Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19

Beberapa hari setelah kedatangan Arden di Girondin, Ronald mendadak menderita sakit. Ia pun mengundang seorang tabib untuk memeriksa kondisinya.

"Selamat siang, aku Regnald," ujar sang tabib memperkenalkan diri. "Apa yang kau rasakan?"

"Rasanya seperti lelah sepanjang waktu. Terkadangbaku juga seperti kedinginan" sahut Ronald.

Sambil mengangguk mengerti, pria tua itu lalu memeriksa denyut nadi Ronald.

"Peredaran darahmu kurang lancar," ujarnya memberikan analisis. "Aku akan melakukan terapi lintah untuk memperlancar peredaran darah. Buka bajumu dan berbaringlah tengkurap."

Ingin segera sembuh, Ronald mengikuti petunjuk dari sang tabib. Beberapa ekor lintah lalu diletakkan pada titik-titik tertentu di punggungnya. Sementara itu, sambil menunggu proses terapi, Regnald mengambil beberapa helai dedaunan herbal dari tasnya dan mulai meracik ramuan.

Setelah kurang lebih setengah jam, Regnald mengambil kembali lintah-lintahnya dan memasukkan mereka ke dalam sebuah botol kaca.

"Apa yang kau rasakan?" tanya sang tabib kemudian.

"Entahlah, aku sepertinya belum membaik. Kepalaku malah terasa agak pusing sekarang," sahut Ronald.

"Hmm ... mungkin akan dibutuhkan beberapa kali terapi lagi," sahut Tabib Regnald. "Ini, aku juga sudah membuatkanmu ramuan herbal untuk mengembalikan stamina. Minumlah dengan air hangat sebelum tidur." Setelah menyerahkan ramuannya, pria tua itu pun pergi meninggalkan Ronald yang termenung sendiri.

Seandainya saja Anna ada di sini, gumamnya dalam hati. Firasatnya mengatakan untuk tidak sepenuhnya percaya dengan sang tabib. Ia pun memilih menyimpan ramuan pemberian Regnald dan berbaring untuk beristirahat.

Sementara itu, Regnald bergegas meninggalkan kota Girondin. Ia terus melangkah ke hutan dan tiba di sebuah gubuk kayu. Ia lalu mengetuk pintunya.

Tak lama menunggu, pintu pun berayun terbuka. "Bagaimana? Kau berhasil mendapatkan darahnya?" tanya Lily dari balik pintu.

"Semua berjalan sesuai rencana," Regnald tersenyum sambil mengangkat sebuah botol kaca dengan beberapa ekor lintah gemuk di dalamnya. Bersamaan dengan itu, ia pun kembali ke wujud aslinya sebagai Arden.

"Idemu memang brilian," puji Lily.

Arden tersenyum tipis lalu menyerahkan botol kacanya pada Fiona. "Baiklah, selamat bekerja. Aku harus pergi untuk memastikan semua berjalan sesuai rencana."

Setelah itu, Arden kembali ke kastel untuk menjalankan rencana selanjutnya. Ia menemui Dickens dan tak lama kemudian, Karl juga tiba di Girondin. Dalam pengawalan beberapa orang, sang pemimpin kaum orc itu menghadap.

"Selamat siang, Tuan Dickens," sapa Karl. "Kedatanganku kali ini adalah untuk menawarkan sebuah kerja sama."

Dickens tersenyum sambil menatap Karl. "Tentu saja. Mari kita lupakan perselisihan masa lalu dan saling bekerja sama. Aku yakin kita bisa menjadi partner yang saling menguntungkan," sahut Dickens.

"Kita punya musuh yang sama, dan musuh dari musuhku adalah temanku bukan?" timpal Arden. Mereka lalu tertawa bersama.

Setelah itu, Dickens mengajak tamunya berjalan-jalan ke kebun bunga, tempat Zalika biasa menghabiskan waktu saat sore.

Melihat Karl---orang yang telah menghancurkan kota kelahirannya---berjalan bersama sang suami, Zalika menatap kebingungan.

"Kemarilah," panggil Dickens pada istrinya yang sedang duduk di sebuah gazebo dengan secangkir teh di tangan.

Meski ragu, Zalika tetap berjalan mendekati suaminya. Ia berharap ada penjelasan yang bagus untuk kenyataan di hadapannya.

"Perkenalkan, ini Karl, sahabat baru kita," ujar Dickens.

"T-tapi bukankah dia yang sudah menyerang kota ini dan menimbulkan banyak korban?" ujar Zalika sambil memandang Karl.

"Maafkan aku karena telah mengobarkan perang yang tidak berguna itu. Mulai saat ini, kita akan bekerja sama untuk satu tujuan, merebut Ethardos dari kekuasaan Agra," sahut Karl.

"Tapi kau sudah menghancurkan kotaku dan membunuh semua orang di sana! Aku tak sudi bekerja sama denganmu!" Zalika jelas tidak sedang berusaha menyembunyikan emosinya.

"Tenanglah dulu. Itu semua sudah berlalu. Marilah kita hapus luka lama untuk menyongsong hal yang baru bersama-sama," ujar Dickens.

"MANA BISA BEGITU! Kau anggap apa kematian kedua orang tuaku akibat serangan bangsa orc yang brutal?!" Zalika menatap tajam pada suaminya. "Aku tak sudi bekerja sama dengan orang yang bertanggung jawab atas kematian begitu banyak rakyat Bergstone!"

"Maaf, Nyonya, tapi kehancuran Bergstone sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya ayahmu bersedia menyerah tanpa kekerasan."

"KAU BERANI MENYALAHKAN AYAHKU?!" jerit Zalika berang.

"Maaf Tuan Karl, istriku terkadang memang suka hilang kendali." Dickens lalu memanggil beberapa orang pengawal. "Bawa Nyonya ke kamarnya! Ia perlu istirahat."

"AKU TIDAK PERLU ISTIRAHAT! AKU HANYA INGIN DIA PERGI!" Zalika berteriak sambil menunjuk ke muka Karl. Bersamaan dengan itu, dua orang pengawal pun menariknya pergi.

"LEPASKAN AKU!" Zalika terus menjerit dan meronta. Namun percuma saja. Kedua pengawal itu tentu jauh lebih kuat. Ia terpaksa ikut ketika digiring masuk ke kastel. Meski begitu, Zalika terus membuat keributan sepanjang jalan, membuatnya jadi pusat perhatian orang-orang di dalam kastel.

Ronald yang masih kurang enak badan akhirnya keluar dari kamar. "Ada apa ini? Cepat lepaskan Nyonya Zalika!" hardiknya pada kedua pengawal.

"Maaf, tapi ini perintah dari Tuan Dickens," sahut salah satu pengawal.

"Lepaskan atau kubakar kalian berdua!" Ronald menciptakan bola api kecil di tangannya untuk mengancam.

Ketakutan, kedua pengawal itu akhirnya melepaskan Zalika dan pergi untuk melapor.

Sementara itu, Zalika menghambur memeluk Ronald sambil terisak.

"Ayo masuk. Ceritakan apa yang terjadi?" Penyihir botak itu lalu membimbing Zalika masuk ke kamarnya.

"Dickens sangat kurang ajar!" umpat Zalika sambil mengempaskan tubuh di sebuah kursi dengan kesal.

"Apakah dia melecehkanmu?" tanya Ronald.

"Berani-beraninya dia menjalin kerja sama dengan Karl untuk menggulingkan Agra. Aku sebenarnya tak peduli dengan siapa ia bekerja sama dan apa tujuannya. Tapi Karl adalah orang yang menghancurkan Bergstone hingga membuatku sebatang kara. Bagaimana aku bisa membiarkan musuh besarku bekerja sama dengan suamiku di depan hidungku sendiri?!" keluh Zalika.

"Astaga! Dia memang sudah kelewatan! Padahal ayahnya adalah kawan dekat Agra," desah Ronald. "Melihat perangainya, sepertinya percuma saja jika aku bicara dengannya. Mungkin aku harus pergi ke Kingsfort untuk memperingatkan Agra. Sebaiknya kau juga ikut denganku. Di sini tak aman lagi untukmu."

Zalika pun setuju. Keduanya lalu pergi menuju istal untuk mendapatkan seekor kuda.

Namun, Dickens tak membiarkan mereka pergi begitu saja. Ia sudah mengantisipasi hal itu dengan menyiapkan prajurit untuk mencegat Ronald di pintu gerbang kastel.

Dihadang oleh beberapa prajurit bersenjata, Ronald terpaksa menghentikan kudanya. "Menyingkir atau kalian akan menyesal!" hardiknya dengan tongkat berkilat-kilat.

Namun para prajurit itu tetap di tempatnya dan justru menarik busur. "TEMBAK!" perintah sang kepala prajurit. Sekejap berikutnya, puluhan anak panah pun melesat di udara.

Tak mau celaka, Ronald dengan gesit mengayunkan tangan untuk menciptakan sebuah perisai sihir. Puluhan anak panah itu seketika terhenti dan jatuh ke tanah. Ronald lalu mengayunkan tongkat mengeluarkan kilatan petir yang menyambar para prajurit di hadapannya, membuat mereka jatuh bertumbangan. Meski penyihir itu sudah menurunkan level energinya, tetap saja sengatan itu membuat para prajurit pingsan.

"Ayo!" Ronald segera mengajak Zalika memacu kudanya lagi.

Namun, ketika sudah mendekati gerbang, sebuah bola api tiba-tiba meluncur menghantam tanah di depan Ronald. Kuda tunggangannya pun meringkik sambil mengangkat sepasang kaki depan.

Bersamaan dengan itu, Lily melompat dari atas tembok kastel, melayang sejenak, lalu mendarat di hadapan Ronald.

"Ingat denganku?" tanyanya sambil tersenyum tipis.

"Lily Aldrin," desis Ronald. Kedua penyihir itu pun saling beradu tatapan tajam.

"Pergilah, sementara aku menahannya," perintah Ronald pada Zalika yang terdiam ketakutan di atas kudanya.

Namun, detik berikutnya, Dave muncul di belakang Zalika dan meletakkan sebilah pisau di lehernya. "Dia istri Tuan Dickens. Apa hakmu menyuruhnya pergi?" ujarnya.

Ronald hanya bisa terdiam mendengarnya. Ia kini berada dalam posisi terpojok. Dengan dua penyihir menghadang, tak banyak pilihan yang bisa dibuatnya.

"Tak lama lagi Stevan akan bangkit untuk merebut takhta. Kau adalah salah satu dari kami. Untuk apa berjuang demi Agra?" tanya Lily.

"Bukankah sudah berulang kali kusampaikan bahwa aku sudah bersumpah untuk melindungi penguasa Ethardos yang sah. Meski Agra bukan penyihir, dia adalah raja yang sah."

"Huh ... dasar keras kepala," geram Lily. "Meski dia adalah raja yang sah, bukan berarti dia adalah raja yang kompeten! Kebijakan-kebijakannya telah menimbulkan banyak penderitaan bagi kaum penyihir!"

"Lalu dari mana kau yakin bahwa jika Stevan berkuasa, dia tak akan menimbulkan banyak penderitaan bagi manusia biasa? Memimpin sebuah kerajaan sangatlah rumit. Tidak mungkin untuk terus membuat kebijakan yang bisa memuaskan semua pihak."

"Kau ini! Sudah terdesak masih mencoba untuk berceramah? Aku mengenal Stevan dan aku yakin dia akan bersikap adil," geram Lily. Ia lalu mengangkat tangan dan melontarkan sihir petir. Ronald menghindar dengan melompat dari atas kuda. Detik berikutnya, ia mengayunkan tongkat dan melontarkan bola api pada Lily.

Penyihir perempuan itu sigap membuat perisai sihir untuk menahan serangan Ronald lalu melontarkan serangan balasan.

Pertikaian pun tak terhindarkan. Serangan demi serangan terus dilancarkan saling berbalasan. Bola api saling menghantam, kilatan petir menyambar-nyambar, angin bertiup memporak-porandakan sekitar, sementara gelombang energi saling beradu. Dave pun membawa Zalika kembali pada Dickens di tempat yang aman untuk mencegahnya terluka akibat sihir. Sementara itu, tak ada yang berani mengambil risiko untuk mendekat.

Pada suatu kesempatan, sihir petir keduanya saling bertemu di udara. Ronald menggenggam erat tongkatnya, sementara Lily mengacungkan tangan ke depan. Meski dalam kondisi tidak sehat, Ronald dan tongkat sihirnya masih terlalu kuat untuk Lily. Pelan tetapi pasti, sihir Ronald mulai mendesak ke arah Lily yang tampak berusaha bertahan sekuat tenaga.

Namun, sesaat sebelum sihir Ronald berhasil menghantam Lily, sebilah pisau melesat dan menancap ke bahu Ronald. Fiona berdiri dari jauh sambil menatap Ronald sedih. Meski kini harus berseberangan, bagaimanapun juga, ia pernah menyimpan rasa terhadapnya.

Karena serangan Fiona, penyihir botak itu pun kehilangan konsentrasi. Lily mengambil kesempatan dan berhasil membalik situasi. Dengan cepat, sihir petirnya melesat menyambar lawan.

Ronald yang kini ganti terdesak masih berhasil melompat ke samping untuk menghindari serangan Lawan. Namun, Lily tak kalah sigap. Tak mau kehilangan momentum, ia mengayunkan tangan kiri dan mendorong sang lawan dengan energi sihirnya. Tubuh Ronald pun terdorong hingga menghantam tembok, sementara tongkat sihirnya jatuh ke tanah.

"Ugh ... sial," gumam Ronald yang kini tak berkutik. Menggunakan energi sihir, Lily menahan tubuh lawan agar tak bisa bergerak lagi. Ia berjalan mendekat lalu memungut tongkat sihir Ronald dan mengacungkannya untuk mengancam lawan.

"Menyerahlah! Jika tak mau bergabung dengan kami, setidaknya jangan halangi rencana kami!" tegas Lily.

"Huh ... bunuh saja aku!" balas Ronald.

"KAU!" geram Lily sementara tongkat dalam genggamannya mulai bersinar, siap melesatkan sihir kapan saja. Matanya menatap tajam pada Ronald selama beberapa saat.

Namun, beberapa saat kemudian, penyihir perempuan itu justru melepaskan lawan, membuatnya jatuh terduduk di tanah. Ronald terengah sambil memandang Lily kebingungan. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah beradu sihir dalam kondisi kesehatan yang belum pulih sepenuhnya. Ditambah lagi dengan luka di bahunya akibat pisau yang dilemparkan Fiona.

"Anggap saja ini balas budi karena telah menyelamatkan nyawaku dari Agra dulu," ujar Lily sambil memalingkan wajah. "Pergilah, aku tak akan menghalangimu."

Meski masih takjub dengan apa yang baru saja terjadi, Ronald pun bangkit dengan susah payah.

Melihat Ronald yang tampak kepayahan, Zalika memberontak dan melepaskan diri dari Dave lalu berlari menolong Ronald. Dave urung mengejar Zalika karena dicegah oleh Dickens.

"Biarkan saja mereka berpisah untuk terakhir kalinya. Dia hanya perempuan biasa, tak akan bisa lolos darimu," ujar Dickens.

Sambil berurai air mata, Zalika pun menolong Ronald. Ia merobek bajunya sendiri untuk membebat luka di bahu sang penyihir. Keduanya lalu berpelukan erat sebagai tanda perpisahan.

"Maaf, semuanya harus jadi begini," ujar Zalika di sela-sela tangis.

"Tak perlu minta maaf, aku pun menyesal tak bisa melindungimu lagi," jawab Ronald lesu.

Setelah cukup lama, Ronald lalu melepas pelukan dan melangkah gontai mendekati kudanya, sementara Zalika terus menatapnya haru hingga sosok sang pelindung lenyap di balik tembok kastel.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro