Bab 7
Anna kini benar-benar kesakitan setengah mati. Permukaan kulitnya terasa amat panas seperti hampir melepuh. Napasnya juga sudah semakin sesak. Oksigen yang biasanya tersedia melimpah, kini menjadi barang langka bagi paru-parunya. Meski memiliki kemampuan menyembuhkan diri, hal itu tak banyak membantu dalam situasi seperti ini. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan oleh kobaran api itu jauh lebih cepat daripada kemampuan tubuhnya menyembuhkan diri.
Tak ada pilihan selain memasrahkan diri pada nasib. Anna hanya bisa mengerang pelan sebagai reaksi atas sakit yang ia rasakan. Pandangannya kabur sementara kesadarannya semakin menurun karena oksigen yang beredar dalam darahnya terus berkurang.
Beberapa saat kemudian, samar-samar Anna melihat beberapa orang berpenutup kepala hitam memacu kuda yang mereka tunggangi membelah kerumunan manusia untuk mendekatinya.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dari sisa-sisa kesadarannya, Anna merasakan tali pengikatnya dipotong sehingga ia pun jatuh ke depan. Salah seorang dari kelompok berkuda itu kemudian menangkap tubuhnya dan membawanya pergi. Anna tak mampu lagi berpikir mengenai siapa dan apa maksud kelompok itu. Ia hanya merasakan panas yang tadi begitu menyakitinya kini mendadak lenyap.
Di atas kuda salah seorang yang masih misterius itu, ia pun jatuh kehilangan kesadaran.
***
Susan mengerjap-ngerjapkan mata untuk mencari tahu mengenai keberadaan dirinya. Dinding di sekitarnya tersusun dari balok-balok kayu sementara atapnya terbuat dari kepingan-kepingan tanah liat. Suatu tempat yang tampaknya tak asing lagi baginya.
Rumah Fiona! Detik berikutnya Susan tersadar bahwa dirinya sedang berada di kediaman sang bibi. Ia pun segera bangkit dari tempat pembaringan untuk mencari sang tuan rumah.
"Apa yang terjadi? Mengapa kau membawaku ke sini? Bagaimana dengan Anna?!" cecar Susan pada bibinya.
"Maaf, aku terpaksa melakukannya. Tindakanmu tadi sangat berbahaya. Mereka bisa menangkapmu karena berusaha melepaskan Anna." jelas Bibi Fiona sambil mengaduk ramuan.
"Lalu apa yang terjadi dengan Anna?" tanya Susan lagi.
"Aku juga tidak tahu. Aku langsung membawamu pergi setelah itu. Tak ada yang bisa kita lakukan untuk menyelamatkannya," sesal Bibi Fiona. "Mungkin dia sudah wafat."
"BRAKK!!" tiba-tiba Susan menggebrak meja di hadapannya. "JAHAT!! Mereka sangat jahat! Tega sekali berbuat sekeji itu pada Anna. Dia perempuan yang sangat baik." Susan mengepalkan tangan begitu erat. Giginya bergemertak karena menahan amarah. Ia tak habis pikir kesalahan apa yang diperbuat Anna hingga layak dibunuh dengan cara yang begitu keji. Tubuhnya gemetar, dan tanpa terasa, sebutir air mata mengalir di pipinya.
"Tenangkan dirimu. Bukankah sudah kuperingatkan, dunia saat ini membenci penyihir. Mereka akan membakar semua penyihir yang tertangkap tanpa peduli apakah dia baik ataupun jahat."
"Tapi kenapa harus begitu? Tidak bisakah kita hidup berdampingan dalam damai?" protes Susan.
"Kurasa tidak. Stereotip buruk terhadap para penyihir sudah terlalu lama melekat dalam benak mereka. Kecuali ada penyihir yang bisa duduk di takhta dan menunjukkan pada orang-orang itu bahwa tidak semua penyihir adalah buruk."
"Kejam ... kejam sekali ..." Susan menggeram dengan gigi-giginya yang terus bergemeretak.
"Ya, kini kau tahu kebenarannya. Entah berapa lama lagi para penyihir bisa bertahan sebelum dibunuh satu per satu dan akhirnya punah." Fiona berkata lirih tampak berusaha menyembunyikan emosinya.
"Aku tidak akan menyerah sebelum berusaha. Kita masih punya harapan jika berhasil menemukan ayah. Semalam, aku berhasil membaca pikiran Agra," ujar Susan bersemangat. "Dia disekap di Pulau Barnes."
"Hmm ... pulau Barnes ...," gumam bibi Fiona. "Sepengetahuanku, itu adalah tempat untuk menyekap penyihir-penyihir jahat. Tak pernah ada yang bisa lolos dari sana."
"Kau takut?" tanya Susan?
"Tentu tidak," tegas sang Bibi. "Persiapkan apa yang kau butuhkan. Kita berangkat secepatnya."
Susan pun sepakat dengan bibinya. Bagaimanapun juga ia bertekad untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi kaum penyihir. Juga demi Anna yang telah dihukum dengan begitu keji.
Setelah makan malam, keduanya mengemasi barang dan mempersiapkan segala sesuatu yang mereka butuhkan. Meski tak tahu rintangan seperti apa yang harus dihadapi, tak ada keraguan sedikit pun yang terbersit di benak Susan. Melihat sendiri kekejian terhadap Anna membuat tekadnya untuk berjuang sudah bulat.
***
Anna mengerang pelan ketika kesadarannya mulai pulih. Matanya perlahan terbuka untuk mengamati kondisi sekitar. Ruangan itu cukup besar dengan pencahayaan dari beberapa batang lilin yang tergantung di langit-langit. Perabotannya cukup lengkap dengan meja dan kursi kayu sederhana. Sementara itu, Anna merasakan tubuhnya terbaring di atas sebuah kasur yang empuk.
Di mana aku? gumamnya pelan. Anna merasa sama sekali tak mengenali tempat itu. Dari kesan pertama yang ia dapat, dirinya seperti sedang berada dalam kamar seorang bangsawan yang tak terawat. Barang-barang di sekelilingnya tak banyak dijumpai di rumah orang biasa.
Ingatan Anna kembali pada kejadian mengerikan ketika tubuhnya terikat di tiang bakar sementara panas membara menjilati kulit tubuhnya. Berkat kemampuan sihirnya, luka bakar yang sebelumnya ia derita kini sebagian besar telah sembuh dengan sendirinya.
Siapa kelompok berkuda itu? Apakah aku akan selamat? Ataukah mereka juga berniat jahat? Pertanyaan itu kini berputar-putar di dalam benak.
Setelah kesadarannya penuh kembali, Anna menggerakkan sendi-sendinya yang terasa kaku. Ia lalu bangkit dari tempatnya terbaring dan duduk di situ sambil melihat-lihat lagi kondisi di sekitarnya.
Sebuah jendela tampak di salah satu sisi dinding menampakkan pemandangan kota Kingsfort di kala malam. Gadis itu pun berjalan mendekatinya.
Tinggi sekali, apakah aku sedang berada di sebuah menara? tanya Anna dalam hati sambil memandang ke kejauhan.
Bersamaan dengan itu, pintu kamar tiba-tiba berayun terbuka. Anna terhenyak dan langsung menatap ke sana.
Sesosok pria muda berpakaian mewah layaknya seorang bangsawan tampak berdiri di ambang pintu. Wajahnya cukup rupawan dengan hidung mancung dan tatapan mata yang tajam. Kulitnya putih sementara rambutnya berwarna cokelat gelap dan sedikit bergelombang.
Pria itu menutup pintu lalu berjalan mendekati Anna sambil menyapa, "Hai, kau sudah sadar rupanya." pria itu tersenyum lalu duduk di sebuah kursi yang kosong dekat pembaringan Anna.
"H-hai," sahut Anna tergagap. Ia lalu ikut duduk di tepi pembaringan yang agak jauh dari sosok asing yang baru saja datang.
Sepertinya aku pernah melihatnya, batin Anna.
"Namaku Andrew. Maaf telah membawamu ke sini." Suara itu terdengar ramah, membuat Anna merasa lebih tenang. "Kudengar kau seorang penyihir yang bisa menyembuhkan orang?" tanyanya langsung ke inti permasalahan.
Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Anna justru terdiam karena takut. Pengalaman buruk yang ia alami sebelumnya membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati ketika hendak membongkar identitasnya sebagai seorang penyihir. Ia hanya memandangi iris mata hitam Andrew dengan penuh keraguan.
"Tenanglah, kau tak perlu takut. Aku sama sekali tak berniat jahat." Perkataan Andrew itu setidaknya berhasil membuat Anna sedikit tenang. "Ayahku sedang sakit. Banyak tabib telah datang untuk mencoba menyembuhkan tetapi hasilnya nihil."
Mendengar penjelasan itu, Anna kini paham bahwa sosok yang berada di hadapannya saat itu adalah sang pangeran. Ia teringat pernah melihat sosoknya saat proses persidangan berlangsung.
"Apakah kau bersedia mencobanya?" tanya Andrew lagi ketika melihat Anna masih terdiam.
Jeda sesaat kemudian, Anna akhirnya menganggukkan kepala dengan ragu. Gerakannya begitu subtil hampir tak terlihat.
"Jadi, kau bersedia?" tegas Andrew berusaha mengartikan gestur yang dibuat Anna.
"I-iya ...," sahut Anna lirih. "Terima kasih karena sudah menyelamatkanku dari kematian," ujarnya lagi. Kali ini sambil menunduk hormat.
"Tak perlu terlalu formal. Namamu Anna bukan? Panggil saja aku Andrew." Keduanya kini saling bertatap.
"Ta-tapi ... kau adalah pangeran?"
"Ya, maka dari itu kau harus menaati keinginanku," sahut Andrew sambil tersenyum. "Sejujurnya aku tak terlalu suka dengan segala macam aturan kerajaan."
"B-baiklah kalau begitu," gagap Anna. "Kapan aku bisa melihat kondisi raja?"
Andrew terdiam sejenak. "Kurasa saat ini waktunya belum tepat. Kau telah menjadi buah bibir di seluruh kota. Banyak yang mencarimu sekarang, bahkan ibuku sendiri ikut mendukung pencarianmu dengan membantu mengerahkan pasukan kerajaan. Entah kenapa, dia tampaknya tak begitu menyukai penyihir." Andrew mendesah pelan. "Diamlah di sini dulu selama beberapa hari. Nanti setelah suasana cukup tenang, aku akan mengusahakan pertemuan dengan ayahku."
"Baik ... Pang ... eh ... m-maksudku Andrew."
Mendengar itu, sang pangeran pun tersenyum tipis. "Saat ini kau berada di puncak menara kastel Kingsfort. Untuk sementara jangan keluar dulu. Tak ada yang tahu keberadaanmu di sini. Aku telah mempertaruhkan reputasiku dengan menyelamatkan dan menyembunyikanmu di sini."
Anna mengangguk pelan. Ia sadar bahwa dirinya kini berhutang nyawa pada sang pangeran.
"Baiklah, kau pasti sudah lapar setelah pingsan selama seharian. Aku akan memerintahkan pelayan untuk membawakan makanan. Katakan saja padanya apa yang kau butuhkan." Setelah itu Andrew bangkit dari kursinya dan beranjak pergi.
Dia perempuan yang manis, gumamnya sambil tersenyum tipis dan menutup pintu kamar Anna.
Sepeninggal Andrew, Anna melamun sendiri di dalam ruangan. Berbagai pertanyaan berseliweran dalam benaknya. Apakah ia akan aman di sini? Benarkah Andrew bisa dipercaya? Meski masih ragu, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan saat itu.
Tak lama berselang, terdengar ketukan di pintu yang membuyarkan lamunan Anna. Ia pasti pelayan yang dikirim Andrew, batinnya.
"Masuklah," ujarnya.
Seiring pintu berayun terbuka, sesosok gadis muda berambut cokelat masuk ke dalam ruangan sambil membawa nampan berisi makanan. Wajahnya seputih susu, hidungnya mancung, dan iris matanya hitam legam. Ia tidak tinggi, hampir sama seperti Anna.
"Alice?" panggil Anna. Ia mengenali sosok gadis pelayan itu. Mereka pernah menderita bersama kala disekap oleh para pedagang budak.
"A-Anna?" sahut Alice ragu sambil meletakkan nampannya di meja. Ia sama sekali tak pernah menyangka akan bertemu kawan lamanya itu lagi.
Tanpa menunggu, Anna langsung menghambur memeluk Alice. "Syukurlah, kau berhasil lolos dari mereka ...." Matanya mendadak basah karena haru.
Ingatan mengerikan kala keduanya disekap menyeruak memenuhi benaknya. Memori ketika bagaimana mereka berdua sempat berencana untuk kabur tapi tertangkap dan disiksa; kenangan saat mereka menghabiskan hari-hari penuh penderitaan dalam genangan air mata; juga betapa mereka berusaha saling menguatkan satu sama lain, hanya untuk tetap memiliki pengharapan akan hari esok.
"Ya, aku beruntung ...," lirih Alice. "Tak lama setelah kau dibeli oleh nona muda Fernir, Ratu Julia berkenan membeliku. Kini aku menjadi pelayan di keluarga kerajaan," sahut Alice sambil membalas pelukan Anna erat. Mereka pun terdiam selama beberapa saat karena larut dalam haru.
"Lalu apa yang membawamu kemari? Bukankah seharusnya kau tinggal di Fortsouth?"
"Ceritanya panjang," Anna mendesah lalu melepaskan pelukan.
"Kalau begitu aku akan menemanimu sampai tengah malam," sahut Alice sambil tersenyum.
"Apakah ratu tak akan mencarimu?"
"Kurasa tidak, ini sudah malam. Jika pun dia membutuhkan bantuan, para pelayan lain juga sudah selesai dengan pekerjaan mereka. Dia tak harus mencariku."
"Baiklah kalau begitu," sahut Anna sambil mengambil tempat duduk bersiap memulai cerita.
"Tunggu, sebaiknya kau makan dulu. Pangeran sudah mengingatkanku untuk tidak membiarkanmu kelaparan." Alice tersenyum jahil.
"Apa maksud senyuman itu, huh?" tanya Anna dengan tatapan menyelidik.
"Ah ... bukan apa-apa." Alice menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Setelah itu, Anna pun makan ditemani Alice. Keduanya saling bertukar cerita mengenai kehidupan masing-masing setelah berhasil lolos dari sang pedagang budak. Canda tawa tak jarang mewarnai perbincangan seru mereka. Meski sempat hampir mati terbakar, Anna bersyukur karena bisa bertemu lagi dengan Alice, sang kawan lama yang kini membuat malam kelabunya kembali berwarna.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro