Bab 20
Sepeninggal Ronald, nasib Zalika semakin terpuruk. Dickens memperlakukannya hanya seperti burung dalam sangkar emas. Tak ada kebebasan, hanya kesendirian yang selalu setia menemani. Ia dilarang keluar dari area kastel ataupun bertemu orang lain.
Meski secara jasmani tidak kekurangan, batin Zalika sungguh merana. Satu-satunya hal yang membuatnya masih bertahan ialah keinginannya untuk membalas dendam. Ia tak bisa menghadap orang tuanya sebelum melihat kehancuran Karl dan Dickens.
Seperti biasa, suatu malam seorang pelayan datang untuk mengantarkan makanan ke kamarnya.
Meski sama sekali tak berselera, Zalika memaksakan makanan itu masuk melalui kerongkongannya. Pikirannya menerawang, memikirkan berbagai cara untuk mencelakai Dickens. Namun, dalam kondisi terpenjara dan tanpa sekutu, sangat sulit untuk bisa mendapatkan senjata ataupun racun.
Hingga selesai makan, Zalika belum bisa memikirkan cara yang baik untuk meloloskan diri. Ia pun memilih merebahkan diri di pembaringan sementara air matanya mulai menetes. Entah sampai kapan ia harus menjalani hidup penuh penderitaan seperti ini.
Setelah lama termenung, perempuan itu akhirnya jatuh tertidur.
Hingga menjelang tengah malam, Zalika tiba-tiba terhenyak karena seseorang membangunkannya. Ia mengenakan penutup wajah seperti seorang penyusup dan meletakkan telunjuk di mulut sebagai isyarat agar Zalika tidak berteriak.
Sambil melotot karena terkejut, Zalika menatap mata orang itu. Rasanya tidak begitu asing.
"Remnant?" lirih Zalika ketika pria itu membuka penutup wajahnya. Ia tentu mengenali sang kesatria yang telah lama mengabdi untuk Girondin itu.
"Jangan berisik. Aku akan membawamu keluar dari sini," lirih Remnant sambil memasang kembali penutup wajahnya.
Merasa mendapat harapan, Zalika pun langsung bangkit dan mengikuti arahan dari Remnant. Keduanya berjalan mengendap menyusuri lorong kastel yang tengah sepi. Sebagai kepala pasukan, Remnant tentu bisa mengondisikan para prajurit untuk tidak berjaga di rute yang akan dilaluinya.
Dengan jantung berdebar, Zalika terus mengendap. Bulir-bulir keringat membasahi wajah cantiknya. Setelah melewati lorong-lorong berliku, mereka akhirnya tiba di tembok terluar kastel. Di situ, Remnant telah menyiapkan seutas tali tambang untuk mereka turun. Ia tak mau mengambil risiko dengan keluar lewat gerbang utama.
Setelah mengikat tali pada sebuah tonjolan di tembok kastel, ia mengayunkan tangan sebagai isyarat bagi Zalika untuk segera turun.
Berada pada ketinggian sekitar lima meter di atas tanah membuat Zalika ragu sejenak. Ia menatap ke bawah selama beberapa saat sambil berusaha memantapkan hati. Jantungnya terasa berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya.
"Cepatlah ..." bisik Remnant.
Zalika sadar, ia harus segera bertindak atau kesempatannya akan hilang. Dengan tangan basah dan gemetar, perempuan itu menggenggam erat tali yang telah terjuntai. Kakinya melangkah satu demi satu hingga kini tubuhnya tergantung seluruhnya.
Di tengah tiupan angin malam yang dingin, perempuan itu beringsut turun. Ia tak memedulikan lagi tangannya yang terasa panas karena bergesekan dengan tambang kasar. Napasnya kian memburu. Ketegangan itu terasa memenuhi atmosfer di sekitarnya.
Bagi Zalika, beberapa menit itu terasa seperti berjam-jam. Seluruh tubuhnya pegal sementara tangannya mulai kebas. Keringat dingin pun menetes membanjiri wajah.
Hingga akhirnya ia sudah tak sanggup lagi. Matanya berkunang-kunang dan jemarinya lemas. Saat itu juga, pegangannya pun terlepas. Tubuhnya melayang selama sepersekian detik sebelum akhirnya mendarat. Untung saja, saat itu ia sudah berada sekitar dua meter dari atas tanah sehingga—meski cukup sakit—ia tidak sampai terluka.
Sambil menunggu Remnant yang masih bergelantungan, Zalika duduk sambil mengatur kembali napasnya. Angin malam terasa menyejukkan membelai rambut hitamnya.
Baru sebentar beristirahat, Remnant sudah mendarat dan mengajak Zalika untuk kembali bergerak.
Dorongan untuk bebas itu lebih besar daripada kelelahan yang melanda. Zalika pun segera bangkit dan mengikuti Remnant berlari menyusuri jalanan kota yang tengah sepi.
"T-tunggu ... aku tak kuat lagi," keluh Zalika. "Bisakah kita beristirahat dulu? Sepertinya mereka belum mengetahui kepergian kita."
"Bertahanlah. Sebentar lagi kita akan tiba di gerbang kota," bujuk Remnant memberi semangat.
Sambil mendesah panjang, Zalika pun memaksakan kakinya untuk melangkah lagi dengan lebih cepat. Meski napasnya sudah hampir putus, bayangan ketika ia harus kembali terpenjara dalam kamar membuat motivasinya bangkit kembali.
"Tunggu di sini," ujar Remnant ketika mereka sudah dekat gerbang kota.
Mengikuti saran Remnant, Zalika pun duduk menyembunyikan diri di sebuah gang sempit sambil memulihkan tenaga.
Sementara itu, Remnant berlari mendekati pintu gerbang dengan memasang ekspresi panik. Ia lalu berbicara dengan para penjaga di sana, "Nyonya Zalika menghilang! Ayo, bantu aku mencarinya. Ia pasti masih di dalam kota. Kalian carilah ke sebelah timur, aku akan ke barat."
Tanpa curiga, kedua prajurit penjaga pintu itu pun segera pergi.
Setelah merasa aman, Remnant pun kembali ke tempat persembunyian Zalika. "Ayo!" Kesatria itu mengulurkan tangan pada Zalika. Keduanya pun segera berlari menuju pintu gerbang. Setibanya di sana, Remnant membantu Zalika naik ke kuda milik penjaga tadi. "Tunggu sebentar, aku akan membuka pintunya," ujar Remnant.
Suara berderak-derak terdengar cukup nyaring ketika pintu kayu besar itu didorong. Ketegangan mendadak menguar dalam hati keduanya. Di tegah malam yang sunyi, suara pintu terbuka seperti itu bisa jadi menarik perhatian.
Meski belum ada yang datang, mereka harus bergerak cepat. Para penjaga bisa saja sedang dalam perjalanan ke situ. Setelah pintu terbuka secukupnya, Remnant menuntun kuda Zalika keluar, lalu menutup kembali gerbangnya untuk menghapus jejak kepergiannya.
"Sepertinya semua berjalan lancar," gumam Remnant sambil tersenyum pada Zalika. Ia lalu melompat ke atas kuda, duduk di depan Zalika, dan memacu tunggangannya secepat mungkin meninggalkan Girondin menuju Kingsfort.
***
Sementara itu di Kingsfort, Anna tengah berjalan-jalan di pasar untuk berbelanja. Demi menghindari perhatian berlebih karena statusnya sebagai istri pangeran sekaligus penyihir, ia menggunakan ramuan Arsimilia untuk menyamar menjadi sosok wanita lain.
Ketika sedang memilih-milih buah, ia menangkap sosok seseorang yang tak asing baginya. Wajahnya sangat maskulin dengan kumis lebat dan tubuh yang tegap.
Bukankah itu Dave? Sang pedagang budak? gumam Anna. Ia tak mungkin melupakan sosok yang dulu pernah membuat hidupnya begitu menderita. Terdorong oleh rasa penasaran, Anna beringsut meninggalkan pedagang buah dan memilih mengikuti Dave.
Sambil sesekali bersembunyi di balik rumah penduduk, Anna terus mengekori Dave hingga keluar dari kota. Suasanya yang tadinya ramai pun berubah seiring langkah mereka masuk ke dalam hutan.
Dengan jantung berdebar kencang, Anna berusaha melangkah dengan sangat hati-hati. Ia tetap menjaga jarak sambil sesekali bersembunyi di balik pohon. Di tengah suasana yang sepi, suara gemeresak ranting bisa saja menarik perhatian sang pedagang budak.
Setelah berjalan jauh ke dalam hutan, Anna melihat Dave masuk ke sebuah gubuk. Ia menunggu beberapa saat sambil mengamati situasi sebelum akhirnya memutuskan untuk mendekat ke sana.
Anna berjalan pelan dengan tubuh merunduk. Ia meremas-remas jemari untuk mengalahkan rasa takut. Setibanya di dinding gubuk, ia menempelkan telinga di dinding kayu, berusaha mendapatkan informasi apa pun yang bisa ia dengar.
Namun, setelah beberapa saat, tak ada suara yang tertangkap oleh pendengarannya. Semuanya begitu sunyi. Hanya kicauan burung-burung serta gemeresak dedaunan tertiup angin. Semakin penasaran, Anna perlahan melongok melalui jendela yang ada di situ.
Gubuk itu telah kosong.
Ini tidak mungkin. Jelas-jelas aku melihatnya masuk ke sini, batin Anna kebingungan. Ia terus mengamati gubuk itu, mencari kemungkinan jalan keluar lain. Namun nihil. Pintu itu adalah satu-satunya jalan masuk sekaligus keluar.
Sebuah kuali besar kemudian menarik perhatiannya. Beberapa botol kaca berisi ramuan entah apa juga tampak berjejer di lemari. Apakah ini gubuk seorang penyihir? tanya Anna dalam hati pada dirinya sendiri.
Bibi Fiona? Memori Anna tiba-tiba terbawa ke masa lalu ketika ia pertama kali datang ke Kingsfort. Saat itu ia bersama Susan bertemu dengan Bibi Fiona yang mengaku sebagai seorang proctrium. Ini pasti rumahnya, batin Anna lagi. Lalu apa hubungannya dia dengan Dave? Sambil duduk di tanah dan bersandar pada dinding kayu, Anna merenung.
Sementara itu, Dave bersama Lily dan Fiona telah berada kembali di Kota Kingsfort, di rumah lama Jack. Karena merasa ada seseorang yang mengikuti, Dave pun membawa Lily dan Fiona berteleportasi dari gubuk.
"Sebaiknya kita segera menuntaskan misi sebelum ada orang yang mengetahui keberadaan kita," ujar Dave. Ia sebenarnya pergi ke pasar hanya untuk membeli makanan. Namun, karena seseorang mencurigainya, mereka pun memutuskan menunda acara makan dan menyelesaikan misi terlebih dahulu.
"Baiklah, ayo kita beraksi," sahut Lily. Ia lalu menenggak ramuan arsimilia dari Fiona dan berubah menjadi Ronald. Darah Ronald yang dikumpulkan Arden melalui lintah telah digunakan untuk membuat ramuan pengubah wujud itu.
Setelah perubahan wujudnya sempurna, Lily bergegas menuju kastel untuk menemui Agra. Tidak sulit baginya untuk masuk karena para penjaga di sana sudah mengenal Ronald.
Saat itu ia dibawa untuk menemui Agra yang tengah berbincang dengan beberapa orang mengenai masalah yang terjadi di Fortsouth sepeninggal Gideon. Pangeran Andrew ada juga di situ untuk mengikuti perkembangan politik kerajaan.
"Ronald ... apa kabar? Bergabunglah bersama kami," sambut Agra ketika melihat kawan penyihirnya itu.
"Maaf mengganggu, tapi aku ke sini untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting," sahut Ronald. "Para penyihir pendukung Stevan berhasil lolos dari Pulau Barnes. Mereka telah menjalin kerja sama dengan Karl beserta seluruh pasukan orc-nya. Fortsouth dan Girondin juga memutuskan untuk menggabungkan kekuatan. Tidak hanya itu, saat ini mereka juga sedang berupaya untuk membangkitkan kembali Stevan menggunakan sihir. Jika sampai mereka menyerang, perang besar pasti akan pecah."
"Astaga!" Mendengar itu, Agra terkejut bukan kepalang. Gabungan kekuatan mereka sama sekali tak bisa diremehkan. Apalagi dengan dukungan dari para penyihir.
"Lalu bagaimana saranmu?" tanya Agra.
"Mereka berniat mengangkat Stevan sebagai raja. Melihat kekuatan besar yang mereka bangun, kurasa menyerahkan takhta adalah satu-satunya jalan untuk mencegah peperangan."
Jawaban Ronald itu sontak membuat Agra murka. "TIDAK MUNGKIN! AKU ADALAH RAJA YANG SAH. TAK AKAN KUBIARKAN SIAPA PUN MEREBUTNYA!" Sang raja pun berdiri sambil menggebrak meja. "Aku akan bertahan dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Saat ini Doria telah jatuh dalam kekuasaanku. Ditambah dukungan dari Arvendale, aku akan punya cukup kekuatan untuk menghadapi mereka!" tegas Agra.
"Tapi akan ada banyak korban yang berjatuhan."
"Tentu saja! Itu adalah harga yang harus dibayar. Aku tak mungkin menyerah begitu saja pada pemberontak!"
Mendengar itu, Ronald pun tertegun sejenak. Ia lalu berkata lirih, "Maafkan aku kalau begitu." Bersamaan dengan itu, sang penyihir mengangkat tongkatnya dan petir pun menyambar Agra, membuatnya terpelanting dan ambruk di kursinya.
Dengan panik, Andrew langsung menghambur mendekati tubuh sang ayah. Namun terlambat, denyut nadi sang raja sirna seketika.
Semua orang tertegun selama beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Selama ini Ronald dikenal sebagai penyihir yang setia.
"Tolong, Pangeran pikirkan lagi saranku demi mencegah pertumpahan darah," ujar Ronald lagi. Lalu ia segera keluar dari situ.
"TANGKAP DIA!"Teriak Andrew murka.
Bersamaan dengan itu, para prajurit pun merangsek untuk menangkap Ronald. Namun, sang penyihir tentunya tidak tinggal diam. Ia mengayunkan tangan, membuat angin bertiup kencang dan mengempaskan orang-orang yang mengejarnya.
Ketika lebih banyak lagi orang datang untuk menangkapnya, sebuah portal sihir terbuka di dekat Ronald. Ia pun melompat ke sana dan lenyap begitu saja.
"KERAHKAN SELURUH PRAJURIT! BUNUH DI TEMPAT! DIA SUDAH MEMBUNUH RAJA!" teriak Andrew murka. Wajahnya memerah sementara napasnya memburu.
Saat itu juga suasana kastel mendadak kacau. Seluruh prajurit dikerahkan dan berpencar untuk memburu sang penyihir pengkhianat. Namun, di sisi lain, Ronald yang sebenarnya adalah Lily telah tiba di luar kota berkat portal ciptaan Dave. Misi selesai dan mereka bersiap kembali ke Girondin untuk melaporkan semuanya pada Arden.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro