Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 27

Malam itu, Anna yang sedang berupaya mengumpulkan bukti untuk membebaskan Alice pergi mengunjungi penjara. Karena statusnya yang kini adalah calon istri pangeran, para penjaga pun tak berani menghalangi. Mereka langsung membukakan pintu dan mempersilakan gadis itu masuk menemui sahabatnya.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Anna. Ia sangat sedih melihat Alice yang tampak murung dan kusut tidak terurus.

Gadis pelayan itu menatap Anna dengan mata berkaca-kaca lalu menghambur memeluknya. "Anna ...," isaknya.

"Sssh ... tenanglah, aku di sini, semua akan baik-baik saja," ujar Anna mencoba menghibur.

"Apakah mereka akan membunuhku?" tanya Alice di sela-sela tangisnya. "Aku takut ...."

"Tenanglah, saat ini aku sudah meminta pangeran untuk menunda eksekusimu."

"Benarkah?" Alice menatap sahabatnya dengan mata berbinar.

Anna mengangguk mengiyakan.

"Tapi sampai kapan? Aku dipenjara sementara kau tak memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan apa pun." Alice kembali murung. "Pada akhirnya mereka tetap akan membunuhku."

"Jangan berbicara seperti itu. Aku di sini untuk membantu."

"Membantu bagaimana? Kau tak mungkin membawaku pergi dari sini kan? Kau bisa menjadi buronan di seluruh kerajaan jika melakukannya."

Anna menggeleng pelan sambil tersenyum, "Tentu saja tidak. Aku perlu menanyaimu kalau-kalau kau memiliki bukti untuk menyangkal tuduhan terhadapmu. Aku percaya kau tidak bersalah," sahut Anna.

"T-terima kasih," sahut Alice tergagap. Dalam hatinya bersyukur karena memiliki Anna yang masih percaya padanya. "Tapi terus terang, aku tak memiliki bukti apa pun. Aku hanya sempat melihat sang ratu menaburkan sesuatu ke makanan raja. Itu saja. Tapi tak akan ada yang percaya padaku bukan?" Alice terdengar putus asa.

"Lalu bagaimana daun itu bisa ada padamu?" tanya Anna lebih lanjut.

"Aku pun tak tahu. Ketika pangeran mengumpulkan kami semua di halaman, ia melepaskan anjing-anjing pelacak dan mengendus kami satu persatu. Anjing itu menggonggong keras ketika mengendus sakuku. Para penjaga langsung menangkapku dan menemukan daun itu di sana. Aku bersumpah, demi Tuhan dan Dewa mana pun, aku tak pernah menyimpan daun itu."

"Lalu apa yang terjadi?"

"Tanpa mendengar penjelasanku, mereka langsung menjebloskanku ke sini," sahut Alice murung. Setelah itu, keduanya pun terdiam cukup lama.

"Bukankah kau seorang penyihir? Apakah tak ada yang bisa kau lakukan untuk membuktikan bahwa aku tak bersalah?" Alice berbicara lirih agar tak terdengar oleh para penjaga.

"Entahlah, saat ini tak ada ide yang terlintas dalam benakku," sahut Anna. "Mereka sudah tahu aku penyihir, jika ada suatu hal janggal yang terjadi, sudah pasti aku yang akan jadi tersangka utama."

"Yah, kau benar." Alice terdiam lagi sambil bermain-main dengan kedua telapak tangannya. Ia membuka dan menutupnya berulang-ulang. Beberapa ekor semut tampak berjalan-jalan di situ.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Anna penasaran melihat tingkah Alice.

"Ah tidak, aku hanya bermain-main dengan sihirku yang tak berguna ini," sahut Alice.

Bersamaan dengan itu, Anna tersenyum semringah. Sebuah ide terlintas di kepalanya. "Bukankah kau seorang factrum?"

"Ya, tapi aku hanya bisa menciptakan semut. Benar-benar tak berguna," desah Alice.

"Justru itu yang kita butuhkan saat ini. Mereka tak tahu kau seorang penyihir dan sihirmu pun tak terlihat. Kau bisa menciptakan beberapa ekor semut dan menggunakan mereka sebagai mata-mata. Aku yakin, suatu saat ratu pasti khilaf dan membongkar sendiri rahasianya."

"Kau benar! Kenapa tak pernah terpikirkan olehku? Dasar bodoh!" Alice menepuk kepalanya sendiri. "Terima kasih. Kau memang sahabatku yang terbaik." Alice memeluk Anna lagi. Senyum riang kini tercetak di bibirnya.

"Sama sekali bukan masalah," sahut Anna. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Segeralah bekerja," pesan Anna. Setelah itu, ia pun pergi dengan perasaan yang lebih lega. Setidaknya ada sesuatu yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan sahabatnya.

***

Pada hari-hari berikutnya setelah peringatan Ronald, Raja Agra tampak sangat gusar. Ia bahkan beberapa kali menyempatkan diri pergi ke kuil untuk berdoa. Sesuatu yang selama ini jarang ia lakukan. Ratu Julia yang mengetahui hal itu pun menanyakan permasalahan apa yang sedang terjadi.

Agra yang merasa bahwa Julia tak akan setuju jika Isabel diserahkan, memilih untuk tak menceritakan hal itu. Ia hanya mengatakan bahwa pasukan orc telah bangkit dan segala persiapan harus dilakukan.

Lalu, setelah mempertimbangkan semua masak-masak, pada suatu sore Agra memutuskan untuk berbicara dengan Isabel. Ia bergegas menemui putrinya itu di kamar.

"Ayah? Ada apa mencariku?" tanya Isabel setelah membukakan pintu untuk Agra.

Agra menutup pintu kamar lalu menguncinya. "Duduklah dulu," ujarnya sambil menarik kursi untuk dirinya sendiri. Isabel pun menurut dan duduk di hadapan sang ayah.

Setelah menghela napas panjang, Agra langsung menyampaikan apa yang mengganggunya selama beberapa hari terakhir.

"Kerajaan dalam bahaya, Kaum orc bangkit dengan puluhan ribu pasukan dan bersiap menyerang," desah sang raja.

"Bagaimana mungkin? Bukankah orc sudah punah sejak ratusan tahun yang lalu?" sergah Isabel.

"Entah bagaimana, Karl memimpin mereka bangkit."

"Astaga!" Isabel menutup mulutnya. Ia jelas sangat terkejut. Sebersit penyesalan kembali menyeruak dalam hatinya. Akibat ulahnya lah Karl dibuang dari kerajaan. Ia tak pernah menyangka hal itu akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Seandainya saja ia tidak memiliki hubungan gelap dengan Bram, mungkin semuanya masih baik-baik saja. Namun, kini semua sudah terjadi dan penyesalan tak ada gunanya lagi.

Agra lalu menjelaskan mengenai kondisi Bergstone yang kemungkinan besar akan memilih untuk mempertahankan kota. Sementara itu, gabungan pasukan Fortsouth--yang baru saja berperang melawan Harduin--dan Kingsfort--yang tak bisa mengerahkan seluruh pasukan demi menjaga ibu kota--dirasa belum cukup memadai untuk bisa mempertahankan Girondin.

"Aku perlu meminta bantuan dari Doria," desah Raja Agra. "Tapi sepertinya mereka akan memintamu untuk dipersunting sebagai istri Pangeran Daniel."

Mendengar itu, mata Isabel membelalak terkejut. "M-maksudmu aku akan menjadi istri monster mengerikan itu?" Sang putri menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkannya saja sudah membuatnya mual. "Tidak, Ayah! Aku pasti akan menderita jika menikah dengannya. Apakah tak ada jalan lain?"

"Sayangnya tidak, hanya itu satu-satunya jalan ... maafkan aku," desah sang raja. "Jika Girondin jatuh, bukan tak mungkin, pasukan orc juga akan merebut Kingsfort."

Isabel terdiam sejenak sementara keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Membayangkan dirinya diperistri oleh Daniel sangat memuakkannya, tetapi memikirkan banyak orang harus mati jika pasukan orc berhasil merebut Girondin membuatnya begitu sedih. Apalagi ia juga punya andil menyebabkan timbulnya semua masalah ini.

"Apa yang harus kulakukan?" tanya Isabel. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Aku punya rencana, tapi ini akan sangat berbahaya."

"Katakan, Ayah," pinta Isabel.

"Aku akan membawamu ke Doria untuk menyampaikan permintaan bantuan. Jika mereka benar-benar memintamu menjadi istri Daniel, aku akan menyetujuinya dan meminta mereka meninggalkanmu di Doria. Mengajak seorang wanita ke medan perang tentu akan sangat berbahaya. Setelah itu, selama mereka pergi berperang, aku akan mengutus beberapa orang kesatria terbaik untuk menyusup ke sana dan membawamu pulang."

Mendengar usul itu, Isabel terdiam sejenak. Jika berjalan sesuai rencana, semua akan baik-baik saja, tetapi kesalahan terkecil sekalipun bukan tak mungkin bisa membahayakan nyawanya.

Ia mendesah beberapa kali sebelum akhirnya menyampaikan persetujuannya. "Baiklah, aku akan melakukannya," ujarnya lirih.

"Kau yakin?" tanya Agra berusaha mempertegas.

Isabel mengangguk pelan sambil menatap mata sang ayah. "Ya. Semua ini terjadi juga akibat dari kesalahanku. Aku tak akan lari dari tanggung jawab."

Mendengar itu, Agra bangkit dan memeluk putrinya. "Kau benar-benar seorang pemberani," bisiknya di telinga Isabel.

"Sebagai seorang putri raja aku tak boleh takut. Lagipula kita sudah punya rencana." Isabel membalas pelukan ayahnya sambil berusaha tersenyum. Meski mengatakan itu, sebenarnya hatinya ciut. Bagaimanapun, ia hanya seorang gadis biasa.

"Tolong jangan katakan ini pada siapa pun, terutama ibumu. Ia tak akan setuju," ujar Agra lagi.

Isabel mengangguk mengiyakan.

"Baiklah, kalau begitu bersiap-siaplah. Kita akan berangkat dalam dua hari. Aku akan pergi dulu bersama para pasukan lalu menunggumu di hutan. Akan ada kesatria yang menjemputmu saat malam. Jangan sampai ibumu mengetahui kepergianmu."

"Baik, Ayah," sahut Isabel.

Setelah itu, Agra keluar meninggalkan putrinya di kamar. Ia berniat menemui Andrew untuk membicarakan mengenai siapa yang bertugas memimpin pasukan ke Girondin sementara para kesatria terbaik akan pergi bersamanya ke Doria.

Saat itu Andrew sedang berada di dalam barak bersama para prajurit untuk memantau persiapan mereka. Selain perlengkapan perang, logistik juga adalah hal yang penting.

Di sela-sela kegiatannya Agra mengajaknya berbicara sejenak. "Aku membutuhkan para kesatria terbaik untuk pergi bersamaku ke Doria untuk meminta bantuan mereka, menurutmu siapa yang layak untuk memimpin pasukan ke Girondin?" tanya Agra langsung pada intinya.

"Aku akan memimpin mereka, Ayah," sahut Andrew tegas.

"Kau yakin? Di sana bisa jadi sangat berbahaya." Meski tidak meragukan kemampuan putranya soal militer dan kepemimpinan, bagaimanapun juga, ia adalah putra mahkota satu-satunya yang akan menjadi penerus takhta.

"Pangeran macam apa aku ini jika tak berani turun ke medan perang. Meski masih muda, akan kubuktikan bahwa diriku bukan pengecut!"

Agra terdiam sejenak sambil mempertimbangkan usul putranya. Ia pun merasa bahwa sepertinya memang itu yang terbaik. Andrew sudah beranjak dewasa dan sudah cukup memahami dunia militer. Pemikirannya juga terbukti cukup cemerlang.

"Ayah tak perlu khawatir. Akan ada banyak kesatria hebat yang berkumpul di sana. Eric dari Fortsouth dan Remnant dari Girondin adalah kesatria yang disegani. Ronald si penyihir juga akan ikut berperang. Mereka hanya kekurangan pasukan, bukan jenderal. Aku bisa bekerja sama dengan mereka."

"Bagus! Kau tak mengecewakan ayah," sahut Agra sambil menepuk pundak putranya. "Kerjasama adalah hal yang mutlak dalam sebuah pertempuran."

"Aku tahu itu, Ayah."

"Baiklah, kalau begitu segera persiapkan semua. Kita akan berangkat dalam dua hari," ujar Agra lalu pergi sambil tersenyum. Dalam hati ia merasa bangga memiliki dua orang anak yang pemberani.

Malam harinya, setelah mendapat persetujuan dari sang raja untuk memimpin pasukan, Andrew menemui Anna di kamar. Ia bermaksud menyampaikan rencana keberangkatannya ke Girondin.

"Lusa aku akan pergi untuk mempertahankan Girondin dari serangan bangsa orc. Sebaiknya kau tinggal di sini saja, medan perang akan sangat berbahaya bagimu," ujar Andrew.

"Hmm ... tapi bukankah aku juga bisa berguna dengan menolong mereka yang terluka?" sanggah Anna. Meski agak khawatir dengan nasib Alice jika ia pergi, tapi tanpa Andrew dirinya juga tak bisa berbuat banyak. Di samping itu, ia juga merasa ada peluang untuk bertemu Peter di sana. Menurut informasi dari Ronald, Peter masih tertinggal di Bergstone dan berpeluang ikut mengungsi ke Girondin--seandainya Edgar bersedia berubah pikiran. 

"Hmm ... benar juga, tapi apakah kau tidak takut? Peperangan bisa jadi sangat mengerikan."

Anna menggeleng tegas sambil menatap mata Andrew. "Aku sudah mengalami banyak hal mengerikan saat menjadi budak. Dan kau ingat? Aku bahkan sudah hampir mati dibakar," sahut perempuan itu.

Andrew tertegun sejenak mendengar penuturan Anna. "Baiklah kalau begitu. Kau benar-benar gadis yang luar biasa," sahut sang pangeran kagum. 

Anna pun menanggapinya dengan seulas senyum. "Lalu, mengenai Alice, apakah kau bisa menunda eksekusinya?"

"Ya, aku sudah meminta pada ayah dan ibu untuk tidak menjatuhkan hukuman padanya. Setidaknya sampai peperangan usai. Saat ini seluruh sumber daya harus difokuskan untuk persiapan perang."

"Terima kasih kalau begitu." Mendengar jawaban Andrew, Anna merasa sedikit lega. Sementara Alice mencari barang bukti menggunakan sihirnya, ia bisa pergi ke Girondin demi mengejar peluang bertemu Peter lagi. 

Sejujurnya, jauh di lubuk hati, Anna merasa bersalah terhadap Andrew karena telah merahasiakan perasaannya. Bagaimanapun, Andrew sudah bersikap sangat baik terhadapnya.

Setelah Andrew pergi, Anna pun bergegas menemui Alice lagi untuk menanyakan perkembangan penyelidikannya. Ia juga perlu menyampaikan rencananya pergi ke Girondin. 

"Bagaimana? Apakah sudah ada yang kau dapatkan?" tanya Anna setibanya di penjara Alice.

"Belum," sahut Alice tenang. "Tapi aku yakin, tak lama lagi aku pasti bisa menemukan buktinya."

"Baguslah kalau begitu. Besok lusa aku akan ikut ke Girondin untuk berperang. Aku sudah meminta pada Andrew agar hukumanmu ditunda sampai peperangan usai."

"Terima kasih banyak," sahut Alice sambil menggenggam tangan Anna.

"Sama-sama, Kawan." Anna lalu memeluk sahabatnya erat. "Bertahanlah. Setelah perang usai, aku akan segera membebaskanmu dari sini."

Alice mengangguk cepat sambil membalas pelukan Anna. 

"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Aku masih harus mempersiapkan banyak hal untuk keberangkatan ke Girondin. Penyihir proctrium memang agak kurang praktis," selorohnya. Setelah itu, Anna pun berlalu sambil melempar senyum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro