lalu berteriak. "PENGAWAL! Seret ibu suri ke penjara!"

"Tolong, jangan. Ampuni aku," ujar Julia sambil merangkak mendekati Andrew. Namun, saat itu juga para pengawal segera masuk untuk membelenggu dan menyeretnya pergi.

Mengabaikan teriakan Julia, Andrew memalingkan muka lalu melangkah pergi dengan mata sembab. Akan butuh waktu beberapa lama baginya untuk menenangkan diri.

***

Peter dan Jane sudah berjalan seharian semenjak mereka berhasil menyelinap dari gerbang kota. Siang itu keduanya tengah beristirahat di tepi hutan. Sambil duduk di bawah pohon, mereka menikmati angin semilir beserta bekal roti yang mereka bawa dari Arvendale.

"Sekarang kita sudah dekat Albien, ayo ceritakan apa yang dikatakan Anna." Peter tak sabar untuk segera mengetahui isi pembicaraan mereka.

"Baiklah," sahut Jane sambil melahap makanannya. "Tolong rahasiakan apa yang akan kuceritakan."

"Tentu," sahut Peter sambil mengangguk tegas.

"Jadi ... sebenarnya Anna sama sekali tidak menginginkan pernikahan dengan pangeran. Ia hanya melakukan itu semata-mata demi menjaga kehormatan keluarga raja. Bisa kau bayangkan betapa memalukannya jika sang pangeran ditolak oleh seorang gadis pelayan?"

"Yah ... kurasa itu akan jadi preseden buruk untuk citra keluarga raja," tanggap Peter.

"Tidak hanya itu, banyak orang sudah tahu bahwa Anna adalah seorang penyihir. Hal itu membuatnya khawatir jika sampai ia membatalkan pernikahan dengan pangeran, keselamatannya akan terancam dan sentimen anti sihir bisa meluas lagi. Mereka akan mengatakan bahwa penyihir adalah orang yang tak tahu terima kasih dan tak dapat dipercaya."

Jane terdiam sesaat lalu berkata lagi, "Dia masih menyukaimu."

Sementara itu tak ada kata yang sanggup terlontar dari mulut Peter yang kelu. Meski secara logika ia bisa menerima alasan Anna menikah dengan Andrew, hatinya tetap saja tersakiti. Perempuan yang dulu sangat ia idam-idamkan, kini harus bersanding dengan pria lain. Pemuda itu duduk terpekur dan membiarkan keheningan hadir di tengah-tengah mereka.

"Jangan terlalu sedih. Aku percaya suatu saat kau bisa mendapatkan sosok lain untuk menggantikan Anna," ujar Jane. Ia menepuk bahu Peter, berusaha menghibur.

Meski hatinya ragu, Peter mengangguk sambil memaksakan seulas senyum. Ia lalu mendesah dan melahap lagi rotinya.

Beberapa saat kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Sementara Peter lebig banyak diam, Jane terus mengoceh mengenai apa saja yang terlintas dalam benaknya.

"Ini seru sekali! Kau tahu? Aku belum pernah pergi dari rumah tanpa izin sejauh ini."

"Lihat, ada kupu-kupu kuning yang cantik!"

"Astaga, ternyata Desa Albien jauh juga ya."

"Kapan kita sampai?"

"Kenapa kau diam saja dari tadi?"

"Tolonglah, bisakah kau diam?" sahut Peter.

"Tentu," jawab Jane. Namun beberapa saat kemudian ia mulai bicara lagi.

Peter hanya mendesah panjang dan berharap mereka segera sampai.

Menjelang sore, mereka akhirnya tiba di tujuan. Suasana saat itu sepi. Hanya terlihat beberapa orang yang menggembalakan ternak atau memotong rumput. Cuaca yang dingin saat itu membuat banyak orang lebih memilih menghangatkan diri di rumah.

Di tengah salju yang mulai turun, seorang wanita paruh baya tampak masih bekerja mengumpulkan kayu bakar. Peter dan Jane pun bergegas membantu.

"Terima kasih," ujar wanita itu. Berkat bantuan kedua pemuda itu, pekerjaannya jadi cepat selesai. "Apa yang kalian cari di desa ini?" tanyanya kemudian. 

"Maaf, tapi apakah ada orang yang bernama Kildan di sini?" tanya Peter pada wanita itu.

"Kildan? Untuk apa mencarinya? Dia adalah malapetaka bagi desa ini." 

"Malapetaka?" 

"Ya, keberadaannya di sini mengundang banyak penyihir. Mereka saling bertarung untuk memperebutkan tongkat sihir buatannya dan mengacaukan desa."

"Astaga," sahut Peter tercengang.

"Apakah kau juga seorang penyihir yang ingin mendapatkan tongkat sihir darinya?"

"Err—"

"Bukan. Kami cuma kerabat yang sudah lama terpisah," sahut Jane memotong ucapan Peter.

"Baiklah kalau begitu. Semenjak kekacauan itu, desa kami tertutup untuk kaum penyihir dan Kildan pun pergi entah ke mana. Banyak rumor yang beredar mengenai keberadaannya. Beberapa orang bilang kalau ia menyendiri di atas gunung, sementara yang lain bilang kalau ia sudah mati."

"Ohh ..." sahut Peter sedikit kecewa.

"Hari sebentar lagi gelap dan di sini dingin, kalian singgah saja di rumahku dulu," ujar si wanita. "Oh ya, namaku Gaby,"

"Aku Peter, dan ini Jane," balas Peter. Ketiganya lalu berjalan sambil membawa kayu-kayu bakar menuju sebuah rumah sederhana.

Di dalam rumah terasa jauh lebih nyaman dengan sebuah perapian menyala menghangatkan ruangan. 

"Ayo, bantu aku menyiapkan makan malam," ujar Gaby.

Ketiganya lalu bekerja memotong sayuran untuk memasak sup.  

"Jadi dari mana asal kalian?" tanya Gaby di sela-sela pekerjaannya.

"Arvendale," sahut Jane sambil memasang raut sedih. "Setelah ayah dan ibu meninggal, Kildan adalah satu-satunya kerabat kami yang tersisa."

Sementara Jane mengarang cerita untuk menutupi identitas aslinya, Peter hanya terdiam sambil memandangi gadis itu. Dalam hatinya merasa bersyukur karena mengajak Jane. Ia sendiri tak mungkin bisa mengarang cerita dan menuturkannya selancar itu.

"Kasihan sekali," sahut Gaby. "Tapi kurasa sekarang tak ada yang tahu mengenai keberadaan Kildan."

"Tak apa, besok pagi kami akan mencoba mencarinya lagi," sahut Jane.

"Ke mana kalian akan mencari?"

"Entahlah, mungkin ke gunung," sahut Peter ragu. "Bukankah ada yang mengatakan bahwa ia hidup menyendiri di sana? Mari berharap ia belum mati."

"Baiklah kalau begitu. Jangan sungkan untuk kembali ke sini jika kalian sampai membutuhkan bantuan," ujar Gaby.

"Terima kasih banyak, Bu," ujar Peter.

Tanpa terasa waktu berlalu dan mereka akhirnya selesai memasak. Tiga mangkuk sup hangat pun terhidang di meja makan. 

"Maaf, sederhana. Hanya ini yang aku punya. Aku sudah terbiasa hidup sendiri," ujar Gaby.

"Tak apa. Justru kami yang harus minta maaf karena sudah merepotkan," timpal Peter. Mereka lalu duduk dan makan bersama. Pencarian Kildan belum usai dan esok hari akan menjadi tantangan yang baru.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro