Bab 30
Seorang prajurit menghadap Edgar dengan tergesa. Wajahnya pucat seperti baru saja melihat hantu. "Puluhan ribu pasukan orc terlihat dari sisi utara kota!" ujarnya gusar.
Mendengar itu, kepalan tangan Edgar menguat dan rahangnya mengeras. Akhirnya mereka tiba juga, gumamnya dalam hati. Ia lalu bergegas mengumpulkan para kepala pasukan dan langsung menyampaikan laporan yang baru saja diterimanya.
"Meskipun Agra telah memintaku pergi dan menyerahkan kota, bagaimanapun juga, Bergstone adalah milik kita. Para leluhur telah berjuang mati-matian demi mempertahankan kota. Darah mereka kini mengalir dalam darahku. Sekalipun harus mati, aku tak akan kabur seperti pengecut!" tegas Edgar. Sesuai yang diperkirakan, ia memilih mengabaikan peringatan Agra dan tetap berusaha mempertahankan kota.
"Kami siap berjuang bersama Anda, Tuan." sahut Ballmer sang kepala pasukan.
"Bagus! Kau akan bertanggung jawab untuk pertahanan kota. Persenjatai semua laki-laki dewasa. Kita akan bertempur sampai titik darah penghabisan," tegas Edgar.
"Arian, sediakan apa saja yang ia butuhkan," perintah Edgar pada sang adik.
"Tapi pasukan mereka sangat besar, apakah tidak sebaiknya kita mengajukan penyerahan diri saja?" ujar Arian.
"Jangan jadi pengecut. Aku tak sudi menyerah pada segerombolan monster mengerikan seperti mereka," sahut seorang kapten.
"Ya! Lebih baik aku mati daripada harus tunduk," sahut yang lain.
"Bagus! Aku suka semangat kalian! Segera persiapkan pertahanan!" tegas Edgar. Ia lalu pergi untuk berbicara dengan Sofia dan Zalika. Ia mengumpulkan keduanya di ruang keluarga di kastel.
"Tak lama lagi, kota akan diserang. Kalian bawalah para wanita dan anak-anak untuk bersembunyi di ruang bawah tanah. Jika kota ini jatuh, ajak mereka pergi melalui lorong rahasia. Aku akan tetap di sini untuk berjuang demi Bergstone."
Setelah itu, ia menyerahkan kalung jimat ivoltaros pada Zalika. "Pakailah ini jika mereka sampai menemukanmu. Mereka tak akan bisa menyakitimu," pesannya pada sang putri. Meski sempat mengecewakannya, bagaimanapun juga Edgar sangat mencintai gadis itu.
Sofia dan Zalika mengangguk sambil berlinang air mata. Setelah itu ketiganya saling berpelukan dalam haru.
"Berjanjilah untuk kembali," pinta Sofia.
Edgar tidak menyahut. ia hanya memandang perempuan itu lalu mencium keningnya. Ia melakukan hal yang sama pada Zalika lalu berpaling.
Merasakan pertanda buruk, tangis Sofia pun pecah semakin tak terkendali. Jauh di lubuk hati, ia merasa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Sementara itu, Edgar melangkah mantap menuju tembok utara kota. Meski berat, keputusannya sudah bulat. Ia akan terus berjuang mempertahankan kota yang sangat dicintainya, meski nyawanya sendiri harus jadi taruhan.
Para leluhur, berkati kota ini, batinnya sambil menapak tangga terakhir. Dari atas tembok kota, ia bisa melihat puluhan ribu pasukan orc berbaris mendekati bentengnya, lengkap dengan sejumlah trebuchet alias ketapel raksasa serta tangga. Hentakan kaki mereka membuat bumi terasa bergetar.
"Bagaimana persiapanmu?" tanya Edgar pada Ballmer, sang kepala pasukan.
"Semua sudah siap, Tuan. Para pasukan sudah berada di posisi."
"Bagus!" puji Edgar sambil menepuk bahu kesatrianya.
Seiring para pasukan orc yang bergerak semakin dekat, suasana pun terasa kian mencekam. Para pemanah telah bersiaga di atas tembok kota dengan busur terentang dan peluh mengalir di pelipis. Semua terdiam dalam keheningan yang mencekam. Hingga ketika ribuan anak panah sudah siap dilesatkan, musuh berhenti tepat sebelum memasuki jarak tembak.
Karl, dalam wujud manusianya, bersama beberapa orc berkulit hijau kemudian maju ke tengah medan perang.
"Huh, berani juga dia," gumam Edgar.
"Bagaimana, Tuan, apakah kita tembak?" Ballmer bertanya pada Tuannya.
"Jangan. Aku ingin mendengar dulu apa yang hendak mereka sampaikan," sahut Edgar. Ia bersama Ballmer dan Arian, serta beberapa kapten kemudian turun dari tembok kota dan keluar dari pintu gerbang.
Kedua kubu kini saling berhadapan di tengah padang pasir, di antara kedua pasukan yang siap bertempur.
"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Edgar.
Karl maju untuk berbicara. "Dahulu kala, di bawah komando Tuan Mosha yang kejam, bangsamu telah membantai bangsa orc di tanah ini. Namun, saat ini kami datang bukan untuk membalas dendam!" Karl menatap tajam mata Edgar. "Kami datang untuk menyampaikan pesan dari Tuhan."
"Pesan dari Tuhan?" Edgar mengernyit kebingungan.
"Agra, rajamu, telah berani menentang ajaran Tuhan dan menghukumku, seorang hamba Tuhan. Kini Dia murka dan memberikan aku kuasa atas seluruh bangsa orc untuk menegakkan ajarannya. Menyerahlah! Serahkan kotamu dan bergabunglah bersamaku. Sampaikan pada Agra, jika ia tidak segera bertobat dan turun dari takhta, hukuman akan segera datang menimpanya!"
"Lalu bagaimana dengan rakyatku?" tanya Edgar pada Karl.
"Mereka akan aman. Aku berjanji tak akan menyakiti mereka."
"Kurasa itu jalan yang terbaik. Tak perlu banyak korban yang jatuh," sahut Arian, adik Edgar.
"Tapi aku tak mau tunduk pada monster-monster itu. Lebih baik mati daripada menjadi budak mereka," sahut salah seorang kepala pasukan.
"Ya, kita tak bisa percaya begitu saja. Bisa jadi itu hanya taktik agar mereka bisa masuk dengan mudah," timpal Ballmer.
"Akan sangat mengerikan jika kita membiarkan mereka masuk dan membantai semua orang. Aku tak bisa mempercayai seseorang yang sudi mengkhianati bangsanya sendiri dan memilih bergabung bersama para monster," pendapat yang lain.
Edgar mengangguk-angguk setuju. Mereka tampak sama sekali tak bisa dipercaya. Detik itu juga, ia pun memutuskan untuk menolak tawaran Karl.
"Enyahlah kalian semua," ujar Edgar. Setelah itu, ia berbalik dan memacu kudanya kembali ke benteng.
Melihat reaksi Edgar, Karl berdecih. "Kau akan menyesali ini, dasar manusia sombong," timpal pria itu. Ia lalu berbalik kembali ke barisan.
Setelah perundingan gagal, kedua kubu mulai bersiap. Karl memerintahkan para pasukannya untuk mengisi trebuchet dengan batu. Begitu pula dengan Ballmer yang menginstrukaikan pelontar batu raksasa itu untuk segera diisi.
Pertahanan Bergstone memang cukup tebal dengan dua lapis tembok dan beberapa trebuchet di atasnya.
"TEMBAK!" perintah Ballmer.
Dalam beberapa saat kemudian, batu-batu besar mulai terlontar di udara dari kedua arah yang berlawanan. Tembakan pasukan orc menghantam tembok kota, meruntuhkan beberapa bagiannya. Tak tinggal diam, pasukan Bergstone berusaha menembak trebuchet lawan, mencegah mereka menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Sementara itu, karena sulit diarahkan, beberapa bongkah batu juga terlempar ke barisan pasukan membuat mereka tercerai berai.
Saling serang dengan lemparan batu itu terus berlangsung hingga kedua pihak kehabisan amunisi. Setelah itu, sambil mendorong tangga, para pasukan orc mulai bergerak. Ballmer langsung memberi aba-aba pada pasukan untuk bersiap dengan busur dan panah.
Para pasukan orc bergerak perlahan kemudian semakin cepat. Teriakan dan geraman mengerikan seketika terdengar menggetarkan jiwa. Beberapa orc merah yang paling kuat bertugas mendorong tangga. Di samping itu, pasukan orc kelabu yang menunggang harimau bergigi pedang muncul melesat dari belakang barisan, sementara para orc hijau duduk di belakangnya sambil memegang busur dan panah.
"TEMBAAK!!" Setelah melihat musuh masuk dalam jarak tembak, Ballmer langsung memberi aba-aba. Seketika itu juga, ribuan panah melesat di angkasa, menimbulkan bayang kegelapan di atas pasir, seolah sang dewa kematian sendiri datang untuk mengambil klaim atas jiwa-jiwa yang malang.
Serangan itu membuat sebagian dari pasukan orc mulai berjatuhan tertusuk panah. Meski sudah mengangkat perisai untuk melindungi diri, cukup banyak orc yang jatuh dari tunggangan dan harus meregang nyawa. Meski tubuh dipenuhi otot, serangan di area vital tetap akan fatal akibatnya.
Barisan pemanah bertukar dengan sigap, dan sesuai aba-aba langsung menembak lagi. Ribuan panah kembali melesat bak hujan deras yang jatuh menghunjam bumi.
Dalam sekejap, tubuh-tubuh orc yang sudah tak bernyawa kembali bergelimpangan di atas pasir. Namun, mereka sama sekali tidak menyerah. Meski ratusan sudah tumbang, itu sama sekali bukan jumlah yang besar jika dibandingkan keseluruhan pasukan yang turun berlaga.
Tak tinggal diam, para pasukan orc mulai membalas dengan menarik busur mereka. Mereka kini juga telah mengembangkan keterampilan memanah dari atas tunggangan. Orc kelabu yang membawa perisai bertugas mengendalikan si harimau serta melindungi orc hijau yang duduk di belakangnya. Sementara itu, orc hijau berusaha membidik lawannya dengan busur dan panah.
Ribuan panah kini ganti menghujani tembok kota Bergstone.
"ANGKAT PERISAI!" perintah Ballmer dari atas tembok. Meski begitu, beberapa prajurit tetap saja terluka dan di antaranya ada yang sudah harus meregang nyawa.
Di antara serbuan panah, pasukan orc akhirnya tiba di tembok kota. Tangga berhasil didaratkan di sisi luar tembok, dan mereka mulai memanjat.
Pasukan yang berjaga di atas tembok tak tinggal diam dan terus menembakkan panah, melemparkan batu, atau berusaha membakar tangga. Segala cara dilakukan untuk mencegah musuh mencapai bagian atas tembok kota.
Namun, pada akhirnya beberapa orc berhasil tiba dan berhadapan langsung dengan pasukan Bergstone. Pertarungan sengit pun tak terelakkan. Banyak korban berjatuhan dari kedua kubu.
Sementara itu, pelantak tubruk didorong ke pintu gerbang dan segera diayunkan. Dentuman keras kala balok menghantam pun terdengar membahana. Pintu bergetar semakin hebat setiap kali terhantam dengan keras.
Mengetahui bahwa pintu gerbang tak bisa bertahan lebih lama, Ballmer turun dari tembok lalu berjalan di depan pasukan yang berjaga di balik gerbang. Ia berkuda sambil berteriak untuk membangkitkan semangat para prajurit.
"Dahulu kala, leluhur kita berani mengangkat senjata untuk melawan bangsa orc. Sekarang, setelah berabad-abad, mereka kembali untuk menguji ketangguhan kita. Apakah kalian takut?"
"TIDAK!!" sahut para pasukan dengan penuh semangat, saling bersahutan dengan kerasnya hantaman pintu.
"APAKAH KALIAN TAKUT?!" Ballmer mengulangi pertanyaannya.
"TIDAK!!!"
"Bagus! Aku juga tidak takut. Jika pun harus mati, aku akan bangga karena telah mati untuk mempertahankan tanah kelahiranku! Aku akan bangga karena telah berjuang bersama kalian para prajurit pemberani! AKU AKAN BANGGA KARENA TELAH BERJUANG UNTUK MEMPERTAHANKAN KEHORMATAN UMAT MANUSIA DARI PARA MONSTER MENGERIKAN ITU!!"
Para pasukan pun menyahut dengan teriakan bergemuruh. Mereka menghantamkan senjata sehingga menimbulkan bunyi berkelontangan nyaring.
"SELURUH PASUKAN, BERSIAP!" Bersamaan dengan komando itu, pintu gerbang menjeblak terbuka dan segerombolan pasukan orc menyerbu masuk. Para pasukan segera menyambutnya dengan tembakan crossbow.
Pertempuran sengit tak terhindarkan. Sementara para pasukan infanteri menghadapi serbuan musuh, prajurit pemanah di atas tembok kota masih harus berjibaku dengan mereka yang berhasil memanjat tangga.
Semakin lama, situasi jadi semakin runyam. Meski bertarung dengan gagah berani, fisik pasukan orc yang lebih kuat, ditambah dengan harimau bergigi pedang yang mengerikan, pasukan pertahanan pun semakin terdesak.
Melihat itu, Arian menghampiri Edgar yang saat itu tengah berdiri di atas tembok bersama beberapa pasukan. Meski belum banyak pasukan orc yang berhasil mencapai sisi tembok dalam, beberapa tampak mulai berdatangan. Ballmer bersama beberapa orang prajurit ada di situ berusaha menghalau mereka.
"Kita akan kalah. Sebaiknya menyerah saja," ujar Arian pada Edgar.
"Dasar pengecut! Pergi dan bersembunyilah bersama para wanita!" seru Edgar. "Aku akan bertarung sampai titik darah penghabisan." Ia lalu berpaling, berniat ikut membantu pertahanan. Meski sudah tua, ia tak mau hanya berpangku tangan dan tak melakukan apa-apa sementara yang lain berjuang mati-matian.
Namun, belum sempat melangkah jauh, Arian mengambil sebuah anak panah, lalu menusuk bagian belakang leher sang kakak.
"K-kau!" Seketika itu Edgar terjatuh sambil meratap gusar. "Dasar pengkhianat!" ujarnya sambil terbatuk-batuk. Darah segar pun mengalir dari mulutnya.
"Maaf, aku sudah mencoba memperingatkanmu," sahut Arian dingin.
Dengan tubuh gemetar hebat, Edgar mencengkeram lengan Arian kuat-kuat.
"Terkutuklah kau," umpatnya. Setelah itu cengkeramannya melemah dan tangannya jatuh terkulai di tanah. Edgar pun tewas di tangan sang adik.
"Tuan Edgar gugur! Kibarkan bendera putih!" seru Arian. Sepeninggal Edgar, memang dialah yang berhak atas kekuasaan di Bergstone.
Mendengar itu, beberapa prajurit terlihat lesu. Moral mereka jatuh karena telah kehilangan seorang pemimpin.
Namun Ballmer tak mau menyerah. Ia berteriak lantang pada para pasukan, "Omong kosong! Tuan Edgar sudah berpesan untuk mempertahankan kota sampai titik darah penghabisan! Aku tak akan mengkhianati pesan terakhirnya!"
"Ya! Kami tidak sudi menyerah dan menjadi budak mereka!" Seorang prajurit menimpali.
"LAWAAAN! SAMPAI TITIK DARAH PENGHABISAN!!" Seketika itu, para prajurit pun bangkit kembali, berjuang untuk mempertahankan kotanya.
"Dasar prajurit keras kepala," gerutu Arian. Ia lalu bergegas menuju katrol untuk membuka pintu gerbang. Ia membunuh seorang penjaga di sana lalu memutar handelnya. Seketika itu, gerbang kota pun terbuka perlahan.
Tanpa menunggu sampai terbuka seluruhnya, para pasukan orc segera menyerbu masuk ke dalam kota dan memporakporandakan isinya.
"Menyerahlah! Bergstone sudah jatuh! Angkat tanganmu!" teriak Arian. Namun tak ada satu pun dari prajurit itu yang menaati perintahnya.
"Huh, terserah kalian saja!" gerutu Arian. Ia lalu menjauhi medan pertempuran dan bersembunyi di tempat yang aman.
Setelah gerbang terbuka, ribuan pasukan orc langsung menyerbu dan membunuh seluruh prajurit yang tersisa, termasuk Ballmer.
Tak lama kemudian, kota akhirnya berhasil direbut. Karl masuk sambil menunggang seekor harimau bergigi pedang. Melihat itu, Arian keluar dari tempat persembunyian untuk menyambutnya. "Selamat untuk kemenanganmu," ujarnya.
"Kenapa lama sekali?" tanya Karl sambil melompat turun dari tunggangannya.
"Maaf, tadi aku masih berusaha membujuk mereka untuk menyerah. Aku tak paham, kenapa semua orang begitu keras kepala," sahut Arian.
Karl menepuk pundak Arian. "Yah, begitulah manusia. Mereka merasa kehormatannya lebih berharga daripada nyawanya sendiri."
"Ya, sepertinya begitu," sahut Arian datar. "Baiklah, lakukan sesukamu saja. Tugasku sudah selesai dan aku ingin beristirahat di dalam kastel. Ingat, jangan sampai monster-monster itu masuk ke sana! Itu wilayahku," ujar Arian. Setelah mendapat persetujuan Karl, pengkhianat itu pun pergi.
Setibanya di kastel, Arian melangkah ke ruangan bawah tanah menemui Sofia dan Zalika untuk menyampaikan bahwa situasi telah terkendali. Kesepakatan telah tercapai dan kini para orc tak akan masuk ke dalam kastel.
"Lalu bagaimana dengan ayah?" tanya Zalika penuh harap.
"Maaf, dia telah gugur di medan perang," sahut Arian sambil berpura-pura sedih.
Seketika itu, tangis Zalika dan Sofia pun pecah. Mereka saling berpelukan penuh kedukaan.
"Aku mohon maaf atas kematian Edgar," ujar Arian. "Sebaiknya kalian kembali ke kamar. Di sini banyak orang." Arian mengulurkan tangan pada Sofia. "Mari kuantar," ujarnya.
Ketiganya pun berjalan lesu menyusuri lorong-lorong kastel untuk kembali ke kamar. Sofia dan Zalika terus menangis sepanjang jalan hingga akhirnya mereka tiba di kamar. Arian tersenyum lalu membukakan pintu untuk mereka.
"Terima kasih," ujar Sofia. Lalu ia pun masuk bersama putrinya.
Tanpa diduga, Arian ikut masuk dan menutup pintunya dari dalam.
"K-kau? Apa maksudmu?" tanya Sofia tergagap. Ia tak mengerti mengapa adik iparnya itu justru ikut masuk ke kamar.
Tanpa menjawab, Arian melangkah mendekati Sofia.
Sofia yang ketakutan pun mundur hingga tubuhnya menghantam sebuah meja.
"Tak perlu takut, aku hanya ingin menghibur," sahut Arian sambil terus melangkah. Ia lalu memeluk tubuh Sofia yang tampak masih kebingungan.
Tanpa disangka-sangka, Arian lalu menusuk perut Sofia dengan sebilah pisau. Wanita itu tak sempat bereaksi apa pun. Matanya membelalak sementara mulutnya menganga lebar. Detik berikutnya, wanita itu jatuh ke lantai bersimbah darah.
Zalika yang melihat ibunya tewas langsung menjerit sekencang-kencangnya. Sementara itu Arian ganti mendekati Zalika sambil tersenyum licik.
Tak mau bernasib sama seperti ibunya, Zalika berniat kabur dan segera melesat ke pintu. Namun malang, Arian berhasil menangkap lengan sang gadis dan mencengkeramnya kuat-kuat.
"TIDAK! JANGAN! LEPASKAN AKU!" jerit Zalika, sementara Arian melemparkannya ke atas tempat tidur. Ia lalu mulai menggerayangi tubuh sang gadis.
"Kumohon, jangan ...," tangis Zalika.
"Kau sangat cantik, sayang sekali jika harus langsung dibunuh." Arian menyeringai menjijikan.
Meski sudah berusaha melawan sekuat tenaga, Zalika tak bisa mengalahkan Arian. Ia hanya bisa menangis pasrah saat pamannya itu mulai merobek pakaiannya.
Ketika semua tampaknya akan berakhir menjadi mimpi buruk, tiba-tiba pintu menjeblak terbuka karena didobrak dari luar. Peter berdiri di sana dengan wajah merah padam.
"KAU ... IBLIS!" Melihat perbuatan bejat Arian, Peter langsung merangsek dan menusuk tubuh pria itu menggunakan pedang. Detik itu juga, sang pengkhianat pun rebah bersimbah darah.
"Kau tak apa?" tanya Peter pada Zalika yang tampaknya masih sangat terkejut. Wajahnya yang basah oleh air mata terlihat pucat, sementara sekujur tubuhnya gemetar dan banjir keringat.
"Tenanglah, aku ada di sini." Peter memeluk Zalika, berusaha menenangkan.
"T-terima kasih," gagap Zalika. Selama beberapa saat, ia terisak di bahu Peter. Namun tak lama kemudian, tubuhnya kembali menegak ketika menangkap sosok seorang laki-laki berdiri di ambang pintu.
"Siapa kau?" tanyanya pada sang lelaki.
"Namanya Bram, temanku dari Kingsfort. Dia yang membantuku keluar dari penjara," sahut Peter. "Sebaiknya nanti saja kita lanjutkan lagi ceritanya. Kota akan jatuh ke tangan bangsa orc. Kita harus segera pergi."
"Baiklah," sahut Zalika. Ia lalu menatap jasad ibunya sambil berlinang air mata. Selamat tinggal, Ibu. Semoga arwahmu tenang di alam sana, batin Zalika.
Setelah itu, Peter, Bram, dan Zalika melangkah tergesa menuju sisi timur kota. Mereka mengajak semua orang yang dapat mereka jumpai lalu pergi melalui sebuah jalan rahasia.
Bersamaan dengan jatuhnya Bergstone ke dalam kekuasaan Karl, beberapa orang berhasil selamat dan mencari perlindungan di kota terdekat.
Kini tak ada lagi yang tersisa dari para pasukan pemberani Bergstone. Mereka semua benar-benar berperang sampai titik darah penghabisan. Ribuan jasad, manusia maupun orc, bergelimpangan di padang gurun, mewarnai pasir dengan rona merah yang berbau anyir.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro