Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 37

Keesokan hari setelah malam pertemuannya dengan Anna, Peter merasa hatinya hampa. Ia lebih banyak diam dan hanya makan sedikit. Pemuda itu pun mengaku sedang kurang enak badan pada Borin yang selalu menanyakan apa yang terjadi.

Ketika itu, Ronald datang mencarinya ke tenda. "Ayo kita mencari lokasi yang lebih sepi. Aku ingin melihat sejauh mana perkembangan sihirmu."

"Tapi dia sedang kurang enak badan," sahut Borin polos.

"Aku tak apa. Ayo pergi," sela Peter. Dalam hati ia berharap latihan sihir bisa mengalihkan kegalauan hatinya.

"Kalau begitu aku ikut!" Borin mendadak ikut bersemangat.

Ketiganya lalu meninggalkan perkemahan prajurit dan berjalan ke sebuah lahan terbuka di dekat hutan. Di sana, Peter mendemonstrasikan ketiga sihir yang sudah ia kuasai; cahaya, angin, dan api.

"Bagus! Kau sudah menguasai dasar-dasar ketiganya. Berikutnya kau tinggal melakukan modifikasi lebih lanjut. Kau bisa menciptakan perisai energi, pusaran angin maupun tembok api." Setelah itu Ronald mempraktekkan apa yang dimaksudnya.

"Invigor das pilia!" serunya sambil menggerakkan tangannya memutar di atas kepala. Dari gerakan itu, muncullah cahaya kekuningan yang memancar seperti air mancur dan membentuk kubah di sekelilingnya.

"Perisai ini bisa melindungi dirimu dari serangan musuh," jelas Ronald. "Cobalah," ujarnya meminta sang murid untuk menyerang.

Peter lalu mencoba memukul perisai sihir Ronald sekuat tenaga. Namun hal itu justru membuatnya meringis kesakitan. Ia merasa seperti sedang memukul tembok batu ketika melakukannya. "Keras sekali, gumamnya."

"Kekuatan perisainya tergantung dari kekuatan sihirmu sendiri. Dan dalam posisi ini tentu saja kau juga tidak bisa balas menyerang."

Peter mengangguk-angguk mengerti. "Lalu apa yang harus kulakukan jika bertemu musuh yang menggunakan perisai?" tanya Peter.

"Perisai ini bisa hancur jika terus menerus diserang. Baik serangan fisik maupun sihir. Jika merasa kekuatanmu lebih besar dari lawan, kau bisa mencoba sihir petir untuk menghancurkannya. Kekuatan sihir petir sangat dahsyat karena energinya terkonsentrasi pada satu titik," jelas Ronald. "Atau, jika punya cukup waktu, kau bisa menunggu hingga lawan kehabisan energi."

"Wow! Ini keren," timpal Borin sambil mengetuk-ngetuk perisai Ronald.

Akan kutunjukkan sihir yang lain juga. Ronald menurunkan tangannya dan perisai itu pun lenyap.

"Irgis Viteour!" Ronald berseru sambil memukul tanah. Dari situ, muncullah kobaran yang merambat hingga sepuluh meter ke depan, membentuk dinding api yang menyala-nyala.

Setelah membiarkan Peter dan Borin terpana beberapa saat, Ronald meniupkan angin kencang yang dikombinasikan dengan energi dingin untuk memadamkannya.

"Pada dasarnya ada lima sihir yang harus dikuasai oleh seorang Ectrum; cahaya, angin, api, petir dan es," jelas Ronald. "Jika sudah menguasai kelima dasarnya, kau bisa mulai bereksperimen untuk memodifikasinya. Mantra yang sama, dengan dasar pikiran dan gerakan yang berbeda akan menghasilkan sihir yang baru. Mantra juga tidak perlu selalu diucapkan secara lantang. Kau cukup merapalnya dalam hati saja."

"Ooh ...," gumam Peter sambil mengangguk-angguk mengerti.

"Baiklah, karena kau sudah menguasai tiga dasar sihir, aku akan mengajarkan dasar sihir yang keempat, yaitu petir." Ronald mengacungkan tongkatnya lalu merapalkan mantra "Vulgr Percutis!"

Sebuah kilatan petir pun menyambar sebatang pohon dan menghanguskannya seketika.

Peter dan Borin langsung berdecak kagum melihatnya.

"Sihir petir termasuk sihir yang cukup sulit karena kau harus benar-benar memusatkan energi besar secara cepat pada ujung jari atau tongkatmu," ujar Ronald.

"Baiklah, akan kucoba." Peter menegakkan postur tubuhnya lalu mengarahkan telunjuk pada pohon mati tadi.

"Vulgr percutis!" serunya.

Namun tak ada yang terjadi.

"Vulgr percutis!" Peter mencoba lagi, tetapi tetap saja tak ada yang terjadi.

Sementara itu, sambil duduk melihat Peter berlatih, Borin bertanya pada Ronald. "Apakah kau bisa memberi saran agar sihirku bisa semakin kuat?"

"Sepanjang pengetahuanku, untuk mempelajari sihir factrum kau harus benar-benar mengenal makhluk yang hendak kau ciptakan. Jika seorang ectrum mengandalkan energi sihir dalam dirinya, seorang factrum harus memiliki ikatan emosional yang kuat dengan ciptaannya."

"M-maksudmu aku harus hidup dengan serigala?" tanya Borin.

Ronald mengangguk. "Kau harus mengerti seperti apa mereka sebenarnya. Apa yang mereka sukai, apa yang mereka benci, ataupun apa yang mereka takuti. Semakin kau memahami ciptaanmu, ikatan emosional kalian akan semakin kuat. Hal itu lah yang akan memperkuat sihirmu. Dan ketika kau sudah benar-benar menyatu dengan mereka, kau bahkan bisa berubah wujud menjadi serigala."

Borin mengangguk-angguk mengerti.

"Masing-masing kelas penyihir itu unik. Jika ectrum mengandalkan pengendalian energi dan gerak tubuh, dan factrum mengandalkan relasi dengan ciptaannya, maka seorang proctrium harus memiliki ingatan yang sangat kuat. Mereka perlu mempelajari berbagai macam bahan dan banyak sekali mantra untuk menjadi seorang penyihir handal.

"Lain pula halnya dengan seorang loctrum. Kau harus memiliki kemampuan spasial yang sangat baik, atau kau akan menghilang lalu tersesat entah di mana. Dan untuk seorang antorum, kemampuan berkonsentrasi sangatlah penting. Begitu konsentrasimu buyar, sihirmu pun lenyap," jelas Ronald.

Mendengar itu, Borin pun duduk termenung. Jalan untuk menjadi seorang penyihir handal ternyata tidaklah mudah.

Ketika hari sudah semakin siang, Ronald pun mengajak kedua sahabat itu untuk kembali ke kota untuk menghadiri pesta pernikahan Isabel dan Daniel. Meski kecewa karena belum berhasil menguasai sihir petir, Peter terpaksa mengikuti ajakan sang guru.

***

Putri Isabel tampil begitu cantik dengan gaun emas off shoulder. Kalung mutiara yang melingkar di leher dan tiara yang menghias rambut pirangnya menambah sempurna penampilannya. Semua yang hadir pun terpana akan pesonanya.

Raja Agra berdiri di samping Isabel untuk mengantarkan putrinya pada Daniel yang telah menunggu di depan bersama Tuan Humphrey. Sang tuan rumah akan bertindak sebagai penghulu karena dianggap cukup senior dan dihormati.

Musik pun dimainkan dan Agra mulai berjalan menggandeng putrinya berjalan menyusuri kebun yang telah diberi hamparan kain serta ditaburi kelopak mawar.

Keduanya terus tersenyum pada semua orang untuk menutupi kenyataan menyakitkan yang tersembunyi di balik kemeriahan pesta. Semenjak tercapainya persetujuan bahwa Doria akan mengirimkan pasukan, Daniel tak pernah membiarkan Isabel keluar dari kamar. Bahkan selama perjalanan dari Doria menuju Girondin, Agra hanya beberapa kali sempat melihat putrinya itu keluar dari kereta kuda. Itu pun selalu bersama Daniel.

Meski tersembunyi di balik senyuman, Bram yang sempat bertatapan dengan Isabel merasakan getar kesedihan yang sangat mendalam. Meski begitu, tak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Dengan tangan terkepal erat, pemuda itu menghela napas gusar.

Setibanya di depan, Agra meninggalkan Isabel saling berhadapan dengan Daniel. Keduanya lalu menaiki podium dan berdiri di bawah sebuah tudung kain putih yang terbentang oleh empat tiang penyangga. Tuan Humphrey sudah berdiri di sana untuk menyambut kedatangan kedua mempelai.

"Yang Mulia Raja Agra, Tuan Daniel dan Putri Isabel, serta seluruh hadirin yang saya hormati, atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk meresmikan pernikahan mereka, dengan ini saya akan mengajukan beberapa pertanyaan," ujar Tuan Humphrey.

Isabel dan Daniel pun mengangguk bersamaan.

"Apakah kau, Daniel Goleman dari Doria bersedia menerima Isabel Alderman dari Kingsfort sebagai istrimu dan berjanji untuk menyayangi serta melindunginya sejak hari ini dan seterusnya?"

"Ya, saya bersedia," sahut Daniel mantap.

Setelah itu Tuan Humphrey berpaling pada Isabel. "Apakah Kau, Isabel Alderman dari Kingsfort bersedia menerima Daniel Goleman dari Doria sebagai suamimu dan berjanji untuk menyayangi serta menghormatinya sejak hari ini dan seterusnya?"

Isabel terdiam sejenak dengan air mata yang mulai menggenang. Lalu, setelah menghela napas beberapa kali, ia berkata dengan suara tercekat,

"Ya ... a-aku bersedia."

"Terima kasih atas jawaban kalian. Sekarang tolong sampaikan sumpah kalian berdua di hadapan para hadirin," ujar Tuan Humphrey.

"Di hadapan langit dan seluruh hadirin di sini, kami Daniel Goleman dan Isabel Alderman, berjanji untuk saling mencintai dan menghormati satu sama lain, dalam suka maupun duka, mulai hari ini dan seterusnya," ucap keduanya bersamaan. Sementara Daniel berkata lantang, suara Isabel sangat lirih hampir tak terdengar.

"Terima kasih. Dengan ini saya nyatakan pernikahan kalian adalah sah!" ujar Tuan Humphrey mengakhiri upacara.

Daniel dan Isabel membungkuk bersama pada Tuan Humphrey lalu berbalik dan membungkuk pada para hadirin.

"Terima kasih atas kesediaan Tuan Humphrey untuk meresmikan pernikahan kami, juga pada para hadirin yang telah bersedia menjadi saksi. Pada kesempatan ini, mari kita berbahagia bersama," Setelah berbicara demikian, Daniel menggandeng istrinya turun dari podium untuk bergabung bersama para hadirin. Musik pun kembali dimainkan dan berbagai macam jamuan dihidangkan.

Beberapa orang tampak mendekati meja tempat Daniel dan Isabel duduk untuk memberikan selamat serta berbagai macam hadiah. Meski hatinya sedih, Isabel terpaksa kembali memasang senyuman palsu untuk menghormati tamu-tamunya.

Bram yang bisa menangkap kesedihan Isabel dari kejauhan tampak sama sekali tidak menikmati kemeriahan pesta. Setelah makan beberapa suap, ia memilih pergi untuk kembali ke tenda.

"Ada apa dengannya?" tanya Borin pada Peter dengan mulut penuh.

Peter hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Hatinya kembali terluka ketika melihat Anna duduk di sebelah Andrew sambil tersenyum ramah untuk menyapa para tamu. Sebagai seorang calon permaisuri, ia mendapat tempat di depan bersama keluarga raja.

Sementara itu Ronald tampak menghampiri Zalika dan Bibi Lilia untuk menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Tuan Humphrey. "Mereka setuju untuk mengatur kembali pernikahan kalian," ujarnya.

"Baguslah!" Bibi Lilia menyambut gembira berita dari Ronald.

"Lalu bagaimana dengan hal itu?" tanya Zalika mengacu pada karakter buruk Dickens.

"Dia sudah berjanji akan berubah," sahut Ronald.

"Tapi bagaimana kalau dia tidak menepatinya?"

"Aku akan tinggal di sini untuk memastikan hal itu," sahut Ronald mantap.

Zalika pun tersenyum mendengarnya. Setidaknya ia merasa sedikit lega ketika mengetahui bahwa akan ada seseorang yang menjaganya.

***

Malam itu, Peter yang masih belum bisa menghapus bayang-bayang Anna dan Andrew berdua akhirnya memutuskan untuk keluar dari tenda, meninggalkan Borin yang telah tertidur pulas. Ia berharap perasaannya bisa membaik dengan menikmati keindahan bintang-bintang yang bertaburan di langit.

Sambil duduk bersandar pada tembok kota, ia menikmati angin malam yang bertiup semilir. Suara gemeresak rumput diiringi derik jangkrik terdengar bagaikan simfoni alam yang mengalun mengisi kekosongan hatinya.

Tanpa terasa, air matanya kembali menetes. Anak itu pun menangkupkan wajah di antara kedua lutut, lalu membiarkan diri menangis sepuasnya. Tubuhnya gemetar dan batinnya menjerit jeri merutuki nasib yang seolah mempermainkannya.

Entah berapa lama sudah ia terduduk di situ, dalam kesendirian dan jiwa yang kosong. 

Setelah merasa cukup lega, Peter mendongak dan menghapus air matanya. Ia terkejut sejenak ketika mendapati sosok Ronald sedang berdiri sambil mengamatinya dari jauh. Mengetahui Peter telah melihatnya, penyihir botak itu pun berjalan mendekat.

"Oh, hai, kau belum tidur?" sapa Peter.

Ronald tersenyum pada sang murid lalu duduk di sebelahnya. "Yah, begitulah," sahut Ronald. "Kau sendiri? Kenapa belum tidur?"

Peter terdiam sambil mengembuskan napas panjang. Pandangannya kosong menatap hamparan padang rumput di hadapannya.

"Anna sudah menceritakan semua padaku ...," ujar Ronald memecah keheningan. "Dan dia memintaku untuk melihat keadaanmu."

"Apa yang dikatakannya?" tanya Peter.

"Semuanya mengenai mengapa ia menerima pinangan pangeran," desah Ronald. "Ia juga meminta maaf jika telah menyakiti hatimu dengan terus berdua bersama Andrew saat pesta pernikahan Isabel. Ia terpaksa melakukan itu karena tak mungkin mencoreng nama pangeran di depan semua orang."

"Ya, aku mengerti," lirih Peter.

Setelah itu keduanya pun terdiam, tenggelam dalam pemikiran mereka masing-masing.

"Kau tahu? Aku pun pernah merasakan sakitnya kehilangan cinta," ujar Ronald memecah keheningan.

Seketika itu, Peter menatap sang guru penuh tanya.

"Dulu saat masih muda, aku pernah mencintai seorang gadis petani dari Desa Orrenster. Namanya Catherine," Ronald memulai ceritanya.

"Suatu ketika, saat sedang dalam perjalanan pulang dari kota usai menjual hasil panennya, ia diculik oleh sekelompok pedagang budak dan disekap di hutan." Penyihir tua itu lalu menghela napas sejenak.

"Aku mencari kemana-mana dan akhirnya berhasil menemukannya. Namun, karena belum terlalu menguasai sihir, aku gagal menyelamatkannya. Ia mati di tangan para penjahat keji itu," Pandangan Ronald menerawang penuh penyesalan.

"Sejak saat itu, hatiku seolah tertutup bagi siapa pun. Aku akhirnya memutuskan pergi berkelana untuk mendalami sihir dan berharap luka ini bisa sembuh dengan sendirinya. Tapi ... sampai sekarang pun rasanya masih sakit jika mengingat kematiannya. Mungkin jauh di lubuk hati, aku memang tak ingin melupakannya," ujarnya sambil menghela napas panjang.

Setelah itu hening kembali mengisi suasana malam. Peter tak pernah menyangka ternyata gurunya juga pernah mengalami sakitnya kehilangan cinta.

"Terima kasih," bisik Peter sambil menatap sang guru.

"Untuk apa?" Ronald tampak kebingungan.

"Untuk mengajarkanku arti kesetiaan cinta. Mungkin ini akan terdengar bodoh, tapi aku ingin menjadi sepertimu yang memilih untuk terus bertahan. Meskipun sakit, aku tak akan melupakannya," sahut Peter.

Ronald pun tersenyum. "Itu pilihanmu untuk tetap bertahan. Dan aku menghargainya. Tapi aku harap hal itu tidak mengganggu latihan sihirmu. Kitab Tebro telah dicuri dan ini bisa berarti ancaman baru," ujar Ronald.

Peter mengangguk tegas. "Setelah kembali ke Fortsouth untuk menemui ibuku, aku akan mencarimu untuk melanjutkan latihan."

"Bagus! Aku akan menunggumu di sini," sahut Ronald sambil melempar senyum. 

Malam itu keduanya memilih menghabiskan malam sambil berbaring di padang rumput. Meski hatinya masih terluka, setidaknya Peter merasa lebih baik setelah membagi perasaannya dengan Ronald. Dalam hati ia bertekad lebih fokus berlatih untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro