Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 23

Setelah menempuh perjalanan jauh, Peter akhirnya tiba di Arvendale. Atas izin Tuan Owin, ia tinggal di barak bersama para penjaga selama persinggahannya. Pemuda itu hanya berencana tinggal di kota itu selama beberapa hari untuk mengumpulkan perbekalan sebelum melanjutkan perjalanan ke Desa Albien. Sesuai petunjuk Ronald, ia bermaksud menemui Kildan untuk mempelajari sihir es serta mendapatkan tongkat sihir.

Ketika sedang mengantre untuk makan siang bersama para penjaga di barak, Jane datang menemuinya.

"Ada apa?" tanya Peter ketika ia mendapati sang gadis tomboi sudah berdiri di dekatnya.

"Makanan di sini mengerikan. Ayo ikut denganku mencari makanan di luar." Lalu, tanpa menunggu persetujuan Peter, perempuan itu menarik tangannya.

Karena perempuan itu sama sekali tak berniat melakukan negosiasi, Peter hanya bisa mengikuti kemauannya. Berganti suasana sejenak juga akan lebih menyenangkan daripada terus berada di barak yang gelap dan sumpek.

Angin dingin berembus seiring langkah Peter keluar dari kastel. Sambil mengeratkan mantel, keduanya pun berjalan menyusuri jalanan kota yang tertutup salju tipis. Cuaca di Arvendale memang lebih dingin jika dibanding wilayah lain di Ethardos.

Seolah tak terpengaruh suhu udara dingin, para warga kota beraktivitas seperti biasa di balik pakaian tebal. Jane rupanya cukup dikenal di kota karena predikatnya sebagai putri penguasa wilayah. Ia menyapa orang-orang yang dikenalnya dengan ramah. Sementara itu---sebagai orang yang berada di dekat Jane---Peter merasa agak risih dengan semua perhatian yang ia dapatkan.

"Kekasih baru?" tanya seorang pemuda pada Jane.

"Jangan asal bicara!" hardik Jane sambil menjitak kepala seorang pemuda berjubah putih. Meski berstatus bangsawan, Jane tampaknya tidak terlalu peduli dengan segala peraturan sopan santun seorang putri. Ia lebih nyaman berpenampilan seperti pria dan membaur dengan warga. Tuan Owin sudah sering memperingatkannya, tetapi Jane bersikeras untuk tetap menjadi dirinya sendiri. Ia bahkan tak segan untuk kabur jika mendapatkan teguran keras. Akhirnya, Tuan Owin pun menyerah dan membebaskan putrinya. 

Setelah beberapa saat berjalan, Jane akhirnya masuk ke sebuah kedai. Perapian yang menyala membuat suasana di situ terasa lebih hangat. "Kedai ini menjual sup daging rusa terenak," ujar Jane sambil duduk di salah satu meja.

"Dua porsi ekstra kuah?" tanya sang pelayan kedai pada Jane. Karena sudah sering makan di situ, sang pelayan pun tahu menu kesukaan pelanggan istimewanya. Sambil tersenyum, Jane mengangguk mengiyakan.

Tak lama, pesanan mereka pun datang. Penampilannya sangat menggugah selera dengan uap panas yang mengepul. Sangat cocok disantap saat situasi dingin seperti sekarang.

Peter dan Jane pun langsung menyeruput hidangan itu, menikmati kehangatannya. Rasa gurih dan segar seketika menyapa lidah mereka.

"Lezat sekali," gumam Peter.

"Sudah kubilang kan," sahut Jane sambil menyuap sendok berikutnya.

"Omong-omong, bukankah seorang putri sepertimu seharusnya makan di kastel?" tanya Peter.

"Ya, tapi akan sangat membosankan jika aku tak boleh menjajal makanan di tempat lain," sahut Jane. "Selama tidak melanggar hukum, ayah memberiku kebebasan."

"Tapi apakah kau tidak takut dengan kejahatan di kota? Seorang putri penguasa bisa jadi incaran orang-orang jahat bukan?"

"Kau tak lihat di sepanjang jalan tadi kita berpapasan dengan beberapa orang berjubah putih? Mereka adalah gerpa, para penegak hukum dan pelindung masyarakat. Berkat mereka, tak ada penjahat yang berani berkeliaran di kota."

"Benar juga," sahut Peter takjub. Sepanjang pengalamannya tinggal di Fortsouth maupun berkelana dari Bergstone, Girondin, hingga Kingsfort, Arvendale adalah yang paling teratur. Agama Herod sebagai satu-satunya agama yang diakui dan diadopsi sebagai hukum positif telah menjadi pegangan warga dan membuat hidup mereka lebih tertib.

"Sepertinya akan bagus jika agama ini diterapkan di seluruh kerajaan," gumam Peter.

"Tapi hal itu sungguh tidak mudah. Kepercayaan serta adat setempat ditambah arogansi penguasa yang merasa lebih tinggi dari hukum agama seringkali menjadi penghalang penyebaran agama," sahut Jane.

"Ooh ... begitu ya. Aku jadi makin penasaran seperti apa sebenarnya ajaran agama Herod."

"Kalau begitu, sore nanti ikutlah ke kuil. Akan ada peribadatan yang berlangsung di sana."

"Baiklah," sahut Peter setuju. Setelah itu mereka pun makan dengan lahap.

Sesuai kesepakatan, sore itu Peter pergi ke kuil bersama Jane dan keluarganya. Kuil Herod di Arvendale sangatlah megah, bahkan lebih megah daripada kastel tempat tinggal Tuan Owin sang penguasa wilayah. Menurut pemikiran mereka, kuil sebagai representasi rumah Tuhan—sang penguasa alam—haruslah lebih megah daripada tempat tinggal manusia.

Dengan kubah putih sebagai atap, kuil Arvendale terbuat dari susunan batu-batu dengan jendela-jendela melengkung yang besar di banyak tempat. Hal itu membuat seluruh ruangan memperoleh penerangan yang cukup. Ukir-ukiran serta ornamen di dinding dan pilar menambah keagungan bangunan itu. Di beberapa sudut ruangan, berdiri patung putih berwujud manusia berwajah rupawan setinggi dua setengah meter. Rambutnya panjang sebahu dengan telinga runcing.

"Siapa mereka?" tanya Peter.

"Mereka adalah kaum Elzif, makhluk suci penghuni Orengard."

"Orengard?"

"Ya, tempat tinggal sang dewa."

Peter tertegun sejenak di hadapan patung itu. Ia kemudian mengalihkan pandangannya ke depan, di mana sebuah patung pohon emas dengan mata di tengah-tengahnya. "Itukah sang dewa?" tanya Peter.

"Kami mengenalnya sebagai Gulia. Dewa yang kami sembah. Zaman dahulu kala, ia pernah menampakkan diri pada seorang pertapa bernama Herod dalam wujud pohon seperti itu," jelas Jane. "Herod lah yang kemudian menyebarkan ajarannya pada semua orang," terang Jane.

Tak lama kemudian, peribadatan pun dimulai. Peter yang tak begitu paham ritual agama Herod hanya mengikuti saja apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Setelah kurang lebih satu jam, peribadatan akhirnya usai. Peter berjalan bersama Jane dan keluarganya kembali ke kastel.

"Jadi, kapan kau berangkat ke Desa Albien?" tanya Jane.

"Besok pagi," sahut Peter. 

Jane lalu berpaling pada ayahnya. "Ayah, bolehkah aku ikut pergi ke Desa Albien?" 

"Kau tahu bahwa jawabannya tentu tidak." 

"Yah, Ayaah ..." Jane berusaha merajuk. "Aku ingin melihat portal menuju Orengard, tempat tinggal Yang Mulia Gulia. Konon lokasinya tak jauh dari Desa Albien bukan?" timpal Jane.

"Huh, itu hanya mitos. Tak ada manusia yang bisa ke Orengard selain Herod sendiri."

"Tapi bagaimanapun aku ingin melihatnya, Ayah." Jane tak mau menyerah.

"Kubilang tidak ya tidak. Selama ini aku sudah memberimu kebebasan untuk menelusuri seluruh penjuru kota. Apakah itu tidak cukup? Kau tahu? Kebanyakan putri hanya menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam kastel."

Mendengar itu, Jane hanya bisa merengut kesal sepanjang jalan. Peter yang sejak tadi mendengar perselisihan itu hanya terdiam. Ia tak berminat ikut campur dalam masalah mereka. Setelah apa yang pernah terjadi di Bergstone, setidaknya ia sudah belajar sesuatu.

Perjalanan mereka setelahnya pun lebih banyak diselimuti keheningan. Setibanya di komplek kastel, Peter memisahkan diri dan pergi bersama para penjaga ke barak. Ia mempersiapkan barang-barang untuk kepergiannya besok lalu beristirahat.

Namun, ketika petang menjelang, Jane tiba-tiba datang menemui Peter lagi. "Ayo, ikut aku," bisiknya.

"Sudahlah, Jane. Kurasa sebaiknya kita tidak banyak menghabiskan waktu bersama. Ayahmu sudah berbaik hati dengan mengizinkanku tinggal di sini, aku tak ingin membuat lebih banyak masalah," sahut Peter. Ia takut perasaan akan timbul jika mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Meskipun tomboi, Jane tetaplah seorang perempuan.

"Kau sudah akan pergi besok, setidaknya anggap ini sebagai makan malam terakhir sebelum kita berpisah," sahut Jane. "Tenang saja, untuk kali ini, ayah sudah setuju." Jane lalu menyunggingkan senyuman berusaha meyakinkan Peter.

Sambil mendesah panjang, Peter akhirnya setuju. Keduanya pun berjalan beriringan menuju sebuah kedai minum yang cukup ramai. Banyak orang baik dari luar maupun dalam kota yang berkumpul di sana.

"Hai, Nona Jane," sapa sang pemilik kedai.

"Hai, Thorne. Tolong siapkan roti isi daging asap untukku dan temanku ini," timpal Jane sambil tersenyum.

"Segera, Tuan Putri," sahut Thorne.

"Jangan meledekku lagi," pungkas Jane. Ia lalu melengos dan mengajak Peter duduk di tempat yang kosong.

"Kau sering ke sini?" tanya Peter berbasa-basi. Dari caranya menyapa sang pemilik kedai, ia tahu bahwa mereka sudah saling kenal.

Jane mengangguk sambil tersenyum. Sementara matanya berbinar menatap Peter. "Oh ya, sebenarnya aku mengajakmu ke sini karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan."

"Apa itu?" tanya Peter. Tanda tanya besar tergambar dari sorot matanya.

"Coba tebak," sahut Jane usil.

"Hmm ... kau ingin ikut bersamaku ke Desa Albien?"

Jane mengangguk cepat. Masih dengan senyum tersungging di bibir.

"Kau ini sangat keras kepala. Mengenai itu, kau tahu bahwa aku akan menolaknya bukan?" 

"Tapi, masih ada hal lain yang juga ingin kusampaikan. Dan aku yakin, setelah mengetahuinya, kau akan berubah pikiran."

"Apa itu?"

Jane tak menyahut ketika melihat seorang pelayan datang untuk mengantarkan pesanan. Pembicaraan pun terjeda.

"Terima kasih," ujar Jane pada sang pelayan. Ia lalu mengambil sepotong besar roti isi dan segera menjejalkannya ke mulut. "Cobalah, ini lezat." Jane berbicara dengan mulut penuh.

Merasa lapar juga, Peter pun melahap bagiannya. "Jadi apa lagi yang ingin kausampaikan?" tanyanya penasaran. Ia tak dapat memikirkan hal apa yang bisa membuatnya berubah pikiran.

"Nikmati saja dulu makanannya," sahut Jane.

Peter menurut saja. Hingga beberapa saat kemudian, keduanya pun makan dengan lahap.

"Aku kenyang," ujar Jane sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

"Aku juga," sahut Peter sambil mengelus perutnya. 

"Jadi kau ingin tahu hal lain yang ingin kusampaikan?"

"Tentu saja. Cepat katakan." 

"Malam itu, saat menitipkan surat untukmu, Anna menceritakan banyak hal."

"Benarkah? Apa itu?" Mendengar soal Anna, Peter seketika makin penasaran. Matanya membola dan tubuhnya condong ke depan.

"Maaf, tapi Anna sudah memintaku untuk tidak mengatakan hal ini pada orang lain."

"Kau ingin mengerjaiku?" ujar Peter kesal.

"Tidak. Aku akan menceritakannya padamu jika kau bersedia membawaku pergi ke Desa Albien."

"Astaga! Sebenarnya apa yang membuatmu begitu ingin pergi?"

"Entahlah. Aku hanya menyukai petualangan. Aku sudah menjelajahi seluruh Arvendale dan ingin keluar untuk melihat hal-hal yang baru. Desa Albien terdengar menarik untukku." Jane tersenyum sambil memiringkan kepala. "Jadi kau setuju?"

Peter menghela napas panjang lalu berkata, "Duh ... apakah hidupmu hanya berisi main-main saja?"

"Untuk apa hidup jika kau tak bisa menikmatinya?" sahut Jane enteng.

Meski jawaban Jane ada benarnya, Peter merasa tak bisa begitu saja mengabulkan permintaannya. Jane bukan gadis biasa. Membawanya pergi bisa membuatnya kembali terlibat masalah. Namun, hati kecilnya terus mendorong untuk menerima persyaratan itu. Ia sangat ingin tahu apa yang diceritakan Anna.

"Huh ... baiklah," desah Peter. Pada akhirnya ia membiarkan hati kecilnya menang. Toh, saat ini tak ada orang yang akan bersedih untuknya seandainya pun ia dihukum.

"Bagus!" Seketika itu, seulas senyum pun tersungging di bibir Jane. "Jadi kita berangkat malam ini? Kau tak mungkin pergi bersamaku ketika hari sudah terang."

Peter mengangguk pelan. Keraguan masih ada dalam hatinya. "Temui aku di tembok utara kastel saat tengah malam. Kita akan pergi dari sana."

"Siap, komandan," sahut Jane sambil membuat gestur hormat.

"Ada-ada saja kau ini," gerutu Peter. "Lalu kapan kau akan menceritakan mengenai Anna?"

"Nanti di perjalanan," sahut Jane sambil tersenyum miring. Ia tak mau tertipu jika menceritakannya sekarang.

Setelah itu, keduanya pun berjalan beriringan kembali ke kastel. Malam itu akan menjadi malam terakhir Peter berada di Arvendale. Ia berharap dalam hati, semoga keputusannya membawa Jane tidak membuatnya tertimpa masalah di kemudian hari.

***

Peter berdiri bersandar di tembok kastel sambil menunggu kedatangan Jane. Angin malam berembus lembut mempermainkan rambut hitamnya. Sambil menatap langit berhiaskan bintang, ia mendesah panjang. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya dikehendaki sang takdir dalam hidupnya. Apakah pilihannya menjadi seorang penyihir adalah keputusan yang tepat? Semuanya justru jadi terasa kian rumit.

Semakin mendalami sihir, ia merasa hidupnya semakin terasing dan jauh dari orang-orang yang paling ia sayangi. Saat ini ia bahkan berada di wilayah paling utara dari Kerajaan Ethardos. Beribu-ribu mil jauhnya dari Fortsouth, kota kelahirannya yang ada di selatan. Namun ironisnya, sihir juga adalah satu-satunya yang bisa ia perjuangkan saat ini, yang membuatnya merasa masih memiliki tujuan hidup. Sempat terbersit dalam benaknya bahwa takdirnya mungkin akan mirip dengan Ronald, sang guru yang menua dalam kesendirian.

"Sedang memikirkan Anna?" Suara Jane yang terdengar tiba-tiba membuat Peter terhenyak kaget.

"Err ... ti-tidak," gagapnya.

"Huh, kau bukan pembohong ulung," sindir Jane. Ia lalu menjulurkan tubuh dari atas tembok parapet kastel untuk melihat ke bawah.

"Bagaimana kita akan pergi dari sini?" tanyanya sambil melongok ke ketinggian.

"Kita akan melompat."

"Kau gila! Kita pasti mati jika melompat dari sini," sergah Jane.

"Aku akan menggunakan sihir angin untuk menahan laju kecepatan kita jatuh."

"Ooh ... apakah kau yakin bisa?"

"Hmm ... seharusnya bisa."

"Huh, baiklah. Aku percaya padamu saja," sahut Jane. Ia pun langsung melompat ke punggung Peter. "Ayo," ujarnya.

"Kau ini tak punya rasa takut ya? Bagaimana kalau aku menipumu?" tanya Peter sambil mendesah.

"Tentu saja aku akan menghantuimu," sahut Jane asal.

Tak bisa berkata apa-apa lagi, Peter menghela napas panjang lalu melangkahi tembok pembatas. Sementara itu Jane berpegangan erat di punggung Peter.

"Kau siap?" tanya Peter.

Jane mengangguk sebagai jawaban.

Setelah duduk sejenak di tepi tembok untuk mengumpulkan keberanian, Peter pun melompat. Dalam sekejap, tubuhnya meluncur di udara bebas sementara deru angin terdengar kencang memenuhi pendengaran. Detik berikutnya, Peter merapalkan mantra sambil mengayunkan tangan, membuat pusaran angin bertiup di sekelilingnya. Setelah itu, tepat sebelum kakinya mendarat, ia mengayunkan tangan sekali lagi. Angin pun bertiup dari bawah, mengurangi kecepatannya dan membuat pendaratannya jadi lebih mulus.

Peter menghela napas lega begitu kakinya kembali menapak bumi.

"Luar biasa," puji Jane sambil melompat turun dari punggung Peter. Ia lalu bertepuk tangan. "Itu tadi seru sekali! Kau bisa melakukannya lagi?"

"Kuharap kita tidak pernah melakukan itu lagi," sahut Peter dengan napas terengah.

"Oh, ayolah," ujar Jane sambil menepuk pundak Peter. Ia lalu berjalan sambil melompat-lompat kecil. Sambil mendesah lagi, Peter pun melangkah mengikuti Jane berjalan menuju perbatasan utara Arvendale.

Malam itu mereka bersembunyi di penginapan dan berencana menyelinap keluar dari gerbang kota saat pagi menjelang. Memaksakan perjalanan malam ke Albien rasanya akan cukup berisiko.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro