Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 28

"AKU HARUS BICARA DENGAN TUAN EDGAR!" teriak Peter dari balik jeruji. Kesabarannya sudah habis setelah berhari-hari terkurung dalam penjara. Harapannya bahwa Ronald akan membantu kini juga telah pupus.

"DIAM! Tuan Edgar sedang sibuk. Dia tak punya waktu untuk meladenimu," balas seorang penjaga di sana.

Mendengar itu, Peter mendengkus geram. Ia berjalan mondar-mandir di penjaranya yang sempit sementara pikirannya mulai berkelana liar, memikirkan cara untuk meloloskan diri dengan menggunakan sihir.

Mungkin aku bisa melelehkan besi ini menggunakan sihir api, batinnya.

Namun, belum sempat mencoba, Zalika tiba-tiba datang berkunjung.  Tatapan keduanya pun bertemu dalam sekejap.

"Hai ..." sapa Zalika dari balik jeruji.

"Nona Zalika?" Peter memandang gadis itu penuh tanya. "Ada apa mencariku?"

"Aku ingin meminta maaf karena sudah melibatkanmu dalam masalah," ujar Zalika dengan tatapan sendu.

"Tak apa. Ini bukan salahmu. Aku sendiri yang memilih membawamu pergi waktu itu." Peter menyahut sambil tersenyum getir. "Lalu, apakah kau bisa membantuku keluar dari sini?"

Zalika mendesah pelan sebelum menjawab. "Saat ini pasukan orc sedang dalam perjalanan untuk menyerbu Bergstone. Ayah sangat sibuk untuk mempersiapkan segalanya. Akhir-akhir ini ia jadi lebih mudah emosi. Kurasa kurang tepat jika membujuknya untuk membebaskanmu sekarang. Bersabarlah dulu. Aku akan mencari waktu yang lebih baik," ujar Zalika.

Mendengar itu harapan Peter pun kembali pupus, tetapi tak jua ia bisa membantah. "Baiklah kalau begitu, terima kasih banyak sudah datang mengunjungiku," sahut Peter. Meski kecewa, ia tetap berusaha tersenyum lagi. Setidaknya, setelah hari-hari yang sepi, kunjungan Zalika terasa seperti setetes embung di tengah padang gurun yang gersang.

"Maaf, aku belum bisa banyak membantu," ujar Zalika sambil menunduk. Kekecewaan terpancar jelas dari matanya.

"Kau tak perlu merasa buruk. Aku baik-baik saja di sini," sahut Peter berbohong. 

"Mulai sekarang, aku akan mengunjungimu setiap hari dan membawakan makanan. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Kuharap itu cukup untuk membuatmu lebih baik," ujar Zalika.

"Tuan Putri tak perlu repot-repot seperti itu." Peter merasa tak enak mendapat perlakuan khusus dari Zalika.

"Itu sama sekali tidak merepotkan. Aku senang bisa membantu. Katakan saja jika kau menginginkan sesuatu." Zalika tersenyum lagi. 

"Baiklah kalau begitu, terima kasih banyak," ujar Peter akhirnya.  

"Untuk besok, bagaimana jika aku memasak kalkun panggang bumbu madu untukmu?" tawar Zalika.

"Whoa ... kurasa itu terlalu berlebihan."

"Jadi kau tak ingin mencoba masakanku? Apakah masakanku tampak begitu buruk di hadapanmu?" ujar Zalika sambil memasang tampang kecewa.

"Eh, bu-bukan begitu," gagap Peter yang merasa telah disalahpahami. 

"Jadi kau mau mencobanya?" 

"Baiklah ... aku akan senang bisa mencoba masakanmu," sahut Peter akhirnya. 

"Bagus! Kalkun panggang bumbu madu akan segera siap ... Tuan Muda!" ujar Zalika sambil tersenyum simpul. 

"Astaga, kenapa aku jadi Tuan Muda?" Peter menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Zalika menatap Peter sambil terkekeh sejenak lalu menunduk, membiarkan keheningan kembali mengisi suasana. Ia mendesah berat dengan jemari yang saling bertaut.

"Apa yang menjadi beban pikiranmu?" tanya Peter ketika melihat Zalika tampak gelisah.

Tak mau mengakui perasaannya, Zalika mendongak sambil mengulas senyum. "Bukan apa-apa. Aku hanya khawatir mengenai serangan kaum orc." Sahut Zalika. Setelah itu ia pun berpamitan, meninggalkan Peter kembali ditemani kesendiriannya.

Peter kini terduduk di lantai sambil menghela napas panjang. Niatnya untuk meloloskan diri dengan kekerasan pun urung dilakukan. Membuat masalah ketika Bergstone sedang terancam sepertinya bukan langkah yang tepat dan justru akan membuat Tuan Edgar semakin marah.

***

Sementara itu, setelah menempuh perjalanan berhari-hari, Eric, Borin dan para pasukan akhirnya tiba di Fortsouth. Para warga berkumpul di pintu gerbang untuk menyambut kedatangan mereka. Egelina juga ada di sana untuk menemui suaminya yang sudah sangat ia rindukan.

Melihat perempuan yang sangat disayanginya, Eric segera menghambur. Keduanya berpelukan erat saling melepas rindu.

"Terima kasih sudah kembali," bisik Egelina di telinga Eric.

"Tentu saja. Aku pasti kembali. Kau adalah satu-satunya yang kusayangi sepenuh hati." sahut Eric.

"Terima kasih," pipi Egelina merona mendengar ucapan Eric. "Tapi ... tak lama lagi, aku tak akan menjadi satu-satunya yang kau sayangi," sahut Egelina menimbulkan kerutan di kening Eric.

"Maksudmu?" tanyanya penasaran.

Egelina lalu mengelus perutnya sebagai jawaban.

"Kau hamil?" tanya Eric spontan.

Egelina pun mengangguk sambil tersenyum semringah, sementara Eric mendekap istrinya lebih erat lagi. "Ini luar biasa ... Aku akan segera menjadi ayah," gumamnya haru. Keduanya pun saling berpandangan dalam senyum kebahagiaan.

Beberapa saat kemudian, keduanya pun berjalan berdampingan masuk ke kastel. Sementara Egelina kembali ke kamar, Eric harus menemui Gideon  untuk melaporkan semua.

"Kami telah berhasil merebut kembali kota Kilead dengan korban yang minimal," lapor Eric.

"Bagus sekali!" Gideon pun menepuk bahu Eric sambil tersenyum lebar.

"Semuanya berkat Borin. Dengan berani dia menyusup ke benteng mereka dan membuat kekacauan dari dalam," ujar Eric apa adanya.

"Luar biasa, aku tak menyangka pemuda itu sudah tumbuh menjadi seorang pemberani," balas Gideon. Setelah itu ia terdiam sejenak. Raut kegembiraan yang semula terpancar tiba-tiba meredup.

"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu, Tuan?" tanya Eric sopan.

"Ya ... Agra mengirimkan surat melalui merpati. Kita diminta sedapat mungkin mengirimkan pasukan untuk mempertahankan Girondin. Pasukan orc bangkit dan akan segera menyerang." Gideon mendesah sejenak. "Bagaimana menurutmu? Apakah para pasukan masih bisa diandalkan untuk berangkat ke Girondin?"

Eric terdiam sejenak sebelum menyahut, "Meski tidak semua, sepertinya masih bisa. Berkat Borin, peperangan di Kilead tidak berlangsung lama dan korban pun minimal. Masih banyak prajurit yang sehat dan memiliki energi untuk berangkat ke Girondin. Kita harus tetap bersatu demi keutuhan Ethardos."

"Bagus sekali!" Rona gembira kembali terpancar dari wajahnya. "Kau benar-benar kesatria yang tangguh," pujinya.

"Baiklah, kalau begitu saya mohon diri untuk menyampaikan berita ini pada para kepala pasukan. Setelah mempersiapkan semua, kami akan segera berlayar ke Girondin." Setelah itu, Eric pun pergi untuk mengumpulkan lagi para kepala regu.

Sementara Eric mengisi hari-hari berikutnya untuk mempersiapkan keberangkatan pasukan ke Girondin, Borin lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Suatu siang, ia sedang berbaring di tempat tidur dengan pikiran melayang-layang, membayangkan seperti apa Gunung Grimforge yang akan ia tuju. Semuanya terasa masih misterius. Hanya ada sedikit informasi yang beredar di masyarakat mengenai tempat itu.

Lamunan Borin itu mendadak buyar ketika terdengar bunyi ketukan di pintu. Ia pun bergegas bangkit untuk melihat siapa yang datang.

"Gladys?" ujarnya sambil tersenyum. Mereka berpandangan selama beberapa saat lalu berpelukan hangat.

Setelah saling bertegur sapa, Borin mempersilakan tamunya masuk dan mengambilkan sebuah kursi kayu. Ia sendiri memilih duduk tepi tempat tidur.

"Aku turut sedih atas apa yang menimpa kedua orang tuamu," ujar Gladys sambil menatap Borin sendu. "Aku sudah mendengar semuanya dari Muriel."

Detik itu juga, kesedihan kembali menyeruak dalam hati Borin. Tangannya terkepal kuat sementara matanya mulai berkaca-kaca. Meski sudah lewat beberapa hari, bayangan kematian kedua orang tuanya selalu membangkitkan gejolak emosi di dalam dada. 

"Terima kasih." Hanya itu yang bisa ia sampaikan sebagai tanggapan atas ucapan belasungkawa dari Gladys.

Sementara itu Gladys terdiam, membiarkan kawannya menghela napas beberapa kali untuk menenangkan diri.

"Aku benar-benar anak yang tidak berguna. Bahkan aku tak tahu siapa pelakunya," isak Borin sambil menyedot ingusnya kasar.

Gladys tersenyum memandangi Borin lalu duduk di sebelahnya sambil merangkul pundak pemuda itu. "Kau sama sekali bukan anak yang tidak berguna. Kau telah sangat berjasa dalam pertempuran di Kilead. Tanpamu, mungkin ratusan anak kini sudah harus kehilangan ayah," ujar Gladys berusaha menghibur.

Borin terdiam sambil menunduk. Meski perkataan Gladys ada benarnya, tetap saja ia merasa gagal sebagai anak. Beberapa saat kemudian suasana berubah hening. Hanya helaan napas Borin yang sesekali terdengar. 

Lalu, setelah Borin mulai tenang, Gladys berkata sambil tersenyum, "Ayo ikut. Akan kutunjukkan sesuatu yang menarik." Gladys berdiri sambil mengulurkan tangan pada Borin.

Meski belum paham maksud sang putri, Borin memilih menyambut uluran tangan Gladys lalu melangkah mengikuti ke mana gadis itu membawanya. Keduanya keluar dari kastel dan berlari-lari kecil melintasi kota. Selama itu, tak sekali pun Gladys melepaskan genggamannya dari tangan Borin. "Ayo, cepat. Dia sudah menunggu!" ujarnya penuh semangat.

Gladys baru berhenti ketika mereka tiba di tepi hutan. Keduanya tertunduk kelelahan sambil bertumpu pada lutut masing-masing.

"Apa yang kaumaksud? Siapa yang menunggu kita?" tanya Borin masih dengan napas yang terengah-engah.

"Tunggu sebentar, ia akan segera datang," sahut Gladys.

Tak lama kemudian, seekor rusa tiba-tiba muncul dari balik pepohonan hutan. 

"Jewel!" seru Gladys lalu berlari mendekati rusa itu.

Sama sekali tak ketakutan, rusa itu justru meloncat-loncat mendekati sang putri. Ia tampak sangat girang.

"Lucu sekali dia," ujar Borin sambil berjalan mendekat lalu mengelus puncak kepala Jewel.

"Ya, aku menemukannya di hutan beberapa minggu yang lalu. Ia juga telah kehilangan orang tuanya."

"Oh ya? Untung saja kau bertemu dengan Nona Gladys yang baik," ujar Borin pada Jewel.

"Sebenarnya sama sekali tidak," timpal Gladys.

"Maksudmu?" Borin tampak kebingungan.

"Ya, dia sama sekali tidak beruntung bertemu denganku. Akulah yang membunuh induknya," ujar Gladys sambil mengelus leher Jewel. Sementara itu Borin terdiam, menanti kelanjutan ceritanya.

Gladys lalu mencabut beberapa helai rumput dan memberikannya pada Jewel. Binatang itu pun segera makan dengan lahap. "Di sana banyak rumput, makanlah yang banyak," ujar Gladys sambil menepuk punggung Jewel. Rusa itu pun meloncat-loncat riang lalu segera makan.

Sementara itu, Gladys duduk di bawah sebuah pohon besar lalu memberikan isyarat agar Borin duduk di sebelahnya.

Setelah keduanya duduk dengan nyaman, Gladys mulai bercerita. "Saat itu, aku bersama ayah sedang pergi berburu. Ia ingin melihat perkembangan keterampilan memanahku." Gladys lalu diam sejenak sambil menghela napas. "Saat itu aku melihat seekor rusa dan menembaknya. Tangan inilah yang menyebabkan Jewel menjadi sebatang kara," lanjutnya sambil memandangi kedua telapaknya. Sementara itu, Borin masih terdiam mendengarkan.

"Ketika mendekati rusa itu untuk membawanya pulang, aku baru menyadari bahwa di dekatnya ada seekor rusa kecil yang mungkin baru beberapa minggu dilahirkan. Meski saat itu rombongan kami cukup banyak, ia tidak lari ketakutan dan memilih menangis di dekat induknya. Saat itu juga aku langsung merasa sangat bersalah. Aku memutuskan untuk membawa anak rusa itu dan merawatnya sepenuh hati. Lalu, setelah cukup besar, aku melepasnya di hutan ini. Sejak itu, setiap kali aku datang, ia selalu menyambutku dengan riang." Gladys mengakhiri ceritanya lalu menatap pada Jewel yang masih makan dengan lahap.

"Aku tahu, pasti rasanya begitu sedih ketika melihat kematian mereka. Itu sangat wajar. Tapi kau harus bangkit. Memang berat untuk melepaskan dendam, tapi itu akan membuat hidupmu lebih ringan. Setidaknya ... itu yang kupelajari dari Jewel. Aku sengaja menamainya begitu karena ia telah memberikan sebuah pelajaran yang sangat berharga."

Borin terdiam sejenak sambil mendesah. "Ya, ibuku juga mengatakan hal yang sama sesaat sebelum mati. Dia tak ingin aku menyimpan dendam. Itu sebabnya dia tidak memberitahuku siapa pembunuhnya."

Gladys menatap pemuda itu sambil tersenyum. "Aku sama sekali tidak memintamu untuk melupakan kematian mereka begitu saja. Jika aku mendapatkan informasi apa pun yang mungkin bisa membantumu menemukan pembunuhnya, aku berjanji akan tetap memberitahumu. Aku hanya tidak ingin kau dikuasai dendam dan tidak bisa menjalani hari-harimu dengan gembira."

Borin menatap Gladys lalu membalas senyumnya. Keduanya lalu berpelukan erat. "Terima kasih banyak," bisik Borin.

"Jaga dirimu. Semoga kau mendapatkan apa yang kaucari di Gunung Grimforge," sahut Gladys.

"Kau juga harus selalu berhati-hati. Ibuku berpesan bahwa tak lama lagi akan terjadi perang yang besar."

"Yah, semoga saja mereka bisa mengalahkan pasukan orc dan mempertahankan Girondin," sahut Gladys. Ia mengira bahwa itulah yang dimaksud Wanda sebagai perang besar.

"Entah apakah perang itu yang dimaksud ibuku," lirih Borin.

Setelah itu, keduanya pun terdiam sambil menikmati angin sore yang berembus semilir. Suara burung berkicau diiringi gemeresak dedaunan tertiup angin terasa menenangkan jiwa Borin yang sebelumnya terus bergejolak. Kisah Jewel si rusa kecil telah memberikan sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga baginya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro