Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Malam itu, pernikahan Arden dan Muriel digelar secara sederhana di aula kastel. Keduanya saling mengucap janji setia satu sama lain di hadapan para kerabat dan kenalan. Aileen kini sudah tidak peduli lagi akan nasibnya sendiri. Asalkan Gladys berhasil selamat, ia sudah merasa puas.

Bersamaan dengan itu, ketika semua orang sedang berkumpul menghadiri pernikahan, Muriel berjalan tergesa menyusuri lorong kastel menuju penjara bawah tanah. Ia memanfaatkan penjagaan yang tak begitu ketat. Tanpa kesulitan berarti, Muriel pun tiba di tempat tujuan.

"Apa yang kau cari?" hardik seorang penjaga penjara yang melihat Muriel berjalan tenang mendekatinya.

"Tuan Arden memintaku mengantarkan anggur ini untuk kalian," sahut Muriel tenang seraya menyerahkan sekantong minuman pada kedua penjaga di depan penjara.

"Huh, aku tak menyangka ia akan memperhatikan kita," sahut salah seorang penjaga sambil tersenyum. Ia lalu menenggak anggur itu tanpa curiga.

Sementara itu, Muriel yang melihat rencananya berjalan mulus tersenyum sekilas lalu pergi sejenak. Akan butuh waktu agar obat tidur yang telah ia campurkan ke dalam anggur dapat bekerja.

Selang beberapa menit, Muriel kembali dan mendapati kedua penjaga itu telah terlelap. Tak mau membuang waktu, wanita paruh baya itu segera mencari kunci pintu penjara dari tubuh sang penjaga lalu membukakan pintu untuk Gladys.

"Terima kasih," bisik Gladys di sela-sela tangisan. Ia memeluk tubuh Muriel erat.

"Ayo, kita harus cepat," sahut Muriel. Ia sadar mereka tak memiliki banyak waktu untuk momen sentimental. Wanita itu melepas pelukan Gladys dan menarik tangannya agar segera mengikuti langkah cepatnya.

"Ambil busur dan panahmu, kau bisa jadi akan membutuhkannya," ujar Muriel.

Meski belum sepenuhnya paham, Gladys menurut saja. Ia mengambil busur dan panah dari kamarnya lalu kembali bergegas mengikuti Muriel menuju ruang kerja ayahnya.

"Ke mana—"

Muriel menempelkan telunjuknya di bibir agar Gladys tak banyak bicara. Ia lalu menyingkap karpet di tengah ruangan yang ternyata menyembunyikan sebuah pintu kayu di bawahnya. "Ini akan membawa kita keluar dari sini," lirih Muriel.

"Tapi apa yang terjadi? Di mana ayah dan ibu?" tanya Gladys kebingungan.

"Masuklah dulu, akan kujelaskan nanti," sahut Muriel sambil membuka pintu rahasia. Sebuah tangga kayu pun terlihat, menghubungkan ruang kerja Gideon dengan sebuah lorong rahasia di bawahnya.

Sambil menggenggam sebatang obor, keduanya pun bergegas menyusuri lorong panjang dan sempit itu.

"Ayahmu sudah meninggal dan ibumu disandera. Arden mengkhianati mereka," lirih Muriel pada akhirnya. Bagaimanapun juga, Gladys berhak mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi.

Mendengar itu, Gladys menghentikan langkah sejenak. "Apakah kita tak bisa kembali untuk menyelamatkan ibu?" Meski menyadari kemungkinannya sangat tipis, sebagai seorang anak ia tentu ingin menyelamatkan ibunya.

Muriel menggeleng lalu menarik tangan Gladys agar kembali melangkah lebih cepat. "Semua orang telah memihak Arden. Kembali sama saja dengan bunuh diri. Kau harus tetap hidup demi ayah ibumu."

Seketika itu, Gladys merasa hatinya begitu sakit. Meski sudah berusaha mempersiapkan diri untuk mengantisipasi hal terburuk yang menimpa ayah ibunya, mendengar fakta dari Muriel tetap saja membuat hatinya hancur. Sambil terus melangkah, air matanya pun menetes dan meninggalkan jejak di tanah.

"Apakah mereka berharap aku akan kembali untuk merebut kota ini?" tanya Gladys.

"Mereka tidak menitipkan pesan apa pun terkait hal itu. Sepertinya mereka sudah cukup senang jika kau berhasil selamat dan hidup bahagia."

Untuk beberapa saat kemudian tak ada suara selain langkah cepat keduanya.

Ayah, Ibu, aku tidak akan menyia-nyiakan pengorbanan kalian ... Aku akan tetap hidup dan menjadi lebih kuat, tekadnya dalam hati.

Pada detik berikutnya, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan menancap di paha Muriel. Sambil mengerang kesakitan, wanita paruh baya itu berusaha bertahan dengan bertumpu pada dinding batu.

"Berhenti kalian!" Bersamaan dengan itu, terdengar teriakan salah seorang penjaga yang bergaung di lorong. Mereka rupanya telah mengetahui perihal lolosnya Gladys dan langsung berusaha mengejar.

Dengan panik, Gladys berusaha membantu Muriel berjalan. Namun, detik itu juga sebuah anak panah melesat lagi. Beruntung kali ini tembakan itu tak menemukan sasaran. Suasana lorong yang gelap membuat para penjaga itu sedikit kesulitan menyasar targetnya.

"Pergilah!" Muriel menepis tangan Gladys yang berusaha membantunya. "Selamatkan dirimu!"

"Ta-tapi, bagaimana denganmu?"

"Aku sudah cukup puas jika kau berhasil selamat." Seulas senyum getir tersungging di bibirnya.

Gladys terdiam sejenak sebelum Muriel kembali berteriak menghardiknya. "CEPAT! PERGILAH!" Dan bersamaan dengan itu, sebuah anak panah kembali melesat dan menancap di bahu Muriel, membuatnya berteriak kesakitan untuk kedua kalinya.

Kini Gladys tak punya pilihan. Jika tetap berkeras menolong Muriel, sudah pasti ia juga akan tertangkap. Dengan air mata meleleh membasahi pipi, gadis itu akhirnya berpaling dan berlari secepat mungkin, meninggalkan sosok sang penyelamat yang kini hanya bisa pasrah menunggu ajal.

Sambil berlinang air mata, Muriel menatap Gladys yang berlari menjauh lalu tersenyum samar. Beberapa detik berikutnya, sebilah anak panah melesat lagi menembus jantungnya. Wanita itu pun ambruk ke tanah dan wafat bermandi darah.

Sementara itu, Gladys terus berlari menyusuri lorong secepat yang ia bisa. Dengan napas tersengal-sengal, ia akhirnya tiba di ujung lorong yang ternyata terhubung ke sebuah gua di hutan. Lubang masuknya tertutup sulur-sulur tanaman, membuat orang dari luar tak akan mengira bahwa di situ terdapat jalan rahasia yang bisa membawa mereka masuk ke kastel.

Meski sudah berhasil keluar dari lorong, Gladys tidak menyurutkan langkah dan terus berlari menembus kegelapan hutan. Ia sama sekali belum aman. Para pengejarnya masih terus membuntuti.

Mengabaikan goresan ranting di kaki dan tangan, Gladys terus memacu langkah. Keringatnya mengalir deras membanjiri tubuh. Angin malam yang dingin sama sekali tak mampu mengurangi peningkatan adrenalin di dalam diri. Dengan jantung berdebar kuat, ia sesekali menengok ke belakang sambil berharap para penjaga itu sudah kehilangan jejak.

Namun—untuk yang kesekian kalinya—ia harus kecewa ketika menemukan bahwa harapannya belum terwujud. Mereka masih terus mengejar.

Kelelahan yang luar biasa kini mendera sekujur tubuh Gladys. Matanya mulai berkunang-kunang dan konsentrasinya terasa menurun. Melihat semak yang cukup tinggi, Gladys langsung melompat ke situ. Ia berharap bisa menyembunyikan diri. Namun, tak disangka-sangka, ternyata ada sebuah lubang perangkap di balik semak.

Gladys pun jatuh ke sana dan meringis kesakitan karena kakinya terkilir. Kini, tak ada yang bisa ia lakukan selain meringkuk dalam kegelapan sambil terus berharap agar para penjaga itu tidak menemukannya.

"Sepertinya tadi dia berlari ke arah sini." Terdengar pembicaraan di antara para penjaga tak jauh dari situ. Rupanya kejatuhan Gladys ke dalam lubang menjadi petaka sekaligus keberuntungannya. Mereka tak menyadari keberadaan lubang perangkap yang tersembunyi di balik semak. Setelah beberapa lama, akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melapor pada Arden.

Mengetahui pencariannya telah berakhir, Gladys akhirnya bisa mengembuskan napas lega. Ia memutuskan untuk beristirahat di dalam lubang karena merasa sangat kelelahan.

***

"Dasar Bodoh!" hardik Arden pada para penjaga yang gagal mendapatkan tawanannya kembali. Saat itu upacara pernikahan telah berakhir dan Arden sedang berada di kamar bersama Aileen.

"Ma-maaf Tuan. Muriel telah menipu kami. Ia memberikan obat tidur. Kami sudah berusaha mengejarnya melalui lorong rahasia sampai ke hutan, tapi kondisi di sana sangat gelap sehingga kami kehilangan jejak," sahut salah seorang penjaga ketakutan.

Arden terdiam sambil mengembuskan napas gusar. Dengan tangan terkepal erat, ia memukul meja kayu di hadapannya.

"Ta-tapi kami berhasil membunuh Muriel," lapor penjaga itu lagi.

"Aku sama sekali tidak membutuhkannya. Dia tak berhak mengklaim kekuasaan atas Fortsouth. Tapi Gladys ... dia masih seorang Fernir" Arden terdiam dengan rahang mengeras.

"Cepat kerahkan lebih banyak pasukan untuk mencari! Sebelum fajar menjelang, kalian sudah harus mendapatkannya kembali!" perintah Arden.

"Baik, Tuan!" Kedua penjaga itu lalu bergegas pergi meninggalkan Arden dan Aileen di kamar mereka.

Sepeninggal para penjaga, Arden melampiaskan kemarahan pada Aileen. Ia menampar wanita itu dengan keras hingga membuatnya tersungkur ke lantai. Namun, wanita itu sama sekali tidak mengeluh dan malah menyunggingkan seulas senyum kemenangan.

"Kau boleh melakukan apa pun terhadapku. Selama Gladys berhasil selamat, aku tak peduli lagi pada hal lain."

"Kau ..." Arden mengangkat tangan dan bersiap memukul Aileen lagi. Namun---merasa hal itu sama sekali tak berfaedah---ia menghentikan gerakan dan memilih untuk melemparkan tubuh pada sebuah kursi lalu mendesah panjang.

"Jangan pernah berpikir bahwa Gladys akan bisa mengalahkanku. Meski masih menyandang nama Fernir, dia tetaplah hanya seorang gadis remaja. Aku yakin, dia tak akan bertahan lama di luar sana." Arden tersenyum licik sementara Aileen bangkit dan duduk di tepi pembaringan.

"Sekarang apa yang harus kulakukan terhadapmu." Arden menatap Aileen tajam.

"Bunuh saja aku. Setelah apa kau lakukan, aku tak punya alasan untuk hidup lagi."

"Kurasa kau benar. Jika kubiarkan hidup, kau bisa saja merancang sebuah skenario lain untuk membongkar perbuatanku," tanggap Arden dengan seulas senyum miring. "Karena meremehkanmu, aku baru saja kehilangan seorang sandera paling berharga."

"Lalu bagaimana kau ingin mati?"

"Cepat dan tak menyakitkan tentu," balas Aileen tenang. Ia sepertinya sudah sangat siap untuk bertemu kembali dengan sang suami.

Arden mengelus kumisnya lalu bangkit dari tempat duduk. "Baiklah, aku akan segera menyiapkan kematianmu. Nikmatilah beberapa jam terakhir hidupmu." Pria itu lalu keluar dari kamar, meninggalkan Aileen yang memilih pasrah menanti ajal.

Sambil berbaring, Aileen mengembuskan napas panjang lalu tersenyum tipis. Kenangan-kenangan indah yang sempat terukir kini merasuk dalam benaknya. Momen pernikahannya dengan Gideon, masa-masa kehamilan dan kelahiran Gladys yang terasa seperti sebuah keajaiban, hingga pertemuan mereka kembali di Pulau Amui setelah putrinya itu berhasil selamat dari bahaya.

Tanpa terasa air mata haru mulai menetes. Tak ada penyesalan dalam hidupnya. Ia telah berjuang dan mengorbankan segalanya demi Gladys, sang putri semata wayang. Tetaplah hidup dengan bahagia, ibu menyayangimu ... selamanya, bisik Aileen di dalam hati.

Bersamaan dengan itu, Arden kembali ke kamar dengan membawa sebotol kecil cairan. "Minum ini ... kau akan mati dengan cepat."

"Terima kasih," sahut Aileen sambil tersenyum. Tanpa ragu, ia menyambar racun itu dan langsung menenggaknya habis. Seketika, kerongkongannya mulai terasa seperti terbakar dan tubuhnya mengejang hebat. Tak lama kemudian, ia pun ambruk ke lantai dengan mulut berbusa.

Di tengah kegelapan dan keheningan malam, Aileen akhirnya wafat di tangan sang pengkhianat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro