Bab 33
"Nona Zalika menghilang!" Peter dan Bram terbangun keesokan paginya karena kehebohan yang dibuat oleh Bibi Lilia. "Cepat cari dia!"
Peter dan Bram yang terkejut mendengar berita itu segera pergi berpencar dan menyusuri jalanan kota. Mereka mencari mulai dari pasar hingga gang-gang sempit. Beberapa orang pengungsi yang lain juga ikut membantu. Mereka berjalan sambil berteriak-teriak di tengah cuaca terik tanpa memedulikan keringat yang membanjir membasahi sekujur tubuh.
Meski sudah mencari sepanjang hari ke seluruh pelosok kota, sosok Zalika tak dapat ditemukan. Menjelang sore, mereka semua pun kelelahan dan terpaksa kembali ke rumah tanpa hasil.
"Kira-kira ke mana perginya?" tanya Bibi Lilia pada Peter dan Bram setelah ketiganya berkumpul kembali di rumah.
"Entahlah,' sahut Peter gusar.
"Apakah tak ada surat atau pertanda apa pun semalam sebelum dia menghilang?" tanya Bram.
Bibi Lilia menggeleng. "Kemarin malam ia hanya bilang kalau tak bisa tidur dan ingin berjalan-jalan keluar sebentar. Ia sempat kembali dengan raut wajah sedih dan langsung rebah ke pembaringan. Kukira ia hanya lelah. Aku sama sekali tak menyangka ia akan menghilang."
Mereka semua lalu terdiam, tenggelam dalam pemikirannya masing-masing. Berbagai kemungkinan mengenai keberadaan Zalika terus berputar-putar dalam benak mereka.
"Sudahlah, ayo kita makan dulu. Besok kita cari lagi," ujar Bibi Lilia. Setelah itu, mereka pun makan dan beristirahat.
Seperti malam-malam sebelumnya, Peter beristirahat di dak atap bersama Bram.
"Mungkinkah Zalika pergi ke luar kota?" gumam Peter.
"Mungkin saja. Tapi ke mana? Dan untuk apa?"
"Entahlah." Pete mengangkat bahu. Mereka lalu terdiam sejenak.
"Mungkinkah dia kembali ke Bergstone?" cetus Bram tiba-tiba.
"Untuk apa? Kota itu sudah dikuasai kaum orc."
"Mungkin dia sangat merindukan rumah. Terkadang perasaan memang bisa mengalahkan logika," sahut Bram. "Kemarin aku sempat mendapatinya melamun sendiri."
Setelah itu keduanya pun terdiam. Peter juga berpikir bahwa apa yang dikatakan Bram cukup masuk akal. "Hmm ... yang kau bilang itu ada benarnya. Baiklah, besok kita pergi mencarinya ke Bergstone."
Setelah mendapatkan kesepakatan itu, keduanya segera terlelap. Setelah lelah seharian mencari, mereka akan membutuhkan energi yang cukup untuk memulai pencarian lagi.
Pagi berikutnya, ketika sang fajar baru saja menyingsing, Peter dan Bram menyampaikan pada Bibi Lilia bahwa mereka akan pergi ke Bergstone untuk mencari Zalika. Wanita itu pun setuju dan memberikan beberapa buah roti serta air untuk bekal perjalananan mereka.
Kedua pemuda itu lalu pergi meninggalkan Kota Ebru dan berjalan ke barat menyusuri sungai. Meski tak kekurangan air, suhu udara yang panas membuat tubuh keduanya terasa cepat lelah. Ketika matahari telah tinggi, Peter dan Bram pun memutuskan untuk beristirahat sejenak di bawah pohon yang tumbuh di dekat sungai.
Sambil memakan bekal mereka, Peter memandang ke padang gurun yang menghampar luas di hadapannya. Debu pasir tampak bergulung-gulung beberapa ratus meter dari tempatnya beristirahat.
"Apakah itu badai gurun?" tanyanya pada Bram.
"Mungkin saja. Aku bukan orang dari sini, tak tahu seperti apa itu badai gurun," sahut Bram tak acuh.
Tapi semakin lama Peter mengamatinya, ia justru memiliki kesimpulan yang lain. "Itu para pasukan orc!" serunya.
Mendengar itu, Bram ikut memperhatikan fenomena di hadapannya. Ternyata benar apa yang dikatakan Peter. Ia dapat melihat barisan pasukan orc berderap di kejauhan. Rupanya mereka telah bergerak meninggalkan Bergstone menuju barat.
"Kau benar, ternyata mereka sudah bergerak," gumam Bram. "Kita harus memperingatkan Bibi Lilia agar segera bersembunyi. Mereka bisa saja singgah di Ebru."
"Tapi kita bahkan belum menemukan Zalika," sahut Peter.
"Kalau begitu aku akan kembali. Kau teruskan dulu pencarian Zalika," sahut Bram.
Peter pun setuju dan setelah itu keduanya berpisah. Sementara Bram kembali ke Ebru, Peter meneruskan pencarian Zalika. Malam itu Peter terpaksa beristirahat di tepi sungai karena pencariannya belum juga membuahkan hasil.
Keesokan paginya, Peter kembali meneruskan pencarian begitu fajar menyingsing. Hingga ketika matahari mulai tinggi, pemuda itu melihat sesosok gadis terbaring tak jauh dari tepi sungai. Itu Zalika, gumamnya sambil berlari mendekat.
Peter segera menolong Zalika. "Apa yang terjadi? Mengapa kau pergi sendiri?" tanya Peter sambil menyentuh dahi Zalika yang panas. Ia tampak sangat lemah.
"Kau bisa berjalan?" tanya Peter.
Dengan bantuan Peter, Zalika berusaha berdiri. Namun, mendadak kepalanya terasa pusing dan matanya berkunang-kunang. Ia pun jatuh pingsan.
Melihat Zalika sudah tak sadarkan diri, Peter langsung menggendongnya di punggung dan membawanya kembali ke Ebru.
Ketika hari menjelang sore, Peter membaringkan Zalika di bawah pohon lalu beristirahat untuk melepas lelah. Tubuhnya seperti hampir rontok setelah seharian menggendong Zalika di tengah teriknya gurun.
Saat itu, Bram datang kembali.
"Untunglah kau datang," ujar Peter sambil menyeka keringatnya. "Aku berhasil menemukannya. Tapi sekarang dia pingsan. Bagaimana keadaan di Ebru?"
"Di sana baik-baik saja. Karena kota sudah ditinggalkan penghuninya, para pasukan orc itu hanya mampir untuk beristirahat semalam. Mereka pergi setelah mengambil barang-barang yang bisa berguna."
"Kalau begitu, bisakah kau bawa dia pergi dulu? Aku akan menyusul nanti," ujar Peter. Ia merasa masih butuh beberapa saat untuk memulihkan tenaga.
"Baiklah," sahut Bram. Ia lalu menggendong Zalika dan membawanya pergi ke Ebru.
Peter menyusul tak lama kemudian, dan ketika malam menjelang, mereka menghabiskan satu malam lagi di gurun.
Keesokan harinya, setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Peter dan Bram akhirnya tiba kembali di Ebru. Melihat kondisi Zalika yang sakit, Bibi Lilia segera membuat ramuan obat-obatan tradisional dari campuran berbagai daun dan akar-akaran untuk digunakan sebagai kompres maupun diminum. Meski sudah sadar, Zalika masih sangat lemah. Mereka pun terpaksa menunda lagi perjalanan ke Girondin.
Sore itu, Bram dan Peter sedang membantu Bibi Lilia memotong akar-akaran. Di tengah kesibukan itu, Bram bertanya, "Menurutmu apakah sebaiknya kita pergi ke Girondin dan memperingatkan mereka mengenai pergerakan bangsa orc atau membantu Bibi Lilia merawat Zalika?"
"Hmm ... kurasa sebaiknya kau pergi dulu. Aku akan tetap di sini untuk membantu Bibi. Jika kondisinya sudah membaik, aku akan menyusul," sahut Peter.
Bram setuju dan keesokan paginya, ia pun berangkat ke Girondin meninggalkan Peter bersama Zalika, Lilia, dan Janet
Beberapa hari bergulir dan kondisi Zalika berangsur membaik. Nafsu makannya juga telah kembali. Malam itu, Peter sedang menyuapinya semangkuk bubur hangat yang baru saja masak. Ia meniupi bubur itu agar tidak terlalu panas lalu memberikannya pada Zalika.
"Kenapa kau menolongku?" Sambil menatap kosong ke tembok di seberangnya, Zalika tiba-tiba bertanya.
Peter terdiam sejenak berusaha memahami maksud pertanyaan itu. "Karena kau temanku. Bukankah teman harus saling menolong?"
"Ya, kita berteman ...," sahut Zalika. Air matanya tampak mulai menggenang.
"Kau menangis?" tanya Peter kebingungan.
"Apakah Anna itu begitu berarti buatmu?"
Peter yang kebingungan dengan pertanyaan Zalika menjawab apa adanya, "Ya ... aku sangat menyayanginya. Tapi dari mana kau tahu mengenai dia?"
"Malam itu aku keluar dan tak sengaja mendengar pembicaraan kalian," sahut Zalika. Ia mulai terisak lebih kencang.
"Kalau begitu kenapa kau harus menyelamatkanku? Seharusnya kau biarkan saja aku mati dibunuh oleh pamanku. Setidaknya aku bisa bertemu dengan ayah ibuku. Atau kenapa tak kau biarkan saja aku mati di tengah gurun?" isak Zalika diiringi tetesan air mata yang mengalir semakin deras.
"A-aku ...." Peter terdiam semakin kebingungan.
"Sekarang aku sudah tak punya siapa-siapa lagi, orang tuaku telah mati, sementara kau ... sudah punya seseorang yang lain .... Lebih baik aku kembali ke Bergstone dan mati bersama ayah ibuku," ujarnya sambil tersedu.
Peter yang mulai paham akan perasaan Zalika akhirnya hanya bisa terdiam. Namun, bagaimanapun juga hatinya telah tertambat untuk Anna. Ia tak mungkin mengkhianati perasaannya sendiri.
Bibi Lilia yang mendengar itu dari luar akhirnya masuk dan meminta Peter untuk pergi, sementara ia berusaha menghibur Zalika sambil menyuapinya.
"Bibi ...," Zalika terisak semakin kencang dalam pelukan Lilia.
Sementara itu, Peter berbaring di atap seorang diri, termenung tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Pikirannya terasa kacau bak benang kusut yang tak jelas ujung pangkalnya. Sementara Anna belum diketahui keberadaannya, kini ia justru membuat Zalika semakin terpuruk. Ditambah lagi pasukan orc yang sedang menyerbu Girondin. Peter pun mendesah gusar sambil mengacak rambutnya frustasi. Apa yang harus kulakukan? batinnya.
Lamunan Peter seketika buyar ketika matanya mendapati Bibi Lilia yang tiba-tiba naik ke atap. "Ada apa, Bi," ujar Peter.
"Dia sudah tidur," sahut Lilia mengacu pada Zalika.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Peter pada sang wanita paruh baya.
Lilia tersenyum lalu duduk di sebelah Peter. "Kasihan Zalika ...," gumamnya. "Ia sangat mengharapkanmu ...."
"Lalu aku harus bagaimana? Ada orang lain yang sudah lebih dulu kusayangi."
"Itulah masalahnya ...," desah Lilia. "Apakah kau tahu pemuda lain yang bisa mengisi hatinya? Sekarang ia sangat kesepian."
"Tidak, Bi. Aku hanya tahu bahwa ia pernah dijodohkan dengan tuan muda Girondin, tapi aku tak tahu kenapa ia menolaknya," ujar Peter.
"Dasar anak bodoh .... Dia menolaknya karena berharap padamu." Lilia menatap Peter sambil tersenyum. "Sekarang dia merasa sangat sedih karena telah mengorbankan segalanya untukmu, sementara kau ternyata telah memiliki seseorang yang lain."
Mendengar itu Peter hanya bisa terdiam sambil memainkan jari jemarinya.
"Kurasa satu-satunya jalan sekarang adalah membuatnya menerima tuan muda Girondin. Aku hanya rakyat miskin yang hidup berkesusahan. Aku khawatir tak bisa mencarikan jodoh yang tepat untuk membahagiakan hidupnya," desah Lilia seraya membuang pandang ke sembarang arah. "Besok aku akan mencoba membujuknya. Aku akan bilang padanya bahwa cinta bisa saja tumbuh seiring waktu. Semoga saja ia bersedia mendengarkanku," ujarnya lagi.
Setelah itu Lilia bangkit dan pergi meninggalkan Peter sendiri.
Peter kembali termenung dalam kesendiriannya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berpasrah pada takdir. Dalam hati ia berharap agar segera bertemu Anna sementara Zalika bisa mendapatkan kebahagiannya bersama tuan muda Girondin.
***
Beberapa hari berselang hingga Bram akhirnya tiba di Girondin. Setelah melapor pada penjaga, ia langsung menemui Tuan Humphrey---sang penguasa wilayah---di kastelnya.
"Pasukan orc akan segera tiba," ujarnya dengan napas terengah.
Sambil duduk di sebuah kursi roda, Tuan Humphrey bertanya, "Di mana terakhir kali kau melihatnya?"
"Sekitar dua puluh kilometer di sebelah barat kota. Aku terus berlari semenjak itu," ujarnya.
"Baiklah, terima kasih. Kumpulkan para kesatria di aula," ujar Tuan Humphrey pada salah seorang ajudannya.
"Siapa namamu anak muda?"
"Bram, Tuan."
"Baiklah, ayo ikut aku." Tuan Humphrey memberi kode pada ajudannya untuk mulai mendorong kursi rodanya menuju aula.
"Ronald?" Bram langsung mengenali sosok sang penyihir botak yang beberapa saat kemudian memasuki aula.
"Bram? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Dia baru saja menyampaikan informasi bahwa pasukan orc sudah dekat. Mungkin besok mereka akan tiba. Kita perlu mematangkan segala persiapan," sahut Tuan Humphrey.
"Astaga, Bram kau di sini juga?" Eric yang baru memasuki aula langsung mengenali sosok pemuda itu.
"Ya, ceritanya panjang," sahut Bram.
Tak lama kemudian seluruh kesatria pun hadir, termasuk Remnant sang kepala pasukan Girondin dan Pangeran Andrew."
"Salam hormat untuk pangeran," sapa Bram. Bagaimanapun juga ia pernah tinggal di Kingsfort dan semua orang di sana tentu mengenal sang putra mahkota.
"Bukankah kau Bram? Yang menghasut kakak perempuanku dan menimbulkan masalah besar."
Seketika itu Bram pun berlutut di hadapan Andrew. "Benar, Pangeran. Maafkan hamba telah mengakibatkan kekacauan itu."
Andrew mendengkus kasar sementara Ronald berusaha menenangkannya. "Sudahlah, semua sudah menjadi masa lalu. Sekarang kita harus bekerjasama untuk menghadapi musuh yang lebih besar."
"Baiklah." Meski dengan muka masam, Andrew pun meminta Bram berdiri.
"Oh ya, di mana anakmu?" tanya Ronald pada Tuan Humphrey.
"Huh, dia pasti sedang bersenang-senang di rumah bordil," gerutu si pria tua. "Panggilkan dia!" serunya pada salah seorang ajudan.
"Baiklah, sambil menunggu Tuan Muda Dickens, kita mulai saja pembicaraan ini," ujar Andrew membuka pertemuan. Sebagai perwakilan raja, dia lah yang memegang otoritas tertinggi saat itu. "Apa strategi kita?" tanyanya.
"Girondin hanya punya satu lapis tembok. Pilihan kita adalah berjaga di luar atau di dalam tembok," sahut Remnant.
"Menurutku kita memiliki cukup pasukan untuk berjaga di luar tembok. Kita bisa mengatur formasi bertahan di sepanjang tembok barat untuk mencegah mereka mendobrak pintu atau mendirikan tangga. Tanpa pasukan di luar tembok, akan mudah bagi mereka untuk memasuki kota," ujar Eric berpendapat.
"Aku setuju. Gabungan pasukan kita juga tak akan maksimal jika bertahan di dalam tembok. Tak ada ruang yang cukup untuk mengatur formasi. Jika sampai terdesak, barulah pasukan mundur dan bertahan di balik tembok," tanggap Ronald.
Mendengar pendapat mayoritas yang menyarankan untuk bertahan di luar tembok, Andrew pun mengangguk-angguk setuju. Sebisa mungkin musuh harus dicegah agar tidak memasuki kota.
"Mengingat tembok barat Girondin yang cukup panjang, kurasa kita setidaknya membutuhkan tiga pemimpin regu," lanjut Andrew. "Kira-kira siapa yang bisa kuandalkan?"
"Hamba bersedia, Pangeran!" Remnant dan Eric menyahut bersamaan.
"Bagus! Aku tak pernah meragukan kalian berdua. Kalau begitu kita sudah punya dua pemimpin regu, siapa satu lagi?" tanya Andrew.
"Jika Yang Mulia berkenan, anakku bisa menjadi salah satu pemimpin pasukan. Meski perangainya kurang baik, dia cukup cakap di medan perang," usul Tuan Humphrey.
Bersamaan dengan itu, Dickens akhirnya tiba di aula. "Maaf, aku terlambat," ujarnya tanpa beban. Beberapa pasang mata pun menatapnya tak suka.
"Tolong jelaskan lagi strategi kita," ujar Andrew pada Eric.
Meski sambil menggerutu dalam hati, Kesatria Fortsouth itu pun menjelaskan semuanya pada Dickens.
"Baik, aku mengerti. Ini mudah," ujarnya setelah mendengar penjelasan Eric.
"Baiklah, kalau semua setuju, aku putuskan Eric akan memimpin pasukan tengah, Remnant di sayap kiri dan Dickens di sayap kanan," tegas Andrew. Ia merasa bahwa Eric adalah yang paling senior dan berpengalaman di medan perang. Kemampuan berpedangnya pun sudah tak diragukan lagi.
"Apakah ada keberatan?" tanya Andrew.
"Tidak, Pangeran, Kami siap bertugas!" sahut Eric, Remnant, dan Dickens bersamaan.
"Bagus! Segera persiapkan diri dan pasukan kalian!" tutup Andrew. Setelah itu ia pergi meninggalkan aula diikuti oleh yang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro