Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17

Karena semua sudah sepakat, Susan dan Jack pun melompat ke portal sihir—dan sekejap kemudian tiba di Pulau Amui. 

Embusan angin pantai beriring debur ombak yang tenang menyambut rungu dan menenangkan jiwa. Pepohonan kelapa berayun gemulai seolah berdansa dengan sang bayu. Susan menarik napas panjang, dan untuk beberapa saat terdiam, menikmati suasana yang sudah lama ia tinggalkan.

"Kau ingin menghabiskan waktu di sini dulu?" tanya Jack yang melihat putrinya menikmati suasana.

"Eh, t-tidak. Ayo kita pergi," sahut Susan sambil melangkahkan kaki menjauhi pantai.

Jack hanya tersenyum tipis melihat tingkah putrinya. Perasaan hangat kini terasa memenuhi jiwanya yang—setelah sekian lama—akhirnya bisa punya waktu berdua bersama sang buah hati.

"Ayo, Ayah!" seru Susan ketika melihat Jack masih terdiam di tempatnya.

Mendengar panggilan putrinya, Jack lenyap dan seketika muncul di sebelah Susan. "Tenang saja, aku tak akan tertinggal," sahutnya sambil tersenyum.

"Ayah curang," sahut Susan sambil mencebik.

Melihat itu, Jack pun mecolek pipi Susan gemas. "Ayo jalan," ujarnya kemudian.

Keduanya lalu berjalan berdampingan menembus hutan sambil bernostalgia. Susan menceritakan kembali bagaimana dulu ia berlatih memanah dan menggunakan senjata tiup khas suku Amui. Berkat kemampuannya itulah ia akhirnya berhasil bertahan dan mengalahkan Victor. Tak lupa, ia juga bercerita mengenai Pogna yang telah berkorban baginya.

Dalam hati, Jack pun merasa sangat bersalah karena meninggalkan putrinya itu selama belasan tahun. "Maafkan aku," lirihnya. "Aku sudah membuatmu sangat menderita selama ini."

Susan menatap Jack dengan senyum tersungging. "Yang penting, saat ini kita sudah kembali bersama," sahutnya sambil menyeka mata yang terasa basah.

"Terima kasih." Jack lalu merangkul Susan penuh sayang.

Keduanya melanjutkan perjalanan melintasi pepohonan hingga akhirnya tiba di perkampungan. Dalam perjalanan, Susan menyapa beberapa orang yang dikenalnya. Ia lalu pergi ke rumah Abe dan Sara, berharap bisa bertemu dengan kedua sosok yang sudah ia anggap seperti orang tua sendiri.

"Permisi," ucap Susan sambil mengetuk pintu.

Tak lama, Sara pun membukakan pintu. Ia sempat tertegun sejenak ketika melihat siapa yang datang. Detik berikutnya mereka saling berpelukan.

"Susan? Astaga! Kau kembali," sapa Sara semringah sementara setitik air mata haru menggenang di pelupuknya.

"Ya, begitulah," sahut Susan ikut larut dalam haru. Ia tentu gembira karena bisa bertemu lagi dengan orang-orang yang sangat baik padanya.  

"Oh ya, ini Jack, ayahku yang hilang selama belasan tahun," ujar Susan memperkenalkan.

Jack pun tersenyum untuk menyapa Sara. "Kau masih mengingatku?" taya Jack. Bagaimanapun juga, ia dulu juga pernah tinggal di Pulau Amui.

"Yah ... sedikit," sahut Sara sambil mengusap matanya yang basah. "Omong-omong, apa yang membawa kalian kemari?"

"Kami bermaksud meminta beberapa buah Amou untuk membuat ramuan sihir," sahut Susan apa adanya.

"Tapi, saat ini pohon amou belum waktunya berbuah. Mungkin beberapa hari lagi."

"Tak apa, kami bisa menunggu," sahut Jack. "Kurasa dia juga akan senang bisa bernostalgia selama beberapa hari," ujarnya sambil tersenyum menatap Susan.

"Oh ya, di mana Paman Abe?" tanya Susan kemudian. Sejak tiba di perkampungan dan bertemu para warga, ia belum melihat sosok pria itu.

Namun, mendengar pertanyaan itu Sara justru terdiam. Air mukanya mendadak berubah sendu.

"A-apa yang terjadi?" tanya Susan semakin penasaran. "Apakah dia sudah ..." Kalimat Susan terhenti. Gadis itu tak kuasa melanjutkan kalimatnya.

Sara menggeleng pelan. Namun kesedihan masih terpancar jelas dari wajahnya. 

"Ia masih hidup, hanya saja ..." Alih-alih menyelesaikan kalimatnya, Sara terdiam sejenak. "Tunggu sebentar, akan kutunjukkan di mana Paman Abe-mu." Sara lalu masuk rumah, dan beberapa saat kemudian ia keluar sambil membawa sepotong daging.

"Ikuti aku," ujarnya kemudian.

Dipenuhi tanda tanya besar, Susan dan Jack pun mengekori Sara. Mereka berjalan melewati perkampungan dan tiba di tepi hutan.

"Dia di sana," ujar Sara sambil menunjuk pada sebuah kurungan yang cukup besar, tempat lima ekor kobold terkurung di dalamnya.

"A-apa?" tanya Susan tergagap. Ia jelas kebingungan karena ia tak menemukan sosok yang ia cari di sana. "I-itu kobold?"

"Ya ... Abe telah berubah menjadi kobold karena memakan daging buaya di sungai."

"Astaga!" Susan menutup mulut tak percaya. Ternyata, meski sudah lama wafat, Victor masih meninggalkan kutukan lewat buaya-buayanya.

"La-lalu siapa empat kobold yang lain?" tanya Susan masih keheranan.

"Mereka Dorgan si kepala suku dan tiga pria lain yang hari itu ikut pergi menangkap buaya."

"Ya ampun ... kenapa mereka melakukan itu?" Susan tak habis pikir.

"Sepeninggal Victor sang penyihir jahat, ada seekor buaya yang tersesat ke perkampungan. Mereka menangkapnya, dan entah bagaimana, tiba-tiba terpikir untuk memakan dagingnya. Lalu terjadilah kutukan ini," desah Sara.

"Ya ampun ... Lalu apakah dia tak mengingatmu sama sekali?" tanya Susan lagi.

"Yah, begitulah ..." sahut Sara lirih. "Ketika sedang lapar, mereka akan menjadi buas. Maka dari itu, para warga yang lain sepakat untuk mengurung mereka di sini."

Mendengar semua itu, Susan terdiam membisu. Hatinya pedih melihat seseorang yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri kini harus bernasib malang.

Tanpa suara, Sara lalu berjalan mendekati kurungan dan melemparkan daging yang ia bawa dari rumah. Kelima kobold itu pun langsung berebut dan segera melahapnya dengan rakus. Sara begitu sedih ketika melihat suaminya yang kini berperilaku layaknya binatang. Setitik air mata pun jatuh menetes membasahi tanah.

Melihat itu, Susan memeluk Sara, berusaha memberikan penghiburan. "Tenanglah, aku pasti bisa menemukan cara untuk mengembalikannya seperti semula," bisik Susan berusaha menenangkan.

"Terima kasih," sahut Sara lirih. Setelah itu, mereka pun berjalan kembali ke perkampungan.

Sore itu, Sementara Sara beristirahat di kamar, Susan duduk di teras bersama ayahnya berbincang sambil menikmati alam pedesaan yang asri. "Apakah ada cara untuk mengembalikan Abe?" gumam Susan pada Jack.

"Hmm ... bagaimana kalau aku pergi sebentar untuk mengambil kitab Tebro? Mungkin ada sesuatu yang tertulis di sana," usul Jack.

"Ya, sepertinya itu satu-satunya cara yang bisa kita coba sekarang," timpal Susan.

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu." Setelah itu, Jack merapalkan mantra untuk menciptakan sebuah portal lalu melompat ke dalamnya. Ia lenyap sesaat kemudian bersamaan dengan portal sihir ciptaannya.

Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba terjadi kericuhan di pekarangan desa. Susan dan Sara bergabung bersama kerumunan warga untuk melihat apa yang terjadi.

Rupanya ada tiga orang asing yang datang ke desa. Dua masih tampak muda dan kuat, sementara satu sudah tua dan dalam kondisi pingsan. Mereka berdiri dalam kawalan beberapa orang warga suku.

"Kami menemukan mereka di hutan dan mengaku terdampar di pulau ini." lapor salah seorang warga suku pada Gibbon, kepala suku pengganti Dorgan yang telah berubah menjadi kobold.

Gibbon lalu mendekati ketiga orang asing itu untuk melihat lebih dekat. "Siapa kalian?" tanyanya.

"Namaku Kane dan dia Teddy, sementara yang pingsan ini adalah Tuan Ramon," sahut salah seorang dari mereka yang menggendong sang pria tua.

"Kami terusir dari kota tempat tinggal kami," sambung Teddy.

"Dari mana kalian berasal?" tanya Gibbon lebih lanjut.

"Doria. Saat ini kota kami telah direbut oleh Agra. Karena tak ada lagi tempat yang aman di seluruh Ethardos, kami terpaksa pergi berlayar. Nasib malang, kapal kami karam karena menabrak karang sehingga harus terdampar di sini," terang Teddy.

Mendengar itu, Gibbon pun mengangguk-angguk mengerti. "Mereka bukan orang jahat. Bawalah orang tua itu ke rumahku, aku akan merawatnya. Kalian berdua boleh menumpang di rumah warga yang lain," ujar sang kepala suku pada Kane dan Teddy.

Kane lalu membawa Ramon ke rumah Gibbon dan membaringkan tuannya itu di sebuah dipan.

***

Mentari sudah tenggelam ketika Jack kembali ke Pulau Amui dengan membawa kitab Tebro. Di bawah cahaya temaram sebuah lentera, ia lalu menunjukkan salah satu bagiannya pada Susan.

SIHIR PENCIPTAAN KOBOLD

Kau seorang factrum yang menginginkan kekuatan sang pencipta?

Maka, sihir ini untukmu.

Pertama-tama, kau harus menjalankan ritual dengan memakan tiga belas jantung manusia. Lalu, kau harus memberikan darahmu pada seekor buaya betina. Buaya itu akan menjadi induk bagi makhluk-makhluk ciptaanmu.

Kau juga akan memerlukan dua buah batu mulia, semacam rubi, safir, kristal atau yang lain.

Teteskan darahmu pada batu pertama dan bacakan mantra ini

"Eriat trianesor"

Batu itu akan menjadi batu sumber.

Kau harus mengumpulkan telur-telur dari buaya yang telah meminum darahmu, lalu meletakkan batu sumber di dekat telur-telur itu. Benda itu akan memancarkan sihir terus menerus, meningkatkan regenerasi makhluk hidup di sekitarnya, dan menjadi sumber kehidupan bagi makhluk ciptaanmu. Jika batu ini hancur, kobold ciptaanmu akan berubah menjadi batu.

Teteskan juga darahmu pada batu kedua dan bacakan mantra ini

"Eriat anifonis"

Dan batu itu akan menjadi batu kuasa.

Pemegang batu kuasa adalah penguasa atas para kobold. Mereka tak bisa pergi terlalu jauh dari batu kuasa. Jika batu sumber hancur, batu kuasa dapat menghidupkan kembali kobold yang membatu dengan menyentuhkannya pada mereka.

Satu hal lagi yang perlu kau tahu, barang siapa memakan daging kobold atau daging buaya keramat, ia akan dikutuk menjadi seekor kobold. Kutukan itu hanya bisa dihapus dengan memberikan padanya setetes darah penyihir. Terus menerus selama satu minggu.

Selamat mencoba ... dan semoga berhasil.

"Sepertinya ada harapan," ujar Susan usai membaca.

"Ya, kita harus memberitahu Sara mengenai ini," sahut Jack.

Keduanya pun bergegas menemui Sara dan menyampaikan apa yang mereka dapatkan. Mereka juga mengungkap kesediaan untuk membantu dengan memberikan darah.

Setelah berunding beberapa saat, mereka akhirnya sepakat untuk menemui Gibbon juga guna menyampaikan hal tersebut. Bagaimanapun juga, kepala suku berhak mengetahui apa yang bakal terjadi di desa. Malam itu juga, ketiganya berjalan menuju rumah sang kepala suku.

"Permisi ..." ujar Sara sambil mengetuk.

Pintu berayun terbuka dan menampilkan Gibbon dari balik pintu. "Sara?" Sang tuan rumah pun segera mempersilakan ketiga tamunya masuk.

"Perkenalkan, ini Jack dan Susan. Kurasa kau juga sudah mengetahui siapa mereka," ujar Sara pada Gibbon.

"Tentu saja. Kau pahlawan kami," sahut pria itu pada Susan sambil tersenyum. Mereka lalu saling bersalaman.

"Silakan duduk ... maaf sederhana," tukas Gibbon. Rumah itu memang hanya terdiri dari sebuah ruangan tanpa sekat. Perabotan-perabotannya juga sangat sederhana. Mereka hanya duduk di tanah beralaskan tikar. Sementara duduk, mata Jack tertumbuk pada sesosok pria tua yang sedang terbaring di atas dipan. Meski penasaran, ia urung menanyakan mengenai sosok itu.

"Apakah ada yang bisa kubantu?" tanya Gibbon langsung pada intinya.

"Ya, menurut kitab ini, mereka yang berubah menjadi kobold bisa dikembalikan ke wujud asalnya dengan meminum darah penyihir," sahut Sara.

"Benarkah?" tanya Gibbon.

Jack mengangguk lalu menyodorkan kitab itu pada sang kepala suku.

Bersamaan dengan itu, Inule—istri Gibbon—datang dari dari dapur sambil membawakan minuman untuk para tamu. Suatu hal yang memang sudah menjadi adat sopan santun bagi masyarakat Suku Amui.

Sambil menyesap teh hangat buatan sang istri, Gibbon pun membaca isi kitab dengan saksama. Keningnya sesekali mengernyit meresapi setiap kata yang tercantum dalam kitab sihir itu.

"Kau yakin kitab ini bisa dipercaya?" tanya Gibbon beberapa saat kemudian. Sorot mata tampak sangat serius.

Jack dan Susan mengangguk bersamaan.

"Kalau begitu, kalian berdua bermaksud memberikan darah pada mereka?" tanya Gibbon untuk mempertegas maksud Jack dan Susan.

"Tentu," tegas Susan.

Gibbon terdiam sejenak lalu berkata, "Entah apa yang bisa kami lakukan untuk membalas budimu. Kau sudah membuat kobold-kobold itu menjadi batu, dan kini kau juga yang akan membantu kawan-kawan kami kembali menjadi manusia."

"Tak perlu sungkan. Abe sudah sangat baik padaku. Justru inilah kesempatanku untuk membalas kebaikannya," sahut Susan

"Baiklah kalau begitu. Terima kasih banyak. Semoga semua bisa berjalan lancar," sahut Gibbon sambil mendesah pelan. Ia lalu mengembalikan kitab itu pada Jack. "Tolong simpan baik-baik kitabnya. Akan sangat berbahaya jika ada orang yang tahu bahwa para kobold bisa dibangkitkan lagi hanya dengan menyentuhkan sebuah batu."

"Tentu saja," sahut Jack.

Bersamaan dengan itu, Ramon—pria tua yang terbaring tak jauh dari tempat mereka berkumpul mengerang pelan lalu bangkit.

"D-di mana aku?" tanyanya pada orang-orang yang kini menatapnya.

"Kau terdampar di Pulau Amui," ujar Gibbon. Ia lalu meminta istrinya membuat segelas teh hangat lagi untuk Ramon dan meminta orang tua itu duduk bergabung bersama tamunya yang lain.

"Namanya Ramon, dia berasal dari Doria." Tanpa diminta, Gibbon memperkenalkan sosok yang baru saja duduk di antara mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi di Doria?" terdorong oleh keingintahuan, Jack langsung melontarkan pertanyaan.

"Doria telah jatuh dalam kekuasaan Agra," desah Ramon. "Setelah membunuh anakku, dia juga merebut Doria dari kekuasaanku." Ramon berbicara dengan suara bergetar geram.

"Astaga ... dia lagi. Benar-benar keji," timpal Susan.

"Apakah dia juga pernah berbuat keji terhadapmu?" tanya Ramon pada Susan yang terlihat tidak suka ketika mendengar nama Agra disebut.

"Tidak secara langsung. Tapi yang pasti dia diam saja ketika para penyihir dihukum secara tidak adil." Susan menghela napas panjang.

"Yahh ... memang sudah banyak penyihir yang bernasib seperti itu di bawah pemerintahannya." sahut Ramon.

"Kalau begitu kurasa kita berada di pihak yang sama," tukas Jack. 

"Jadi kita punya musuh bersama?" Ramon terkekeh sejenak. "Aku tak pernah menyangka pelarian ini justru mempertemukanku dengan kalian. Aku sempat hilang harapan ketika berhari-hari terombang-ambing di laut tanpa tujuan jelas. Rupanya takdir masih berbaik hati padaku."

"Ya, mungkin kita bisa berjuang bersama-sama untuk menghadapi Agra. Kami sengaja datang ke sini untuk mengumpulkan bahan-bahan guna membangkitkan kembali Stevan, adik Agra. Kami percaya, jika berkuasa, dia bisa menjamin hak-hak para penyihir," tukas Jack.

"Sejujurnya aku sangat ingin bisa bergabung dengan perjuangan itu, tapi apa yang bisa dilakukan orang tua sepertiku ini," desah Ramon.

Mendengar keluhan itu, semua hanya bisa terdiam. Kenyataannya memang begitu. Sang penguasa Doria kini tak memiliki kekuatan apa pun lagi. Hanya tinggal dua orang yang masih setia kepadanya.

"Maaf ... aku tak bermaksud mengeluh," ujar Ramon kemudian. Ia menangkap suasana tak enak yang tercipta akibat pernyataannya. "Yah, seandainya aku seorang penyihir, mungkin usia tak akan jadi masalah. Maaf, tadi aku mendengar sedikit perbincangan kalian mengenai kitab sihir. Apakah aku akan bisa menjadi penyihir dengan mempelajarinya?"

"Tidak. Untuk menjadi penyihir, kau harus mempelajarinya sejak remaja," sahut Jack. 

"Ooh ..." gumam Ramon kecewa. 

"Tak perlu kecewa, setidaknya kau patut bersyukur karena telah selamat," sahut Gibbon.

"Ya, kurasa kau benar," sahut Ramon sambil tersenyum tipis.

Setelah itu pertemuan pun diakhiri. Susan, Sara, dan Jack kembali ke rumah. Sementara itu, Ramon memilih keluar untuk menemui kedua pengawalnya. 

Setelah mencuri dengar mengenai kitab Tebro, terbersit sebuah rencana dalam benaknya. Ketika malam telah larut, ia mengutus kedua pengawalnya untuk menyusup ke rumah Sara dan mengambil kitab sihir itu.

Seulas senyum terbit di bibir Ramon ketika ia menemukan bahwa kobold bisa dibangkitkan dengan menemukan batu sumber. Setelah mencatat apa yang diperlukan, ia pun memerintahkan anak buahnya untuk mengembalikan kitab itu ke tempatnya semula. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro