Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

"Maaf, Gladys berhasil kabur."

"APA?!" Arden menyahut gusar sementara tangannya terkepal erat. Rahangnya terlihat mengeras. Jelas sekali ia berusaha menahan emosi di hadapan Dave. Bagaimanapun juga ia masih membutuhkan kemampuan sang loctrum. "Bagaimana bisa? Selama ini kau tak pernah gagal," ujarnya kemudian dengan suara bergetar.

"Yah, seseorang menolongnya. Para penjaga yang kubayar sama sekali tidak berguna. Gladys lolos saat aku pergi menemuimu beberapa hari yang lalu.

Arden berdiri membisu sambil membuang tatapan keluar jendela. Sekuat tenaga ia berusaha mengendalikan perasaan jengkelnya. Ia tak habis pikir bagaimana bisa seorang gadis remaja biasa selalu berhasil lolos dari maut yang dirancangnya.

Pria tua itu mendesah beberapa kali lagi untuk menenangkan diri.

"Baiklah, kalau begitu kita fokus pada rencana baru," ujarnya sambil berbalik menatap Dave.

"Persekutuan dengan Jack?"

Arden mengangguk sebagai jawaban. "Ya, dengan mereka di sisi kita, semuanya akan jadi lebih mudah."

"Tapi apakah kau sudah berhasil meyakinkan mereka?"

"Sejauh ini sepertinya begitu, tapi aku khawatir dengan keberadaan seorang antorum yang ada di pihak mereka. Aku merasa ia akan mencari kesempatan untuk membaca pikiranku. Jika begitu, perbuatanku terhadap keluarga Fernir akan terbongkar."

Mendengar itu, Dave mengangguk-angguk setuju.

"Kau punya saran?" tanya Arden lagi.

"Hmm ..." Dave terdiam sejenak sambil berpikir. "Masalahnya aku tak tahu bagaimana cara menangkal sihir seorang antorum. Seandainya ada seorang antorum lain yang berada di pihak kita ..."

Seketika itu seulas senyum terbit di bibir Arden. "Ide bagus!" cetusnya.

"Maksudmu? Kau mengenal seorang antorum lain?"

"Tidak, tapi aku bisa memperkenalkan diri padanya. Menurut informasi yang kudapat, dia memiliki agenda yang sama dengan kita."

"Siapa?"

"Karl Agerd .... Dari beberapa orang yang terlibat perang di Girondin, aku tahu bahwa dia adalah seorang antorum sekaligus pemimpin Bangsa Orc. Jika bisa bersekutu dengannya, selain mendapat tambahan kekuatan besar, aku bisa menyelesaikan masalah ini," papar Arden masih dengan senyum di bibir.

"Bagus sekali," timpal Dave. "Jadi, mau berangkat sekarang?"

"Tentu! Lebih cepat lebih baik."

"Baiklah, ayo." Seketika itu, Dave merapal mantra sambil menggerakan tangan memutar. Sebuah portal sihir pun tercipta. Tanpa ragu, kedua pria itu pun melompat memasukinya.

Selama sepersekian detik, Arden merasa tubuhnya tersedot ke dalam sebuah dimensi lain. Ia lalu keluar di tempat yang sama sekali asing. Sebuah sensasi yang sama seperti ketika ia memasuki portal buatan Jack. Hanya saja kali ini ia muncul di halaman kastel Bergstone.

Beberapa Orc yang berjaga di sana sontak keheranan.

"Penyusup!"

"Tangkap mereka!" geram para orc penjaga.

"Pegang erat lenganku!" seru Dave. Sesaat kemudian mereka pun lenyap---seperti terhisap oleh sebuh titik---dan berpindah ke sisi lain kastel. Beberapa orc yang ada di sana terkejut dan bereaksi sama. Hal itu memaksa Dave untuk terus menerus berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan menimbulkan keributan. Hingga akhirnya Karl pun keluar untuk melihat apa yang terjadi.

"Maaf ..."

"Kami"

"hanya"

"ingin"

"bicara," ujar Arden terpatah-patah karena muncul dan menghilang untuk menghindari serbuan para orc.

"Hentikan!" perintah Karl pada para pasukannya. Seketika itu, para orc pun berhenti menyerang.

"Terima kasih ..." ujar Arden dan Dave bersamaan dengan napas tersengal-sengal.

"Ayo ikut aku," ujar Karl sambil melangkah ke dalam aula kastel.

"Siapa kalian dan apa yang ingin kalian bicarakan?" tanya Karl setelah duduk di kursinya.

"Aku Arden, penguasa wilayah Fortsouth. Dan ini Dave, kawanku, seorang penyihir. Kami datang kemari untuk menawarkan sebuah proposal kerja sama."

"Kerja sama?" Karl mengernyitkan kening. "Untuk apa aku bekerja sama dengan kalian?"

"Daripada menjelaskan panjang lebar, kudengar kau memiliki kemampuan membaca pikiran. Bagaimana kalau kau melakukannya saja padaku. Dengan begitu, kau akan mengerti maksudku yang sebenarnya tanpa ada yang bisa kututup-tutupi."

Karl tersenyum miring. "Baiklah, kalau begitu kita lakukan sesuai saranmu. Ayo ikut. Aku akan butuh ketengangan untuk berkonsentrasi penuh."

Mereka lalu berjalan menaiki tangga menuju ke sebuah kamar. Sementara Dave berjaga di luar, Karl dan Arden masuk ke ruangan.

"Berbaringlah dengan rileks dan aku akan membuatmu terlelap. Membaca pikiran biasanya memakan waktu yang cukup lama." Setelah itu, Karl berubah wujud menjadi Khargol dan mulai berkelana menjelajahi ingatan Arden.

Beberapa jam berlalu hingga akhirnya sang antorum mendapatkan kesimpulan mengenai niat kedatangan Arden. Ia kemudian membangungkan tamunya dan kembali berubah ke sosok Karl.

"Jadi ... kau berniat bekerja sama denganku untuk mengalahkan Agra?"

Arden yang kini telah duduk menganggukkan kepalanya. "Kau sudah melihat sendiri mengapa kau adalah orang yang tepat untuk bergabung dalam misi ini."

"Kau membutuhkanku untuk memodifikasi ingatanmu sehingga para penyihir yang bersekutu denganmu tidak curiga."

Arden tersenyum simpul sebagai tanggapan. "Selain itu, dengan bekerja sama, kita juga bisa mendapatkan cukup kekuatan untuk memaksa Agra turun dari takhta. Meski aku ragu dia bersedia menyerah sebelum berperang, setidaknya cara ini bisa kita coba."

"Yah, aku pun berharap demikian. Akan banyak nyawa yang selamat seandainya dia bersedia menyerah tanpa peperangan." Karl mendesah panjang lalu terdiam sesaat membayangkan banyaknya nyawa yang melayang akibat peperangan di Bergstone dan Girondin. Meski tidak sepenuhnya setuju dengan pengkhianatan Arden terhadap keluarga Fernir, kerja sama perlu dilakukan demi tercapainya misi mereka berdua. Untuk saat ini, menerima tawaran Arden adalah jalan terbaik yang bisa diambilnya.

"Jadi, kau bersedia bekerja sama?" tanya Arden lagi.

"Ya, kurasa kita memang sejalan," tanggap Karl. "Baiklah, sebagai langkah awal, aku akan melakukan modifikasi terhadap ingatanmu. Tapi perlu kuperingatkan, perubahan ini akan menjadi permanen. Kau tak akan mengingat lagi kenyataan yang sebenarnya. Kau tidak keberatan?"

"Tentu tidak," sahut Arden mantap.

"Berbaringlah lagi," ujar Karl. Setelah itu, sang antorum pun mulai melakukan sihirnya, menghapus ingatan lama Arden dan menggantinya dengan yang baru. Perlu waktu cukup lama bagi Karl untuk menyelesaikan seluruh prosesnya.

Karl lalu keluar untuk menemui Dave dan memberitahunya mengenai ingatan baru yang sudah ia tanamkan. Ia juga memperingatkan sang loctrum untuk tidak membongkar ingatan lama Arden atau ia akan menjadi linglung.

Setelah itu, Karl pun merapal mantra untuk segera membangunkan Arden. "Eliantris Origo," ujarnya

Detik itu juga, Arden mengerjap selama beberapa saat untuk menyesuaikan diri. Kepalanya terasa agak pusing setelah ingatannya dimodifikasi. "K-kenapa aku ada di sini?" tanyanya kebingungan.

"Hahaha ... kau tak ingat? Kita baru saja sepakat untuk bekerjasama melawan Agra. Kau terlalu bersemangat hingga minum terlalu banyak dan tak sadarkan diri," ujar Karl.

"Ah, ya ... bodohnya aku," gumam Arden sambil tersenyum kecut. Sedikit pancingan dari Karl telah membuat ingatan barunya terpantik "Baiklah kalau begitu, terima kasih atas kesediaanmu berkerjasama," ujar Arden lagi.

"Sama-sama. Aku akan menunggu kabar selanjutnya darimu," sahut Karl.

"Baiklah, kalau begitu kami mohon pamit. Sekali lagi, terima kasih." Setelah menyampaikan pengunduran dirinya, Arden pun pergi bersama Dave kembali ke Fortsouth menggunakan portal sihir.

***

"Vulgr percutis!" Peter berseru, dan bersamaan dengan itu, kilatan petir pun penyambar dari ujung jemarinya, menghanguskan sebuah pohon kecil.

"Bagus! Sekarang kau sudah menguasai sihir petir. Hanya satu langkah lagi sebelum kau benar-benar menjadi seorang ectrum sepenuhnya," ujar Ronald sambil berdiri dari tempatnya duduk. "Sihir terakhir adalah pengendalian energi dingin."

"Lihat baik-baik." Penyihir botak itu kini berdiri di sebelah Peter sambil mengacungkan tangan dan merapal sebaris mantra. "Qon Attolata!" serunya bersamaan dengan sebentuk energi dingin yang meluncur dari telapak. Sihir itu mengenai sebatang pohon dan membekukannya seketika.

"Berbeda dari sihir lain yang memusatkan energi di tangan, sihir es adalah kebalikannya. Kau harus meminimalkan energi di telapak tangan. Ini akan lebih sulit," jelas Ronald.

"Baiklah, akan kucoba." Peter memusatkan konsentrasi lalu merapal mantranya. Seketika itu, ia pun merasa tangannya berangsur dingin. Namun, belum sempat bertindak lebih jauh, hawa dingin itu mendadak lenyap.

"Setelah meminimalkan energi, kau juga harus mencegah energi lain masuk. Energi panas di sekitarmu akan selalu mengalir ke tempat yang lebih dingin, dalam hal ini tanganmu."

Mendengar itu, Peter pun mengangguk mengerti. Ia lalu mencobanya lagi. "Qon Attolata!" serunya. Namun hasilnya masih tetap sama. Ia gagal mencegah panas di sekitar merasuki tangannya.

Setelah beberapa kali melihat Peter gagal, Ronald akhirnya memberi saran agar muridnya itu berlatih saat malam hari. Suhu udara malam yang lebih dingin akan mempermudah latihan sihir es.

Tak punya banyak pilihan, Peter pun setuju. Sihir es memang terasa lebih sulit dari yang lain. Keduanya lalu kembali ke kastel untuk makan dan beristirahat sambil menunggu malam tiba.

Ketika rembulan tengah bertakhta di langit Girondin, Peter dan Ronald keluar dari kastel untuk melanjutkan latihan.

"Qon attolata!" seru Peter bersamaan dengan munculnya hawa dingin di telapaknya.

"Bagus! Sekarang lemparkan!" seru Ronald memberi petunjuk

Peter mengikuti instruksi sang guru dan hawa dingin itu pun melesat di udara. Namun, belum sempat mencapai sasaran, energi itu lenyap.

Ronald mendesah melihat itu. "Teknikmu sudah benar, tetapi energi dinginnya masih terlalu lemah."

"Baiklah, akan kucoba lagi," sahut Peter. Ia lalu mengulang kembali mantranya. Namun, setelah berulang kali mencoba, energi dinginnya hanya berhasil mencapai sasaran tanpa membuatnya beku.

Karena malam sudah semakin larut, Ronald pun mengajak Peter kembali. "Kurasa cukup untuk malam ini." ujar Ronald. "Jika dalam beberapa hari kemampuanmu tidak meningkat, aku sarankan kau pergi ke Desa Albien di sebelah utara Arvendale, tempat itu sangat dingin. Kau harus bisa menyesuaikan diri dengan iklim di sana agar bisa menguasi sihir es."

"Baiklah," sahut Peter lesu. Keduanya lalu melangkah kembali ke kastel.

Ketika tengah menyusuri jalanan kota yang telah sepi, tiba-tiba terlihat sekelebat bayangan seseorang di celah gang sempit. Ronald pun segera meningkatkan kewaspadaan dan bergerak mengikuti sosok misterius yang terasa familier tersebut.

Ronald dan Peter terus melangkah mengekori sosok pria berpenutup kepala itu. Ia berjalan tergesa dan berbelok memasuki sebuah jalanan sempit lalu masuk ke sebuah rumah bordil.

"Ternyata Dickens belum berubah," gerutu Ronald. Ia lalu menyusul sang penguasa kota masuk ke bangunan bertingkat dengan banyak kamar di dalamnya, sementara Peter diminta kembali ke kastel lebih dulu.

"Selamat malam, Tuan," sambut seorang mucikari dengan gayanya yang manja dibuat-dibuat. "Kau ingin yang masih gadis atau yang sudah berpengalaman?" tawarnya pada Ronald.

"Aku sedang mencari Dickens. Tunjukkan padaku, di mana dia?"

"Maaf, Tuan. Tapi aku tak bisa memberitahumu," sahut sang mucikari sambil berjalan tergesa mengekori Ronald yang terus melangkah.

"Kalau begitu akan kucari sendiri," tegas Ronald. Ia lalu mendobrak satu per satu pintu kamar dan menciptakan kehebohan. Para pria hidung belang yang terpergok sedang berhubungan dengan pelacur pun berteriak marah sementara sang mucikari bergegas menutup kembali pintu yang menjeblak terbuka.

"Tolong hentikan, Tuan. Jika begini aku akan kehilangan seluruh pelanggan," pinta sang mucikari.

"Kalau begitu tunjukkan padaku di mana dia!" tegas Ronald lagi.

"Mohon jangan memaksaku, Tuan. Aku akan ada dalam masalah besar."

"Bukankah saat ini kau juga sudah berada dalam masalah besar?" Ronald bersiap mendobrak lagi pintu di hadapannya.

"Tu-tunggu ...," pinta sang mucikari sambil mencengkeram bahu Ronald. Penyihir tua itu pun membalasnya dengan sebuah tatapan tajam.

"Ba-baiklah, akan kutunjukkan." Sang mucikari akhirnya menyerah. Dengan langkah gontai, ia pun berjalan menaiki tangga menuju sebuah kamar di ujung koridor.

"Dia di dalam," lirihnya.

"Terima kasih atas bantuannya." Tanpa menatap lawan bicaranya, Ronald langsung mendobrak pintu kamar tempat Dickens berada.

"Pa-paman Ronald?" gagap Dickens seraya menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya.

"Apa-apaan ini? Pergi kalian!" Ronald segera mengusir tiga orang wanita penghibur yang sedang menemani Dickens. Dengan tergesa, mereka pun menarik apa saja untuk menutupi tubuh dan bergegas pergi keluar.

Sementara Dickens mengenakan kembali pakaiannya, Ronald bertanya gusar, "Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak main perempuan lagi?"

"Ya, aku memang sudah berjanji pada ayah. Tapi sekarang beliau sudah wafat," sahut Dickens sambil tersenyum licik.

"Astaga! Bukankah kau juga sudah berjanji pada Zalika."

"Ya, selama dia tidak tahu bukankah semua akan baik-baik saja? Sekarang dia pasti sedang tertidur lelap." Dickens tersenyum licik. "Sebenarnya aku tahu, dia juga masih memendam perasaan pada Peter," sahutnya lagi.

"Dari mana kau tahu? Mereka bahkan jarang sekali bertemu."

"Tatapannya pada Peter sangat berbeda. Keponakanmu tak pernah menatapku seperti itu."

Mendengar jawaban itu, Ronald hanya bisa menggeram sambil menahan emosi. Ia merasa sangat buruk karena telah mendukung perjodohan Zalika dengan Dickens. "Lalu apa maumu?" tanyanya gusar.

"Aku ingin muridmu segera pergi dari Girondin dan tidak menemui istriku lagi. Setelah itu, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk tidak datang ke sini lagi."

"Huh! Baiklah, aku akan memintanya untuk segera pergi," sahut Ronald gusar.

Setelah itu, keduanya pun meninggalkan rumah bordil untuk kembali ke kastel. Tak ada percakapan lagi. Hanya keheningan malam yang mengiringi langkah cepat keduanya menyusuri jalanan kota.

Setibanya di kastel, Ronald memilih mengetuk pintu kamar Peter untuk memastikannya sudah terlelap. Namun sesaat kemudain pintu justru terbuka.

"Kau belum tidur?" tanya Ronald. Ia lalu masuk dan duduk di sebuah bangku.

"Apa yang terjadi?" tanya Peter.  Melihat raut wajah sang guru ia merasa bahwa ada hal yang kurang baik.

"Dickens ingin kau segera pergi meninggalkan kota," sahut Ronald.

"Kenapa?"

"Dia tidak suka istrinya berada dekat denganmu. Zalika masih menaruh hati padamu."

Mendengar itu, Peter hanya bisa terdiam. Meski dalam hati ingin mengatakan bahwa ia tak mungkin berani merebut istri Dickens, kenyataan bahwa Zalika memang masih menyukainya juga tak dapat disangkal.

"Baiklah, kalau begitu besok aku akan berangkat ke Desa Albien," sahut Peter pada akhirnya.

"Yah, mungkin itu memang lebih baik," desah Ronald. "Tapi kali ini aku tak bisa menemanimu berlatih. Aku harus tetap berada di sini untuk memastikan Dickens menepati janjinya. Meski tak bisa mengontrolnya secara penuh, keberadaanku setidaknya masih dia segani."

"Itu sama sekali bukan masalah. Aku sudah menguasai sihir cahaya, angin, api, dan petir. Kurasa aku bisa melindungi diri di perjalanan." Meski sedih karena harus terusir, Peter memaksakan senyum untuk membesarkan hati gurunya.

"Yah, kurasa kau benar," sahut Ronald sambil mendesah. "Aku punya seorang kawan di sana. Namanya Kildan. Temui dia jika kau membutuhkan saran-saran. Dia juga bisa membuatkanmu sebuah tongkat sihir."

"Baiklah," sahut Peter. Seketika itu ia merasa hatinya kosong. Perasaan yang mulai memudar setibanya ia di Girondin itu kini kembali menghantui. Setelah kehilangan Anna dan Muriel, sekarang ia juga harus pergi meninggalkan sang guru yang sudah terasa seperti kakeknya sendiri.

Memang tak ada banyak pilihan baginya. Pemuda itu harus menerima kenyataan hidup dan terus melangkah. Keyakinan bahwa mempelajari sihir akan bisa membuatnya mampu melindungi orang-orang yang tersayang semakin memudar. Motivasinya melemah dan tujuan hidupnya kabur. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia perjuangkan.

"Apa yang kau pikirkan?" Tampaknya kegelisahan Peter itu tertangkap oleh sang guru.

"Entahlah," sahut Peter lesu. "Aku tak tahu lagi apa tujuan hidupku."

"Kau tahu? Hidup itu seperti berlayar mengarungi samudera tanpa kompas dan peta. Kau tak pernah benar-benar tahu arah mana yang harus kau tuju. Yang perlu kau lakukan hanya terus berlayar dan jangan pernah menyerah. Nikmati pelayaran itu dan aku yakin, suatu ketika kau akan tiba di daratan."

Peter terdiam sejenak untuk mencerna penuturan dari sang guru. Meski merasa hal itu ada benarnya, sama sekali bukan hal yang mudah untuk bisa tetap tegak tanpa dukungan dari orang-orang terdekat.

"Yah, kurasa aku hanya akan terus berusaha," sahut Peter pada akhirnya.

"Bagus. Sekarang tidurlah. Besok kau akan mulai menempuh perjalanan yang panjang." Ronald lalu berdiri dan pergi ke kamarnya sendiri.

Peter mengantarkan sang guru sampai ke ambang pintu lalu beranjak ke tempat tidur. Untuk beberapa saat, pemuda itu hanya berguling-guling dengan gelisah.

Terus berlayar dan tak pernah menyerah. Hanya pesan itu yang pada akhirnya membuat Peter tetap memiliki sedikit bara dalam sanubarinya. Beberapa saat kemudian, ia pun terlelap dengan pikiran yang kalut.

Keesokan harinya Peter pergi meninggalkan Girondin. Dengan ditemani seekor kuda hitam pemberian Ronald, pemuda itu, harus menempuh perjalanan jauh seorang diri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro