Bab 9
Seluruh tubuh Peter mulai memancarkan sinar. Mata, telinga, hidung, hingga kulitnya tampak semakin lama semakin terang.
"Konsentrasikan energimu pada telapak tangan!" perintah Ronald.
Mendengar petunjuk dari sang guru, Peter mencoba mengikutinya. Namun ternyata tidak semudah itu. Sinar masih terus memancar dari seluruh tubuhnya, dan bahkan semakin terang. Ronald pun menambah energi untuk memperkuat perisai pelindung yang terus terdesak oleh energi Peter.
Setelah beberapa saat berjuang, upaya Peter mulai membuahkan hasil. Cahaya yang tadinya membuncah dari seluruh tubuh perlahan-lahan terkumpul di tangan, membentuk semacam bola energi yang sangat menyilaukan.
Sambil terus berkonsentrasi pada dinding perisainya, Ronald lalu berteriak memberikan petunjuk. "LEMPARKAN!"
Peter mengayunkan tangan, dan seketika itu, bola cahaya tadi melesat dan meledak kala menghantam dinding pelindung.
Ini gila! batin Peter. Ia terpana melihat keajaiban yang baru saja dibuatnya.
"Bagus! Kau bisa mengendalikannya!" seru Ronald. Senyumnya merekah menyaksikan keberhasilan sang murid.
Mendengar itu, Peter mengembuskan napas lega, tetapi apa yang terjadi berikutnya sama sekali di luar dugaan. Tubuhnya tiba-tiba terlontar ke udara bersamaan dengan embusan napasnya yang mendadak terasa begitu kencang. Ia pun mengerang kesakitan ketika punggungnya menghantam dinding pelindung di sekitarnya.
"Tahan napas! Segel anginmu sedang terbuka! Tetap konsentrasi dan lakukan seperti tadi!" Seru Ronald lagi.
Sementara terempas kesana kemari, Peter berusaha mengikuti petunjuk gurunya. Ia menahan napas sehingga tubuhnya jatuh ke tanah, lalu memusatkan kembali energinya di telapak tangan.
"AYUNKAN TANGANMU!" perintah Ronald.
Peter berbuat seperti apa yang diinstruksikan, dan secara ajaib, angin kencang mulai berembus seiring ayunan tangannya. Angin pun tampak bertiup membentuk pusaran di dalam dinding pelindung dengan Peter sebagai pusatnya.
"Bagus! Sekarang tutup telapakmu untuk menghentikan sihirnya."
Peter mengikuti instruksi dari sang guru dan angin kencang itu pun berangsur mereda. Ia menatap Ronald sejenak sambil tersenyum. Ia cukup bangga dengan dirinya sendiri.
Namun, keajaiban sama sekali belum berakhir. Mendadak Peter merasa suhu tubuhnya meningkat dengan drastis. Permukaan kulitnya pun berangsur memerah.
"Bersiaplah! Segel apimu akan terbuka." Ronald memperingatkan.
Seiring panas yang mulai menjalar ke seluruh tubuh, Peter kembali memusatkan energi ke telapak tangan, membuatnya seketika memanas. Bersamaan dengan itu, sebentuk bola api kini tercipta dalam genggaman. Ini sangat keren! batinnya.
Setelah itu, ia mengayunkan tangan bersamaan dengan api yang menyembur menghantam dinding pelindung.
"TUTUP TANGANMU!" perintah Ronald. Ia merasa perisainya tak mampu menahan energi panas yang begitu intens secara terus menerus.
Dengan upaya ekstra, Peter akhirnya berhasil menghentikan sihirnya tepat ketika dinding pelindung Ronald hampir saja jebol. Penyihir tua itu pun menghela napas lega lalu segera mengalirkan energi untuk memperbaiki kembali perisainya.
Meski sudah kelelahan, ternyata keajaiban belumlah usai. Sesaat kemudian, Peter merasa tubuhnya seperti kesemutan. Anak itu pun kembali memusatkan energinya ke tangan. Kilatan-kilatan petir kini tampak berlompatan dari ujung jemari.
Peter mengacungkan tangannya ke depan, membuat kilatan cahaya putih menyilaukan pun terlontar menyambar-nyambar, menghantam perisai energi di sekitarnya. Hal itu berlangsung selama beberapa saat hingga Peter merasakan tubuhnya begitu lelah. Ia terduduk sambil menyeka keringat yang bercucuran di keningnya.
"Apakah sudah berakhir?" tanyanya pada Ronald.
"Belum. Masih ada yang terakhir. Kau harus mengendalikan bentuk negatif dari energi. Ini akan menjadi yang tersulit. Berkonsentrasilah!" tegas Ronald.
Mendengar itu, Peter menghela napas panjang untuk mengembalikan fokusnya. Sesaat kemudian, ia merasa suhu tubuhnya menurun dengan cepat. Kulitnya memucat dan mulai membiru. Di samping itu, kegelapan seperti menyelimuti atmosfer di sekitarnya. Tubuhnya berubah menjadi seperti lubang hitam yang bahkan sinar pun tak dapat menembus melaluinya.
"Jika tadi kau mengandalkan energi sihir dari dalam tubuh, kali ini kau harus menyerap energi di sekitarmu!" tegas Ronald.
Peter pun berusaha berkonsentrasi lebih keras untuk menarik energi di sekitarnya. Untuk sesaat suhu tubuhnya meningkat perlahan dan suasana di sekitarnya berangsur terang. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Detik berikutnya, kegelapan kembali menyeruak melingkupi tubuh Peter yang sudah kelelahan.
Ini gawat, batin Ronald. Air mukanya berubah cemas. Meski begitu, tak ada yang bisa ia lakukan. Intervensi hanya akan membahayakan nyawa Peter dan dirinya sendiri.
Kecemasan Ronald terus bertambah ketika kegelapan di sekitar tubuh Peter semakin pekat disertai hawa dingin yang menyelimuti hingga menimbulkan lapisan es tipis di permukaan kubah pelindung ciptaannya.
"Pikirkan sesuatu yang sangat panas!" teriak Ronald pada Peter.
Mendengar itu, Peter berjuang mengalihkan pikirannya pada matahari, sang sumber energi. Pinjamkan aku energimu ... batin Peter sementara tubuhnya menggigil semakin hebat. Ia pun membayangkan sang surya kini berada sangat dekat dengannya.
Upaya Peter tampaknya membuahkan hasil. Lapisan es tipis pada dinding pelindung di sekitarnya mulai mencair. Cahaya pun mulai menembus kegelapan pekat yang sebelumnya bak menyedot keseluruhan energi dari tubuhnya.
"Bagus! Sekarang lakukan seperti tadi! Konsentrasikan energi dingin itu ke tanganmu," perintah Ronald.
Dengan tubuh yang sudah begitu lelah, Peter berjuang mengikuti petunjuk dari sang guru. Kini seluruh tubuhnya terasa menghangat, sementara tangannya begitu dingin seperti hampir beku.
"LEMPARKAN SEKARANG!"
Mendengar perintah gurunya, Peter mengayunkan tangan. Bersamaan dengan itu, sebentuk hawa dingin pun terlempar, menghantam salah satu sisi bola energi pelindung dan membekukannya seketika.
"Bagus!" puji Ronald. Namun, bersamaan dengan itu, Peter ambruk di tempatnya. Ia tampak begitu kelelahan karena energi sihir dalam tubuhnya sudah terkuras habis.
Ronald melenyapkan bola pelindung ciptaannya lalu melesat menghampiri Peter untuk memeriksa kondisi muridnya. Ia menempelkan telunjuk pada pergelangan tangan Peter, mencari detak penanda kehidupan.
Beruntung, meski lemah, denyut itu masih terasa.
Penyihir tua itu mendudukkan tubuh Peter yang terasa dingin dan pucat, lalu menyentuhkan telapak tangan pada punggung muridnya.
"Invigor das pilia," rapalnya. Secercah sinar putih kekuningan pun memancar dari telapak tangannya, menyalurkan energi ke tubuh Peter.
Beberapa saat kemudian, wajah Peter yang semula pucat berangsur merona. Ia tersadar tak lama kemudian.
"Apa yang terjadi?" tanyanya lemah.
"Tenagamu terkuras habis saat energi sihir memancar keluar dari tubuhmu tadi. Aku terpaksa menyalurkan energiku untuk menyelamatkanmu," sahut Ronald. "Kau beruntung masih bisa selamat." Penyihir tua itu menghela napas lega.
"Sekarang segel sihirmu sudah terbuka, sebaiknya kau beristirahat dulu sebelum kita memulai latihan selanjutnya," ujar Ronald. Mereka pun duduk bersebelahan menatap langit sambil menyelonjorkan kaki.
Peter menghela napas panjang. Ia merasa begitu lega telah berhasil membuka segel sihirnya. Kematian terasa sudah teramat dekat kala kegelapan pekat menyelimuti tubuhnya tadi. Anak itu memandangi telapak tangannya sendiri, takjub akan keajaiban yang bisa dibuatnya.
"Jika aku bisa mengeluarkan sihir dengan tangan kosong, lalu apa gunanya tongkat itu?" Peter melontarkan pertanyaan yang menjadi keingintahuannya sejak lama.
"Tongkat ini bisa membuatmu tampak keren," sahut Ronald sambil terkekeh.
Peter pun menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum kecut. "Yang benar saja?" gerutunya.
"Hahaha ... ya, sebenarnya tongkat ini memiliki fungsi yang cukup besar," sahut Ronald pada akhirnya. "Selain menjadi perpanjangan tanganmu, tongkat ini adalah semacam tempat untuk menyimpan cadangan energi sihir. Sebagai seorang ectrum, kau akan memerlukan persediaan energi yang besar," jelasnya lebih lanjut.
"Sebenarnya setiap benda mampu menyimpan energi sihir, hanya kapasitasnya berbeda-beda. Batu-batu mulia semacam zamrud atau rubi dapat menyimpan energi sihir yang besar."
"Tapi tongkatmu tampak hanya seperti batang kayu biasa? Aku tak melihat batu apa pun di situ?" tanya Peter lebih lanjut.
"Ini bukan batang kayu biasa. Aku mendapatkannya dari pohon zaitun yang dulu tumbuh di dekat sumur ajaib itu. Ia mati terbakar karena tersambar petir. Selama hidupnya, batang pohon ini telah menyerap mata air ajaib dan pada akhirnya mendapatkan energi petir yang begitu besar," sahut Ronald. "Kapasitasnya setara dengan batu-batu mulia yang berukuran sekepalan tangan."
"Wah, itu keren!" sahut Peter bersemangat. "Apakah aku juga bisa mendapatkan tongkat sihirku sendiri?"
"Kau sebaiknya menguasai ilmu sihir sebelum berpikir mengenai hal itu. Beberapa penyihir melukai dirinya sendiri saat mencoba menggunakan tongkat sihir sebelum waktunya."
Peter pun mengangguk-angguk mengerti. Dalam hati ia sudah tak sabar untuk segera menguasai sihir.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Ronald beberapa saat kemudian.
"Yah, kurasa begitu."
"Baiklah, ayo kita pergi menemui Tuan Edgar untuk menagih janjinya menyediakan kamar."
Keduanya pun bangkit dan bersiap meninggalkan tempat itu ketika sesosok gadis cantik tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Hai ...," sapanya ramah.
"H-hai juga ...," sahut Peter tergagap, terpana oleh kecantikan alami yang tersaji di hadapannya. Gadis itu memiliki kulit sawo matang. Alisnya tebal dengan mata yang besar. Ujung-ujung rambut hitamnya yang lurus tergerai sepunggung tampak bergoyang dipermainkan sang angin. Beberapa perhiasan emas yang melekat di tubuhnya menunjukkan statusnya sebagai seorang gadis terhormat.
"Zalika ... kau sudah tumbuh secantik ini," sahut Ronald seolah membuyarkan lamunan Peter.
"Paman Ronald ... lama tak jumpa." Senyum yang terukir di bibir sang gadis semakin menambah kecantikan wajahnya. "Ayah memintaku untuk menunjukkan kamar kalian. Mari ikut." Gadis itu pun berpaling seraya melangkahkan kakinya pergi. Ronald dan Peter mau tak mau segera mengekor di belakangnya."
Ketiganya berjalan menyusuri lorong-lorong kastel yang megah berhiaskan ukir-ukiran. Pilar-pilar raksasa menjulang angkuh simbol keperkasaan. Beberapa lukisan yang menceritakan kekuatan pasukan Bergstone juga tampak tergantung di dinding batu. Beberapa di antaranya menggambarkan perang antara pasukan Bergstone melawan kaum orc. Meski merasa cukup penasaran dengan itu, Peter memilih untuk tetap diam. Ia berpikir untuk menanyakannya pada Ronald nanti.
Setelah menaiki tangga batu, mereka akhirnya tiba di sebuah kamar.
"Silakan, ini kamar kalian," ujar Zalika sambil tersenyum ramah. Tampak seorang pelayan berdiri di luar dekat pintu. "Istirahatlah. Jika membutuhkan sesuatu, jangan sungkan untuk menyampaikannya pada pelayan," pesan Zalika lagi.
"Terima kasih banyak," sahut Ronald.
"Baiklah, kalau begitu saya pamit." Zalika pun berlalu meninggalkan kedua tamunya di dalam kamar. Meski tak bisa disebut mewah, suasana di situ cukup nyaman. Dua buah tempat tidur dengan jendela dan sebuah meja kecil di tengah-tengahnya terasa pas mengisi ruangan. Peter pun segera merebahkan tubuhnya yang lelah.
"Untunglah Tuan Edgar bersedia berbaik hati," gumam Peter pada dirinya sendiri.
"Ya, kau akan baik-baik saja selama tidak menyinggung perasaannya. Jaga sikapmu. Terutama pada Nona Zalika. Ia sangat menyayangi anak gadisnya itu."
"Tentu saja. Aku tak akan berani," sahut Peter sambil merebahkan diri untuk beristirahat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro