Bab 31
Malam itu, Isabel tengah berbaring di rerumputan bersama sang ayah dan rombongannya. Derik jangkrik terdengar dari hutan mengisi kesunyian. Sambil menerawang menatap langit, ingatannya kembali berkelana ke masa lalu, ketika Pangeran Daniel datang ke Kingsfort untuk melamarnya.
"Terima kasih sudah datang jauh-jauh dari Doria. Silakan dicicipi hidangannya," ujar Agra. Ia menyambut kedatangan tamunya dengan sebuah jamuan makan malam.
"Terima kasih, Yang Mulia. Sebuah kehormatan bagi kami," sahut Ramon, ayah Daniel. Sementara itu, Daniel hanya membungkukkan kepala, tanpa suara, tanpa senyuman. Garis rahangnya yang tegas berbingkai jambang sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Namun, Isabel merasakan aura yang dingin terpancar dari kehadiran sang pangeran.
Setelah saling memberi salam dan berbincang singkat, mereka pun mulai makan. Tak banyak percakapan yang terjadi selama itu. Hanya Ramon sesekali memuji kelezatan masakan yang terhidang serta menceritakan kecakapan putranya dalam kemiliteran. Sementara itu, Daniel hanya diam. Matanya sesekali menyorot pada Isabel yang makan dengan perasaan sama sekali tak nyaman.
Ketika sudah hampir selesai makan, Daniel meminta seorang gadis pelayan yang berdiri di dekatnya untuk menambahkan anggur pada gelasnya
Pelayan itu menurut dan langsung mengisi gelas anggur Daniel. Namun, karena kurang hati-hati, ia meleset dan alih-alih mengisi gelas, anggur itu justru tumpah membasahi Daniel.
"DASAR BODOH!" umpat Daniel sambil mengentakkan gelasnya. Ia lalu berdiri dan mendorong pelayan itu keras-keras hingga jatuh tersungkur. Tekonya jatuh berkelontangan dan isinya tumpah membasahi lantai.
"Ma-maaf, Tuan," ujar pelayan itu sambil meringis menahan sakit.
"PERGI! Aku tak sudi melihatmu!" bentak Daniel.
Dengan tubuh gemetar ketakutan, pelayan itu pun bergegas pergi. Matanya tampak basah menahan tangis. Daniel lalu duduk kembali sambil mendengkus kasar, sementara seorang pelayan lain membereskan kekacauan di lantai.
"Maaf, atas gangguan itu," ujar Daniel ketika mendapati semua mata tertuju padanya. Hanya Isabel yang memilih tetap menunduk, menghindari tatapannya bertemu.
Setelah insiden itu, ada ketegangan yang terasa mengambang dalam ruang perjamuan.
Ramon lalu angkat bicara untuk mencairkan suasana. "Maaf, anakku terlalu sering bergaul dengan prajurit sehingga perangainya jadi agak kasar," ujarnya sambil berdehem. "Kepergian ibunya juga membuat semuanya jadi lebih berat."
"Yah, kurasa kau harus mendidiknya lebih keras," sahut Agra lirih.
"Terima kasih nasihatnya," ujar Ramon. Beberapa saat kemudian suasana hening kembali.
Ketidaknyamanan itu akhirnya membuat Ramon merasa bahwa ia sebaiknya segera mengutarakan maksud kedatangannya. Sambil berdehem beberapa kali, ia pun berkata, "Jadi, apakah kita bisa mulai membahas rencana pertunangan anak-anak kita?"
Setelah hening sesaat, Agra pun menyahut, "Mengenai itu, aku menyerahkan keputusannya pada Isabel sendiri." Ia lalu menatap pada putrinya sambil bertanya, "Bagaimana menurutmu? Apakah kau bersedia menerima lamaran Pangeran Daniel?"
Seketika itu, semua mata pun tertuju pada Isabel, membuat perasaannya sama sekali tak nyaman. Ia merasa seperti ingin menghilang saja.
Sebenarnya, sejak awal ia tak mau menerima lamaran Daniel karena sudah ada Bram di hatinya. Hanya saja, karena hubungan gelapnya itu tak direstui, dan demi menghormati Doria, ia bersedia bertemu dan setidaknya mengenal calon suaminya lebih dulu. Insiden yang baru saja terjadi kian menguatkan keputusannya untuk menolak Daniel.
Sambil menunduk dan bersembunyi di balik rambut pirangnya, gadis itu pun menggeleng sebagai jawaban.
Mendapat gestur penolakan dari Isabel, Daniel mendadak emosi. Ia memukul meja sambil menggeram. "Berani-beraninya kau menolakku!" bentaknya dengan mata berkilat. Isabel pun semakin ketakutan dan kepalanya tertunduk kian dalam. "Aku ini tak terkalahkan di medan perang--"
Belum usai kalimat Daniel, Ramon memotong dan mencegahnya bicara lebih jauh. "Baiklah kalau memang itu keputusan Putri, terima kasih atas jamuannya. Kami mohon pamit," Setelah itu, Ramon mengajak putranya pergi dari situ.
Daniel yang merasa dipermalukan, mendengkus dan memukul meja sekali lagi. Ia lalu berdiri dan pergi meninggalkan ruangan.
Isabel mendesah panjang ketika memori itu kembali memenuhi ingatannya. Semakin dekat ia dengan Doria, semakin perasaannya jadi tak menentu. Membayangkan bertemu dengan Daniel lagi sudah membuatnya muak, apalagi jika sampai harus menikah dengannya.
Sambil menatap hamparan bintang di langit, dalam hati ia benar-benar berharap agar rencana mereka dapat berjalan lancar.
***
Sementara itu, jauh di sebuah pulau di barat, Susan, Jack, Fiona, dan Lily tengah berada dalam perjalanan menuju puncak gunung Aoba untuk mendapatkan lumut api. Jack tak bisa membawa mereka langsung ke puncak gunung menggunakan portal karena ia sendiri belum pernah ke sana. Ia hanya bisa menggunakan portalnya untuk tiba di pulau itu. Mereka lalu harus berjalan kaki sampai ke tujuan.
Untuk mencapai puncak, mereka harus melalui tebing batu yang terjal serta padang abu yang gersang. Ketiadaan sumber air maupun tanaman yang hidup di sekitar situ membuat Jack harus menggunakan sihirnya untuk berteleportasi ke sumber air terdekat dan membawa beberapa kantung untuk mereka minum.
Semakin jauh melangkah, semakin sulit pula rintangannya. Selain medan yang kian terjal, getaran tanah akibat aktivitas vulkanis terasa semakin kencang. Tak jarang mereka harus berhenti sejenak untuk beristirahat.
Beberapa jam berlalu hingga akhirnya mereka tiba di puncak. Dari situ, mereka bisa melihat kawah dengan magma yang terus bergejolak. Sebuah pemandangan yang tampak menakjubkan sekaligus mengerikan.
"Akhirnya sampai juga," desah Susan sambil menyeka keringat yang membanjiri wajah. Suhu udara di situ terasa cukup panas karena jaraknya dekat dengan kawah. Bau belerang pun terasa menusuk hidung.
"Bagaimana agar kita bisa turun dengan aman? Di sana pasti sangat panas," tanya Fiona. "Lumut api tumbuh sangat dekat dengan magma,"ujarnya sambil menunjuk tepi kolam magma di mana terlihat tanaman seperti lumut yang menyala merah.
"Aku akan mengambilnya," sahut Lily. "Aku bisa menciptakan pusaran angin dingin untuk melindungi diri."
"Kau yakin bisa mengatasinya?" tanya Jack.
Lily mengangguk tegas sebagai jawaban.
"Baiklah, kalau begitu berhati-hatilah," ujar Jack berpesan.
Lily lalu mulai melangkah perlahan menuruni kawah. Ketika suhu udara mulai terasa semakin tinggi, ia merapal mantra untuk menciptakan angin dingin yang berpusar di sekeliling tubuhnya.
Sementara itu, Jack, Fiona dan Susan melihat dari atas kawah sambil harap-harap cemas. Apalagi ketika beberapa kali Lily tampak hampir terpeleset sebelum mendapatkan keseimbangannya kembali.
"Hati-hati!" teriak Jack.
Lily mengangkat jempolnya sebagai pertanda bahwa semua baik-baik saja.
Setibanya di tepi kolam magma yang bergejolak, Lily segera berjongkok dan mulai mengambil lumut api dengan sekop kecil yang sudah ia siapkan. Ia tak mau membuang-buang waktu mengingat energi sihirnya yang terbatas,
Namun, begitu ia mengambil sejumput lumut pertama, tiba-tiba magma bergolak semakin hebat dan tanah di sekitarnya pun bergetar kencang. Ada apa ini? gumamnya kebingungan.
Bersamaan dengan itu, di satu titik, tampak magma bergolak semakin tinggi dan membentuk wujud seperti monster. Tingginya mencapai dua meter dan keseluruhan tubuhnya terbuat dari magma.
"Astaga! Monster apa itu?" Lily menatapnya sambil bergidik. Tubuhnya terpaku melihat makhluk mengerikan yang muncul di hadapannya.
Sesaat kemudian, sang monster magma mulai bergerak mendekati Lily, membuatnya gemetar ketakutan.
"AWAS!" Susan berteriak spontan memperingatkan ketika melihat Lily hanya berdiri diam tanpa reaksi. Bersamaan dengan itu, sang monster mulai menyemburkan api ke arah Lily.
Beruntung, Lily tersadar dan masih sempat memusatkan energi dinginnya untuk menahan semburan api dari sang monster.
Untuk beberapa saat ia mampu bertahan. Namun, semburan api terus menerus dengan intensitas tinggi tak ayal membuat Lily semakin lemah. Perlahan-lahan ia mulai terdesak.
Sementara itu, kawan-kawannya hanya bisa menatap dari atas dengan panik. "Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Susan kebingungan.
"Entahlah ... aku bisa turun ke sana untuk membawanya pergi, tapi akan sangat berbahaya bagiku. Sepertinya aku akan langsung terbakar begitu muncul di dekatnya," sahut Jack.
Sementara itu Fiona terdiam tampak sedang memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian, ia berteriak, "CEPAT MAKAN LUMUT APINYA!"
Namun, Lily tampaknya tak bisa mendengar teriakan Fiona. Dari jarak yang cukup jauh, ditambah semburan api yang menderu di sekitarnya, Lily terlalu fokus dengan apa yang sedang ia hadapi. Apalagi semburan api itu kini sudah semakin mendekati tubuhnya, memaksanya jatuh bersimpuh di tanah sambil terus berusaha bertahan. Napasnya tersengal-sengal sementara keringat membanjiri tubuhnya.
Melihat situasi semakin genting, Susan lalu menggunakan sihir telepatinya untuk menyampaikan pesan Fiona.
Mendengar bisikan Susan, Lily langsung berusaha mengikutinya. Tak ada banyak pilihan baginya saat itu. Ia meraih lumut api dengan sebelah tangan, lalu bergegas menelannya.
Untuk sesaat, ia merasa mulut dan kerongkongannya terbakar. Untungnya hal itu tak berlangsung lama. Setelah tertelan, Lily merasa baik-baik saja. Ia justru merasa energi dinginnya seolah tersedot habis. Sekuat apa pun berusaha, ia tak mampu lagi mempertahankan sihirnya. Seketika itu, semburan api sang monster lava pun melumatnya bulat-bulat.
Lily yang sudah pasrah akan nasibnya terkejut ketika semburan api sang monster lava tidak membakar tubuhnya. Berkat lumut api, ia menjadi kebal.
Namun, pemandangan itu terlihat mengerikan di mata Jack, Susan, dan Fiona. Ketegangan kian memuncak ketika selama beberapa saat kemudian, sang monster terus menerus menyemburkan api pada Lily yang sama sekali sudah tak sanggup memberikan perlawanan.
Hingga pada suatu titik, monster lava itu tampaknya mulai kehabisan energi. Semburan apinya terhenti dan tubuhnya lebur kembali bersama magma di sekitarnya.
Napas Susan terhenti sejenak ketika melihat tubuh Lily diam dalam posisi berjongkok sambil memeluk lutut. Seluruh pakaiannya telah hangus terbakar sementara kulitnya tampak menghitam berselimutkan abu.
"Kau baik-baik saja?" Teriak Fiona dari atas kawah.
Sejenak kemudian, Lily mulai bangkit perlahan. Jack, Susan, dan Fiona pun mendesah bersamaan. Kelegaan menyelimuti hati mereka.
"Syukurlah," gumam Susan.
Setelah itu, Lily mulai melanjutkan pekerjaannya mengambil lumut api sesuai kebutuhan. Berkat khasiat lumut api, ia tak memerlukan sihir lagi untuk bertahan dari panas yang menyengat.
Tanpa gangguan, tak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan pekerjaan. Ia lalu bergegas melangkah naik.
Sementara itu, Fiona turun untuk menjemput Lily dan menyelimuti tubuhnya dengan jubah.
"Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal mengenai khasiat lumut api?" gerutu Lily pada Fiona.
"Sejujurnya aku pun tak tahu, itu hanya dugaanku saja. Tanaman yang tumbuh di lokasi-lokasi ekstrem seperti ini biasanya berkhasiat," sahut Fiona.
"Astaga, lalu bagaimana jika itu ternyata beracun?" timpal Lily gusar.
"Tentu kau akan mati. Sama halnya jika kau terkena semburan api tadi," ujar Fiona.
Lily pun hanya bisa terdiam. Bagaimanapun apa yang disampaikan Fiona ada benarnya. Meski berisiko, ia harus mengambil satu-satunya peluang dengan memakan lumut api.
"Yah, kau benar. Terima kasih sudah menyelamatkanku," ujar Lily. Ia lalu berterima kasih juga pada Susan yang telah menyampaikan pesan Fiona melalui telepati.
"Baiklah, misi pertama sudah berhasil, ayo kita pergi." Setelah itu, Jack membuka portal dan membawa mereka pergi dari situ. Meski sempat kesulitan, bahan pertama kini telah berhasil didapat. Mereka pun beristirahat di sebuah kota sambil mempersiapkan diri untuk menyambut tantangan berikutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro