Bab 6
Saat itu sudah lewat setengah jam sehingga Susan bisa kembali menghilang. Namun, setelah merapal mantra dan berniat keluar, gadis itu teringat bahwa ada dua orang penjaga di balik pintu. Meski raja dan ratu masih terlelap, penjaga itu tentu akan curiga jika melihat pintu kamar terbuka dengan sendirinya.
Apa yang harus kulakukan? gumamnya dalam hati. Perempuan itu menimbang-nimbang antara dua pilihan. Mendobrak keluar sekarang atau tetap bersembunyi hingga pagi menjelang, lalu menyelinap tanpa terlihat ketika pintu dibuka.
Susan pun bergumul dalam hati. Pilihan pertama cukup berisiko mengingat saat ini pintu kastel juga kemungkinan besar sedang ditutup. Meskipun ia berhasil lolos dari kedua penjaga di depan kamar, melewati gerbang kastel akan menjadi suatu kemustahilan. Ditambah lagi keberadaan anjing-anjing penjaga di sana yang mungkin akan bisa menemukannya meski ia sedang tak terlihat.
Setelah mempertimbangkan segala risiko, pada akhirnya Susan memutuskan untuk menunggu hingga pagi. Sambil duduk meringkuk, ia terus berjuang untuk tetap terjaga. Akan runyam jadinya jika sampai ia tertidur dan ditemukan ketika khasiat ramuan menghilang telah habis.
Meski sangat bosan, tak ada hal lain yang bisa ia lakukan selain tetap duduk dalam diam. Tak boleh ada suara yang dibuatnya atau ratu bisa-bisa terbangun. Sambil melamun, pikirannya pun berkelana membayangkan seperti apa Pulau Barnes tempat ayah dan neneknya disekap.
Ayah, nenek, aku akan segera menyelamatkan kalian, batinnya.
Setelah berjam-jam, penantian panjang Susan akhirnya berakhir ketika terdengar suara ayam jantan berkokok. Tak lama kemudian, sang Ratu pun terbangun. Ia beranjak dari peraduannya untuk mengambil segelas air dan meminumnya. Setelah sedikit meregangkan tubuh, ia membuka tabir penutup jendela dan membiarkan sinar mentari menyeruak masuk menerangi kamarnya. Matanya yang berwarna cokelat menyipit selama beberapa saat sebelum akhirnya kembali normal.
Setelah memeriksa sejenak kondisi Raja Agra yang masih terbaring lemah, sang ratu melangkah ke dekat pintu.
Apakah ini kesempatanku? Batin Susan dalam hati. Ia pun beringsut dan mengambil ancang-ancang untuk melesat keluar ketika nanti pintu dibuka.
Ratu Julia membuka pintu kamarnya lalu melongok keluar. "Panggilkan Alice." Perintahnya pada salah seorang penjaga yang langsung pergi untuk melaksanakan perintah.
Meski sudah bersiap, rupanya saat itu bukan waktu yang tepat bagi Susan untuk menyelinap keluar. Bukaan pintunya terlalu sempit dan hanya cukup untuk ratu Julia menyelipkan kepala. Gadis itu pun terpaksa mengurungkan niat dan harus menunggu lebih lama lagi. Jantungnya terasa berdebar semakin kencang. Perasaannya mengatakan bahwa waktu dua belas jam miliknya sudah hampir habis.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu bersamaan dengan suara seorang perempuan, "Permisi, Yang Mulia."
"Buka saja, pintunya tidak terkunci," sahut sang ratu dari dalam kamar pada Alice.
Pintu pun terbuka menampilkan sesosok gadis berambut cokelat gelap. Ia mengenakan pakaian lengan panjang hitam dengan celemek putih menutupi dada hingga lututnya. "Anda membutuhkan saya, Yang Mulia?" tanya sang pelayan sopan dari depan pintu.
"Hangatkan air mandi untukku." Perintah Ratu Julia.
"Baik, Ratu," sahut Alice sambil membungkuk takzim.
Sementara itu, Susan yang melihat pintu terbuka cukup lebar, tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera melesat keluar melewati Alice yang tampak agak kebingungan karena merasakan seperti ada embusan angin yang melewatinya.
Berhasil keluar dari kamar, Susan bergegas berlari secepat yang ia bisa. Ia tak mau tertangkap karena khasiat ramuannya habis. Dengan jantung berdegup kencang memompa adrenalin ke seluruh tubuh, gadis itu berkelit dengan gesit ketika beberapa penjaga tampak berpatroli di koridor-koridor kastel. Peluhnya pun menetes meninggalkan jejak kecil di lantai berbatu. Beruntung tak ada orang yang menyadari hal seremeh itu.
Setibanya di gerbang kastel, Susan tak perlu menunggu lama karena pintu sedang terbuka. Beberapa orang prajurit baru saja tiba usai bertugas dari patroli malam. Gonggongan anjing yang menyadari kehadirannya pun tak begitu dihiraukan oleh para penjaga. Mereka lebih sibuk bercanda dan tertawa satu sama lain.
Kelegaan seketika menyeruak dalam dada selepas ia berhasil lolos dari dalam kastel. Sambil mengatur napas, Susan terduduk sejenak di tepi jalan.
Karena sudah sangat mengantuk dan kelelahan, Susan memutuskan untuk pergi ke rumah lamanya alih-alih kembali ke pondok Fiona yang terletak jauh di tengah hutan.
Tanpa menunggu lagi, Susan melangkah menyusuri jalanan kota. Ia segera masuk dan menutup pintu setibanya di sana. Bersamaan dengan itu, tubuhnya berangsur kembali tampak.
Hufft ... untunglah. Tepat pada waktunya. Susan menghela napas lega. Setelah memasuki kamar, gadis itu segera merebahkan tubuh di pembaringan dan terlelap tak lama kemudian.
***
Sementara itu, di kuil Herod akan dilangsungkan persidangan untuk Anna. Seorang gerpa muda datang dan membuka pintu teralis besi tempat penyihir itu disekap. Suara berkelontangan nyaring terdengar ketika rantai terbuka berayun menghantam teralis besi.
"Ikut aku! Persidanganmu akan segera dimulai!" titah sang gerpa pada Anna yang masih duduk meringkuk ketakutan di sudut ruangan.
Karena tak kunjung beringsut dari tempatnya, gerpa itu pun tak sabar lalu menyeret Anna keluar. "Cepatlah!" umpatnya kasar. Gadis itu pun terpaksa mengikuti langkah sang gerpa melewati deretan tahanan lain.
"Apa sihirmu tak bisa membebaskanmu?!" ejek salah seorang tahanan pada Anna.
"Jika kau bisa membebaskan diri, tolong bebaskan aku juga," sahut tahanan yang lain. Rupanya kabar bahwa Anna adalah seorang penyihir telah menyebar dengan cepat di kalangan para tahanan.
Anna memilih untuk mengabaikan suara-suara itu. Kepalanya sudah penuh dengan kekhawatiran akan hukuman yang akan dijatuhkan padanya.
Apakah mereka benar-benar akan membakarku ... membayangkannya saja Anna sudah sangat ketakutan. Otot-ototnya terasa melemah dan kakinya seperti berat melangkah. Ia hanya bisa terus menunduk sambil berjalan terseok mengikuti gerpa yang menggiringnya.
Karena ruang persidangan telah penuh, banyak orang yang penasaran tampak berkumpul di halaman kuil. Semenjak para gerpa mendapatkan dukungan raja untuk mengadili perkara, belum pernah ada seorang penyihir pun yang disidang. Penyihir terakhir yang tertangkap hanya dihakimi massa dan dibakar tanpa melalui persidangan.
Melewati kerumunan massa yang tampak mengerikan, Anna digiring ke aula persidangan dan didudukkan di hadapan para juri. Herbert Abner, sang gerpa kepala akan memimpin persidangan.
Pangeran Andrew juga tampak hadir di situ untuk mewakili ayahnya yang sedang sakit. Selama beberapa detik, ia sempat menatap mata Anna yang tampak begitu sedih, seolah memohon pertolongan padanya.
Beberapa saat kemudian, setelah membuka persidangan dengan doa, Herbert langsung menanyai Anna. "Kau didakwa menyembuhkan orang pada saat peribadatan menggunakan sihir. Apakah kau mengakui perbuatanmu?" tanya Herbert pada Anna.
Anna yang begitu ketakutan tidak mampu menjawab sepatah kata pun. Ia hanya diam tertunduk sementara air matanya terus mengalir.
"Kau mendengar pertanyaanku bukan? Jika tak menjawab, kau bisa dihukum lebih berat," ujar Herbert lagi.
Mendengar perkataan sang gerpa, Anna akhirnya mengangguk pelan. Ia sadar bahwa dirinya tak mungkin mengelak karena telah tertangkap basah.
"Kau tidak tampak seperti warga kota ini. Apakah kau tahu bahwa perbuatanmu dilarang oleh hukum agama? Waktu peribadatan harus dikhususkan bagi Tuhan. Segala aktivitas di luar kegiatan keagamaan dilarang untuk dilakukan." Herbert melanjutkan penyelidikan terhadap Anna.
Mendengar pertanyaan itu, Anna menggeleng perlahan sambil menatap Herbert dengan mata nanar memohon belas kasihan. Ia memang tidak tahu jika perbuatannya terlarang---setidaknya sampai pria tua yang ia tolong mengatakannya.
"Apakah kau tidak menyampaikan padanya kalau perbuatannya terlarang, Tuan Frans?" Herbert kini ganti menanyai sang pria tua yang ditolong Anna. Ia juga hadir di situ sebagai saksi.
"Tidak, Yang Mulia. Maafkan hamba yang bersalah tidak memperingatkannya," jawab sang pria tua. Ia berharap pernyataannya bisa meloloskan Anna dari jerat hukum.
"Apakah ada yang bisa memperkuat atau menyanggah fakta yang baru saja mereka sampaikan?" Kini Herbert melemparkan pertanyaan kepada para hadirin.
Seorang gerpa yang menangkap Anna pun bangkit berdiri lalu berkata, "Itu tidak benar, Yang Mulia. Hamba mendengar Tuan Frans telah memperingatkan penyihir itu, tetapi dia sama sekali tak mengindahkannya dan memilih untuk tetap meneruskan pelanggaran."
"Terima kasih untuk keterangannya. Apakah ada yang ingin menyampaikan pendapat lain?" Herbert melanjutkan persidangan.
Bersaman dengan itu, seorang pria paruh baya dari antara kerumunan tiba-tiba berteriak, "Ia seorang penyihir! Bakar saja dia agar tidak menimbulkan keresahan di kemudian hari. Pasti dia yang menyebabkan raja kita sakit!"
Detik itu juga Anna merasa jantungnya seperti mencelus. Dengan tatapan kabur akibat air mata, ia hanya bisa menatap sosok sang pria kejam yang menginginkan kematiannya.
"Apakah kau punya bukti yang menguatkan tuduhanmu itu?" sanggah Herbert.
"Jelas-jelas dia seorang penyihir. Apakah maksudmu aku harus membuktikan sihir?" jawab pria itu sinis. "Jika kau bisa membuktikan sihir, entah penyihir itu yang bodoh atau kau sendiri juga seorang penyihir." Jawaban pria itu seketika disambut riuh oleh orang-orang yang ada di situ.
"Dia benar! Bagaimana kau bisa membuktikan sihir?"
"Dia tertangkap basah menggunakan sihir! Itu saja sudah cukup!"
"Kehadirannya di sini akan menimbulkan keresahan."
"Tak boleh ada penyihir di sini!"
"Enyahkan dia!"
"Bunuh dia!"
"BAKAR DIA!"
Seketika atmosfer persidangan pun berubah memanas. Teriakan dari orang-orang yang ada di situ membuat suasana menjadi begitu mengerikan. Apalagi bagi seorang Anna yang didakwa dengan berbagai macam tuduhan. Bagaimanapun juga, ia hanyalah seorang remaja perempuan biasa.
Dengan tubuh menggigil, ia hanya bisa menatap kosong pada Tuan Herbert sementara telinganya pengang akibat teriakan dari kerumunan mengerikan yang terus menuntut hukuman baginya.
Tuan Herbert mengangkat tangannya untuk menenangkan para hadirin. "Aku hanya bisa menemukan pelanggaran terhadap tindakannya menyembuhkan orang lain saat peribadatan! Pelanggaran kecil itu tidak cukup untuk membuatnya dihukum mati."
Namun, orang-orang tampaknya tidak peduli dengan argumentasi Herbert. "Jika kau menolak membakarnya, kami yang akan melakukannya!" teriak salah seorang dari antara kerumunan.
"Selain hukum untuk pendosa, agama Herod juga mengajarkan kasih untuk sesama. Membakar seseorang hidup-hidup adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan!" balas Herbert.
"Dia bukan sesama kami! Dia seorang penyihir!"
"Benar! Penyihir tidak perlu dikasihani!"
"Kau tidak perlu ikut campur! Kami yang akan menghukumnya."
"Hukum dia!"
"Bakar! Bakar! BAKAR!" Teriakan massa kini semakin keras dan menjadi tak terkendali lagi. Sementara itu, orang-orang dari luar mulai berusaha merangsek ke dalam aula persidangan. Karena banyaknya orang, gerpa yang bertugas menjaga ketertiban tak bisa berbuat banyak.
"BAKAR! BAKAR! BAKAR!" Orang-orang itu berteriak semakin kencang tanpa memedulikan Anna yang sudah ketakutan setengah mati.
Melihat situasi yang semakin tidak kondusif, Tuan Herbert akhirnya menyerah. Ia pun berkata lantang, "Baiklah, jika itu yang kalian inginkan. Dengan ini kunyatakan bahwa diriku tidak terlibat dalam penghukuman manusia ini. Semoga Tuhan mengampuniku dan kalian semua." Setelah itu, Tuan Herbert pergi meninggalkan aula persidangan diikuti oleh para gerpa yang lain.
Sepeninggal Tuan Herbert dan para gerpa, suasana menjadi semakin mencekam bagi Anna. Kerumunan massa kini mengelilingi dan meneriakinya dengan berbagai umpatan kasar. Gadis itu pun lumpuh, terperangkap dalam kengerian yang amat sangat.
Tanpa belas kasihan, beberapa orang meludahinya, sementara yang lain menamparinya. Kini, perempuan itu sama sekali tak berani membuka mata dan hanya bisa menunduk sambil menangis pilu. Meski begitu, mereka sama sekali tidak peduli. Anna benar-benar sendiri saat itu. Sungguh mengerikan ketika harus menghadapi kematian seorang diri.
"Ayo kita bawa dan bakar dia di luar tembok kota!" Ujaran salah seorang dari antara kerumunan itu disambut riuh oleh yang lain.
"Benar! Jangan menodai kota kita dengan abu dan darahnya."
"Jangan sampai kota kita menjadi terkutuk!"
Teriakan-teriakan mengerikan itu terasa semakin melumpuhkan Anna. Ia pun hanya bisa pasrah ketika beberapa orang dari antara kerumunan itu menyeret tubuhnya dengan kasar. Mereka lalu mengaraknya melewati jalanan kota, menimbulkan keributan yang memekakkan telinga. Para wanita yang tak tega melihat perlakuan kejam pada Anna memilih masuk rumah dan menutup pintunya.
Saat itu hari sudah sore ketika mereka tiba di sisi luar tembok kota. Beberapa orang mempersiapkan tiang dan kayu bakar, sementara yang lain mengerumuni Anna yang sedang terduduk lesu di tanah dengan tangan dan kaki terikat. Hujatan dan caci maki yang terus diteriakkan membuat perempuan itu seperti mati rasa. Kaki tangannya kaku dan matanya nanar, sementara tubuhnya gemetar dan basah oleh keringat dingin.
Beberapa menit itu terasa sangat menyiksa bagi Anna. Ibu ... aku akan menemuimu sebentar lagi, ia merintih dengan air mata yang terus mengalir. Hanya pemikiran itulah yang setidaknya bisa membuatnya sedikit lebih tenang. Pemikiran bahwa ia akan mengakhiri semua penderitaan dan bertemu lagi dengan orang yang paling ia sayangi.
Tak lama kemudian, setelah semua siap, Anna pun diseret dan diikat pada sebuah tonggak kayu yang diletakkan di atas tumpukan kayu bakar.
Orang-orang kini berdiri mengelilingi tiang bakar untuk menyaksikan hukuman yang sudah lama tak pernah terjadi. Sementara itu, Anna yang ketakutan memilih menengadah dan menatap langit sore yang tengah tertutup awan.
Seseorang kemudian maju sambil menggenggam sebatang obor. Ia menyulut tumpukan kayu bakar, membuatnya berkobar. Asap hitam yang membumbung tinggi membuat Anna terbatuk-batuk dan semakin kesulitan memasukkan oksigen ke dalam paru-parunya.
Sementara itu, Susan yang terbangun karena mendengar keributan, juga datang untuk melihat apa yang terjadi. Ia amat terperanjat ketika melihat Anna telah terikat di tiang bakar sementara api menyala membakar ranting-ranting di bawahnya.
Susah payah, Susan berusaha menembus kerumunan manusia yang berkumpul di situ. Namun, belum sampai ia tiba di barisan depan, seseorang menutup mulut dan hidungnya menggunakan saputangan. Bau obat bius menyengat menusuk hidungnya dan sesaat kemudian, semua menjadi gelap. Ia pun jatuh kehilangan kesadaran.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro