Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 16

Waktu terus bergulir semenjak kematian Bram. Suasana duka di kastel Kingsfort perlahan-lahan menguap. Namun, Isabel masih belum bisa melepaskan kepergian kekasihnya itu. Agra dan Julia yang merasa prihatin dengan putrinya pun sepakat untuk mengatur perjodohan Isabel dengan Randall, putra sulung penguasa Arvendale. 

Meski belum siap, Isabel tak berniat untuk menentang niat kedua orang tuanya. Semuanya tak berjalan baik ketika ia mengikuti kata hatinya.

Hari itu adalah hari kedatangan Randall ke Kingsfort. Selain untuk bertemu sang calon istri, ia juga datang untuk menghadiri pesta pernikahan Andrew dan Anna. Setelah sempat tertunda karena kematian Bram, pernikahan pangeran akhirnya akan segera digelar. Saat itu Doria juga telah berhasil ditaklukkan dan menjadi bagian dari Ethardos. Kematian Daniel telah menghancurkan moral para pasukan. Meski Tuan Ramon—penguasa wilayah itu—berhasil lolos, usianya yang sudah tua membuat Agra merasa bahwa ia bukanlah ancaman lagi.

Aula kastel kini tengah dipersiapkan seindah mungkin untuk menggelar pesta pernikahan termegah di seluruh kerajaan. Halamannya pun didekorasi sedemikian rupa untuk menyambut para tamu yang akan datang dari seluruh penjuru negeri.

Kala itu, sang raja tengah berjalan-jalan di halaman kastel sementara Randall datang menyapa. "Selamat pagi, Yang Mulia," sapanya sambil membungkuk hormat.

"Selamat pagi. Tidak perlu terlalu sungkan. Tak lama lagi kau akan menjadi menantuku," sahut Agra sambil menepuk pundak Randall. "Ah, ke mana anak itu. Tadi dia ada di sekitar sini." Agra tampak menoleh ke sekitar untuk mencari putrinya.

"Itu dia," ujar Agra ketika melihat Isabel sedang duduk sendiri di sebuah kursi taman. Ia menatap kosong pada para pelayan istana yang sedang sibuk menghias halaman dengan bunga-bungaan.

"Coba, kau dekati dia," ujar Agra lagi.

Setelah membungkuk sekali lagi, Randall berjalan mendekati Isabel dan menyapanya. "Hai ... aku Randall dari Arvendale."

"Oh ... hai," sahut Isabel sambil berdiri lalu membungkukkan badan seraya mengangkat roknya sedikit.

"Kau tidak keberatan jika aku duduk menemanimu?" tanya Randall sopan.

"Tentu tidak, duduklah." Isabel tersenyum basa-basi. Mereka duduk bersebelahan.

Setelah hening sesaat, Randall menghela napas lalu membuka percakapan. "Di sini sangat indah dan hangat."

"Yah, begitulah," sahut Isabel singkat. "Apakah ini kali pertama kau kemari?"

"Tidak juga. Aku sudah beberapa kali berkunjung ke Kingsfort untuk urusan agama Herod. Kau tahu, di Arvendale ajaran agama adalah sesuatu yang sangat penting."

"Ah ya aku hampir lupa kalau kau dan Bram mendalami ajaran yang sama," sahut Isabel sambil menerawang.

"Kau sendiri? Apakah kau pernah keluar dari Kingsfort?" tanya Randall.

"Aku hanya pernah ke Doria dan Girondin," timpal Isabel. "Sebuah perjalanan yang kuharap tak pernah terjadi."

Melihat raut wajah Isabel berubah sedih, Randall pun terdiam sejenak. "Aku bisa mengerti," ujarnya singkat. Ia lalu tersenyum sekilas. "Hidup terkadang memang sangat keji."

Tak ada reaksi dari Isabel. Keduanya pun hening lagi. Meski para pekerja tampak sibuk mempersiapkan pesta pernikahan, angin sepoi-sepoi diiringi kicauan burung di pepohonan membuat suasana terasa tenang.

"Kau sendiri, apakah sering pergi ke kuil untuk berdoa?"

Isabel menggeleng lemah sebagai jawaban. "Bram pernah beberapa kali mengajariku berdoa, tapi aku tak terlalu menanggapinya serius."

"Bagaimana kalau kita pergi ke kuil dan berdoa di sana?"

"Untuk apa? Apakah masa lalu bisa berubah hanya dengan berdoa?"

Randall tersenyum sambil menggeleng. "Tentu tidak. Doa tidak bisa mengubah masa lalu, tapi bisa mengubah hatimu. Aku sering merasa lebih tenang ketika memasrahkan semuanya dalam doa."

Mendengar itu, Isabel pun terdiam. Ia sebenarnya masih ragu untuk pergi ke kuil. Meski setelah kematian Bram, Isabel mencoba lebih banyak mempelajari agama, ia khawatir pergi ke kuil akan membuat kenangannya bersama Bram kembali lagi.

"Kau takut kenangan akan dia akan kembali?" tanya Randall seolah mampu membaca pikiran Isabel.

"I-iya, bagaimana kau tahu?"

"Hanya menebak," sahut Randall singkat. "Menurutku cara tercepat untuk mengalahkan ketakutan adalah dengan menghadapinya."

"Benarkah?"

"Tentu saja. Kau mau mencoba?" tanya Randall seraya bangkit dari tempat duduknya. Ia lalu mengulurkan tangan pada Isabel.

"Baiklah, akan kucoba." Isabel menyambut uluran tangan Randall sambil tersenyum. Bagaimanapun juga, ia ingin segera bangkit dari kenangan akan masa lalunya yang kelam.

Keduanya pun berjalan beriringan menyusuri jalanan Kota Kingsfort sambil mengobrol ringan.

"Kau tahu, di Arvendale sangat dingin. Kau harus mengenakan baju tebal sepanjang hari," ujar Randall.

"Itu pasti sangat merepotkan."

"Sebenarnya tidak jika kau sudah terbiasa. Sekarang aku justru merasa canggung tanpa pakaian tebal." Randall terkekeh sejenak. "Dan saat salju turun, kau bisa membuat boneka salju serta meminum cokelat hangat di dekat perapian."

"Itu terdengar menyenangkan," sahut Isabel.

"Tapi ingat untuk langsung menghabiskan minumanmu, atau ia akan membeku dalam sekejap." Randall kembali terkekeh.

"Tapi aku menyukai minuman dingin."

"Kau tak akan menyukainya lagi jika tinggal Arvendale."

"Benar juga," timpal Isabel. "Sepertinya akan menyenangkan jika sesekali berkunjung ke sana?"

"Tentu saja. Aku akan mengajakmu bermain ski di atas es."

"Itu terdengar seru," timpal Isabel. Obrolan ringan itu terasa mengalir begitu saja seiring langkah mereka menuju kuil. Tanpa terasa, mereka pun tiba di tujuan.

Suasana temaram dengan bau abu sisa pembakaran sontak menyeruak. Beberapa orang juga tampak sedang berdoa dengan khusyuk di sana. Patung pohon emas dengan mata di tengah-tengah batangnya menjadi pusat dari pemujaan mereka. Sementara itu, di sisi kanan kirinya, ada patung berbentuk manusia bertelinga runcing dengan proporsi tubuh yang ideal. Mereka dikenal sebagai aelwen atau para pasukan Tuhan.

Isabel pun berdoa cukup lama sambil memandangi mata yang seolah menyala di tengah pohon emas. Beberapa saat kemudian, entah kenapa air matanya tiba-tiba menetes. Seketika itu, ia jatuh berlutut dan terisak dengan kedua tangan menutupi wajah. Melihat itu, Randall memilih tak mengganggu. Selesai berdoa, ia pergi dan menunggu di pintu keluar. 

Beberapa menit berlalu hingga akhirnya Isabel selesai berdoa. 

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Randall.

"Aku merasa ... lega," sahut Isabel dengan seulas senyum tipis.

Randall pun tersenyum mendengarnya. "Baguslah kalau begitu. Ada hal yang memang harus kita perjuangkan dan ada juga yang harus kita lepaskan. Kebijaksanaan adalah ketika kau bisa membedakan keduanya," ujar Randall.

"Terima kasih nasihatnya," sahut Isabel. Ia lalu berjalan bersama Randall kembali ke kastel dengan suasana hati yang jauh lebih baik. Ada kekuatan tak kasar mata yang seperti mengangkat beban di hatinya.

***

Sementara itu, Arden yang ingatannya telah dimodifikasi oleh Karl, pergi menemui Jack, dan kawan-kawan di sebuah gubuk di hutan tak jauh dari Fortsouth. 

"Jadi kau sudah punya rencana?" tanya Jack pada Arden.

"Ya, aku bermaksud mengumpulkan kekuatan sebesar mungkin. Beberapa hari yang lalu, aku sudah menemui Karl, pemimpin kaum orc, dan dia setuju untuk bersekutu," ungkap Arden sambil tersenyum. "Selain itu, aku juga bermaksud menawarkan kerja sama pada penguasa Girondin," sambung Arden lagi.

"Hmm ... itu sepertinya bisa menjadi langkah yang bagus. Tapi apakah kau mengenalnya?" Kini ganti Fiona yang bertanya.

"Dia keponakanku," sahut Arden enteng. "Ayahnya, yang adalah kakakku, sudah wafat belum lama ini."

Setelah itu mereka terdiam sejenak untuk mempertimbangkan niat Arden. Membangun kekuatan sebesar mungkin rasanya memang jalan yang saat ini harus ditempuh untuk memaksa Agra turun dari takhta.

"Kurasa aku setuju dengan idemu." Sahut Jack kemudian. "Tapi, sebelum kita melangkah bersama lebih jauh, kurasa kami harus memastikan satu hal terlebih dahulu."

"Apa itu?" tanya Arden.

Tanpa jawaban, Jack mengangguk pada Susan seperti memberikan sebuah kode. Perempuan itu lalu menepuk pundak Arden sambil membisikkan sebaris mantra. "dorsum ogi."

Seketika itu juga, Arden pun kehilangan kesadaran dan jatuh tertidur.

"Ayo, baca pikirannya," tukas Jack. Sebelum melangkah lebih jauh, keempat penyihir itu telah sepakat untuk mengetahui isi kepala Arden yang sebenarnya. Bagaimanapun juga mereka belum terlalu saling mengenal.

Susan mengangguk lalu merapalkan mantra sambil menyentuh pundak Arden. Matanya memutih seluruhnya dan dalam sekejap, ia tersedot masuk ke memori sang penguasa Fortsouth. Gadis itu pun terbawa jauh hingga ke masa muda Arden.

Saat itu, sebagai putra kedua penguasa Girondin, bukan hal yang sulit baginya untuk menarik hati perempuan. Namun, dari sekian banyak gadis yang ia kenal, hatinya tertambat pada seorang perempuan cantik anak pedagang di kota. Namanya Julia Elliot.

Hubungan mereka berjalan dengan baik hingga suatu ketika, Agra muda datang berkunjung ke Girondin dan mampir ke toko Julia. Reputasinya sebagai toko sutera terbaik di seluruh negeri telah tersebar hingga Kingsfort. Saat itu juga, Agra terpesona oleh kecantikan Julia dan memintanya untuk bersedia menikah dengannya.

Meski pada awalnya Julia menolak karena lebih mencintai Arden, bujukan sang ayah yang menginginkan putrinya menjadi ratu akhirnya memaksa Julia mengakhiri hubungan dengan sang kekasih. 

Sejak itu, kebencian Arden terhadap Agra bermula.

Beberapa minggu berselang dan Arden mendapat tugas untuk menjadi penasihat di Fortsouth. Di sana, ia menjalin persahabatan dengan Dave, seorang loctrum muda.

Semuanya baik-baik saja hingga kematian Tuan Gilbert akibat sihir menyebabkan ketakutan terhadap penyihir meluas.

Pada suatu malam, Dave disergap ketika sedang tidur dan ditahan bersama beberapa penyihir lain untuk dieksekusi.

Arden yang mengetahui sahabatnya berada dalam bahaya, memanfaatkan kedudukannya sebagai penasihat untuk menyusup ke penjara dan membebaskan sang loctrum. Sejak saat itu, Dave pun meninggalkan Fortsouth dan pergi berkelana.

Setelah bertahun-tahun tak ada berita, suatu hari Dave kembali ke Fortsouth dan menemui Arden. Ia tahu bahwa sahabatnya itu memiliki kebencian terhadap Agra karena telah merebut Julia. Ia ingin membalas budi dengan mengatur pertemuan Arden dan Julia. Di luar dugaan, sang permaisuri ternyata juga masih memendam perasaan terhadap Arden.

Ketiganya lalu membuat rencana untuk mencelakai Agra menggunakan racun daun gerridium yang diambil Dave dari puncak tertinggi gunung Bergenst. Mereka berharap tersingkirnya Agra akan membuat Arden berkesempatan merajut kembali cinta lamanya. Rencana itu pun gagal karena Agra akhirnya berhasil disembuhkan.

Susan terus menjelajah memori Arden dan mempelajari bahwa ternyata Dave-lah yang membantu Julia memfitnah Alice dengan meneleportasikan daun gerridium ke saku baju sang pelayan. Hal itu dilakukan karena Julia mengetahui bahwa Alice melihatnya memasukkan racun ke minuman raja. Ia pun merasa perlu menyingkirkan gadis itu demi menjaga rahasia.

Dari situ, memori Arden telah dimodifikasi sehingga Susan pun gagal mendapatkan fakta yang sebenarnya mengenai bagaimana kematian keluarga Gideon. Memori yang terlihat olehnya sama seperti pengakuan Arden, yakni bahwa kaum Harduin lah yang harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Gideon sekeluarga.

Cukup lama berseluncur dalam ingatan Arden, Susan akhirnya mendapat kesan bahwa pria itu adalah seorang yang cerdas. Niatnya memberontak pada Agra, selain demi mendapatkan kembali Julia, juga karena khawatir bahwa sang raja akan meminta pertanggungjawaban atas kematian Gideon. Persekutuan dengan para penyihir tentu akan membuat posisinya lebih kuat.

Setelah mendapatkan cukup informasi, Susan akhirnya mengakhiri sihirnya.

"Apa yang kau lihat?" tanya Lily tak sabar.

"Seorang ambisius yang mendapatkan peluang," sahut Susan. "Ia mencintai Ratu Julia dan memiliki orang yang tepat di sampingnya. Dave adalah seorang loctrum¸sama seperti ayah." Setelah itu, Susan pun menceritakan lebih detail mengenai apa yang sudah dilihatnya.

Usai mendengarkan penjelasan Susan, Jack, Lily, dan Fiona akhirnya sepakat untuk meneruskan kerja sama mereka. Selain tujuan yang sama untuk menggulingkan Agra, Arden juga dinilai memiliki sumber daya yang cukup memadai.

Setelah itu, Susan merapal mantra untuk membangunkan Arden.

Segera, Arden terbangun dengan raut kebingungan. "A-apa yang terjadi? Mengapa aku bisa tertidur?" tanyanya.

"Susan yang membuatmu tertidur tadi. Kami perlu melakukan sedikit penyelidikan terhadapmu. Kau tahu, kerja sama membutuhkan kepercayaan, dan sekarang kau mendapatkannya," sahut Jack apa adanya.

"Tentu saja," sahut Arden sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sampai di mana tadi pembicaraan kita?"

"Kau bermaksud menjalin kerja sama dengan penguasa Girondin."

"Ah ... ya. Jadi kalian setuju?"

Jack, Lily dan Fiona mengangguk-angguk sebagai jawaban.

"Lalu apakah kami perlu ikut ke sana?" tanya Fiona.

"Hmm ... kurasa sebaiknya begitu," sahut Arden. "Apalagi menurut kabar yang kudengar, Ronald sedang berada di sana. Aku merasa kehadiran kalian bisa berguna jika ada sesuatu yang berjalan di luar kendali."

"Huh ... dia lagi. Kenapa dia seperti ada di mana-mana," gerutu Fiona.

Jack hanya tersenyum getir mendengar gerutuan sang kakak. 

Karena semua sudah setuju, Arden pun berkata, "Baiklah, kalau begitu aku akan kembali ke kastel untuk bersiap-siap. Besok aku akan menemui kalian lagi di sini." Ia lalu melangkah pergi meninggalkan pondok para penyihir.

***

Hari berganti dan mereka pun pergi ke Girondin menggunakan portal sihir buatan Jack. Untuk menghindari masalah, Arden menyarankan agar Jack dan yang lainnya membangun sebuah gubuk lagi di hutan di luar kota sementara ia pergi untuk menemui Dickens yang kini berkuasa.

"Selamat siang, Tuan Dickens," sapa Arden sambil membungkukkan badan.

"Ah, Paman ... tak perlu terlalu formal," sahut Dickens sambil menyunggingkan seulas senyum. "Duduklah, kita minum dulu." Sang tuan rumah lalu memerintahkan pelayannya untuk menyiapkan anggur bagi mereka berdua.

"Jadi ... ada apa datang jauh-jauh kemari?" tanya Dickens.

"Apakah kau sudah dengar kalau Tuan Gideon wafat karena pemberontakan Harduin?" Alih-alih menjawab pertanyaan sang keponakan, Arden memilih membalasnya dengan pertanyaan lain.

"Hmm ... ya memang ada rumor seperti itu, tapi sumbernya belum bisa benar-benar aku percaya."

"Sekarang kau bisa percaya," tegas Arden. "Aku melihat Gideon wafat dengan mata kepalaku sendiri."

"Astaga!" sahut Dickens terperangah. "Lalu siapa yang memegang kendali atas Fortsouth sekarang?"

"Aku," sahut Arden singkat.

Bersamaan dengan itu seorang pelayan datang untuk membawakan minuman.

"Minumlah. Kau pasti suka," ujar Dickens sambil menyorongkan segelas anggur pada tamunya.

Demi menghargai sang tuan rumah, Arden pun menyesap minumannya sambil mengangguk-angguk setuju.

"Jadi tujuanmu kemari untuk?" tanya Dickens lagi.

"Menawarkan kerja sama." Arden menyahut sambil meletakkan gelas anggurnya. "Posisiku sebagai penguasa Fortsouth belum diakui oleh Agra. Aku khawatir dia akan menganggap wafatnya Gideon sebagai kelalaianku dan memilih orang lain sebagai penguasa di sana," ujarnya lagi. Lebih lirih.

Mendengar itu, Dickens terpaku sejenak sementara raut wajahnya berubah serius. Ia tampak sedang mempertimbangkan tawaran dari sang paman.

"Apa untungnya bagiku bergabung denganmu?"

"Keselamatanmu dan seisi kota," sahut Arden datar.

"Apa kau sedang mengancamku?!" Mendengar jawaban Arden, nada suara Dickens terdengar meninggi.

"Ssh ... tak perlu emosional." Arden berujar tenang. "Sebelum mendatangimu, aku sudah menjalin kerja sama dengan Karl si pemimpin bangsa orc. Kau tahu kan bagaimana kekuatan mereka? Ditambah dengan pasukan Fortsouth yang sekarang berada di bawah komandoku, rasa-rasanya bergabung denganku adalah keputusan yang bijak. Selain itu aku juga memiliki beberapa penyihir pendukung."

"Kau?!" sahut Dickens semakin gusar. Ia sadar bahwa sang paman kini berada di atas angin. Secara geografis, posisi Girondin memang berada di antara Fortsouth dan Bergstone. Menolak tawaran Arden bisa berarti kehancuran kotanya.

"Kau tak perlu sepanik itu," ujar Arden lagi. "Bukankah tidak sulit bagimu untuk memutuskan dukungan? Kau penguasa di sini bukan?"

"Aku bisa saja mendukungmu, tapi jika sampai hal ini terdengar oleh Ronald, nyawaku akan berada dalam bahaya."

"Jadi kau mengkhawatirkannya?" Arden terdiam sejenak. "Tenang saja. Aku akan mencari cara untuk menyingkirkannya. Apakah aku bisa mendapatkan kamar di kastel? Aku perlu berada dekat dengan penyihir itu."

Dickens merenung sekali lagi untuk mempertimbangkan semuanya. Dalam hati, ia sebenarnya juga merasa keberadaan Ronald di Girondin membuatnya tidak bebas, seperti saat ia tertangkap basah di rumah bordil. Hal itu telah menorehkan seiris dendam dalam hatinya.

"Baiklah, kalau begitu aku akan menyediakan kamar untukmu," sahut Dickens pada akhirnya.

Mendengar itu, Arden pun mengulas senyum kemenangan. Sedikit demi sedikit, dukungan terhadapnya kian bertambah.

Sementara Arden tinggal di kastel untuk mendekati Ronald sekaligus mempelajari kebiasaan dan kelemahannya, Jack dan yang lain berdiskusi untuk mengambil langkah lanjutan dalam upaya membangkitkan Stevan. Meski sudah mendapat dukungan kekuatan yang besar dari Fortsouth dan Bergstone, tanpa keberadaan Stevan sebagai suksesor atas takhta, posisi penyihir bisa jadi tersingkir lagi. Mereka tentu tak mau berjuang tanpa hasil.

"Jadi, apakah bahan-bahan untuk membangkitkan Stevan sudah terkumpul semua?" tanya Jack pada Fiona.

"Hmm ... sebenarnya masih ada satu lagi, yakni buah Amou. Namun aku belum tahu di mana kita bisa mendapatkannya. Tak ada buku yang menyebutkan mengenai buah itu."

"Aku tahu," sahut Susan bersemangat. "Buah itu tumbuh di Pulau Amui," sambungnya sambil menatap sang ayah.

"Ah ... ya. Itu buah yang nikmat," sahut Jack sambil mengenang kembali petualangannya dulu di pulau itu.

"Baiklah kalau begitu, biar aku dan ayah saja yang pergi ke sana. Kalian tetap di sini kalau-kalau Arden membutuhkan bantuan," ujar Susan.

"Ya, kau benar, keberadaan Ronald bisa jadi akan menyulitkannya," sahut Lily.

Mereka pun sepakat untuk berbagi peran. Sementara Jack dan Susan pergi ke Pulau Amui, Lily dan Fiona tetap di Girondin untuk berjaga-jaga. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro