Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 35

Ronald yang turun ke medan perang terus memacu kuda mendekati Karl yang sedang meminjam kekuatan Khargol. Hingga ketika merasa sang lawan sudah berada dalam jangkauan sihir, ia pun melemparkan petir padanya.

Namun, Karl cukup sigap untuk menghindar. Ia memacu tunggangannya mundur sementara Ronald mengejar sambil terus menembakkan petir. Bersamaan dengan itu, para pasukan pun lepas dari pengaruh sihir dan kembali berperang melawan bangsa orc.

Sementara Ronald mengejar Karl, para pasukan tampaknya mulai terdesak. Puluhan ribu orc terus menggempur garis pertahanan Girondin dan membunuh banyak sekali pasukan. Melihat kondisi yang semakin sulit, Eric, Remnant, dan Dickens akhirnya memerintahkan pasukan untuk mundur.

Sambil terus berusaha mempertahankan formasi, mereka bergerak perlahan menuju pintu gerbang dan masuk ke kota. Hingga ketika sebagian besar pasukan telah masuk, gerbang pun ditutup. Beberapa prajurit masih tertinggal di luar dan terus bertempur hingga titik darah penghabisan. Hal itu terpaksa dilakukan untuk mencegah para pasukan orc ikut masuk kota.

Sementara para pasukan kembali menyusun barisan dari balik tembok, Ronald terus mengejar Karl hingga keduanya tiba di belantara hutan. Di sana Karl menghentikan tunggangannya lalu menatap Ronald sambil tersenyum miring

"Ronald Alane ... ternyata kau yang menggagalkan hukuman untuk Bram dan Isabel," ujar Karl tenang.

"Tak usah banyak bicara! Tarik mundur pasukanmu atau aku akan menghukummu."

"Hahaha ... tidakkah kau lihat bahwa pasukanku sedang menang? Jenderal paling bodoh sekalipun tak akan menarik mundur pasukannya ketika tahu bahwa ia akan menang," cibir Karl.

"Huh, percuma saja bicara denganmu!" seru Ronald. Ia lalu mengacungkan tongkatnya pada Karl dan melontarkan kilatan cahaya petir.

Karl beserta tunggangannya melompat dengan sigap menghindari serangan itu. Ia mengambil sebilah pedang dan perisai yang sebelumnya tersampir di punggung lalu memerintahkan harimaunya untuk segera menyerbu. Saat berubah wujud menjadi Khargol, Karl mendapatkan kemampuan sihir sebagai antorum, sekaligus ketangkasan fisik seorang orc.

"Ecctus tarbantum!" Ronald mengeluarkan sihir angin yang mengempaskan Karl ke belakang, membuatnya jatuh terjengkang bersama si harimau.

"Huh, kuat juga sihirmu," cibir Karl sambil berusaha bangkit.

Ingin peperangan segera berakhir, Ronald langsung mengacungkan tongkatnya lagi dan kilatan petir kembali muncul menyambar ke arah Karl. Namun, alih-alih mengenai sasaran, harimau tunggangan Karl melompat untuk melindungi tuannya.

Binatang itu pun terhempas dan tergeletak tak bernyawa lagi.

Ronald tak berhenti sampai di situ, ia ganti mengeluarkan sihir api. Sementara itu Karl menghindar dan berlindung di balik sebuah pohon besar, dan sesaat kemudian, ia keluar menyerang lagi.

Namun Ronald sama sekali tidak gentar. Ia kembali mengeluarkan sihirnya. Petir, api, bahkan es terus ia tembakkan ke arah Karl, memaksanya harus berguling-guling untuk terus menghindar sambil sesekali menggunakan perisainya untuk bertahan.

Meski sudah berwujud Khargol yang secara fisik lebih kuat dan lincah, ia tetap saja tak bisa mendekati Ronald yang masih duduk dengan nyaman di atas kudanya. Bertarung satu lawan satu melawan seorang penyihir ectrum sama sekali bukan perkara mudah. Merasa tak jua mendapat peluang, Karl menggunakan telepati untuk memanggil bantuan.

Ketika Ronald sedang sibuk menyerang, tiba-tiba seorang orc merah muncul dari belakang dan mengayunkan senjata. Beruntung, sang penyihir masih sempat menjatuhkan diri dari kuda untuk menghindar. Meski selamat, ia kini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.

Detik berikutnya, Ronald mendongak dan melihat bahwa Karl kini sudah melompat ke arahnya dengan pedang terhunus.

Saat itu juga, tiba-tiba sebuah tiupan angin kencang mengempaskan Karl yang masih melayang di udara, membuatnya jatuh terjengkang ke samping. Ronald yang tak merasa mengeluarkan sihir pun tampak terkejut.

"Awas! Di kananmu!" Mendengar peringatan itu, Ronald langsung mengayunkan tangan dan petir kembali menyambar mengenai orc merah yang tadi berusaha membunuhnya.

"Peter?! Syukurlah kau tiba di saat yang tepat," ujar Ronald ketika melihat muridnya itu bergabung.

"Nanti saja terima kasihnya. Kita harus menyelesaikan ini dulu," sahut Peter.

"Bagus, sekarang aku harus melawan dua penyihir," ujar Karl. Sesaat kemudian ia lari menyelinap di balik pepohonan hutan.

Sementara itu, pasukan orc masih terus menggempur benteng Girondin. Dengan menggunakan tangga, mereka terus memanjat tembok pertahanan. Pelantak tubruk juga telah maju untuk menggempur pintu gerbang. Tak terhitung lagi banyaknya prajurit yang terluka parah.

Kondisi itu memaksa Anna bekerja ekstra keras untuk menyembuhkan mereka yang terluka. Karena terlalu fokus, ia pun tak menyadari kehadiran musuh yang datang mendekat dan mengayunkan senjata.

Tepat sebelum Anna sempat terluka, Andrew datang membantu. Ia menahan ayunan senjata lawan dengan pedang, menendangnya mundur, lalu menusuknya hingga tewas.

"Sudah kubilang di sini berbahaya. Pergilah berlindung di kastel bersama wanita yang lain!" seru Andrew pada Anna.

Namun, bersamaan dengan itu, sebuah anak panah melesat dan menembus bahu Andrew, membuatnya berteriak kesakitan. Anna yang melihat itu langsung datang untuk menolong.

"Jangan pernah menyuruhku untuk pergi berlindung lagi, oke?" ujar Anna.

Andrew terduduk dalam diam di lantai batu. Tubuhnya sudah sangat kelelahan. Napasnya tersengal-sengal sementara keringat membanjiri wajah.

"Sepertinya kita akan kalah," desahnya.

"Tidak! Kita tidak akan kalah! Bersemangatlah!" sahut Anna. Ia lalu berjuang menyembuhkan Andrew. Wajahnya basah oleh keringat sementara matanya terlihat berkaca-kaca. Meski energi sihirnya sudah hampir terkuras habis, ia menolak menyerah.

Melihat semangat Anna, Andrew hanya bisa tersenyum tipis.

Sementara itu, pelantak tubruk yang sudah bekerja sejak tadi akhirnya berhasil membobol gerbang kota. Para prajurit pun bersiap dengan pedang terhunus menghadapi musuh yang mulai menyerbu masuk.

Pertarungan pun terjadi lagi. Para pasukan berusaha sekuat tenaga menahan lawan yang masuk dari pintu gerbang. Tembakan crossbow segera menghujani mereka yang menerjang masuk. Meskipun begitu, pasukan orc terus menerjang, seolah tidak peduli dengan luka-luka di sekujur tubuh mereka.

Usai menyembuhkan Andrew dan beristirahat sejenak, Anna berniat turun dari tembok untuk menolong prajurit yang terluka.

Namun, Andrew menggenggam tangan Anna berusaha mencegah . "Mereka sudah mendobrak masuk, sangat berbahaya jika kau turun," ujarnya.

"Tapi mereka juga membutuhkan bantuan," sahut Anna. Untuk beberapa saat keduanya saling bertatapan dalam hening.

Setelah itu Andrew bangkit berdiri sambil berkata getir, "Baiklah, jika kau turun, aku akan ikut bersamamu." Ia sudah siap dengan segala konsekuensi terburuk yang akan terjadi.

Mereka lalu berjalan beriringan menuju tangga, dan saat itulah Andrew melihat kepulan debu dari kejauhan disertai derap langkah ribuan pasukan. Mereka membawa panji-panji Doria sambil berteriak lantang. Daniel berada di garis depan untuk memimpin pasukan.

"Ayah ... Kakak ... kalian berhasil," gumam Andrew sambil menitikkan air mata haru. Secercah keyakinan timbul dalam hatinya—ia tak akan mati hari ini. Dengan semangat yang kembali berkobar, Andrew kembali berjuang bersama para pasukan.

Beberapa saat kemudian, berkat bantuan dari pasukan Doria, kondisi mulai berbalik. Para pasukan orc yang tak menyangka musuh akan datang dari belakang kian terdesak. Sementara itu, moral pasukan terangkat kembali dan bertempur dengan semakin gigih.

Di sisi lain, Ronald dan Peter masih berusaha mengejar Karl yang terus menyelinap di balik pepohonan hutan. Suatu ketika, Ronald berhasil melihatnya, tapi makhluk setengah orc itu tiba-tiba lenyap dari pandangan dan justru muncul di sebelahnya.

Terkejut, Ronald langsung menggunakan sihir angin untuk mengempaskan lawan menghantam sebuah pohon. Tak berhenti sampai situ, ia mengeluarkan petirnya yang menyambar dengan telak mengenai dada Khargol.

Ronald pun mengembuskan napas lega. Jantungnya terasa masih berdebar kencang akibat kemunculan lawan yang tiba-tiba.

"Peter?" Detik berikutnya ia melihat ke sekeliling mencari muridnya itu, yang entah bagaimana, tiba-tiba menghilang.

"Aku di sini." Peter menyapa gurunya dari belakang, membuatnya terkejut untuk kedua kalinya.

"Dari mana saja kau?" tanya Ronald sambil menghela napas panjang.

"Tadi ada orc yang muncul, aku harus melawannya dulu," sahut Peter.

"Jadi kau berhasil mengalahkannya?" Peter menatap pada tubuh Khargol yang kini tergeletak tak bergerak.

"Ya, aku sudah membunuhnya," sahut Ronald.

"Bagus!" Saat itu juga, sosok Peter tiba-tiba berubah menjadi Khargol dan menghunuskan pedang pada Ronald.

***

"Invigor das pilia!" Bersamaan dengan itu, secercah sinar kekuningan meluncur menghantam Khargol yang sudah hampir membunuh Ronald, membuatnya terpental ke belakang.

"P-Peter?" Ronald tampak kebingungan melihat Khargol yang telah dibunuhnya hidup kembali dan berubah menjadi Peter, sementara Khargol—yang tadinya Peter—tampak terjengkang kesakitan di belakangnya.

"Sepertinya kau terkena mantra halusinasi dan mengira bahwa aku adalah Khargol," sahut Peter. "Kau menyerangku tadi."

"B-berarti, dia Khargol yang asli?" Ronald menatap makhluk setengah orc itu kebingungan.

"Ya, dia Khargol yang asli," sahut Peter. Setelah itu, ia merapal mantra api dan melemparkannya pada orc hijau itu.

Beruntung bagi Karl, ia masih sempat menghindar. Pria itu lalu memutuskan pergi meninggalkan Ronald dan Peter keluar dari hutan. Situasinya kini semakin pelik karena waktunya menggunakan kekuatan Khargol juga sudah hampir habis.

Setelah melihat pasukannya yang juga kian terdesak, Karl akhirnya memerintahkan pasukan untuk mundur. Ia lalu juga pergi meninggalkan gelanggang.

Atas perintah Karl, para pasukan orc akhirnya mundur dan lari kocar-kacir masuk ke hutan.

Sementara itu, pasukan gabungan Girondin, Fortsouth, Kingsfort dan Doria pun bersorak girang. Eric yang sudah kelelahan dengan luka di sekujur tubuhnya membaringkan diri di tanah sambil menghela napas lega. Anna datang tak lama kemudian untuk menyembuhkan luka-lukanya.

Di sisi lain, Ronald masih terduduk kebingungan. "B-berarti, tadi sihir petirku mengenaimu?" tanyanya.

Peter mengangguk singkat.

"Lalu bagaimana kau bisa hidup lagi?"

Pemuda itu tersenyum lalu menyingkap kerah bajunya, memperlihatkan jimat Ivoltaros yang melingkar di sana.

"Astaga! Untung saja kau memakai itu. Jika tidak, aku pasti sudah membunuhmu." Ronald menghela napas lega. "Bagaimana benda itu bisa ada padamu?" tanyanya lagi.

"Akan kutunjukkan," sahut Peter. Ia lalu berseru ke arah pepohonan. "Keluarlah, sekarang sudah aman."

Tak lama kemudian, Zalika, Lilia, dan Janet pun keluar dari balik pohon. Rupanya selama peperangan berlangsung, mereka bersembunyi di sana.

"Tuan Edgar menyerahkan ini pada putrinya, dan dia meminjamkannya padaku. Sesaat sebelum aku membantumu," sahut Peter.

"Oh, astaga! Syukurlah kau berhasil selamat," ujar Ronald lalu merengkuh Zalika dalam pelukan.

"Ini milikmu," ujar Peter sambil mengembalikan kalung itu pada Zalika.

"Tidak, ini milik Paman Ronald. Dia yang memberikannya pada ayah." Gadis itu menolak. "Kalian akan lebih membutuhkan ini."

"Hahaha ... baiklah kalau begitu," sahut Ronald. "Aku akan memberikan ini pada pangeran saja. Biar dia yang memutuskan siapa yang berhak memilikinya."

Setelah memperkenalkan Bibi Lilia pada Ronald, mereka pun berjalan menuju kota. Para pasukan tampak bersorak-sorai merayakan kemenangan. Tak jauh dari pintu gerbang, Peter melihat Anna yang sedang bekerja menyembuhkan para prajurit.

Dengan senyum terkembang, Pemuda itu melangkahkan kaki bermaksud menemui sang kekasih.

Namun, niat itu seketika kandas begitu ia melihat seorang lelaki lain mengulurkan tangan pada Anna untuk membantunya berdiri. Keduanya lalu berjalan berdua menuju kastel.

"Ayo bantu aku!" Eric yang sudah sembuh meminta Peter membantunya menolong para prajurit yang masih terluka.

Tanpa melepas pandangan dari Anna yang berjalan berdua bersama Pangeran Andrew—sang lelaki lain—Peter mulai bekerja membantu Eric.

Seketika itu juga, hatinya terasa begitu perih bak teriris sebilah pisau yang tak kasat mata. Ia merasa hampa di tengah suasana di sekitarnya yang ramai oleh sorak sorai para pasukan. Mungkin dia lah satu-satunya yang dirundung lara kala semua berbahagia.

"Peter! Akhirnya kita bertemu lagi." Borin yang melihat Peter langsung menghampirinya. Ia menepuk pundak sang sahabat lalu memeluknya kuat-kuat.

Peter membalas pelukan itu tak kalah erat. Air matanya menetes begitu saja. Perasaan haru, senang, dan sedih bercampur baur menjadi satu.

Ia pun terisak di bahu Borin.

"Aku tahu kau merindukanku, tapi aku tak menyangka kalau kau akan seemosional ini," ujar Borin.

Peter mengusap air matanya lalu melepaskan pelukan. "Dasar, kau sangat percaya diri." Sambil tersenyum, ia lalu memukul bahu Borin. Meski hatinya sakit karena melihat Anna bersama lelaki lain, kehadiran sang sahabat setidaknya memberikan sedikit kesegaran baginya. 

Lalu, setelah membantu para prajurit yang terluka dan menguburkan para korban, keduanya pergi ke perkemahan prajurit untuk melepas lelah dan saling bertukar cerita.

Hari itu sejarah baru telah tertoreh. Berkat keberanian dan kegigihan para prajurit, Kota Girondin berhasil dipertahankan. Karl bersama pasukan orc-nya pun terpaksa kembali ke Bergstone untuk menyusun kembali kekuatan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro