Bab 13
Gladys terus berlari menembus belantara bersama Will, Evelyn, dan kedua gadis budak. Mereka melangkah cepat dan melompat menghindari semak belukar. Para bawahan Dave sudah tahu bahwa tawanan mereka kabur dan kini tengah mengejar.
"BERHENTI!" teriak para pengejar itu. Dave dipastikan akan marah besar jika mengetahui Gladys berhasil kabur.
Terengah-engah, Gladys dan yang lainnya tak punya pilihan selain terus memacu langkah. Adrenalin yang terpompa ke seluruh tubuh membuat jantung berdebar teramat kencang. Meski peluh terus mengalir membanjiri wajah, bayangan kengerian akan siksa yang menanti jika tertangkap memacu mereka untuk terus melesat.
Meski sudah berusaha sekuat tenaga, stamina yang terus terkuras akhirnya memaksa mereka melaju semakin lambat. Sementara itu, para pengejar masih terus menguntit di belakang.
"Aku ... sudah tak kuat ... lagi," desah Gladys sambil terus memaksakan tungkainya---yang kini terasa seperti hampir putus---terus bergerak.
"Ayo kita bersembunyi di sana!" Will yang melihat sebuah gua segera memimpin rekan-rekannya masuk. Mulut lubang yang tertutup tanaman rambat membuat tempat itu cukup ideal untuk bersembunyi. Apalagi saat itu kondisi gelap karena matahari sudah tenggelam.
Mereka semua segera duduk mengistirahatkan kaki di dalam gua.
"Astaga, aku lelah sekali," keluh salah seorang gadis budak.
"Aku juga," sahut yang lain.
Belum lama beristirahat, terdengarlah suara dari luar. "Ke mana mereka? Tadi aku melihat mereka kemari."
"Entahlah, ayo kita cari di sekitar sini," sahut yang lain.
Rupanya para pengejar telah tiba di dekat mulut gua. Will pun meletakkan telunjuk di bibir lalu memberi kode agar mereka masuk ke sebuah ceruk yang ada di dinding batu.
"Lihat itu! Sepertinya mereka bersembunyi di sana." Terdengar suara salah seorang yang rupanya telah mengetahui keberadaan gua tempat Gladys bersembunyi.
Mengetahui ancaman yang semakin dekat, mereka semua beringsut semakin ke dalam, dan meringkuk saling berhimpitan. Ceruk itu sempit dan gelap. Begitu gelap hingga tak ada apa pun yang dapat tertangkap mata mereka.
Suasana mendadak hening. Hanya debar jantung yang terasa bertalu-talu di dalam dada. Bahkan tetesan keringat pada permukaan bebatuan bisa jadi terdengar begitu nyaring.
Beberapa saat berlalu dalam kesunyian pekat. Sama sekali tak ada yang berani bergerak. Pantulan cahaya obor terlihat menari-nari di dinding gua, dan tak lama kemudian, mulai bergerak mendekat ke mulut ceruk.
Melihat itu, Will yang berada paling depan berusaha mendorong diri ke belakang, membuat keempat perempuan di belakangnya beringsut mundur.
Detik berikutnya, tiba-tiba Gladys yang berada paling belakang menjerit kaget. Karena suasana begitu gelap, ia tak melihat bahwa ternyata ceruk itu berlubang. Ia pun jatuh dan mengerang kesakitan.
Meski lubang itu tidak terlalu tinggi---hanya sekitar dua meter---teriakan Gladys barusan membuat para pengejar langsung mengetahui keberadaan buruannya. Mereka segera melesat mendekati ceruk tempat persembunyian Will dan kawan-kawan.
"Kalian di sini rupanya," ujar salah seorang bawahan Dave sambil menyeringai.
Tak punya banyak pilihan, Will, Evelyn, dan yang lain bergegas memilih menyusul Gladys menjatuhkan diri ke lubang.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba terdengar jerit ketakutan dari para pengejar bercampur dengan raungan binatang buas. Entah apa yang menyerang mereka, Gladys dan kawan-kawan tak dapat memahaminya.
"Apa yang terjadi?" tanya Evelyn pada sang kakak.
"Entahlah ... Mungkin mereka diserang harimau. Yang penting, untuk sementara ini kita selamat," sahut Will.
"Ya, kurasa kita bisa beristirahat dulu di sini." Gladys yang sudah sangat kelelahan membaringkan tubuh di tanah berbatu. Meski tak ada cahaya sama sekali di situ, ia dapat merasakan tekstur kasar pada telapak tangannya.
"Yah, semoga saja tempat ini benar-benar aman," sahut Will. Ia menyelonjorkan kaki sambil bersandar di dinding batu. Setelah pelarian yang menguras energi, setidaknya kini ia bisa beristirahat sejenak.
***
Beberapa jam berlalu. Will menjadi orang pertama yang terbangun. Ia meregangkan tubuh sambil menguap dan mengerang pelan. Seketika matanya terbuka seluruhnya, pemuda itu melongo tak percaya akan apa yang ada di hadapannya.
Batuan semacam kristal berwarna biru setinggi sekitar satu hingga dua meter tampak tersebar dan berpendar lembut di sekelilingnya.
Terdorong oleh keingintahuan, Will pun beranjak mendekat untuk melihat batuan itu dengan lebih jelas.
Apa ini? gumamnya sambil mengelus permukaan kristal yang terasa licin. Sambil melangkah pelan, ia berpindah dari satu titik ke titik yang lain. Setelah beberapa saat, ia menyadari bahwa mineral itu bukan memancarkan sinar, melainkan memantulkan sinar matahari yang masuk dari sebuah lubang vertikal di langit-langit yang tampaknya terhubung dengan dunia luar. Meski tidak terang benderang, sinar matahari yang masuk serta pantulan cahaya dari kristal di sekelilingnya setidaknya cukup membantu Will untuk mengetahui kondisi sekitar.
Belum lama terpana, Will tiba-tiba mendengar percakapan beberapa orang serta suara berderit.
"Huh, target kita semakin lama semakin berat saja," gerutu suara itu.
"Ya, hari ini kita harus menambang setidaknya satu kuintal kristal armelin. Sungguh melelahkan," timpal yang lainnya.
Mendengar percakapan itu, Will secara refleks bersembunyi di balik batuan yang berpendar. Dari situ, ia bisa melihat sebuah benda semacam lift dengan kabin kayu lengkap dengan katrol untuk menggerakkannya naik turun. Setibanya di dasar, tujuh orang cebol dengan kapak beliung, tali dan beberapa perlengkapan tambang di tangan pun turun dari kabin lift.
"Apa itu?" tanya salah seorang cebol ketika melihat Gladys dan yang lain masih terlelap di tengah gua.
Sama-sama tak mengerti, keenam cebol yang lain pun hanya mengangkat bahu.
"Ayo kita bawa mereka pada Tuan Kingrac. Biar dia saja yang memutuskan," sahut salah seorang cebol.
"Baiklah, ayo."
Melihat teman-temannya dalam bahaya, Will ingin membangunkan mereka, tapi semua sudah terlambat. Jika keluar sekarang, para cebol itu akan menangkapnya juga.
Sementara itu, Gladys yang baru saja terbangun sangat terkejut ketika melihat sekawanan pria cebol mendekat dengan kapak teracung.
"Kalian harus ikut kami!" tegas salah seorang cebol itu sambil mengikat Gladys dan yang lainnya.
"T-tunggu ... kami tidak bermaksud jahat." Evelyn yang juga baru saja terbangun berusaha menjelaskan.
"Jelaskan saja semua pada Tuan Kingrac. Kami terlalu sibuk untuk mendengar penjelasan kalian." Sambil menyahut cuek, mereka menggelandang keempat perempuan pendatang itu masuk ke lift lalu membawa mereka naik ke permukaan tanah.
Sementara itu Will hanya bisa terdiam di tempat persembunyiannya sambil bertanya-tanya dalam hati. Siapa mereka? Di mana ini? Apa yang akan mereka lakukan terhadap adikku? Meski penasaran, lelaki itu tak berani keluar. Jika sampai tertangkap, sepertinya akan sulit untuk melepaskan diri. Para cebol itu tampak kuat dengan otot-otot yang menonjol.
Will baru keluar dari tempatnya bersembunyi setelah yakin bahwa situasi sudah aman. Ketika berniat keluar untuk menyusul adiknya, tiba-tiba terdengar suara dari lubang tempatnya jatuh kemarin.
"Mereka bilang sedang mengejar beberapa orang yang bersembunyi di gua ini."
"Ya, ayo cari dengan lebih teliti."
"Lihat, ada lubang di sini."
"Coba kau lihat ke dalam."
Beberapa saat kemudian, Will melihat sosok seorang pria dengan wajah bulat di mulut lubang.
"S-siapa kau?" tanyanya.
"Aku Borin. Kau sendiri? Siapa namamu?"
"Aku Will."
"Tunggu sebentar, kami akan menolongmu," ujar Borin lalu menghilang dari mulut lubang.
Tak lama kemudian, Borin kembali dengan sulur panjang dan mengulurkannya pada Will. Dengan bantuan Borin, Will akhirnya berhasil naik dan keluar dari ceruk batu. Ia pun bertemu dengan Thikram di gua.
"Kalian ... bagian dari mereka?" Will menunjuk ke lubang bermaksud meyakinkan apakah Borin dan Thikram termasuk dalam kaum cebol yang baru dilihatnya. Tentunya dengan melihat postur mereka, hal itu tidaklah mengherankan.
"Y-a ... aku separuh dwarf." Borin menyahut sementara Thikram memilih diam.
"Me-mereka membawa teman-temanku." Will terlihat panik.
"Jadi Gladys juga tertangkap?" tanya Borin spontan.
"Y-a ... dari mana kau tahu soal Gladys?" Will menyahut ragu.
"Dari para pedagang budak itu. Semalam, kami mendengar keributan di sini dan memutuskan untuk melihat. Kami berhasil menangkap beberapa dari antara mereka. Setelah diancam, mereka akhirnya menceritakan semua tentang kalian."
"Kalau begitu, kita harus segera pergi menyelamatkan teman-temanmu. Kingrac tidak begitu menyukai manusia," sahut Thikram cepat. "Mereka bisa dihukum mati."
"Lalu bagaimana dengan mereka yang kita tangkap semalam?" Borin bertanya sambil mengambil kapak dan perisainya.
"Serahkan saja pada para serigala. Biar mereka yang memutuskan nasib orang-orang jahat itu," tegas Thikram.
Bersamaan dengan itu, Will memimpin kawan-kawan barunya melompat masuk ke lubang.
"Indah sekali ..." Seketika mendarat, Borin terpana melihat tambang kristal armelin yang terhampar di sekitarnya.
"Kapak dan perisaimu juga terbuat dari kristal ini. Batuan ini sangat keras dan bahkan mampu menangkal serangan sihir," jelas Thikram. "Aku tak pernah tahu kalau gua tempat kita berlatih ternyata bisa terhubung ke sini."
"Baiklah, lalu bagaimana kita akan naik? Aku melihat sekawanan dwarf tadi turun dan naik menggunakan semacam lift," ujar Will.
"Ya, mereka adalah para penambang," terang Thikram. "Kurasa tak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu mereka turun lalu menggunakan liftnya."
"Tapi mereka tak akan mengizinkan kita."
"Siapa yang mengatakan kalau kita akan minta izin?" sahut Thikram sambil bersembunyi di balik kristal armelin. "Ayo sembunyi. Kita akan naik nanti saat mereka sedang sibuk bekerja."
Mengikuti instruksi Thikram, mereka pun bersembunyi sambil menunggu para dwarf penambang kembali.
"Bersiaplah, kurasa pertemuanmu dengan Kingrac akan segera terjadi. Kau harus menantangnya dan merebut takhta atau ia akan mengeksekusi Gladys dan yang lainnya."
Borin menelan ludahnya kasar. "Ta-tapi apakah aku sudah siap?"
"Entahlah ... beberapa hari ini kemajuanmu cukup pesat, tapi untuk menghadapi Kingrac ..." Thikram memilih tak menyelesaikan kalimatnya karena ketika itu tiba-tiba terdengar bincang-bincang bergema dari mulut lubang bersamaan dengan suara rantai lift yang berderit.
"Sepertinya Kingrac akan segera mengeksekusi mereka besok."
"Ya, sama seperti manusia terakhir yang masuk ke wilayah kita."
"Malang sekali mereka."
"Yah, tapi itu bukan urusan kita. Ayo cepat kita harus bekerja keras hari ini."
Bersamaan dengan itu, lift mencapai dasar dan para dwarf berjalan masuk lebih jauh ke area pertambangan untuk mulai bekerja.
"Ini kesempatan kita, ayo!" bisik Thikram sambil berjalan mengendap meninggalkan tempat persembunyian untuk segera menaiki lift.
Tanpa sepengetahuan para dwarf, Borin pun memutar katrol untuk membawa mereka naik ke permukaan tanah.
Tanah padas segera menyambut mereka yang baru saja naik dari bawah bumi. Tak jauh dari situ tampak hamparan padang rumput hijau berbukit dengan pepohonan yang rindang. Di sanalah tempat para dwarf tinggal. Selain rumah-rumah kayu sederhana beratapkan jerami, tampak pula sebuah kastel batu yang tampak besar dan kokoh di tengah-tengahnya.
"Itu kastel tempat tinggal Kingrac," ujar Thikram. "Ayo, turunkan kembali liftnya. Kita tak ingin membuat mereka terjebak di bawah sana."
Mendengar instruksi Thikram, Will dan Borin pun memutar kembali katrol yang ada di situ, membuat lift kembali bergerak turun. Lift sederhana itu memang didesain agar bisa dioperasikan baik dari dalam kabin maupun permukaan tanah.
Setelah mengembalikan lift ke tempatnya, Thikram memimpin Borin dan Will melangkah ke pemukiman dwarf. Mereka berjalan sambil sesekali bersembunyi di balik pohon untuk mencegah kecurigaan beberapa dwarf yang sedang berktivitas di sekitar rumah.
Beberapa lama berjalan, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah yang agak pendek. Tak ada yang istimewa dengan rumah itu, semua rumah dwarf memang pendek.
"Ini rumah bibiku," bisik Thikram. Ia lalu meminta Will dan Borin bersembunyi sementara ia mulai mengetuk pintu.
Tak lama kemudian, sesosok wanita pendek keluar dari balik pintu. "Siapa?" Ia bertanya sambil menatap Thikram dan mengernyitkan dahi.
"Selamat siang, Bibi Grimelda, aku Thikram, Putri Nosfrida."
Mata Grimelda terbelalak sejenak. "K-kau benar keponakanku?"
"Ya, ibu sudah wafat dan sekarang aku kembali kemari."
"Cepat ... masuklah. Bahaya jika kau sampai terlihat mata-mata Kingrac."
"Tapi aku bersama dua orang teman," sahut Thikram.
"Di mana mereka?" Grimelda tampak celingukan mencari sosok yang dimaksud.
Bersamaan dengan itu, Borin dan Will pun keluar dari tempat persembunyian.
"Astaga! Kau membawa manusia bersamamu? Kau benar-benar sudah gila! Ayo, cepat masuk!" Wajah Grimelda tampak panik.
Mengikuti instruksi, Thikram, Borin dan Will pun masuk secara berurutan. Nama terakhir harus membungkuk sedikit karena ambang pintu rumah itu pendek.
Setelah semua tamu tak diundang itu masuk, Grimelda segera mengunci pintu rumahnya dan menutup korden jendela. Ia lalu duduk di sebuah kursi pendek dan langsung berkata pada Thikram, "Jelaskan semuanya."
Thikram menghela napas sejenak sebelum mulai bicara. "Pertama-tama, biar kuperkenalkan dia dulu. Namanya Borin Halten, putra Glarmarck Halten."
"Astaga! Kau tak mungkin serius."
"Aku super serius," sahut Thikram mantap. "Dia memiliki kapak dan perisai ayahnya."
Grimelda tertegun sejenak. "Lalu apa yang membawa kalian kemari?"
"Untuk menyelamatkan manusia yang baru saja tertangkap pagi tadi. Mereka adalah kawan kami. Selain itu, tentu saja untuk mengembalikan takhta pada yang lebih berhak."
"Kau gila." desah Grimelda. "Kingrac tidak akan menyerahkan takhtanya begitu saja."
"Tentu tidak, dia akan menantangnya dalam duel."
"Kau yakin dia bisa mengalahkannya? Ia tampak kurang meyakinkan bagiku," sahut Grimelda sambil menatap Borin yang sedang tersenyum polos.
"Entahlah, setidaknya kami tak akan menyerah sebelum mencoba. Benar begitu?" ujar Thikram sambil menatap Borin.
"Eh ... i-iya. Te-tentu saja," sahut Borin. Dalam hati ia sebenarnya masih ragu akan kemampuannya sendiri. "Tapi ... apakah tidak ada cara lain?" Borin meringis sementara Thikram mendelik menatapnya.
"Kau boleh saja tidak tertarik dengan takhta, tapi jika kau tak mengalahkannya dalam duel, aku yakin kekasihmu yang bernama Gladys itu akan berakhir dipancung."
"Astaga ... dia sama sekali bukan kekasihku," sahut Borin.
"Tapi semalam kau sangat mengkhawatirkannya. Kau bahkan nekat kembali ke gua malam-malam untuk mencarinya."
Perkataan Thikram itu serta merta membuat Borin terdiam. Meski dalam hati mengakuinya, ia merasa sama sekali tidak layak untuk bersanding dengan gadis terhormat secantik Gladys.
"Baiklah kalau begitu. Untuk sementara ini, kalian makan dan beristirahatlah di rumahku dulu," ujar Grimelda.
"Lalu kapan kita harus mengajukan tantangan pada Kingrac?" tanya Will yang sangat khawatir akan keselamatan adiknya.
"Tenang saja, Kingrac punya kebiasaan menjatuhkan eksekusi untuk para kriminal di halaman depan kastel. Ketika itu terjadi, seluruh warga akan berkumpul untuk menyaksikan. Kita tak akan melewatkannya."
"Tapi mereka bukan kriminal," sanggah Will.
"Menjadi manusia di wilayah kekuasaan Kingrac adalah sebuah tindakan kriminal," sahut Grimelda.
Setelah itu mereka semua terdiam sementara Grimelda beranjak ke dapur untuk menyiapkan makanan. "Ayo bantu aku!" ujarnya yang segera diikuti Thikram, Borin, dan Will.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro