Bab 15
Pagi itu para kaum Dwarf tengah berkumpul di sebuah padang rumput tempat di mana Kingrac akan melakukan eksekusi terhadap Gladys, Evelyn serta dua perempuan budak. Begitu mendengar kabar itu, Borin, Will, dan Thikram pun berangkat dengan tergesa. Mereka tiba di sana ketika banyak orang telah berkumpul sementara Gladys dan yang lainnya berlutut dalam kondisi terikat di tengah lapangan.
"Keempat manusia ini telah menyusup ke wilayah kita! Mereka tak bisa dibiarkan lolos atau keberadaan kita akan diketahui!" ujar Kingrac lantang.
"Tunggu dulu! Mereka sama sekali tidak bersalah!" Tanpa takut, Thikram maju dari tengah-tengah kerumunan dan menentang Kingrac. Napasnya memburu dan wajahnya memerah. Ia baru saja berlari melintasi desa agar tiba di situ tepat waktu.
"Kau ..." Kingrac tersenyum sinis melihat putrinya. "Kau tak punya kuasa apa pun di sini,"
"Aku memang tidak, tapi dia punya," ujar Thikram sambil memandang Borin dan mengayunkan tangan, memintanya maju.
Namun, pemuda itu hanya menatap kosong.
"Maju, Idiot!" bisik Thikram sambil mendelik. Sementara itu, Kingrac mulai tertawa mengejek. "Hahaha ... ia bahkan tak berani melangkah."
"Uh ... y-a, baiklah," sahut Borin terbata. Dengan langkah berat, ia pun maju sambil menenteng kapak dan perisai ayahnya.
Melihat itu, orang-orang pun mulai bergunjing.
"Itu milik Raja Glarmarck."
"Dari mana dia mendapatkannya?"
"Benarkah dia putra Glarmarck?"
"Apakah dia mencurinya?"
Sementara itu Thikram mengangkat tangan untuk menenangkan para Dwarf. Ia lalu berkata lantang, "Dia adalah Borin, putra Glarmarck. Pewaris yang sah atas takhta di Gunung Grimforge."
"Hahahaha ... Kau pikir pemuda culun seperti dia bisa mengalahkan aku?" Kingrac tertawa terbahak melihat penampilan Borin yang sama sekali tidak meyakinkan.
"Tegak dan busungkan dadamu," bisik Thikram pada Borin.
"I-iya ..." Borin pun menurut saja. Ia berusaha membusungkan dada tapi tetap saja perutnya terlihat lebih maju.
"Hahaha ..." Melihat itu, para dwarf yang lain pun ikut menertawakan Borin.
"Bawa mereka menyingkir. Aku ingin lihat apa yang bisa dilakukan bocah ini," ujar Kingrac pada para prajurit yang menjaga tawanan.
"Majulah," bisik Thikram pada Borin. Lapangan kini telah kosong karena Gladys dan yang lain telah diseret menepi.
"I-i-iya," gagap Borin sambil melangkah pelan mendekati Kingrac.
"Lihat, anak ini baru belajar berjalan. Hahaha ...." Kingrac tertawa keras diikuti oleh para Dwarf yang lain. Sementara itu, wajah Borin memerah karena malu. Namun, karena sudah kepalang basah, ia tetap memasang kuda-kudanya di hadapan Kingrac.
"Kau akan menyesali ini," desis Kingrac sambil mengangkat kapak dan perisainya. Detik itu juga raut wajahnya berubah serius. Aura menyeramkan pun menguar, membuat suasana mendadak hening mencekam.
"Bersiaplah." Setelah itu, Kingrac pun merangsek maju dengan kapak teracung di udara. Meski bertubuh lebih pendek, gerakannya sangat gesit.
Sambil terkesiap, Borin mengangkat perisai untuk menahan serangan lawan. Namun, hantaman itu sangat kuat, memaksanya mundur beberapa langkah sambil terhuyung. Jantungnya seketika berdetak lebih kencang. Ia tak pernah membayangkan harus melawan musuh sekuat itu.
Seketika fokusnya kembali, Kingrac sudah menyerang lagi, kali ini menyasar kaki.
Beruntung pemuda itu masih sempat melompat ke samping untuk menghindari tebasan lawan. Ia pun memasang kembali kuda-kudanya.
"Ingat apa yang sudah kita latih!" seru Thikram dari antara kerumunan.
Meski sudah berlatih keras selama beberapa minggu, duel sesungguhnya terasa sangat berbeda. Tekanan psikologis yang berat membuat Borin merasa sendi-sendinya kaku dan tak bisa bergerak segesit saat latihan. Keringat pun mengucur deras membanjiri wajahnya.
Sementara itu, Kingrac mulai melancarkan serangan lagi. Tubuhnya memutar sambil mengayunkan kapak dari samping.
Borin berhasil menangkis serangan itu tetapi tubuhnya limbung. Ia pun jatuh tersungkur sementara kapaknya lepas dari genggaman.
"Jika serangan seperti itu saja sudah membuatmu jatuh, jangan mimpi untuk mengalahkan aku," tukas Kingrac sambil berjalan mengitari Borin yang sedang berusaha menggapai kepaknya lagi.
Setelah mendapatkan kembali senjatanya, Borin bergegas berdiri lagi. Napasnya memburu semakin tak karuan. Ia pun mundur sejenak untuk mengambil jarak.
Tak mau memberikan lebih banyak kelonggaran untuk lawan, Kingrac merangsek maju dengan kapak teracung lalu menyabetkannya dari atas. Dengan sigap, Borin pun mengangkat perisainya untuk menahan serangan itu sambil membalas dengan ayunan kapak dari samping.
Seperti sudah memperkirakan hal itu, Kingrac menahan serangan Borin dengan perisainya, lalu menendang tubuh Borin yang kini tanpa pertahanan. Anak itu pun jatuh lagi untuk yang kedua kalinya.
Sial, kalau begini terus aku pasti kalah, gumam Borin.
Detik berikutnya Kingrac melompat dengan kapak teracung menyasar tubuh Borin yang telentang tanpa pertahanan. Ia tampaknya tak mau bermain-main terlalu lama.
Tak punya pilihan lain, Borin berguling ke samping meninggalkan kapaknya.
"Huh, gesit juga kau," sinis Kingrac melihat lawannya berhasil lolos dari maut.
Meskipun begitu, kini posisi Borin semakin terdesak. Ia tak punya senjata untuk menyerang. Putra Glarmarck itu hanya bisa bertahan menggunakan perisai ketika Kingrac kembali menyerbu dengan beringas.
Bahkan dengan kapak sebagai senjata, Borin tampaknya tidak memiliki kesempatan. Apalagi ketika kini ia hanya memiliki perisai untuk bertahan.
Berada di atas angin, Kingrac terus menyerang membabi buta. Ia menyabetkan kapaknya bergantian dari atas, bawah, kanan, dan kiri. Sementara itu, tak ada yang bisa dilakukan Borin selain berusaha terus menghindar sambil sesekali menangkis. Ia terus menerus melangkah mundur untuk menjaga ruang gerak.
"Sampai kapan kau akan terus menghindar? Dasar bocah ingusan!" seru Kingrac sambil melancarkan serangan bertubi-tubi.
Pada sebuah kesempatan, Borin mampu menangkis serangan Kingrac menggunakan perisai. Namun, pada saat yang bersamaan, Kingrac justru berhasil menghantamkan perisainya pada kepala lawan. Borin pun limbung dan jatuh ke tanah dengan darah yang menetes dari hidungnya.
Tak mau memberikan kesempatan, Kingrac mengayunkan lagi kapaknya pada Borin yang tengah terkapar di tanah. Beruntung, pemuda itu masih sempat berguling menghindar. Namun, perisainya tertinggal.
Tak punya senjata lagi, Borin menjadi sangat ketakutan. Ia merangkak tergesa mendekati Thikram karena merasa tak sanggup lagi melawan Kingrac.
"Hahaha ... ternyata penantangku hanya seorang pengecut!" ejek Kingrac.
"Hadapi dia! Jangan mempermalukan diri sendiri dan ayahmu!" tegas Thikram sambil berusaha mendorong Borin kembali ke arena.
"T-tapi ..." ratap Borin ketakutan. Ia bersikeras untuk bertahan di posisinya.
"Lihat itu! Sekarang dia menangis ketakutan seperti bayi! Hahaha!" ejek Kingrac lagi.
Sementara itu Borin masih bergeming di tempatnya. "Apa yang harus kulakukan? Aku tak mungkin melawannya dengan tangan kosong," ratap Borin.
"Gunakan sihirmu," bisik Thikram. "Setelah bergaul dengan serigala-serigalaku, kemampuan sihirmu seharusnya sudah meningkat."
"B-baiklah, akan kucoba," sahut Borin lalu berdiri dengan gemetar dan melangkah maju perlahan.
"Hahaha ... mari kita lihat apa yang bisa dia lakukan tanpa senjata," ujar Kingrac merendahkan.
Dengan jantung berdegup kencang dan keringat mengucur deras, Borin pun merapalkan mantranya. "Canigo Viscerati!"
Bersamaan dengan itu, tiga ekor serigala besar muncul di sekeliling Borin sambil menggeram marah.
"Wow ... kau menguasai sihir juga rupanya," ujar Kingrac sambil tersenyum sinis. Meski harus berhadapan dengan binatang buas, tak ada sorot ketakutan dari sinar matanya. "Maju kalian!" tantangnya pada Borin dan ketiga serigalanya.
Bersamaan dengan itu, ketiga serigala Borin pun menyerbu Kingrac yang berdiri siaga dengan kapak dan perisainya. Ia bergerak lincah untuk menghindar lalu menghantam dengan perisai. Salah seekor dari serigala itu pun jatuh berguling-guling.
Sementara kawannya mengaing kesakitan, seekor serigala lain melompat menerkam. Melihat itu, Kingrac sama sekali tak gentar. Ia mengayunkan kapak sekuat tenaga menebas leher serigala itu, membuatnya seketika terkapar bersimbah darah. Sosok berbulu itu pun seketika lenyap menjadi asap.
Berhasil mengalahkan seekor serigala tidak membuat raja kaum Dwarf itu lengah. Ia berkelit gesit sambil mengayunkan kapak dan menebas punggung salah satu serigala yang menyerangnya, membunuhnya seketika.
Dua sudah tumbang, menyisakan satu serigala lagi yang kini berdiri dekat kaki Borin sambil menggeram.
Merasa takut karena kedua serigalanya berhasil dikalahkan dalam waktu yang relatif singkat, Borin pun merapal kembali mantranya. "Canigo Viscerati!" serunya sambil memukul tanah.
Namun, alih-alih berhasil menciptakan tiga ekor serigala lagi, Borin justru sama sekali gagal. Tak ada yang terjadi selepas mantranya terucap.
"Hahaha ... ternyata hanya segitu saja kemampuanmu," ejek Kingrac.
Sementara itu Borin masih terus mencoba. Dengan keringat membanjiri wajah, pemuda itu merapalkan mantranya lagi. Namun, semua usaha itu tampak percuma saja. Bahkan satu serigala yang tersisa pun lenyap dengan sendirinya. Mentalnya yang ciut membuat sihirnya gagal total.
Sihir serigala memang tak bisa dilakukan dengan kondisi mental terpuruk. Mereka adalah binatang yang secara alami sangat sulit dijinakkan. Tak ada serigala yang berhasil ditundukkan untuk sebuah pertunjukan sirkus.
Melihat lawan yang semakin putus asa, Kingrac tertawa puas. "Hahaha ... menyerahlah saja. Takhta ini milikku."
Merasa sudah tidak berdaya lagi, Borin pun jatuh berlutut di tanah dengan air mata mengalir. Ia merasa sangat kecewa pada dirinya sendiri.
"TIDAAK!" Melihat Borin menyerah dan putus asa, Thikram berteriak sambil merangsek maju.
"Tangkap dia dan kawan-kawannya!" seru Kingrac.
Bersamaan dengan itu, para pasukan pun menghambur dan menangkap Thikram bersama Will. Mereka lalu diikat bersebelahan dengan Gladys dan yang lainnya. Para algojo pun bersiap sambil menunggu perintah.
"Ja-ngan ... jangan bunuh mereka," rintih Borin dari tempatnya berlutut.
Kingrac tersenyum mengejek melihat Borin yang kini memohon padanya. Ia lalu berjalan mendekati sang lawan. "Kau masih punya nyali untuk memohon rupanya," sahutnya sinis. "Baiklah, aku akan mengabulkan permohonanmu."
"Be-benarkah?" Dengan mata berkaca-kaca, Borin menatap Kingrac tak percaya.
"Ya, aku sepakat denganmu. Langsung mati sepertinya terlalu ringan buat mereka." ujar Kingrac sambil terkekeh. Ia lalu berpaling pada para algojo yang telah bersiap.
"Cambuk mereka semua!" perintahnya sambil menyeringai penuh kepuasan.
"JANGAAN!" teriak Borin sambil memegangi kaki Kingrac, memohon belas kasihan padanya.
Namun Kingrac tetap pada pendiriannya, ia justru menendang Borin dengan keras, membuatnya jatuh terkapar di tanah.
Sementara para algojo mulai bekerja mencambuki punggung para tawanan, Borin menutup mata sambil menangis terisak-isak. Ia tak berani melihat penderitaan kawan-kawannya--terutama Gladys, seseorang yang disayanginya diam-diam. Jeritan pilu yang menggema kala cambuk sang algojo melecut punggung sudah cukup membuat hatinya remuk berkeping-keping.
"Buka matamu! Bukankah ini yang kau minta?" Seperti tak berperasaan, Kingrac mengangkat kepala Borin, memaksanya menyaksikan penderitaan kawan-kawannya.
"To-tolong hentikan ..." rintih Borin lagi bersamaan dengan sebuah lecutan keras di punggung Gladys untuk yang kesekian kali.
"Hahaha ... jadi kau ingin aku membunuhnya saja?"
Pertanyaan itu sontak membungkam mulut Borin. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Dengan rahang mengeras dan air mata berlinang, ia hanya bisa terdiam menyaksikan penyiksaan keji terhadap kawan-kawannya. Tangannya terkepal kuat menahan emosi yang kini terasa bergejolak di dalam dada.
"Lepaskan mereka," geram Borin. Kemarahan kini telah mengambil alih kontrol atas dirinya. Ia tak kuat lagi menyaksikan penderitaan Gladys dan yang lainnya.
"Atau apa?" kekeh Kingrac masih sambil mencengkeram kepala Borin.
"Atau ..." geram Borin. Sekujur tubuhnya tampak mulai berubah.
Kingrac melompat mundur, tampak terkejut dengan perubahan Borin yang kini ditumbuhi bulu-bulu kasar berwarna kecoklatan.
"Atau aku akan membunuhmu!" Sambil menggeram, Borin yang kini telah berubah menjadi serigala jadi-jadian melompat menyerbu.
Sementara itu, Kingrac yang tak siap akan apa yang kini terjadi tak bisa berbuat banyak. Tubuhnya terpelanting ketika Borin mengayunkan tangannya yang kini dipenuhi cakar besar dan tajam. Ia pun tergeletak tak sadarkan diri dengan darah yang mengucur deras dari kepalanya.
Borin yang benar-benar sudah dipenuhi amarah tak mampu lagi mengendalikan diri. Ia menyerang lagi, mengoyak tubuh Kingrac hingga tewas mengenaskan. Darah pun terciprat ke mana-mana membuat para Dwarf yang menyaksikan itu mundur ketakutan.
Setelah beberapa saat, barulah Borin mulai bisa mengendalikan emosinya. Ia terhuyung dan jatuh ke belakang. Dengan napas menderu, tubuhnya mulai berangsur kembali ke asal.
"A-apa yang terjadi?" tanyanya tergagap sambil menatap ke sekelilingnya. Sementara itu, semua orang terdiam membisu menyaksikan kebrutalan yang baru saja dia lakukan. Kebingungan, Borin berdiri sempoyongan lalu mengambil kapak dan perisainya.
"HIDUP RAJA BARU KITA!" seru seseorang dari antara kerumunan.
"HIDUP BORIN PUTRA GLARMARCK!" sahut yang lain. Keriuhan pun seketika tercipta. Rupanya sebagian besar kaum dwarf juga tidak menyukai kepemimpinan Kingrac yang sewenang-wenang.
Dari sela-sela mereka yang mengelu-elukannya, Borin tersenyum sambil menatap Gladys yang sudah tampak begitu lemah. Namun, detik berikutnya, perempuan itu ambruk tak sadarkan diri.
Melihat itu, Borin langsung merangsek membelah kerumunan dan berlari mendekati Gladys.
Harap-harap cemas, Borin pun memeluk Gladys erat sambil berurai air mata. Beruntung, meski lemah, detak jantungnya masih terasa.
"Cepat bawa dia ke halaman belakang kastel! Kami memiliki seekor binatang ajaib. Air liurnya bisa menyembuhkan," ujar Thikram. Meski ia juga mengalami luka yang cukup parah, fisiknya lebih tangguh daripada Gladys dan yang lain.
Tanpa pikir panjang, Borin pun bergegas menggendong Gladys. "Cepat tunjukkan jalannya! Kalian bantu juga mereka yang terluka!" seru Borin pada para pasukan Dwarf yang kini patuh padanya.
Mereka lalu bergegas membawa Gladys, Evelyn dan yang lain memasuki gerbang kastel hingga akhirnya tiba di halaman belakang, tempat seekor kuda bertanduk satu sedang merumput. Lehernya terikat pada sebatang pohon. Sekujur tubuh dan surainya putih bersih. Borin bahkan bisa melihat cahaya lembut berpendar dari sekujur tubuhnya.
"Unicorn," gumam Borin. Ia pernah mendengar tentang binatang itu lewat legenda yang diceritakan Muriel.
Melihat serombongan orang mendekat, sang unicorn mulai tampak gelisah. Ia meringkik sambil mengangkat kedua kaki depannya lalu berjalan mengitari pohon tempatnya terikat.
"Lalu apa yang harus kulakukan? Ia tampak kurang bersahabat," tanya Borin setelah mereka cukup dekat.
"Tak apa. Berikan saja gadis ini padanya. Dia akan menentukan apakah perempuan ini layak untuk mendapat pertolongan."
"Tapi bagaimana jika ia justru melukainya?"
"Itu berarti bahwa kekasihmu ini tidak pantas mendapat pertolongannya," sahut Thikram.
Borin terdiam sesaat. Meski ragu, ia tak punya banyak pilihan. Pemuda itu pun maju perlahan. Gerakan yang terlalu cepat akan membuat binatang itu jadi semakin gelisah.
"Tenanglah manis, kami sama sekali tidak bermaksud jahat," lirih Borin berusaha membujuk hewan ajaib itu. Ia lalu membaringkan Gladys tertelungkup di tanah dekat dengan sang unicorn yang menatap penuh waspada.
Setelah itu, Borin beringsut mundur menjauh untuk memberikan kesempatan bagi sang kuda bertanduk untuk mulai bekerja.
Dari jauh, Borin melihat binatang itu mulai menjilati luka-luka Gladys dan secara ajaib menyembuhkannya. Tak lama kemudian, Gladys tersadar dan mulai mengerang lirih. Meski agak terkejut melihat seekor kuda di dekatnya, ia segera bisa mengendalikan diri.
"Hai, terima kasih," ujar Gladys lembut. Gadis itu duduk di hadapan sang unicorn sambil mengelus moncongnya.
Hai, namaku Ainsel, tiba-tiba terdengar bisikan lembut dalam benak Gladys, membuatnya tercenung sesaat.
Jangan takut, ini suaraku, sahut bisikan itu lagi. Mata Ainsel menatap tajam pada perempuan di hadapannya.
"K-kau bisa bicara?" tanya Gladys kebingungan.
Ya, tapi hanya kau yang bisa mendengarku. Aku telah memilihmu, sahut bisikan itu lagi.
"Kenapa?"
Karena kau memiliki kelembutan dan ketulusan hati serta keberanian yang tak pernah kutemukan pada diri orang lain.
Gladys hanya bisa tertegun mendengarnya.
Sekarang lepaskan ikatanku dan bawa aku pada teman-temanmu. Aku akan menolong kalian semua.
"Terima kasih," bisik Gladys di telinga Ainsel sambil mengelus surai sang unicorn. Setelah itu, ia pun melepaskan tali pengikat Ainsel dan membawa kuda itu pada kawan-kawannya yang lain.
Mereka semua tampak terbengong-bengong melihat Gladys berhasil menjinakkan kuda itu dengan mudah.
"Ba-bagaimana kau melakukannya?" tanya Thikram masih tidak percaya. "Sejauh ini belum ada yang bisa menjinakkannya."
"Entahlah, aku hanya mendengar bisikan dan mengikutinya. Namanya Ainsel dan dia memilihku," ujar Gladys sambil tersenyum. Ia lalu mengelus lagi surai Ainsel.
Setelah itu, Ainsel mulai bekerja menyembuhkan Will dan teman-temannya, membuat mereka semua pulih seperti sedia kala.
"Terima kasih," bisik Gladys pada Ainsel. "Sekarang kami tak akan mengikatmu lagi. Kau bebas."
Aku tidak akan pergi ke mana pun. Aku telah memilihmu sebagai tuanku, dan aku akan mengikutimu ke mana pun kau pergi, sahut Ainsel pada Gladys.
"Benarkah?" tanya Gladys tak percaya.
Tentu saja. Naiklah ke punggungku dan aku akan mengajakmu menjelajah hutan.
Bersamaan dengan itu, Gladys pun melompat menunggangi punggung Ainsel. Kuda itu meringkik sejenak lalu mulai melangkah pergi.
"Kalian tak usah khawatir! Aku akan segera kembali!" seru Gladys sambil melambaikan tangan pada yang lain. Seketika itu senyum ceria merekah sempurna di wajahnya, menghapus lara yang sudah berhari-hari bersemayam di sanubari.
Seiring langkah Ainsel yang semakin cepat, angin bertiup membelai wajah dan rambut Gladys, membuatnya merasa begitu segar dan ... bebas.
Meski masih memiliki misi untuk membongkar kebusukan Arden, Gladys memilih menikmati kehidupannya sejenak bersama kaum Dwarf di Gunung Grimforge yang tenang. Setelah berbagai hal mengerikan yang terjadi, ia merasa membutuhkan istirahat selama beberapa waktu.
Sementara itu, para Dwarf menerima Borin dan mempersiapkan penobatannya sebagai raja baru mereka. Sungguh sesuatu yang bahkan tak pernah terlintas dalam mimpi terliar pemuda itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro