Bab 34
Setelah pertemuan mengenai strategi perang, Eric mengajak Ronald ke perkemahan para pasukan Fortsouth yang didirikan di sebelah selatan Girondin. Bram juga ikut bersama mereka.
"Aku akan mempertemukan kalian dengan seorang teman lama sekaligus pahlawan Fortsouth," ujar Eric sambil tersenyum penuh arti. Ronald pun menebak-nebak dalam benaknya mengenai siapa kira-kira yang dimaksud.
Setelah keluar dari gerbang selatan dan tiba di perkemahan pasukan, ia pun memanggil seseorang yang dimaksud. "Borin! Kemarilah! Lihat siapa yang datang!" seru Eric.
Mendengar panggilan, Borin yang saat itu sednag berlatih senjata pun menengok. Ia tersenyum lebar lalu berjalan mendekat. "Paman Ronald, apa kabar?" ujarnya sambil menjabat tangan sang penyihir.
"Baik, aku baik," sahut Ronald membalas senyuman Borin.
"Lalu ... kau?" Borin ganti menyapa pemuda di sebelah Ronald.
"Namaku Bram."
"Kau yang menyelamatkan Anna ketika kalian berhadapan dengan kelompok orc merah?" tanya Borin memastikan. Ia sudah mendengar cerita mengenai Bram dari Eric. Termasuk bagaimana mereka akhirnya bisa mengalahkan gerombolan orc merah.
Bram pun mengangguk mengiyakan.
"Lalu di mana Peter?" Borin celingukan berusaha mencari sahabatnya itu.
"Ia masih di Ebru untuk merawat seseorang," sahut Bram.
"Kurasa kita perlu duduk untuk saling bertukar cerita satu sama lain," sahut Ronald sambil terkekeh.
"Ide yang bagus!" sambut Borin. Ia lalu mengajak semuanya—kecuali Eric yang harus segera mempersiapkan pasukan—untuk masuk ke tendanya.
"Baik, siapa yang mau mulai bercerita?" tanya Ronald setelah ketiganya duduk di atas tikar di dalam tenda.
"Ceritakan dulu mengenai Peter," sahut Borin. Ia tak sabar mendengar kabar mengenai sahabatnya itu. "Apakah dia sudah berhasil menguasai sihir?" tanyanya.
"Ya, ia sudah menguasai sihir angin dan api," sahut Bram. Selama beberapa hari bersama ia setidaknya tahu sihir yang sudah dipelajari Peter.
"Lalu bagaimana kau bisa sampai di sini?" tanya Ronald.
"Semuanya bermula dari Anna yang pergi ke kota dan tak pernah kembali ...." Bram memulai ceritanya sementara Borin dan Ronald menyimak dengan saksama. Borin tentu sangat terkejut ketika mendengar kabar bahwa Anna sempat dihukum bakar.
"Tapi kalian tenang saja, sekarang dia sudah aman," sahut Ronald menanggapi kekhawatiran Bram dan Borin mengenai kondisi Anna. "Ia telah diselamatkan oleh pangeran Andrew."
"Astaga, untung saja," Bram dan Borin menyahut senada.
"Lalu apa yang kau lakukan setelah tidak berhasil menemukan Anna?" tanya Ronald lebih jauh.
Bram pun melanjutkan ceritanya mengenai bagaimana perjuangannya menyusul Peter dan Ronald ke Bergstone, perang melawan bangsa orc, hingga bertemu dengan Bibi Lilia di Ebru. Ia juga menceritakan mengenai Zalika yang kini sedang sakit.
Borin hanya bisa terpana mendengar cerita perjuangan Bram berusaha mencari Anna hingga memutuskan pergi ke Bergstone. "Kau benar-benar seorang kawan sejati," timpalnya setelah Bram mengakhiri cerita.
"Yah, aku hanya berusaha semampuku," sahut Bram sambil tersenyum.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa yang membawamu kemari?" tanya Ronald pada Borin. Ia masih mengira bahwa Borin hanya seorang pemuda biasa, sama seperti saat mereka bertemu di Pulau Amui.
"Ayo ikut aku! Akan kutunjukkan sesuatu." Borin keluar dari tenda dan melangkah untuk mencari tempat yang lebih sepi. Ronald dan Bram pun mengikutinya sambil bertanya-tanya dalam benak.
Dalam perjalanan, tiba-tiba mereka melihat sesosok perempuan dengan kerudung menutupi kepalanya. Ia tampak berjalan di antara tenda-tenda sambil bertanya pada prajurit yang ia temui.
"Anna?!" seru Borin. Bram dan Ronald bersamaan.
"Borin? Ronald? Bram? Ternyata kalian semua di sini!" Anna yang melihat kawan-kawan lamanya langsung berlari menghambur lalu memeluk mereka satu per satu. "Aku benar-benar tak menyangka akan bertemu kalian semua di sini," ujar Anna. Matanya mendadak berkaca-kaca.
"Lalu di mana Peter? Dia tidak bersama kalian?" tanyanya.
"Tenang saja, dia aman. Nanti akan kuceritakan semua," sahut Bram. "Sekarang mari kita lihat apa yang mau ditunjukkan oleh Borin," ujarnya.
Mereka lalu berjalan lagi menjauhi perkemahan hingga tiba di tepi hutan yang sepi. Pemuda itu pun melihat ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tak ada orang lain di situ.
"Baiklah, lihat ini!" seru Borin sambil menarik napas dalam.
"Canigo viscerati!" Ia berseru sambil menggenggam tangan kanannya dengan telapak kirinya. Seketika itu, bersamaan dengan sinar kemerahan yang memancar dari tangannya, Borin memukul tanah, menciptakan seekor serigala besar berbulu keperakan di sampingnya.
"ASTAGA! Kau seorang penyihir?!" Seketika itu Anna dan Ronald terperangah.
Borin tersenyum bangga sambil mengelus tengkuk serigala ciptaannya.
"Ya, aku belum lama menguasainya," sahut Borin. "Dan aku belum bisa menahannya untuk waktu yang lama." Bersamaan dengan itu, serigala tadi pun lenyap ditelan kabut asap.
"Luar biasa! Dari mana kau mempelajarinya? Aku mengenal seorang penyihir dengan kemampuan sepertimu. Namanya Wanda Alona," ujar Ronald.
"Dia ibuku. Dia memberikan kekuatan sihirnya padaku--" sahut Borin terpotong. Ia lalu menghela napas tampak berusaha menahan emosi. "Sesaat sebelum ia wafat." Seketika itu, air matanya kembali meluruh. Kesedihannya kembali menyeruak menguasai hati. Dadanya mendadak terasa sesak.
Melihat itu, Anna langsung memeluk Borin, berusaha menguatkannya. "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Aku juga pernah mengalaminya," bisiknya. "Kau pasti bisa melewatinya."
Borin menyedot ingusnya kasar. "T-terima kasih," gagapnya.
Setelah itu mereka duduk melingkar di tanah dalam keheningan sementara Borin berusaha menenangkan diri. Ia membutuhkan beberapa saat lagi sebelum bisa melanjutkan ceritanya.
"Sekembalinya ke Fortsouth, Eric membawaku ke Kilead untuk merebut kota itu dari kelompok Harduin. Dalam perjalanan, aku bertemu kedua orang tuaku." Sambil sesekali terisak, Borin berusaha menceritakan apa yang ia alami. Butuh perjuangan ekstra baginya untuk bisa menyelesaikan kisahnya.
"Pengalamanmu sungguh luar biasa," ujar Ronald sambil menepuk punggung Borin. "Aku turut berdukacita untuk kematian Wanda dan Glarmarck. Mereka berdua adalah orang-orang hebat. Jika kitab Tebro telah diambil, aku juga memiliki kekhawatiran yang sama seperti ibumu. Pemberontakan penyihir mungkin akan terjadi lagi." Setelah itu Ronald menceritakan kejadian enam belas tahun yang lalu di Kingsfort.
Anna, Bram dan Borin pun hanya bisa terdiam mendengarnya.
"Aku harap sesama penyihir tak perlu saling bertikai," desah Anna. Mereka lalu terdiam lagi.
"Aku lapar," ujar Borin tiba-tiba. Setelah cerita yang menguras emosi, anak itu kini merasa perutnya kosong.
Ronald terkekeh sejenak lalu menyahut, "Sekarang memang sudah waktunya makan. Kurasa sebaiknya kita kembali untuk mengambil jatah makanan."
Setelah itu mereka pergi meninggalkan pinggir hutan, kembali ke perkemahan, dan berbaris bersama yang lain untuk mendapatkan makanan yang sudah disediakan bagi para prajurit.
Siang itu mereka makan sambil melanjutkan perbincangan di tenda. Bram menjelaskan lagi pada Anna bahwa Peter saat ini masih berada di Ebru untuk merawat Zalika yang sedang sakit. Mendengar itu, Anna berusaha tetap tersenyum untuk menutupi sebersit kecemburuan yang timbul di hati.
Anna lalu ganti menceritakan mengapa pangeran menyelamatkannya, dan bagaimana ia berhasil menyembuhkan Agra. Namun, ia memilih untuk tak menceritakan bahwa pelakunya kemungkinan adalah sang ratu. Gadis itu tak berani untuk menyampaikan sesuatu yang belum pasti.
Hubungannya dengan Pangeran Andrew juga tidak ia ceritakan secara detail. Ia merasa bahwa Peter harus mengetahui hal itu langsung dari mulutnya sendiri.
***
Malam bergulir dan hari berganti. Keesokan paginya, suasana kota terasa mencekam. Terompet telah dibunyikan bahkan sebelum fajar menyingsing. Perkemahan para orc telah terlihat sejak semalam di hutan sebelah barat. Mereka diperkirakan akan menyerang pagi ini.
Gerbang kota pun ditutup dan para pasukan telah bersiap di pos mereka masing-masing. Perang terbesar sepanjang sejarah Ethardos akan segera pecah.
Ketika matahari mulai menanjak, teriakan-teriakan bergemuruh terdengar semakin keras seiring dengan para pasukan orc yang mulai bergerak. Mulai dari puluhan, ratusan, hingga ribuan dari antara mereka muncul dari balik pepohonan hutan dan berhenti sebelum masuk dalam jarak tembak.
Karl maju ke depan bersama beberapa orc pengawalnya.
Melihat itu, Andrew mendengkus kasar. "Huh, apalagi yang mau dia bicarakan," umpatnya. Meski begitu, ia keluar dari gerbang kota bersama Eric, Remnant, dan Dickens untuk menemui sang mantan gerpa.
"Salam, Pangeran." Karl membungkukkan sedikit badannya begitu bertemu dengan Andrew.
"Tak perlu berbasa-basi! Apa yang kau inginkan?"
"Sejujurnya aku sama sekali tak ingin berperang. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa perbuatan kalian menentang hukum Tuhan telah membuat-Nya murka. Dia memberikanku kuasa atas seluruh bangsa orc sebagai peringatan. Agra harus menyatakan kesediannya turun dari takhta dan mengakuiku sebagai penguasa," tegas Karl.
"Bagaimana jika aku menolak?" balas Andrew.
"Tentu mereka akan menyerang," sahut Karl tenang sambil menoleh pada pasukan orc yang telah berbaris di belakangnya.
"Persetan dengan Tuhanmu. Aku sama sekali tidak percaya! Menurutku kau hanya ingin membalas dendam karena dibuang dari kerajaan! Sudahi saja pembicaraan ini dan buktikan apakah Tuhanmu atau pasukanku yang lebih kuat!" Setelah itu Andrew berbalik diiringi para pendampingnya untuk kembali ke posisi masing-masing.
"Huh, dasar anak sombong. Dia sama sekali tidak berubah semenjak terakhir kali aku melihatnya," gumam Karl sambil berjalan kembali ke barisan untuk memberikan komando pada para pasukan.
Sementara para pasukan orc mulai bersiap, Eric, Remnant, dan Dickens membawa pasukan menuju pos mereka masing-masing dan berbaris di sepanjang tembok.
Tak lama kemudian, para pasukan orc mulai bergerak, awalnya perlan lalu semakin cepat. Geraman harimau bergifi pedang dan teriakan perang pun terdengar membahana.
Sementara itu, Eric berbicara untuk membangkitkan semangat prajurit. "Perhatikan mereka! Makhluk-makhluk mengerikan itu. Ingat, bahwa ratusan tahun yang lalu pasukan Bergstone pernah mengalahkan mereka .... Dan jika Bergstone bisa, aku yakin kita juga bisa!" serunya. Para pasukan pun menyambut dengan teriakan bergemuruh.
"Mereka sama seperti kita, terdiri atas darah dan daging. Mereka tidak terbuat dari baja! Kita bisa melukai mereka! Kita bisa membunuh mereka! Kita bisa mengalahkan mereka! Bersama-sama, kita jadikan hari ini hari yang bersejarah bagi Girondin, bagi Ethardos, dan bagi umat manusia!" Remnant juga berteriak membakar semangat prajuritnya.
"Ayo kita bantai mereka," ujar Dickens singkat, sementara para prajurit tetap menyahut dengan sorakan nyaring.
Ketika para pasukan orc semakin dekat, pasukan pemanah yang berada di atas tembok segera bersiap. Seketika itu, ribuan busur pun terentang mencari sasaran.
"Sesuai aba-abaku ... TEMBAAK!!" Andrew berada di atas tembok bersama Ronald untuk memberikan komando pada pasukan pemanah.
Suara desingan anak panah yang melesat langsung terdengar memenuhi udara, menghujani lawan dengan ancaman dan derita. Beberapa terluka, tak sedikit yang meregang nyawa. Namun, mereka sama sekali tidak gentar. Puluhan yang rubuh, ribuan tetap menyerbu. Dengan geraman murka, wajah-wajah mengerikan itu terus merangsek mendekati tembok pertahanan Girondin.
Sementara itu, Eric, Remnant, dan Dickens bersiap-siap dalam formasi untuk menahan gempuran lawan. Tombak teracung ke depan dengan perisai yang menutupi.
Semakin dekat, geraman para pasukan orc terdengar kian mengintimidasi. Bumi bahkan terasa bergetar. Pasukan orc yang berada di garis depan menyerbu dari atas tunggangan mereka yang tampak mengerikan.
Detik berikutnya hantaman dahsyat antara kedua kubu pun tak terhindarkan. Tombak-tombak para prajurit menancap di tubuh harimau tunggangan lawan, sementara penunggangnya melompat dengan kapak teracung. Para prajurit pun berjibaku sekuat tenaga menahan gelombang demi gelombang serangan pasukan lawan. Tak sedikit prajurit yang akhirnya harus terluka karena terkaman harimau atau terkena sabetan kapak lawan. Namun, dengan semangat baja mereka terus melawan dan mempertahankan tembok kota.
Beberapa menit berlalu, ribuan mayat manusia maupun orc sudah bergelimpangan di medan perang. Pedang bertemu kapak, tombak mengoyak baju zirah, perisai dan helmet jatuh berkelontangan.
Sementara itu dari atas tembok, para pasukan pemanah terus menghujani lawan dengan tembakan bertubi-tubi. Ronald juga melemparkan sihirnya menyasar para pasukan orc yang terus menyerang seolah tak ada habisnya.
Sang kematian pun berpesta di Girondin.
Akibat serangan masif yang terus menerus, beberapa titik pertahanan akhirnya goyah dan berhasil ditembus. Dengan sigap, para pasukan orc mendorong tangga, menyandarkannya di tembok kota lalu segera memanjat.
Ronald yang melihat itu membakar tangga dengan sihirnya dan berhasil menggagalkan upaya mereka. Namun, di beberapa lokasi lain yang penjagaannya lebih lemah, para pasukan orc berhasil tiba di atas tembok dan menyerang pasukan yang berjaga di sana dengan beringas. Mereka menggunakan kapak besar untuk menebas pasukan di atas tembok. Ronald pun semakin sibuk melemparkan sihirnya pada musuh.
Sementara itu, Andrew, Bram, dan Borin yang juga ada di atas tembok ikut membantu pertahanan. Meski hanya untuk waktu yang singkat, serigala ciptaan Borin bisa ikut berperan dalam memerangi musuh.
Pada suatu kesempatan, Andrew yang sedang sibuk beradu pedang tak sadar bahwa ada musuh lain yang mendekat dari belakang. Ketika kapak sudah hampir terayun, sebuah pisau melayang dan menancap di leher sang orc, membunuhnya seketika.
"Terima kasih," ujar Andrew ketika melihat Bram telah menyelamatkannya. Bram mengangguk singkat lalu mereka kembali sibuk menghadapi serangan lain yang datang.
Di sisi lain, Ronald melihat sesosok orc hijau yang duduk tenang di atas tunggangannya. Ia berada agak jauh di belakang garis pertempuran. Sementara itu, para pasukan manusia di sekitarnya malah saling bertarung sendiri satu sama lain. Mereka seperti berada dalam pengaruh sihir dan tak tahu siapa kawan siapa lawan. Hal itu membuat pertahanan jadi semakin lemah.
Itu Karl, gumam Ronald berang. Detik itu juga ia memutuskan turun ke medan perang untuk menghadapi Karl--yang kini berada dalam wujud Khargol. Ia turun dari tembok, melompat ke atas kudanya, dan keluar dari gerbang dengan tongkat sihir teracung. Kilatan-kilatan petir pun terlontar menyambar musuh di sekelilingnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro