Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 39

Anna berjalan pelan menuju tempat para pasukan Doria beristirahat. Ia melangkah di antara mereka yang sedang terlelap, menuju sebuah kereta kuda yang diyakininya sebagai tempat Isabel berada. 

Meski tak terlihat, gadis itu tetap merasa jantungnya berdebar kencang. Ia harus menjaga langkah agar tidak sampai menimbulkan suara dan membangunkan para prajurit. Matanya bergerak awas mengamati beberapa orang yang sedang duduk berjaga sambil terkantuk-kantuk.

Anna mengembuskan napas panjang begitu tiba di dekat kereta. Ia merasa sedikit lega ketika tampaknya tak ada seorang pun yang menyadari kehadirannya. Kereta di hadapannya berbentuk seperti gerobak berukuran 2 x 1.5 meter dengan kain yang disampirkan pada rangka kayu di bagian atas, membuatnya jadi mirip kelambu.

Berkejaran dengan waktu, Anna langsung menyingkap sedikit kain penutup gerobak dan mengintip ke dalam. Ia begitu sedih melihat kondisi Isabel yang terlelap di sebelah Daniel. Tangan dan kakinya terikat pada gerobak, sementara beberapa bagian tubuhnya tampak memar.

Astaga, apa yang sudah dilakukan si brengsek itu, gumam Anna.

Tak mau berlama-lama, ia pun menggoncang perlahan tubuh Isabel, membangunkannya lembut. Ia tentu tak ingin mengejutkannya atau Daniel akan terbangun.

Isabel pun membuka sedikit matanya berusaha memahami situasi.

"Isabel, ini aku, Anna," bisiknya sambil melongok ke dalam kereta.

Isabel sontak membuka mata lebih lebar, berusaha mencari sang sumber suara.

"Kau tak dapat melihatku. Aku menggunakan ramuan menghilang. Tenang saja, aku akan melepaskan ikatanmu," bisik Anna lagi.

Isabel pun menurut. Ia tetap diam di posisinya sampai Anna mengulurkan tangan untuk melepaskannya. Karena ikatan itu terletak dekat tepi gerobak, cukup mudah bagi Anna untuk mengurai simpulnya dari luar.

Setelah itu, ia menyerahkan sebotol ramuan menghilang yang telah dipersiapkannya. "Minum ini," ujarnya.

Isabel langsung menenggak habis ramuan itu,

"Esca Ientes. Kau harus merapalkannya," lirih Anna kemudian.

Mengikuti bisikan tanpa wujud itu, Isabel pun mengucap mantranya. Dalam beberapa detik kemudian, tubuhnya menghilang dan ia bisa melihat Anna. Seketika itu juga, air matanya menetes. Ia terharu karena akhirnya ada yang datang untuk menolong.

"Bagaimana dengan pakaianku?" tanya Isabel. Meski tubuhnya menghilang, pakaiannya—karena belum direndam dalam ramuan menghilang—tetap terlihat.

"Lepaskan saja. Aku sudah membawakanmu ini." Anna melepaskan mantel yang ia pakai lalu menyerahkannya pada Isabel.

Isabel pun melepas pakaian dan membungkus tubuhnya dengan mantel pemberian Anna. Kini ia sama sekali tak terlihat. Sambil mengendap keluar dari kereta, ia melirik pada Daniel yang tampak masih terlelap sambil mendengkur.

Saat itu Isabel merasa jantungnya berdebar begitu kencang dan hatinya terasa berdesir. Dengan telapak yang basah, ia menerima uluran tangan Anna yang menolongnya keluar dari kereta. Selangkah lagi ia akan meninggalkan sosok yang selama ini telah membuatnya begitu menderita.

Beruntung, saat itu para penjaga tengah mengantuk sehingga tidak melihat kain kereta yang tersingkap secara ganjil.

"Ayo, kita harus cepat sebelum ia terbangun," bisik Anna. Setelah itu, keduanya pun berjalan berjingkat memasuki hutan.

Setibanya kembali di tempat Bram menunggu, Anna segera mengambil pakaian yang telah dipersiapkannya untuk Isabel. "Pakai ini," ujarnya. Ia tahu bahwa sebuah mantel sama sekali tidak memberikan perlindungan yang cukup bagi tubuh Isabel.

Melihat pakaian yang bergerak-gerak sendiri, Bram menyadari bahwa Anna telah kembali. "Kalian berhasil?" tanyanya semringah.

"Ya, ini kukembalikan kekasihmu," sahut Anna. Ia lalu merapal mantra untuk membuat tubuhnya kembali tampak. "Esca orientes," serunya.

Setelah mengenakan pakaian yang lebih layak, Isabel pun menirukan mantra Anna. Dalam beberapa detik, sosoknya pun muncul di hadapan Bram.

Keduanya saling bertatap dengan mata yang basah lalu berpelukan sambil terisak penuh haru.

"Terima kasih," bisik Isabel.

Bram yang mendapatkan kekasihnya kembali pun ikut menitikkan air mata. "Maaf, sudah membiarkanmu menderita terlalu lama," isaknya. Lalu keduanya kembali menenggelamkan diri dalam pelukan satu sama lain.

"Err ... kurasa kita sebaiknya bergegas," ujar Anna memecah keheningan. Sambil melompat ke atas kuda di belakang ajudannya, gadis itu menunjuk pada para pasukan Doria yang tampak mulai tersadar akan hilangnya Isabel. 

"Baiklah, ayo kita pergi!" Bram menggandeng tangan Isabel, membantunya menaiki kuda lalu bergegas memacunya secepat mungkin menuju ibu kota.

Sepanjang perjalanan, Isabel terus memeluk Bram dari belakang. Penderitaannya selama beberapa hari kemarin seolah terbayar dengan kembalinya sang kekasih di sisinya. Malam itu, mereka terus memacu kuda melesat menembus hutan untuk menyusul rombongan pasukan Kingsfort.

Kini, perang sudah dimenangkan dan sang putri telah berhasil diselamatkan. Karena Karl dan pasukannya harus bertahan di Bergstone untuk membangun kembali kekuatan, Ethardos pun berharap bisa menikmati ketenangan selama beberapa waktu ke depan.

***

Sebuah portal terbuka. Jack, Susan, Fiona, dan Lily melompat keluar dan tiba di Teluk Gemanda. Setelah mendapatkan lumut api, mereka kini bergerak untuk memburu mutiara Herion. Suasana di sekitar pantai siang itu cukup sepi. Hanya ada beberapa orang nelayan yang tampak membereskan ikan hasil tangkapan.

Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut, Jack pun bertanya pada salah seorang nelayan yang sedang beristirahat di tepi pantai. 

"Selamat siang, maaf, apakah kau tahu mengenai mutiara Herion?"

"Ya, semua orang di sini pernah mendengar mengenai mutiara itu."

"Kalau begitu bisakah kau membantu kami untuk mendapatkannya?"

"Maaf, aku tak bisa. Tak pernah ada yang bisa mengambilnya. Mutiara itu hanya seperti legenda bagi kami."

"Oh ya? Bagaimana bisa begitu?" tanya Fiona penasaran. "Apakah tiram-tiram itu berada di perairan dalam?"

"Tidak juga. Hanya saja, ketika seseorang sudah menyelam untuk mengambil tiram-tiram itu, ia seperti lupa diri dan malah berenang semakin jauh. Mereka seperti terkena halusinasi dan menghilang di dasar laut."

"Aneh sekali?" gumam Jack. "Apakah kau bersedia mengantarkan kami ke sana?"

"Aku tidak cukup bodoh untuk mengambil risiko dan membuang-buang waktu demi hal yang mustahil. Bukankah baru saja kukatakan bahwa tak pernah ada yang bisa mengambilnya?" sahutnya ketus. "Tapi jika kalian tetap keras kepala, pergilah ke dekat karang di sana. Kerang Herion banyak ditemukan di sekitar situ," ujarnya lagi.

"Baiklah, terima kasih," sahut para penyihir itu. Mereka lalu berjalan menuju tempat yang ditunjuk sang nelayan. Air laut di situ sangatlah jernih. Telapak kaki mereka yang terendam di dasar laut dapat terlihat dengan jelas. Ikan-ikan kecil tampak berenang di antaranya seolah menyapa kehadiran sang pendatang. 

Setelah berjalan cukup jauh hingga air laut merendam setinggi perut, Fiona berhenti sejenak, mencedok air laut menggunakan kendi yang sudah diisi dengan tulang ikan dan lumut, lalu mencelupkan ujung jarinya sambil merapal sebaris mantra, "Rapis motirum." 

Sesaat berikutnya, sinar kehijauan tampak terpancar dari larutan itu, mengubahnya menjadi ramuan yang bisa membantu mereka bernapas dalam air. "Kalian siap?" tanya Fiona pada yang lain sebelum membagikan ramuannya.

"Tunggu, sebelum kita menyelam ada sesuatu yang ingin kusampaikan," ujar Susan. "Nelayan itu tadi berkata mengenai halusinasi. Setelah kupikir-pikir, bisa jadi itu adalah sihir."

"Bisa jadi," sahut Lily. "Apakah kau bisa melindungi kami dari pengaruh sihir halusinasi?"

"Tidak, aku hanya bisa menyadarkan kalian jika sampai itu terjadi."

"Kalau begitu ada baiknya kita berenang saling berdekatan. Jangan sampai ada yang terpisah," timpal Fiona. 

"Baiklah, semoga semuanya berjalan lancar," timpal Jack.

Satu per satu dari mereka lalu mulai minum ramuan Fiona. Tak lama, suhu tubuh mereka menurun dan sesuatu seperti selaput muncul menyelimuti mata. Jack lalu segera menyelam diikuti Lily, Fiona, dan Susan.

Suasana pun berangsur hening seiring pergerakan mereka ke dasar laut. Hanya terdengar suara gelembung udara yang muncul bersama embusan napas mereka. Di dasar laut terlihat terumbu karang berwarna-warni yang cantik sementara ikan-ikan berenang berkelompok. 

Jack berenang memimpin kawan-kawannya menuju tempat yang ditunjukkan sang nelayan. Sementara itu, Susan berada paling belakang untuk mengawasi jika ada salah seorang yang memisahkan diri.

Tak lama berselang, mereka akhirnya tiba. Sekelompok tiram terlihat di sela-sela karang. Mereka pun segera bekerja dan membukanya satu per satu. 

Namun, belum menemukan apa yang mereka cari, Jack melihat sebuah kerang terbuka dengan mutiara di dalamnya. Agak jauh dari posisi mereka saat itu. Ia lalu bergegas berenang mendekatinya. 

Seketika itu Susan tahu bahwa Jack telah masuk dalam halusinasi. Ia pun menepuk bahu sang ayah, membuatnya tersadar bahwa yang dilihatnya hanya ilusi belaka.

Jack yang tersadar oleh Susan lalu mengatupkan kedua tangan di depan dada sebagai ungkapan terima kasih. Mereka lalu bekerja lagi membuka satu per satu tiram yang ada di sana.

Tiba-tiba Lily melihat sekelebat bayangan berenang dengan cepat dari sudut matanya. Dengan panik, ia pun menunjuk ke sela-sela karang, membuat rekan-rekannya seketika waspada.

Sesaat kemudian, sosok itu kembali muncul. Ia berenang dengan cepat lalu menghilang lagi di balik karang. Tak ada yang tahu apa atau siapa dia. Secara sekilas terlihat ekor seperti lumba-lumba tetapi tubuh dan lengannya menyerupai manusia. Detik berikutnya makhluk itu muncul lagi dan dengan cepat menyergap Fiona, mencengkeram lehernya dengan kuat. 

Kini sosok itu terlihat dengan jelas. Wajahnya menyerupai seorang wanita berambut panjang, hanya saja sekujur tubuhnya dipenuhi semacam sisik dan kakinya berbentuk ekor ikan.

Siren, batin Lily. Detik itu juga ia mengayunkan tangan dan melemparkan sihir menghantam makhluk yang baru saja menyerang, memaksanya melepaskan Fiona.

Namun, ternyata siren itu tidak sendiri. Beberapa ekor kemudian muncul dari sela-sela karang dan menyergap dengan cepat. Keempat penyihir itu kini harus bertarung melawan serbuan siren yang ganas. Beruntung, berkat ramuan Fiona, mereka bisa bergerak dengan lincah di dalam air untuk menghindar atau memberikan perlawanan.

Sementara rekan-rekannya melawan dengan tangan kosong Lily sibuk menembakkan sihir cahaya untuk melindungi diri dan membantu rekan-rekannya. Di dalam air, ia tak bisa menembakkan api ataupun petir yang justru akan menyengat dirinya sendiri.  

Namun, ketika siren-siren yang berdatangan semakin banyak, Lily memutuskan menciptakan sebuah pusaran angin yang berputar di sekeliling mereka. Sihir itu membantu agar para siren itu tak bisa mendekat. 

Sementara itu, Jack, Fiona dan Susan masih sibuk menghadapi dua ekor siren yang ikut terperangkap dalam pusaran air bersama mereka. Susan beruntung karena masih cukup sigap untuk menghindari cakaran seekor siren. Ia lalu menendang lawannya, membuat makhluk setengah manusia setengah ikan itu terempas masuk ke dalam pusaran. 

Namun, berbeda dengan Susan yang berhasil menyingkirkan lawan, seekor siren justru jadi semakin beringas ketika Fiona berhasil melukainya dengan pisau. Tangannya menggenggam pergelangan kaki Fiona, berusaha menyeretnya ke dalam pusaran air. 

Melihat adiknya dalam bahaya, Jack segera bertindak dengan merangkul Susan lalu memintanya memegang tangan Lily. Ia sendiri menyambar pergelangan Fiona lalu merapal mantra teleportasi. 

Sekejap kemudian, mereka muncul kembali di tepi pantai. 

Seekor siren yang menggenggam pergelangan kaki Fiona ikut terbawa bersama. Namun, karena berada di darat, kekuatannya melemah sehingga Fiona berhasil membebaskan diri dengan mudah. Seketika itu juga, wajah siren itu memucat ketakutan sementara sisik di sekujur tubuhnya meluruh. Ia kini tampak seperti seorang gadis dengan ekor yang menggantikan kaki. Merasa takut, ia beringsut di pasir berusaha kabur. 

Namun, Jack berhasil menangkapnya sebelum ia mencapai bibir pantai.

"T-tolong, lepaskan aku. Kami hanya berusaha melindungi wilayah kami," ujar siren itu dengan suara gemetar ketakutan.

"Kami hanya membutuhkan satu butir mutiara Herion. Bantu kami mendapatkannya dan kau akan baik-baik saja," sahut Jack.

"B-baiklah," sahut siren itu. "Tapi mutiara itu ada di dasar laut, kalian harus melepasku kembali ke air."

"Jangan kira kami bodoh! Kau bisa saja kabur begitu masuk ke air!" hardik Lily.

"Lalu bagaimana aku bisa mendapatkannya untuk kalian?" tanya sang siren.

Para penyihir itu terdiam sejenak. Masing-masing memutar otak untuk mencari jalan keluar. Membiarkan siren itu kembali ke air sama saja dengan membebaskannya begitu saja, tetapi kembali masuk ke air juga tampaknya bukan solusi mengingat siren-siren yang ganas menjaga wilayah itu. 

"Sepertinya aku punya cara," ujar Fiona tiba-tiba. "Bawa aku kembali ke rumah, aku perlu mengambil sebuah ramuan," ujarnya pada Jack.

Jack mengangguk lalu segera menciptakan sebuah portal sihir. Sementara Jack dan Fiona pergi, Susan dan Lily menjaga sang siren agar tidak kabur. 

"Apa yang akan kalian lakukan terhadapku?" tanyanya ketakutan.

"Tenanglah, jika kau bersedia bekerja sama, semua akan baik-baik saja," sahut Lily.

 Tak lama kemudian, sebuah portal tercipta lagi. Fiona dan Jack melompat keluar dari situ lalu berjalan mendekati sang siren.

"Ini adalah racun ramuanku yang akan bereaksi setelah dua jam. Kembalilah ke laut dan berikan mutiaranya untuk ditukar dengan penawar racun," ujar Fiona. Ia lalu memasukkan sebutir pil ke mulut sang siren.

Setelah itu, sang siren pergi tanpa sepatah kata  lagi. Ia beringsut di pasir lalu masuk kembali ke laut.

"Apakah kau yakin ia akan kembali?" tanya Lily pada Fiona. 

"Entahlah ... semoga saja ia sayang nyawanya."

"Baiklah, sambil menunggu ayo kita menangkap ikan untuk dibakar," usul Jack yang segera disetujui oleh lainnya.

Sore itu mereka pun menghabiskan waktu di tepi pantai dengan hati gelisah. Seiring waktu berlalu, tak ada tanda-tanda kemunculan dari sang siren. Keindahan matahari terbenam seoolah berusaha menemani detik demi detik yang bergulir begitu lama. Meski siren tadi bisa jadi ingin kembali untuk menukarkan mutiara dengan nyawanya, teman-temannya belum tentu berpikiran sama. Ia bisa saja ditangkap karena berniat mencuri mutiara.  

Hingga ketika matahari sudah hampir tenggelam seluruhnya, siluet sang siren akhirnya muncul di bibir pantai. 

"Itu dia!" seru Susan lega. Mereka lalu segera berjalan mendekati bibir pantai.

"Ini mutiaranya," ujar sang siren sambil menyodorkan sebuah benda bulat kecil berwarna jingga berkilauan. Napasnya terengah akibat racun yang mulai bekerja.

"Terima kasih, ini penawar racunnya," sahut Fiona sambil memberikan sebutir pil berwarna putih. 

Pertukaran itu pada akhirnya berjalan lancar. Fiona dan kawan-kawan mendapatkan apa yang mereka cari sementara siren itu berhasil selamat dan kembali ke habitat asalnya. 

Kini satu bahan lagi telah berhasil didapat, membawa mereka selangkah lebih dekat untuk membangkitkan kembali Stevan--sosok yang dipercaya akan membawa perbaikan bagi nasib kaum penyihir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro