Bab 18
Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, Peter akhirnya tiba di Kingsfort. Ia berniat singgah di situ sebelum melanjutkan perjalanan ke Arvendale. Dalam hati, ia berharap masih bisa bertemu Anna untuk sekadar mengetahui bagaimana kabarnya.
Keramaian kota segera menyambut begitu ia menginjakkan kaki di sana. Banyak pedagang berlalu lalang dengan kereta kuda sambil membawa bermacam barang untuk dijual. Cuaca siang yang cukup terik membuat Peter memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah kedai untuk melepas lelah.
Tak lama kemudian, seorang gadis datang juga ke situ. Rambutnya pendek sebahu berwarna kemerahan. Meski jelas seorang perempuan, ia mengenakan celana panjang seperti laki-laki. Wajahnya riang dengan senyum merekah menghiasi bibir.
"Aku pesan semangkuk mie!" serunya pada si penjual. Ia duduk tak jauh dari Peter lalu tersenyum menyapa.
"Hai ... kau pendatang?" tanya sang gadis ramah sambil menatap pada buntalan kain besar di sebelah Peter.
"Uhh ... i-iya," gagap Peter yang tak terbiasa berbicara dengan orang asing.
"Siapa namamu?"
"Aku Peter, kau?"
"Aku Jane," sahut si gadis masih sambil tersenyum. "Dari mana asalmu?" tanyanya lagi.
"Aku dari Fortsouth, tapi sudah cukup lama aku pergi berkelana," sahut Peter apa adanya. Ia terpaksa menghentukan sejenak aktivitas mengunyahnya demi meladeni obrolan.
"Wow ... pergi berkelana sepertinya seru. Aku selalu berharap bisa pergi bertualang dan melihat tempat-tempat baru. Kau mau ke mana setelah ini?"
"Arvendale," sahut Peter singkat.
"Arvendale? Itu tempat asalku." Gadis itu menoleh dan menatap Peter penuh semangat.
"Jadi kau juga bukan orang sini?" tanya Peter.
"Ya. Aku bersama kakak dan ayahku datang ke sini sebagai perwakilan dari Arvendale untuk menghadiri pernikahan Pangeran Andrew dan Putri Anna."
Mendengar itu, Peter tiba-tiba merasa hatinya nyeri dan napasnya tercekat. Oksigen seolah baru saja direnggut dari paru-parunya. Untuk menutupi perasaannya, ia menunduk dan menyuap kembali makanannya.
"Ada apa? Kau seperti baru saja melihat hantu?" tanya Jane sambil menatap pada Peter menyelidik.
Peter hanya menggeleng sebagai jawaban. Detik itu juga ia menyadari bahwa keinginannya bertemu Anna adalah sesuatu yang sangat bodoh. Ia buru-buru menandaskan makanannya lalu berdiri hendak membayar. Pemuda itu berpikir untuk seceparnya pergi dari situ Namun, kantung uang milikinya tak ada di tempatnya.
Astaga! Ceroboh sekali aku, gumam Peter gelisah. Setelah beberapa saat mencari ke sekitar, pemuda itu pun menyerah dan mengakui kehilangannya.
"Ma-maaf, uangku hilang. Mungkin jatuh atau seseorang telah mencurinya," gagap Peter pada sang pemilik kedai yang menatapnya tajam.
Untuk beberapa saat keheningan tak menyenangkan terasa mengambang di udara. Sang pemilik kedai menatap Peter dalam diam.
"Tenang, biar aku yang bayar," ujar Jane tiba-tiba. Ia merogoh saku dan menyerahkan sepuluh keping koin perak pada sang penjual makanan.
"Terima kasih," sahut sang pemilik kedai. Sementara itu, Peter masih berdiri terdiam di tempat meratapi kehilangannya. Ia tak mungkin melanjutkan perjalanan tanpa uang sepeser pun.
"Kau mau di sini terus?" Pertanyaan Jane sontak menyadarkan Peter.
"Uhh ... t-tentu tidak. Terima kasih atas bantuannya."
"Bukan masalah," sahut Jane. "Kau tak punya uang dan tak punya tempat menginap. Bagaimana kalau kau Ikut bersamaku saja?"
Peter yang tak punya banyak pilihan akhirnya hanya bisa menurut. Bagaimanapun juga, gadis itu sepertinya tak memiliki niat jahat. Apalagi Arvendale juga masih jauh, akan lebih baik jika punya teman seperjalanan.
Keduanya pun melangkah menyusuri jalanan kota yang ramai dan berdebu. Sambil berjalan, Jane mengoceh tentang apa saja yang terlintas di kepalanya. Ia mengomentari cuaca panas, keramaian kota, hingga mengumpat ketika seekor anjing jalanan menggonggonginya.
Karena merasa tindak tanduknya tak seperti putri bangsawan, Peter akhirnya bertanya, "Di mana ayah dan kakakmu? Kenapa kau berkeliaran sendiri di kota?"
"Mereka ada di kastel bersama para tamu yang lain. Aku tak begitu menyukai hal-hal resmi semacam itu," sahut Jane sambil nyengir.
"Tapi apakah mereka tak akan mencarimu?"
Jane menggeleng sebagai jawaban. "Mereka sudah tahu sifatku."
Tak lama kemudian, mereka akhirnya tiba di sebuah penginapan. Jane memberikan sejumlah koin lalu meminta sebuah kamar yang baik untuk Peter.
"Sementara ini kau tinggallah di sini. Usai pernikahan pangeran, kita pergi ke Arvendale bersama-sama," ujar Jane.
"Baiklah, terima kasih banyak," ujar Peter. "Kalau boleh tahu, kapan pernikahan akan digelar?"
"Besok," sahut Jane. "Kau mau datang?"
"Tapi aku tak diundang."
"Nanti malam aku akan mengutus orang untuk memberikan undangan padamu."
"Tak per-"
"Tak apa. Itu sama sekali bukan masalah. Ayahku punya beberapa undangan lebih," potong Jane. "Aku akan pergi. Kau istirahatlah dengan baik. Ini sedikit uang untukmu membeli pakaian. Jangan mengenakan pakaian usang untuk datang ke pernikahan." Setelah memberikan beberapa keping uang, Jane pun pergi meninggalkan Peter di penginapan.
Peter merebahkan diri sambil menghela napas panjang. Pikirannya sibuk mempertimbangkan undangan untuk datang ke pernikahan Anna. Meski merasa bahwa kedatangannya hanya akan memperkeruh suasana, ia juga tak ingin menolak kebaikan Jane.
Setelah lama menimbang-nimbang lagi, Peter akhirnya memutuskan untuk mengikuti saran Jane. Bagaimanapun juga, ia ingin melihat Anna lagi. Dan besok mungkin adalah kesempatan terakhirnya. Menjelang sore, ia pun pergi ke pasar untuk membeli baju yang lebih layak.
***
Hari itu pesta pernikahan Andrew dan Anna digelar dengan meriah. Halaman kastel telah dihias dengan berbagai macam dekorasi indah. Para pemusik memainkan lagu gembira sementara tamu-tamu berdatangan membawa berbagai macam hadiah.
Setelah menunjukkan undangan pemberian Jane pada seorang penjaga, Peter membaur bersama para tamu yang lain. Meski suasana saat itu sangat ramai, ia justru merasa kesepian. Tak ada seorang pun yang ia kenal dari sekian banyak manusia.
Untuk beberapa saat Peter hanya melihat-lihat sekitarnya dengan kikuk, hingga akhirnya Jane menarik tangannya, membawa pemuda itu mendekati sebuah meja panjang yang dipenuhi beraneka macam hidangan. "ini, cobalah!" ujar gadis itu sambil menjejalkan sepotong roti isi ke mulut Peter.
"Ehn-kk," gumam Peter dengan mulut penuh.
"Ayo kita coba yang itu!" Belum usai Peter mengunyah, Jane sudah menariknya ke sisi lain meja. Gadis itu lalu melahap sepotong daging dan menjejalkannya lagi ke mulut Peter.
"Yang itu juga kelihatannya enak." Tanpa basa-basi, Jane menarik Peter lagi.
"T-tunggu." Peter berusaha menahan Jane, dan bersamaan dengan itu, terdengarlah suara terompet ditiup nyaring yang menandakan bahwa kedua mempelai telah tiba di arena pesta. Terlihat orang-orang berkerumun di dekat panggung yang bertudung kain putih untuk melihat sosok Andrew dan Anna yang akan diresmikan sebagai pasangan suami istri. Herbert Abner, sang gerpa kepala akan menjadi pemimpin ritual.
Pangeran Andrew tampak gagah dengan setelan jas putih. Anna juga tampil sangat cantik berbalut gaun putih keemasan dengan tiara di atas kepalanya. Ia tersenyum ramah untuk menyapa setiap orang yang hadir.
"Lihat, mereka sangat serasi bukan?" tanya Jane pada Peter yang kelu ketika melihat Anna bersanding dengan pria lain. Untuk sesaat, ia merasa Anna sempat menangkap kehadirannya. Senyumnya memudar untuk sepersekian detik sebelum akhirnya berpaling lalu melempar senyum ke arah lain. Andrew dan Anna lalu berbalik dan menghadap pada Herbert.
Serangkaian upacara pun berlangsung dengan khidmat. Herbert memberikan nasihat-nasihat untuk kedua calon pengantin. Setelah itu, upacara pernikahan pun sampai pada puncaknya, yakni pengucapan janji antara kedua mempelai.
"Andrew Alderman, apakah kau menerima Anna Elyas sebagai istrimu dan berjanji untuk melindungi dan menyayanginya sepenuh hati?"
"Ya, aku berjanji," sahut Andrew tegas.
Herbert lalu berpaling pada Anna. "Anna Elyas, apakah kau menerima Andrew Alderman sebagai suamimu dan berjanji untuk mencitai dan menghormatinya sepenuh hati?"
Berbeda dengan Andrew yang langsung menyahut, Anna terdiam sejenak. Untuk sesaat, berbagai hal berkecamuk dalam benaknya, hingga akhirnya jawaban itu terucap. "Y-a ... aku berjanji," sahut Anna.
"Baiklah, dengan ini, aku menyatakan bahwa mulai saat ini, kalian adalah suami istri yang sah. Semoga keluargamu selalu diberkati dan diberikan keturunan," tutup Herbert.
Setelah itu, kelompok musik mulai memainkan lagi lagu-lagu untuk menghibur para hadirin. Beberapa perempuan kemudian muncul dan menari mengikuti irama.
Di tengah semua kemeriahan pesta, Peter justru merasa jiwanya merana. Karena tak kuat menahan perasaan, ia akhirnya memutuskan pergi dari situ. Ketika Jane masih sibuk menyaksikan tari-tarian, pemuda itu melangkah meninggalkan kastel. Ia kembali ke penginapan dengan langkah gontai dan dada yang sesak.
Di kamar penginapan yang kecil dan sederhana, pemuda itu menumpahkan perasaan dengan terisak di dalam sunyi. Hatinya menyesal telah memilih untuk datang dan melihat Anna lagi. Perasaan yang telah berusaha ia pendam kini kembali membuncah. Kenangan-kenangan kala ia masih bisa bersama sang kekasih meluap membanjiri perasaan.
Cukup lama tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Peter pun buru-buru mengusap air mata untuk menghapus jejak dukanya.
"Siapa?" tanya Peter sambil membukakan pintu.
"Kenapa kau tiba-tiba pergi? Kau tak suka makanannya? Tadi aku baru saja ingin mengajakmu ikut menari." Jane masuk dan tanpa basa-basi duduk di sebuah bangku.
"Err ... a-aku hanya tak suka keramaian," bohong Peter.
"Ya ampun! Kenapa ada orang sepertimu di dunia ini? Padahal tadi sangat seru! Semua orang menari-nari penuh semangat."
"Aku tak bisa menari," sahut Peter.
"Oh, ayolah ... aku bisa mengajarimu." Jane berdiri lalu menghentakkan kaki dan melompat-lompat berirama. "Lihat, mudah bukan?"
Peter hanya diam tanpa reaksi.
"Astaga ... kau ini sudah seperti mayat hidup saja." Tanpa memedulikan lagi penolakan Peter, Jane menarik tangan pemuda itu lalu menegakkan tubuhnya.
Untuk beberapa saat, pandangan mereka saling bertemu. Netra keabu-abuan Jane bertemu dengan milik Peter yang hitam pekat. Gadis itu tersenyum sekilas lalu berkata lagi, "Ikuti gerakanku." Jane menggenggam kedua telapak Peter lalu membawanya melangkah ke kanan dan ke kiri.
Beberapa kali Peter tersandung tetapi Jane memaksanya untuk terus mencoba. Mereka pun menari selama beberapa saat diselingi teriakan Jane yang kakinya beberapa kali terinjak oleh Peter. Meski begitu, ia selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan menyuruh Peter untuk terus mengikuti gerakannya--hingga akhirnya Peter pun mulai terbiasa.
"Menyenangkan bukan?" tanya Jane sambil tersenyum lebar.
Mau tak mau, Peter pun membalas senyuman itu. Keberadaan Jane yang ceria setidaknya bisa membantu melupakan kesedihannya.
Di sela-sela pelajaran menari itu, perut Peter tiba-tiba berbunyi.
"Astaga, kau lapar?" tanya Jane menghentikan tariannya. "Ayo kita pergi mencari makan!" Tanpa basa-basi, Jane langsung menarik tangan Peter keluar dari kamar.
Beruntung, di dekat penginapan itu ada sebuah kedai yang menjual bubur. Jane dan Peter pun mampir di sana untuk makan. Peter yang kelaparan langsung mengandaskan semangkuk buburnya dalam sekejap.
"Wow ... kau sangat kelaparan ya?" sindir Jane.
"Yah ... begitulah." Peter tersenyum kecut.
"Oh ya, jadi apa yang kau cari di Arvendale?"
"Hmm ... aku hanya berniat menemui seorang kenalan di Desa Albien. Kurasa ada baiknya jika singgah dulu di Arvendale untuk melihat-lihat." Peter sengaja tidak memberitahukan mengenai niat sebenarnya. Meski tampaknya baik, bagaimanapun ia belum mengenal Jane secara mendalam.
Saat itu, karena hari sudah hampir gelap, Jane pun memutuskan untuk segera kembali ke kastel. "Bersiaplah, besok kita akan berangkat ke Arvendale," pesan Jane sambil melambaikan tangan.
Peter mengangguk lalu melangkah kembali ke penginapan. Setibanya di kamar, kesunyian kembali menyergap, menusuk hingga ke tulang. Peter terduduk di tepi pembaringan sambil meratapi hidupnya yang kini terasa semakin hampa. Semua yang berharga seolah telah direnggut darinya. Meski Jane cukup baik, ia belum merasa bahwa gadis itu bisa menjadi sosok yang mampu mengisi hatinya.
Ia mendesah berat lalu merebahkan dirinya sambil berharap bahwa hari esok akan lebih cerah seiring keberangkatannya ke Arvendale.
***
Matahari sudah tinggi ketika Peter mendengar pintu kamarnya diketuk. Anak muda itu pun bergegas membukanya dan mendapati Jane berdiri di sana.
"Kau sudah siap? Kita akan segera berangkat," ujarnya.
"Kapan pun aku siap," sahut Peter sambil menyambar tas kain yang berisi barang-barangnya. Ia ingin segera pergi dari Kingsfort dan memulai lembaran baru dalam hidupnya.
Mereka berdua berlari-lari kecil keluar dari gerbang kota untuk menyusul rombongan yang akan pulang ke Arvendale. "Ayo cepat! Aku tak mau tertinggal di sini bersamamu," teriak Jane sambil tersenyum jahil.
"Iya-iya." Peter pun memacu langkahnya lebih cepat.
Tak lama kemudian, keduanya pun berhasil menyusul rombongan. Tuan Owin, ayah Jane, dan Randall, kakaknya bersama lima orang kesatria pengawal tengah menunggangi kuda yang berjalan pelan.
"Ini Peter, teman baruku yang kuceritakan kemarin," ujar Jane sambil tersenyum.
"Selamat pagi, Tuan Owin. Tuan Muda Randall." Peter membungkuk menyapa ayah dan kakak Jane. "Namaku Peter."
"Baiklah, selamat bergabung bersama kami, Peter." Tuan Owin tersenyum ramah.
Perjalanan panjang menuju Arvendale pun dimulai. Jane menjadi orang yang paling cerewet dalam rombongan. Ia bertanya mengenai kapan pernikahan kakaknya dengan Isabel akan digelar--yang membuat Randall berusaha menoyor kepala Jane, hingga menceritakan lagi kekonyolan Peter saat kehilangan uang.
Berkat Jane, perjalanan jadi tidak terlalu membosankan. Tanpa terasa, hari sudah menjelang malam. Mereka pun singgah di sebuah penginapan untuk beristirahat dan mengisi perbekalan. Penginapan itu cukup sederhana, hanya berupa sebuah bangunan kayu bertingkat.
Malam itu, usai makan bersama, Jane berbisik pada Peter sambil menyerahkan sebuah lipatan kertas padanya. "Ini titipan dari Putri Anna."
Detik itu juga, Peter merasa jantungnya berdesir hebat. Ia tak pernah menyangka bahwa masih bisa mendapat kabar dari Anna, meski hanya lewat sepucuk surat.
"Uh ... ya, terima kasih," gagap Peter sambil bergegas memasukkan lipatan kertas itu ke balik bajunya.
Setelah itu, Tuan Owin menyewa dua kamar untuk mereka. Satu untuk keluarganya dan satu lagi untuk Peter dan para pengawal.
Karena tempat tidur yang tersedia tidak cukup untuk semua, Peter memilih beristirahat di lantai beralaskan tikar. Sementara itu, sang kepala pengawal yang mendapat kehormatan untuk beristirahat di tempat tidur langsung mendengkur pulas.
Meski lelah karena perjalanan hari itu, Peter tidak bisa langsung tertidur seperti yang lain. Ia merasa sangat penasaran dengan isi surat dari Anna. Setelah yakin bahwa yang lain sudah terlelap, Peter pun membuka lipatan kertas itu.
Dear Peter,
Aku benar-benar terkejut saat melihatmu datang di pesta pernikahanku. Bagaimana kabarmu? Apakah kau sudah menguasai semua sihir yang diajarkan Ronald? Apakah Bibi Muriel juga baik-baik saja di Fortsouth?
Selain beberapa aturan kerajaan yang menyebalkan, aku baik-baik saja di sini. Andrew juga memperlakukanku dengan sangat baik.
Peter berhenti sejenak untuk menghela napasnya yang mendadak terasa sesak. Ada beberapa bekas tetesan air di permukaan kertas itu. Sepertinya Anna juga menulis suratnya sambil berlinang air mata.
Aku dengar dari Jane bahwa kau akan pergi bersamanya ke Arvendale. Kau tahu? Di sana sangat dingin dan bersalju. Dulu aku sering membuat boneka salju bersama ibuku. Ah, aku benar-benar merindukan masa-masa itu ... Tapi sekarang aku bahkan tak tahu di mana makam ibuku.
Duh, kenapa aku jadi cerita hal-hal yang menyedihkan begini. Sudahlah, mari kita menatap masa depan yang-semoga saja-lebih cerah.
Oh ya, Jane bercerita bahwa ia bertemu denganmu di sebuah kedai mie. Ketika itu kau kehilangan kantung uangmu. Duh, kau ceroboh sekali. Untung saja Jane orang yang baik. Dia juga sangat bersahabat dengan semua orang.
Kakaknya, Randall juga sangat baik. Ia membantu Isabel melewati masa-masa sulit. Aku berharap mereka bisa berjodoh.
Oh ya, mungkin kau belum tahu kalau Bram terbunuh dalam duel melawan Daniel. Hal itu membuat Isabel sangat terpukul. Aku sangat kasihan padanya. Ia sempat mengurung diri di kamar selama berhari-hari.
Demi melindungi Isabel agar tidak jatuh ke tangan Daniel, Agra menyerang Doria. Kota itu sekarang telah jatuh dalam kekuasaan Ethardos. Huff ... entah sampai kapan peperangan akan terus terjadi. Sepertinya semua jadi semakin rumit.
Aku jadi merindukan saat-saat kita berjuang bersama di Pulau Amui. Meski berat, tapi kebersamaan membuat semuanya jadi lebih mudah. Sekarang aku tak tahu bagaimana kabar Gladys, Borin, dan Susan, tapi melihatmu baik-baik saja sepertinya membuatku merasa bahwa mereka semua juga baik-baik saja.
Yah, rasanya hanya itu yang ingin kusampaikan. Tak ada yang penting sebenarnya. Aku hanya berharap, setelah ini kita bisa hidup masing-masing dengan lebih baik.
Jaga dirimu ... dan jika takdir berkehendak, semoga kita bisa bertemu lagi.
Sampai di situ, Peter tak kuat lagi menahan air matanya agar tak jatuh dan menyatu dengan bekas air mata Anna. Meski tak ada pernyataan secara ekspisit, melalui tulisan itu ia merasakan sebuah getaran bahwa Anna masih memendam perasaan padanya. Sama kuatnya seperti perasaan yang ia pendam terhadap gadis itu. Namun, kenyataan yang harus mereka hadapi sangat bertolak belakang.
Sambil berbaring di lantai kayu yang keras, Peter menyeka matanya yang basah. Ia menyimpan surat dari Anna lalu memejamkan mata berusaha terlelap. Dalam hati ia juga merindukan kawan-kawannya yang dulu, terutama Borin sang sahabat yang kini berada di Gunung Grimforge. Sepengetahuannya, Gladys sudah wafat saat kaum Harduin menyerang Fortsouth, sementara Susan sampai sekarang tak terdengar kabarnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro