Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21

Anna yang baru kembali dari hutan terkejut ketika melihat kekacauan di Kingsfort. Para prajurit berlalu lalang sementara lukisan wajah Ronald tertempel di pintu gerbang kota sebagai buronan. Merasa ada yang tidak beres, Anna pun menanyai salah seorang prajurit yang lewat.

"Ronald si penyihir itu telah berkhianat dan membunuh Raja," ujar sang prajurit.

Anna terkejut bukan kepalang. "A-apa kau yakin?" tanyanya pada si prajurit.

"Tentu saja! Banyak yang menjadi saksi, bahkan pangeran melihatnya sendiri."

Detik itu juga Anna merasa seperti tersambar petir di siang bolong. Dengan kalut, ia pun berlari ke kastel untuk menemui Andrew.

Suasana di kastel tengah dilingkupi kedukaan mendalam. Semua orang terlihat murung. Setelah mendapatkan informasi bahwa jasad sang raja tengah disemayamkan di ruang takhta, Anna bergegas mempercepat langkah. Saat itu khasiat ramuan arsimilia telah habis dan ia sudah kembali pada wujud aslinya.

Kala itu jenazah sang raja telah terbaring di sebuah altar. Beberapa orang gerpa yang mengenakan jubah dan bertudung putih tampak di sekitarnya berdoa sambil membawa pedupaan. Sementara itu, Julia, Andrew, dan Isabel duduk tak jauh dari situ dengan muka muram.

Entah kenapa, Anna merasa kehadirannya tak diharapkan. Tatapan tajam dari orang-orang menyambutnya terasa bak pisau yang menghunjam jantung. Meski begitu, ia berusaha tetap tenang dan berjalan mendekati Andrew.

"Apa yang terjadi?" tanyanya lirih.

"Ayah mati dibunuh Ronald," sahut Andrew datar.

Mendengar itu secara langsung dari Andrew membuat Anna seketika merasa lemas. "Maaf ... aku turut berduka cita," lirihnya kemudian.

"BOHONG!" hardik Julia tiba-tiba. "Dari dulu aku memang tak pernah mempercayai penyihir. Sekarang lihat apa yang terjadi!"

"Maaf ... Ibu, tapi aku merasa ada yang aneh. Ronald yang kukenal tak mungkin berkhianat. Kita harus menyelidiki ini dengan lebih teliti," sahut Anna.

"Kau masih berusaha melindunginya?!" Julia mendengkus. "Sudah banyak saksi yang melihatnya sendiri. Bahkan Andrew juga ada di sana saat kejadian!"

"T-tapi—"

"Kau masih mencari-cari alasan? Jangan-jangan kau ikut berkomplot dengan Ronald untuk menggulingkan suamiku. Setelah itu kau berniat mengendalikan Andrew, begitu?!"

"Aku sama sekali tidak berniat seperti itu." sahut Anna dengan suara bergetar. Air matanya mulai berlinang.

"CUKUP! Seret dia ke penjara!" tegas Julia.

Bersamaan dengan itu beberapa penjaga pun datang menghampiri Anna. Namun, mereka berhenti ketika Andrew berdiri untuk mengadang.

"Biar aku sendiri yang mengantarnya ke penjara," ujar Andrew pelan. Ia lalu menggandeng Anna keluar dari ruangan.

Tak ada percakapan yang mewarnai perjalanan mereka melewati lorong-lorong kastel. Andrew terus melangkah cepat menuruni tangga hingga mereka tiba di penjara bawah tanah. Para penjaga di sana pun tak berani berkata-kata ketika Andrew melewati mereka tanpa suara.

"Masuklah," ujarnya lirih pada Anna.

"Mohon pikirkan sekali lagi ... Pangeran." Anna menatap Andrew dengan mata berkaca-kaca. Meski sudah berstatus suami istri, situasi belakangan telah menimbulkan jarak di antara keduanya. Semenjak kematian Alice, Anna semakin menarik diri dari Andrew. Ia memilih tetap menikahi sang pangeran hanya demi menjaga kehormatannya. Bagaimanapun seluruh negeri telah mengetahui rencana pernikahannya. Akan menjadi aib bagi keluarga kerajaan jika pernikahan harus batal. Lagipula Anna merasa bahwa ia masih harus berada di lingkungan kerajaan demi menguak misteri kematian Alice.

"Apa lagi yang harus kupikirkan? Aku melihat sendiri kejadiannya," sahut Andrew sambil menatap Anna lesu. Bagaimanapun juga, ia tak ingin memenjarakan istrinya sendiri.

"Bisa saja ada orang lain yang memfitnahnya dengan menyamar menggunakan ramuan arsimilia," sahut Anna.

"Tapi ia memiliki tongkat sihir Ronald. Jika dia adalah orang lain yang menyamar, bagaimana dia bisa memiliki tongkat itu sekaligus melakukan sihirnya? Apalagi Ronald sama sekali bukan penyihir yang mudah ditaklukkan." Jawaban itu membuat Anna terdiam sejenak. Argumen Andrew terdengar cukup masuk akal.

"Seiring menyebarnya berita kematian raja karena sihir, gerakan protes anti penyihir akan mencuat lagi. Untuk saat ini, kurasa berada dalam penjara akan lebih aman bagimu. Maafkan aku." Setelah mengatakan itu, Andrew pun menutup pintu dan pergi meninggalkan Anna sendiri.

***

Sementara itu, Susan dan Jack yang masih berada di Pulau Amui telah menyelesaikan misi mereka untuk mengembalikan Abe serta beberapa warga yang lain ke wujud manusia. Mereka lalu mengambil buah Amou secukupnya dan pergi untuk bergabung kembali dengan Lily dan Fiona.

Sekembalinya para penyihir, Arden mengumpulkan mereka semua di aula kastel Girondin bersama Dave, Dickens, dan Karl.

"Semua yang dibutuhkan untuk membangkitkan Stevan sudah terkumpul," ujar Jack.

"Aku juga sudah menyampaikan pesan pada Agra, dan sesuai dugaan, dia menolak menyerah," tukas Lily. "Aku sudah membunuhnya. Sekarang kita hanya bisa berharap pada Pangeran Andrew. Semoga dia cukup bijak untuk bersedia menyerahkan takhta pada Stevan."

"Bagus!" sambut Arden. "Sekarang kita tinggal memobilisasi pasukan dan memberikan tekanan pada Andrew. Jika lisan saja tak bisa meyakinkannya, kita bawa seluruh pasukan ke depan hidungnya."

"Tapi kita tak akan berperang kan?" tanya Susan. Ia sama sekali tak menginginkan pertumpahan darah.

"Semua akan tergantung pada Andrew," sahut Arden.

"Lalu bagaimana dengan Ronald? Penyihir itu bisa membuat Andrew merasa cukup kuat menghadapi kita," tanya Jack.

"Kami sudah menanganinya," sahut Lily.

"Maksudmu? Kalian tak membunuhnya kan?" Susan mendadak khawatir dengan nasib Ronald. Bagaimanapun juga, penyihir itu pernah membantunya saat menghadapi Victor di Pulau Amui.

"Tidak, kami hanya membuat Andrew yakin bahwa Ronald lah yang membunuh Agra. Dengan begitu, hubungan mereka retak. Bagaimanapun, aku juga berutang nyawa padanya," sahut Lily.

"Nasibnya sekarang tergantung pada Andrew dan dirinya sendiri. Yah, seandainya dia bersedia bergabung dengan kita," desah Fiona. Mereka lalu terdiam sejenak.

"Oh ya, kita masih memiliki satu hal lagi," ujar Lily tiba-tiba. "Untuk membangkitkan Stevan, akan diperlukan seorang korban."

"Itu mudah saja," sahut Dickens.

"Tapi aku tak mau membunuh orang yang tak bersalah," sela Susan. Sejak awal ia memang tidak setuju dengan pengurbanan manusia.

"Lalu apakah kau punya solusi?" tanya Dickens balik.

Keheningan kembali menyeruak hingga beberapa saat kemudian, Arden bertanya, "Apakah masih disebut membunuh jika orang itu memang menginginkan kematian?"

"Maksudmu?" tanya Susan berusaha meyakinkan.

"Dia telah kehilangan tujuan hidup beserta orang-orang yang disayanginya. Dia pernah berkata bahwa kematian—jika itu bisa bermanfaat—akan jauh lebih baik," sahut Arden.

Sempat terdiam beberapa saat, Susan akhirnya menyahut, "Entahlah. Aku merasa ada yang salah dengan ini semua."

"Salah dan benar. Setahuku tak pernah ada garis tegas yang memisahkan keduanya," sahut Dave.

"Aku setuju. Kita sudah sejauh ini dan rencana membangkitkan Stevan harus dilanjutkan demi kehidupan yang lebih adil untuk manusia dan penyihir," ujar Arden.

"Aku setuju. Satu orang kurban tidaklah berlebihan untuk mimpi yang besar," timpal Lily.

"Tapi bisakah aku bertemu dan berbicara dengan kurban yang kau maksud tadi?" tanya Susan.

"Tentu." Arden membalas dengan seulas senyum.

Setelah itu mereka pun sepakat untuk mulai mempersiapkan pasukan. Karl akan kembali ke Bergstone, sementara Arden dan para penyihir kembali ke Fortsouth.

Berkat kemampuan teleportasi Jack dan Dave, mereka pun tiba di tempat tujuan dalam sekejap. Sesuai janjinya, Arden langsung membawa Susan menemui calon kurban yang dimaksud. Ia membawa penyihir perempuan itu masuk ke sebuah kamar di dalam kastel Fortsouth.

"Eric?" Susan terperangah ketika melihat sosok yang dulu begitu perkasa kini tampak sangat lesu. Tak ada semangat yang terpancar dari sorot matanya.

"Hai ..." sahut Eric sambil memaksakan senyumnya.

"Baiklah, aku akan meninggalkan kalian berdua di sini." Setelah itu, Arden pun pergi.

"Astaga, apa yang terjadi? Kenapa jadi seperti ini?" tanya Susan.

"Keluarga Tuan Gideon, yang seharusnya aku lindungi sudah mati semua. Tidak hanya itu. Egelina, istriku, mati mengenaskan di hadapanku dalam kondisi mengandung putraku." Eric menatap kosong ke luar jendela sambil mendesah berat. Matanya tampak berkaca-kaca dan bibirnya bergetar. "Setelah itu semua, Arden membujukku untuk ikut dalam misinya menggulingkan Agra. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan oleh Tuan Gideon." Eric terdiam sejenak lalu menatap Susan. "Meski dalam politik tak ada kawan ataupun lawan abadi, aku tak pernah berpikir bahwa berkhianat adalah sesuatu yang benar."

Mendapat penuturan itu, Susan terdiam. Tak ada yang bisa ia sampaikan selain ungkapan turut berdukacita atas kematian Egelina dan keluarga Gideon. Suasana hening pun mengisi detik demi detik yang terasa bergulir begitu lama.

"Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kau perjuangkan?" tanya Eric.

"Keadilan untuk kaum penyihir," sahut Susan lirih.

Mendengar itu, Eric hanya tersenyum tipis.

"Bagaimana pendapatmu? Ikutlah bersama kami dalam perjuangan untuk kehidupan yang lebih adil antara manusia dan penyihir."

"Adil? Apa yang kau maksud dengan adil ketika kau bisa membaca pikiran dengan mudah sementara kawanmu bisa menghancurkan desa dengan sebaris mantra?"

"T-tapi aku yakin penyihir dan manusia bisa hidup berdampingan dengan damai. Bukankah memang begitu keadaannya sebelum Victor membuat ulah di kerajaan?"

"Entahlah ... aku belum lahir ketika itu," kelakar Eric. "Yang aku tahu, masa lalu bisa direkayasa dan tak ada yang pasti mengenai masa depan. Meskipun begitu, tetaplah berjuang untuk apa yang kau yakini."

"Kau tak berniat menghalangiku untuk membangkitkan Stevan dan menjadikannya raja?"

"Untuk apa? Bukankah kau yakin bahwa itu bisa membawa kebaikan? Apa yang sudah terjadi telah membawaku pada kesimpulan bahwa tak ada yang perlu dipertahankan dalam hidup, bahkan hidup itu sendiri."

"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Susan.

"Entahlah ... jika kematianku bisa bermanfaat, rasanya itu akan lebih baik," sahut Eric lesu. "Siapa tahu aku bisa bertemu lagi dengan istri dan anakku di dunia seberang. Tak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi setelah kematian."

"Kau tak takut?" tanya Susan.

"Semua orang takut pada sesuatu yang belum diketahuinya, tapi bukankah kita semua akan mati? Kurasa tak akan ada bedanya jika aku mati sekarang ataupun kelak," sahut Eric.

Setelah itu keheningan kembali terasa memenuhi ruangan. Susan terdiam sambil menatap Eric yang kini jauh berbeda dari saat ia mengenalnya pertama kali. Pria yang dulu sangat gagah dan bersemangat itu kini tampak kurus sekaligus mengenaskan. Jenggot tebal menutupi wajahnya dan sinar matanya terlihat redup.

"Apakah kau akan keberatan jika kematianmu akan berarti kebangkitan Stevan?"

Eric terkekeh mendengar pertanyaan itu. "Jika aku akan mati, untuk apa peduli lagi?"

Susan tak menyahut lagi. Ia memilih diam selama beberapa saat lalu bangkit untuk memeluk Eric. Saat itu air matanya menetes. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berpaling dan pergi meninggalkan Eric sendiri. Hatinya dipenuhi keragu-raguan. Bagaimanapun, mengurbankan seseorang terasa tidak benar meski demi kebangkitan orang lain. Namun, ia dan kawan-kawan telah berjuang sangat jauh. Dan kini tinggal selangkah lagi untuk kebangkitan kaum penyihir. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro