Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 32

Selama beberapa hari berikutnya, Ethardos berada dalam suasana damai yang semu. Sementara pasukan Kingsfort dan Fortsouth bergerak menuju Girondin, Pasukan orc di bawah pimpinan Karl mempersiapkan diri di Bergstone untuk meneruskan misi mereka.

Sementara itu, Peter, Bram, dan Zalika, bersama beberapa warga Bergstone yang berhasil selamat berjalan menyusuri sungai menuju ke timur. Sungai adalah satu-satunya sumber kehidupan bagi mereka di tengah padang pasir yang luas.

Malam itu, ketika semua sudah terlelap, Bram duduk di bawah pohon sambil membuang pandang ke sembarang arah. Sementara itu, Peter yang juga belum tidur berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Terima kasih sekali lagi karena sudah datang mencariku sampai ke Bergstone," ujar Peter membuka percakapan.

"Sama-sama," sahut Bram singkat.

"Jadi bagaimana kau bisa Pergi ke Bergstone? Bukankah seharusnya kau tinggal di gubuk Ronald bersama Anna dan Susan?" Semenjak pergi dari Bergstone, Peter memang belum sempat mendapatkan penjelasan detail mengenai hal itu. 

Bram menghela napas panjang sebelum menjawab, "Beberapa hari setelah keberangkatanmu ke Bergstone, Anna dan Susan pergi ke Kingsfort untuk membeli pakaian. Setelah itu, Susan pergi untuk tinggal bersama bibinya, sementara Anna ..."

"Ada apa dengan Anna?" tanya Peter tak sabar.

"Dia tak pernah kembali."

"Hah? Maksudmu?" Peter terkesiap begitu mendengar bahwa keberadaan Anna kini tak diketahui. Ia duduk tegak dan menatap Bram dengan mata membola.

"Ya, dia menghilang begitu saja. Keesokan harinya, aku pergi ke gerbang kota untuk mencarinya. Karena tak diizinkan masuk, aku hanya bisa bertanya pada orang-orang yang lewat. Dari situ aku mendapat informasi bahwa Anna telah dihukum bakar."

"ASTAGA! Apa kau yakin?" Peter begitu terkejut mendengar kabar itu. Jantungnya terasa seperti meloncat.

"Ya, itu yang mereka katakan. Tapi mereka juga mengatakan bahwa seseorang yang misterius menyelamatkannya dan membawanya pergi."

"La-lalu?" Peter tak sanggup menutupi keingintahuannya.

"Setelah itu, karena tak kunjung mendapatkan informasi mengenai keberadaan Anna serta identitas sang penyelamat, aku memutuskan untuk menyusulmu dan Ronald ke Bergstone," sahut Bram. "Aku harap kita bisa bersama-sama mencarinya."

"Astaga!" Seketika itu, Peter merasa khawatir akan keselamatan kekasihnya. "Apakah mungkin dia masih ada di Kingsfort?"

Bram mengangkat bahu. "Aku tak tahu. Ia bisa ada di mana saja saat ini." Bram mendesah gusar.

Peter pun tertunduk lesu mendengarnya. "Lalu bagaimana kau bisa menemukanku?"

"Setelah tiba di Bergstone, aku berkeliling kota dan bertanya pada setiap orang. Beruntung, seorang penjual makanan di pinggir jalan mengenalimu. Dia bilang kalau kau dekat dengan Putri Zalika dan kemungkinan tinggal di kastel. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya aku berhasil menyusup saat penjagaan kastel tidak ketat. Ketika itu para prajurit sedang fokus bertempur dengan bangsa orc. Aku memanfaatkan situasi dan berkeliling kastel hingga akhirnya menemukanmu dalam penjara." Bram menutup ceritanya dan keduanya pun terdiam sejenak. 

"Maaf, aku telah gagal melindungi Anna." Tutup Bram mengakhiri ceritanya. Suaranya terdengar getir. Setelah itu hening lagi. Hanya suara angin berderu yang terdengar mengisi pendengararan. 

Malam itu, meski berbaring dengan mata terpejam, Peter tak bisa tidur dengan nyenyak. Pikirannya kalut dipenuhi pertanyaan mengenai keadaan Anna.

Hingga ketika matahari sudah terbit, rombongan pun melanjutkan perjalanan dan tiba di Kota Ebru. Mereka memutuskan singgah di situ untuk beristirahat dan mengisi perbekalan. Kota Ebru tidak terlalu besar dan terasa sangat sepi. Suasananya hampir seperti sebuah kota mati.

Ketika sedang kebingungan mengamati sekitar, terlihat seorang perempuan setengah baya yang sedang berjalan tergesa menuju gerbang kota. Raut wajahnya tampak khawatir.

Bram segera menemuinya lalu bertanya, "Selamat siang, ke mana seluruh penduduk kota ini?"

"Sebagian besar sudah mengungsi, mereka takut pada para pasukan orc," sahut sang wanita.

Mendengar itu, Bram pun paham bahwa berita kebangkitan bangsa orc juga telah menyebar ke kota-kota di sekitar Bergstone. Raja Agra telah memperingatkan para penguasa kota mengenai hal itu. Karena tak memiliki pertahanan yang cukup memadai, penguasa Ebru memilih mengungsi.

"Lalu kenapa Ibu tidak ikut mengungsi? tanya Bram lagi.

"Putriku sedang sakit. Aku tak mungkin membawanya pergi. Maaf, aku harus bergegas mengumpulkan tanaman obat untuknya. Aku tak bisa meninggalkannya sendiri terlalu lama."

"Kalau begitu kami akan membantu," sahut Peter. "Biar kami yang mencari tanaman obatnya, ibu kembalilah ke rumah untuk menemaninya."

"Tapi siapa sebenarnya kalian?"

"Ibu tak perlu khawatir. Kami adalah pengungsi dari Bergstone yang berhasil selamat setelah bangsa orc merebut kota," sahut Zalika. "Kami tak memiliki niat buruk."

"Baiklah kalau begitu. Namaku Lilia," sahut sang wanita memperkenalkan diri. "Aku akan membutuhkan beberapa helai daun beri biru dan buah kurma. Jika sudah mendapatkannya, bawalah ke rumah pertama di gang itu. Aku akan menunggu di sana," ujar Lilia sambil menunjuk ke sebuah rumah batu.

"Sementara kami pergi, bagaimana kalau kau menemaninya? Dia tampaknya memerlukan pertolongan," ujar Peter pada Zalika yang segera setuju. Perempuan itu pun menemani Lilia kembali ke rumah.

Setibanya di rumah, Zalika melihat seorang gadis kecil yang tergolek lemah di pembaringannya.

"Apa yang dideritanya?" tanya Zalika prihatin.

"Perutnya sering sakit dan tubuhnya lemas," sahut Lilia sambil mendesah. "Oh ya, siapa namamu?" tanya Lilia.

"Aku Zalika." Gadis itu menyahut sambil tersenyum. "Tenanglah, dia pasti akan segera sembuh. Setelah itu kita bersama-sama bisa pergi ke Girondin," ujar Zalika berusaha menenangkan.

Lilia hanya mengangguk lemah dengan sorot mata sendu.

Setelah itu, selama beberapa hari berikutnya, Bram, Peter, dan Zalika tetap tinggal di Ebru untuk menemani Lilia sambil menunggu kesembuhan Janet, sang putri kecil. Beberapa pengungsi yang lain juga ikut menemani dan tinggal di rumah-rumah yang telah ditinggalkan penghuninya.

Berkat kesabaran mereka, kondisi kesehatan Janet pun membaik dan akhirnya sembuh. Malam itu, sambil makan bersama, mereka memutuskan untuk berangkat ke Girondin besok pagi.

"Terima kasih, sudah membantu ibu merawatku selama ini," ujar Janet sambil tersenyum manis.

"Kau tak perlu sungkan, bukankah saling menolong adalah kewajiban kita semua," sahut Zalika sambil mengelus puncak kepala Janet.

Gadis kecil itu pun mengangguk sambil menatap Zalika dan tersenyum padanya.

"Baiklah, ayo kita makan dan beristirahat. Besok pagi kita berangkat ke Girondin," ujar Lilia. Setelah itu, mereka pun makan dengan lahap.

Usai makan, Zalika menemani Janet bermain. Sementara itu, karena tak ada tempat yang cukup untuk semua, Peter dan Bram memilih beristirahat di lantai atap.

Rumah-rumah di kota sekitar padang gurun memang memiliki atap yang rata. Mereka pun membuat api unggun untuk membuat suasana tetap hangat.

Kedua pemuda itu berbaring di atas jerami, sementara di atasnya ada kain yang terbentang di antara tiang-tiang kayu sebagai pelindung dari cuaca.

"Nona Zalika itu ... sepertinya dia menyukaimu," ujar Bram tiba-tiba.

"Yang benar saja. Dia itu putri bangsawan. Mana mungkin tertarik padaku," sahut Peter.

"Entahlah, aku hanya merasa tatapannya padamu berbeda," gumam Bram. Keduanya lalu terdiam beberapa saat. "Seandainya kau belum pernah bertemu Anna, mungkinkah kau akan jatuh cinta pada Zalika?"

"Hei! Pertanyaan macam apa itu?" protes Peter sambil menyilangkan tangan di dada.

"Maaf ... aku tak bermaksud apa-apa." Bram menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tersenyum masam.

"Kira-kira di mana dia sekarang ...," gumam Peter pada dirinya sendiri.

"Entahlah ...," sahut Bram lirih.

Setelah itu keduanya pun terdiam diiringi suara kain yang berkelebat tertiup angin. Peter lalu memejamkan mata sambil berharap agar dapat segera bertemu Anna lagi.

***

Sementara itu, setelah menempuh perjalanan panjang melewati beberapa kota kecil dan desa, rombongan raja akhirnya sampai wilayah Doria. Sebuah kota yang dibangun di atas bukit untuk memberikan pertahanan ekstra.

Udara di kaki bukit terasa sejuk dan asri. Pepohonan rindang berderet di tepi jalan menjadi peneduh yang seolah menyambut kehadiran para pendatang. Burung-burung berkicau riang sambil berterbangan dan melompat-lompat dari dahan ke ranting. Sesuatu hal yang setidaknya bisa membantu Isabel merasa lebih tenang menjelang pertemuannya dengan Daniel.

Kira-kira satu jam kemudian, mereka akhirnya dapat melihat tembok kota Doria beserta kastelnya yang menjulang gagah.

"Akhirnya sampai juga." Agra menghela napas sambil menatap ke atas bukit. "Semoga semuanya berjalan dengan lancar," gumamnya. Rombongan itu pun meneruskan perjalanan menapaki bukit menuju ke kastel.

Setibanya di gerbang kota, salah seorang kesatria yang ikut dalam rombongan melompat turun dari kuda untuk menemui penjaga di situ. Ia segera menyampaikan bahwa Raja Agra dari Ethardos hendak menemui Tuan Ramon.

Setelah memastikan bahwa tak ada yang mencurigakan, sang penjaga pun mempersilakan tamunya masuk dan membawa mereka melewati kota. Suasana di situ terasa damai. Tidak terlalu ramai jika dibandingkan dengan Kingsfort. Rumah-rumah batu bertingkat terlihat berderet di sepanjang jalanan kota, sementara para penduduknya menjual berbagai jenis barang di teras mereka.

Jalanan terus menanjak hingga akhirnya rombongan tiba di depan pintu kastel. Dari situ tak ada senjata yang diperbolehkan. Agra dan para pengawalnya harus menyerahkan pedang mereka pada seorang penjaga yang bertugas.

Setelah melalui pemeriksaan ketat, seorang penjaga membawa Agra dan yang lainnya masuk ke aula kastel yang tampak sederhana. Dinding-dinding batu terlihat polos tanpa aksesoris maupun hiasan apa pun yang terpasang di sana.

"Silakan tunggu sebentar, akan saya panggilkan Tuan Ramon," ujar sang penjaga.

Sementara menunggu, Isabel tampak mulai gelisah. Ia berdiri di ambang pintu sambil menatap kosong ke langit. Agra yang melihat itu pun menepuk pundak putrinya. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.

Isabel menoleh lalu mengangguk pelan. "Ya, kurasa begitu. Aku hanya sedikit gelisah," sahutnya.

"Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Agra berusaha menghibur dengan berjanji pada putrinya.

"Aku harap begitu," sahut Isabel sambil mendesah. Ia lalu membuang pandangannya kembali ke luar, di mana seluruh kota Doria dapat terlihat.

Tak lama kemudian, sang penjaga pun kembali bersama Tuan Ramon.

"Agra .... tak kusangka kita akan bertemu lagi ... setelah waktu itu," ujar Ramon sambil mengulurkan tangan untuk saling berjabat.

"Ramon ... bagaimana kabarmu? Kulihat kotamu sudah semakin berkembang." Agra menyambut salam dari sang tuan rumah sambil berusaha berbasa-basi.

"Aku sehat, hanya semakin tua," ujar Ramon sambil terkekeh kecil.

"Yah ... tentu semua orang akan menua." Agra pun tersenyum tipis.

"Dan kau juga mengajak putri cantikmu." Momen berikutnya, Ramon ganti menatap Isabel.

"Salam hormat, Tuan Ramon," sahut Isabel sambil membungkukkan kepala.

"Tak perlu terlalu sungkan, Nona Isabel," sahut Ramon. "Baiklah, ayo masuk. Kita berbincang di dalam saja." Setelah itu, Ramon mengajak tamunya ke sebuah ruangan lain yang lebih tertutup. Di situ ada sebuah meja panjang dan kursi di sekelilingnya. Mereka lalu duduk saling berhadap-hadapan sementara para pengawal menunggu di luar

"Jadi apa yang kau inginkan dariku, Sepupu?" tanya Ramon membuka pembicaraan.

"Ethardos akan berperang," sahut Agra serius.

"Apa yang terjadi?" 

"Puluhan ribu pasukan orc bangkit dan menyerang Ethardos. Mereka telah merebut Bergstone dan akan menuju Girondin. Dari sana, mereka bisa menyerang Kingsfort ... atau Doria," sahut Agra.

"Astaga," desah Ramon. "Jadi kau meminta kami untuk membantu mengerahkan pasukan?"

"Ya, kami saat ini sedang memusatkan kekuatan untuk mempertahankan Girondin."

Mendengar itu, Ramon terdiam sejenak. "Mengenai itu, kau harus membicarakannya dengan Daniel. Aku sudah tua, dia yang lebih banyak berperan dalam urusan militer." Ramon lalu berdehem. "Dan kurasa kau sudah tahu apa yang akan ia minta," ujarnya sambil menatap Isabel yang tertunduk dalam diam.

"Ya, kami sudah tahu," sahut Agra singkat.

Ramon mendesah lalu berkata, "Baiklah, kalau begitu tunggu sebentar. Aku akan memanggil Daniel." Ia lalu bangkit dari tempat duduknya, meninggalkan kedua tamunya dalam keheningan.

Sepeninggal Ramon, suasana terasa semakin mencekam, terutama bagi Isabel. Ia terus tertunduk sambil meremas-remas jemarinya yang basah oleh keringat. Hatinya sangat gelisah dan jantungnya berdegup kencang.

Melihat kegelisahan Isabel, Agra merangkul lalu mengusap pundaknya, berusaha menenangkannya.

"Apakah ini akan berhasil?" tanya sang putri. Sorot matanya memancarkan ketakutan yang teramat dalam.

Agra mendesah, "Yah, kuharap begitu ...."

Setelah itu, keduanya terdiam lagi.

Tak lama kemudian, Ramon kembali bersama Daniel. Penampilannya masih sama dengan ketika terakhir kalinya meeka bertemu. Tubuhnya tegap, kulitnya gelap dengan rambut hitam bergelombang. Posturnya tinggi, besar, dan kekar, sementara wajahnya yang berkumis lebat membuatnya tampak lebih tua dari yang seharusnya. Seandainya saja ia tidak kasar dan tahu bagaimana cara tersenyum, mungkin Isabel bisa saja terpikat olehnya. 

Sesaat setelah memasuki ruangan, ia mengerling pada Isabel, perempuan yang sudah lama ia idam-idamkan.

"Jadi apa yang kau inginkan?" tanya Daniel langsung pada Agra. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah ayahnya. Suaranya terdengar serak dan berat. Detik itu juga, atmosfer ruangan terasa semakin intens.

Setelah berdehem sejenak, sang raja pun kembali menjelaskan mengenai kebangkitan kaum orc yang mengancam baik Ethardos maupun Doria. Bukan tidak mungkin, jika dibiarkan, pada akhirnya mereka akan akhirnya menindas manusia.

"Kita harus mempertahankan Girondin untuk mencegah mereka menimbulkan kerusakan yang lebih besar," tutup Agra.

Daniel terdiam sejenak mempertimbangkan apa yang baru saja disampaikan tamunya. "Yang kau sampaikan ada benarnya. Tapi, jika memang demikian adanya, aku akan membutuhkan seluruh pasukanku di sini. Sementara kalian berperang, aku akan punya cukup waktu untuk memperkuat benteng," sahut sang pangeran dingin.

"K-kau? Bagaimana bisa kau hanya memikirkan diri sendiri?!" sahut Agra gusar.

"Jika itu yang diperlukan untuk bertahan hidup, kenapa tidak?"

Agra pun terdiam. Rahangnya terkatup rapat sementara tangannya terkepal erat. Ia tak menyangka bahwa Daniel akan bersikap seperti itu.

Keheningan mencekam pun terasa kian menyesakkan. Agra menghela napas gusar sambil melemparkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia lalu membuang pandangan ke jendela yang terletak di ujung ruangan. Perundingan yang direncanakan jauh-jauh hari terancam gagal begitu saja.

"Apakah ada hal lain yang ingin kau sampaikan?" tanya Daniel lagi.

"T-tolonglah ...." Tiba-tiba Isabel yang sejak tadi terdiam bersuara lirih.

Daniel menatap Isabel sambil tersenyum tipis. "Kenapa aku harus menuruti permintaanmu? Sementara kau pernah menolak permintaanku."

Isabel tertunduk dalam diam sementara air matanya tampak mulai menetes. "A-aku tak akan menolakmu lagi. Aku akan menuruti apa yang kau minta," lirih Isabel.

"Apa? Maaf aku tak bisa mendengarmu. Tolong katakan lebih jelas!"

"A-aku ak-an menuru-ti apa yang kau min-ta," sahutnya sambil terisak semakin kencang.

"Bagus! Jika kau bersedia menjadi istriku, masalahmu akan menjadi masalahku juga. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mempertahankan Girondin!" tegas Daniel.

"T-terima kasih, Pangeran," sahut Agra dengan suara tercekat. Meski hatinya begitu sakit bak tersayat-sayat, setidaknya ada secercah harapan untuk perundingan ini.

"Kalau begitu, selama kita pergi berperang, sebaiknya Isabel tinggal di sini saja. Akan sangat berbahaya baginya untuk ikut turun ke medan perang," lanjut Agra lagi.

"Tidak. Dia ikut denganku ke mana pun aku pergi. Aku akan menjaganya dengan nyawaku sendiri," sahut Daniel.

"T-tapi di sana akan sangat berbahaya."

"Kau pikir aku tak tahu siasatmu? Kau akan mengutus orang untuk membawanya pergi selama aku tak ada di sini kan?"

Sang raja pun terdiam sambil menatap Isabel yang masih terisak. Ternyata Daniel sama sekali tak bisa diremehkan. Selain mahir menggunakan senjata, ia juga seorang pemikir ulung. Hanya saja mungkin hatinya sudah beku.

"Bagaimana? Kau bersedia menerima syaratku?

"Tapi—"

"Aku bertanya padanya, bukan padamu!" potong Daniel sambil menatap Isabel.

Masih sambil terisak, Isabel terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk perlahan.

"Bagus! Bukankah suami istri memang harus sehidup semati?" sahut Daniel sambil menyunggingkan senyum kemenangan. "Baiklah, ayo ikut aku! Sebaiknya kalian menginap di sini selama aku mempersiapkan pasukan."

Setelah itu, Daniel mengantarkan Agra dan para kesatrianya ke sebuah bangunan di dalam kompleks kastel yang memang disediakan untuk para tamu.

"Kau ikut aku!" ujarnya pada Isabel yang juga berniat masuk ke situ. "Tak baik jika calon istriku tidur di ruangan yang sama dengan banyak pria."

"T-tapi—"

"Kau bilang akan menuruti perintahku bukan?" potong Daniel.

Isabel pun terpaksa menurut. Dengan raut sedih, ia bertatapan dengan ayahnya selama beberapa saat. Lalu, seiring Daniel yang menariknya pergi,  Isabel pun menghilang dari pandangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro