Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 26

Pagi itu terasa kelabu. Awan menutupi sinar mentari yang seharusnya terpancar menerangi dan menghangatkan bumi. Borin baru saja terbangun dari tempat tidur kedua orang tuanya. 

Dengan kepala yang masih terasa berat, pemuda itu bangkit dan melangkah menuju lemari. Ia menyingkap beberapa helai baju dan menemukan apa yang ia cari di antaranya. Sesuai pesan terakhir ibunya, Borin mengambil buku catatan sihir yang tergeletak di sana. Meski tampilannya sudah usang, tulisannya masih jelas terbaca.

Setelah mengamatinya sejenak, ia lalu memasukkan buku itu ke dalam buntalan kain yang berisi barang-barang bawaannya. Setelah beberapa saat terdiam sambil menghela napas panjang, ia keluar dan menemukan Eric bersama beberapa orang prajurit tengah menunggunya.

"Selamat pagi, duduklah dan minum teh bersama kami. Dalbot menemukan daun teh di belakang rumah tadi," ujar Eric sambil mengulas senyum.

Borin menurut dan duduk di sebelah sang kesatria. Ia menghidu minuman hangat itu lalu menyesapnya perlahan.

"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Eric.

Borin hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Meski masih sedih, ia tak mau menjadi beban bagi yang lain.

"Jadi kau akan pergi ke Gunung Grimforge?"

"Ya, begitulah. Kalian tahu di mana letaknya?"

"Di sebelah utara Kota Girondin," tanggap Dalbot, salah seorang prajurit.

"Terima kasih," sahut Borin singkat. Ia lalu menyesap tehnya lagi. Kesegarannya benar-benar membantunya merasa lebih baik.

"Kau bisa berangkat dari Fortsouth. Aku akan membantumu mendapatkan kapal. Kurasa kau juga harus berpamitan dengan Muriel bukan?"

Borin mengangguk. Ia tak tahu seberapa jauh dan berbahaya perjalanannya nanti. Apakah ia akan bisa bertemu lagi dengan ibu angkatnya itu lagi.

"Baiklah, ayo kita bersiap-siap! Bersemangatlah, Kawan!" ujar Eric sambil menepuk punggung Borin. Anak muda itu membalasnya dengan sebuah senyuman tipis.

Setelah itu, mereka keluar dari rumah Glarmarck dan Wanda serta menutup pintunya rapat.

Borin menatap rumah itu selama beberapa saat lalu mengembuskan napas panjang. "Ayah, Ibu, aku akan merindukan kalian ...," bisiknya. Setelah itu, sambil menenteng kapak dan perisai ayahnya, ia berpaling dan melangkah menyusul Eric yang telah berjalan lebih dahulu.

Ketika matahari telah berada di puncak, rombongan pasukan itu pun melanjutkan perjalanan kembali ke Fortsouth. Sebagian besar dari mereka tertawa-tawa riang karena berhasil memenangkan perang. Namun lain halnya bagi Borin. Meski dia cukup berjasa dalam merebut kembali Kota Kilead, tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Kesedihan jelas masih menyelimuti hatinya.

Sementara itu, di sisi lain hutan, Susan dan yang lainnya masih beristirahat. Pertarungan semalam benar-benar telah menguras energi mereka. Wanda dan Glarmarck sama sekali bukan lawan yang mudah. Sambil makan buah-buahan yang berhasil mereka dapatkan, Fiona pun membuka pembicaraan.

"Jadi apa rencana kita setelah ini?"

"Kurasa kita bisa mencoba mempelajari apa yang tertulis di sini." Jack mengambil Kitab Tebro dan mulai membolak-balik halamannya. "Ritual hidup abadi ... Mantra penyerahan ilmu sihir ... Sihir penciptaan kobold ... Ritual membangkitkan orang mati." Jack berhenti membaca ketika menemukan judul itu.

"Apa yang tertulis?" tanya Lily penasaran.

"Tunggu sebentar," sahut Jack lalu mulai membaca.

RITUAL MEMBANGKITKAN ORANG MATI

Sebelum membeberkan segalanya, pertama-tama, aku ingin bertanya padamu. Kau yakin ingin bermain-main dengannya? Dengan Sang Kematian?

Kuberitahu kau, sebenarnya dia sama sekali bukan teman bermain yang asyik. Benar-benar bukan!

Tolong pikirkan sekali lagi.

Aku bilang, tolong pikirkan seribu kali lagi.

Jack berhenti sejenak dan melemparkan pandangan pada yang lain.

"Teruskan saja," ujar Lily.

Jack mengembuskan napas panjang lalu meneruskan membaca.

Kau yakin sudah memikirkannya matang-matang?

Baiklah Tuan Keras Kepala, jika kau terus memaksa, akan kutunjukkan caranya. Pastikan mengikuti setiap langkahnya atau nyawamu jadi taruhan.

Temukan jasadnya, sekalipun dia sudah menjadi tulang belulang, lalu bungkus dengan kain yang sudah direndam ke dalam ramuan selama lima hari. Ramuannya akan kujelaskan nanti di halaman selanjutnya. Ingat! Kainmu harus cukup lebar untuk membungkus keseluruhan tubuhnya. Jangan sampai ada bagian yang menyembul keluar dari kain! Kuperingatkan kau, jangan main-main dengan kematian! Kau harus benar-benar serius!

Tumbal? Tentu kau akan membutuhkannya. Orang yang jenis kelaminnya sama dengannya.

Artefak? Pisau! Ya, kau hanya butuh itu. Jangan lupa untuk menambahkan batu rubi pada gagangnya. Pisaumu akan semakin cantik.

Mantra? Baiklah Tuan tidak sabaran. Pertama-tama, bacakan mantra ini dengan tanganmu berada sekitar dua puluh sentimeter dari si tumbal malang.

"DAS AMORTE AKSEBILI FARCIES"

Sebuah bayangan hitam akan keluar dari telapak tanganmu dan masuk ke dalam tubuh si tumbal. Ya, dialah sang kematian. Dia perlu menyelidiki tumbalmu, apakah dia layak? Jika tidak, dia akan merasukimu dan memilih untuk membunuhmu saja.

Setelah itu, tancapkan pisaumu di jantungnya. Kau harus tepat. Oh, ayolah, jangan membuat tumbalmu menderita. Buat kematiannya cepat.

Jika kau melakukan semuanya dengan benar, batu rubi-mu akan menyala terang. Sebelum nyalanya meredup, masukkan pisaumu ke dalam kain bersama dengan jasadnya, lalu bungkus dengan rapat. Kuperingatkan sekali lagi, semua bagian harus terbungkus! Jangan sampai ada yang menyembul keluar atau kau akan membangkitkan monster, alih-alih orang yang kau sayangi.

Setelah itu, bacalah mantra ini dengan telapak tanganmu berada sekitar dua puluh sentimeter dari kain pembungkus jasad.

"HUI MORIET REVITIER PRESOLVIT"

Cahaya putih akan bersinar dari telapak tanganmu dan kemudian meredup dalam tiga puluh detik. Jangan menarik tangan sebelum sinarnya benar-benar sirna!

Setelah itu, tunggulah barang seminggu. Ia akan keluar dari kepompong dan menyapamu seolah tak pernah mati.

Pastikan agar jangan sampai ada yang mengganggu kepompongmu, atau monster itu akan bangkit.

Baiklah, sepertinya sudah kujelaskan semua. Oh ya, hanya mengingatkan lagi, ramuannya bisa kau temukan di halaman sebaliknya. Meski semua penyihir bisa menjalankan ritual ini, tapi hanya seorang proctrium yang bisa membuat ramuannya. Kalau kau tak memiliki teman seorang proctrium yang bersedia membantu, lupakan saja ritual ini.

Selamat mencoba dan selamat bersenang-senang!

Jack menghela napas setelah selesai membaca. "Sepertinya akan rumit."

"Ya, tapi kita sudah sejauh ini. Kurasa tak ada salahnya mencoba," sahut Lily.

"Tapi bagaimana dengan tumbalnya?" tanya Susan. "Aku tak mau membunuh orang begitu saja."

"Beberapa orang pantas mati," tanggap Lily

"Menurutku kita tak pernah berhak menjadi hakim atas nyawa seseorang," sergah Susan.

"Kau punya prinsip," puji Jack sambil menepuk bahu putrinya.

"Atau kita bisa mencari orang yang memang ingin mati?" sahut Fiona.

"Memang ada yang seperti itu?" tanya Susan sangsi.

"Tentu saja. Terkadang sesuatu yang buruk menimpamu dan membuatmu begitu menderita. Beberapa orang merasa lebih baik mati karena tak kuat lagi menanggungnya."

"Yah, mungkin memang ada, tapi apakah kita akan bisa menemukannya?"

"Tak ada yang tahu ...," sahut Jack.

"Coba kulihat bahan-bahan yang dibutuhkan untuk ramuannya," timpal Fiona. Jack pun menyerahkan kitab itu lalu membiarkan sang proctrium mempelajarinya.

Setelah mempelajarinya selama beberapa saat kemudian, Fiona mendesah gusar.

"Bagaimana? Apa saja yang dibutuhkan?" tanya Lily.

"Banyak sekali, dan sangat sulit didapat. Bahkan beberapa bahan ada yang tak kumengerti. Kurasa aku perlu menyusup ke perpustakaan di ibukota untuk membaca buku-buku yang ada di sana."

"Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Susan.

"Kurasa sebaiknya kita pergi ke rumahku dulu. Aku perlu mempersiapkan lebih banyak ramuan menghilang. Setelah itu, aku bisa mulai menyusup ke dalam kastel sementara kalian mengambil jasad Stevan."

Setelah kesepakatan itu, mereka pun beristirahat selama beberapa saat lagi. Jack akan memerlukan energi yang besar untuk membuka portal ke rumah Fiona.

***

Sementara itu, Ronald yang telah menempuh perjalanan jauh dari Bergstone akhirnya tiba di Kingsfort. Ia pun langsung menemui Agra di ruang takhtanya.

"Pasukan orc bangkit dan akan segera menyerang," ujarnya gusar dengan napas memburu."

"Apa maksudmu? Pasukan orc telah lama punah. Tuan Mosha dari Bergstone telah memusnahkan mereka bahkan lama sebelum kakekku berkuasa. Kau berasal dari sana, seharusnya lebih mengetahui tentang hal itu. Mereka sangat mengagung-agungkan Mosha." sahut Agra.

"Justru karena berasal dari sana, aku tahu betul apa yang kubicarakan. Mereka tidak punah, hanya tinggal di dunia yang lain. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, belasan, bahkan mungkin puluhan ribu orc telah dipersenjatai dan siap turun ke medan perang."

Raja Agra bangkit dari tahtanya dan turun mendekati Ronald. "Apakah kau benar-benar yakin?" tanyanya lagi.

"Tentu saja, aku melihat semuanya dengan jelas. Mereka kini berbeda dari orc yang dulu, yang terkenal kuat tetapi bodoh. Mereka sudah mengenal formasi serta mampu membangun peralatan perang."

"Bagaimana mungkin?" sergah Agra tampak mulai khawatir.

"Karl memimpin mereka," sahut Ronald.

Seketika itu wajah sang raja memucat. Matanya membelalak dan mulutnya menganga. Meski begitu, tak ada sepatah kata pun yang terucap.

"Mungkinkah apa yang pernah dikatakannya benar? Dewa akan menjatuhkan hukuman padaku karena telah berani menentang ajaran-Nya?" tanyanya beberapa saat kemudian.

"Omong kosong!" sergah Ronald. "Lebih baik sekarang kita memikirkan strategi untuk menghadapinya."

"Te-tentu saja," sahut Agra. "Kumpulkan para jenderal di ruang pertemuan!" ujar Agra pada salah seorang ajudannya.

Ruang pertemuan itu berupa sebuah meja besar dengan peta seluruh kerajaan Ethardos di atasnya. Peta itu akan memudahkan diskusi serta menyamakan persepsi. Dalam sebuah pertempuran, kesalahpahaman sekecil apa pun bisa mengakibatkan kerugian yang sangat besar.

Tak lama kemudian, para jenderal pun berkumpul. Andrew sebagai putra mahkota ikut hadir di sana. Perannya sebagai wakil jika sang raja berhalangan membuatnya harus mengikuti perkembangan situasi kerajaan. Meski masih muda, ia memiliki pemikiran yang cukup tajam.

"Pasukan orc bangkit dan akan segera menyerang," Agra membuka pertemuan langsung pada inti permasalahan. "Ronald telah melihat dengan mata kepalanya sendiri."

"Apakah kita bisa mempercayainya?" tanya salah seorang jenderal.

"Dengan seluruh jiwaku, ya, aku percaya padanya," sahut Agra. "Ia sudah berkali-kali berjasa untuk kerajaan."

"Di mana kau melihatnya?" tanya Andrew pada Ronald.

"Aksesnya tersembunyi di sebuah tebing yang terletak di sebelah utara Kota Bergstone. Di tengah-tengah padang pasir." Ronald pun menjelaskan secara kronologis bagaimana dia bisa menemukan dunia orc dan menyaksikan persiapan mereka.

"Jika demikian, kemungkinan besar mereka akan menyerang Bergstone terlebih dulu." Seorang kesatria mengambil kesimpulan.

"Kau benar, aku sudah bicara dengan Edgar di sana. Dia memilih untuk bertahan di kotanya," sahut Ronald.

"Bagaimana peluangnya? Apakah dia akan bisa mempertahankan Bergstone?" tanya Agra kemudian.

Ronald menggeleng sambil mendesah gusar. "Menurutku tidak ada peluang. Pasukan orc terlalu besar."

"Kalau begitu apakah kita harus mengirimkan bantuan ke sana?"

"Jarak dari sini ke Bergstone sangat jauh, pasukan dalam jumlah besar tidak akan bisa bergerak dengan cepat. Aku khawatir semua akan terlambat."

"Benteng terdekat dari Bergstone adalah Girondin, apakah mereka memiliki pasukan yang cukup untuk mengerahkan bantuan?" tanya Agra.

"Tidak," sahut salah seorang jenderal. "Dibandingkan dengan Bergstone, kekuatan Girondin hanya sepertiganya saja. Itu hanya cukup untuk bertahan di dalam kota."

"Menurutku, peluang terbesar kita adalah mempertahankan Girondin," ujar Ronald. "Kita harus mengirimkan merpati untuk memberitahu Edgar agar menarik pasukannya ke Girondin. Meski dia mengabaikan peringatanku, mungkin titahmu akan didengar olehnya."

"Tapi bagaimana kalau dia tetap pada pendiriannya? Kakakmu itu orang yang sangat keras kepala," tanya Agra.

"Sebaiknya kita juga mengerahkan pasukan untuk membantu mempertahankan Girondin," ujar salah seorang jenderal.

"Tapi kita tak mungkin mengerahkan seluruh pasukan. Sebagian harus tinggal untuk tetap berjaga. Ancaman bisa datang dari mana saja. Ibu kota tak boleh jatuh."

"Bagaimana dengan Fortsouth? Apakah kita bisa meminta bantuan mereka?" sahut Agra lagi. Posisi Girondin dan Fortsouth memang tak begitu jauh, hanya saja terpisah oleh sebuah selat.

"Aku mendengar bahwa pasukan Fortsouth baru saja berperang untuk merebut kembali Kota Kilead, aku tak tahu bagaimana posisi kekuatan mereka sekarang, apakah masih cukup memadai untuk mengirimkan bantuan," tanggap jenderal yang lain.

"Mungkin kita harus meminta bantuan pasukan dari Doria," ujar salah seorang kesatria.

"Saya setuju dengannya, Yang Mulia. Doria memiliki pasukan yang tangguh. Selain itu, Pangeran Daniel memiliki reputasi sempurna. Ia selalu memenangkan pertempuran," sahut kesatria yang lain.

Setelah itu suasana mendadak hening. Semua memandang Agra yang tampak terdiam. Doria, meski posisinya bersebelahan dengan Kingsfort, bukan termasuk dalam wilayah kekuasaan Agra. Ethardos dan Doria hanya terikat oleh sebuah perjanjian damai.

Dulu, ketika masih muda, Pangeran Thompson—ayah Raja Agra—jatuh cinta dengan Putri Angela dari Doria. Ia pun meminta pada ayahnya untuk melamar sang putri. Penguasa Doria saat itu bersedia menyerahkan Angela dengan satu syarat, sebuah perjanjian damai antara kedua wilayah.

Kini, meski keduanya tetap menghormati perjanjian damai itu, raja Doria diperkirakan tak akan begitu saja mengerahkan pasukan untuk membantu. Ia diprediksi akan mengajukan sebuah syarat—Putri Isabel.

Daniel, Pangeran Doria sudah lama tertarik dengan Putri Isabel. Atas permintaan anaknya, Raja Lovet dari Doria pernah mencoba menyampaikan hal itu pada Agra.  

Namun, karena Isabel tidak suka dengan karakter Daniel yang dinilainya kasar, Agra akhirnya menolak pinangan Lovet.

"Apakah masih ada cara lain?" tanya Agra memecah keheningan.

"Maaf, Yang Mulia, tapi kurasa itu satu-satunya jalan untuk mempertahankan Girondin," ujar salah seorang kesatria. "Kita tak mungkin meminta bantuan pada Arvendale, posisinya terlalu jauh di utara."

"Benar Yang Mulia, jika Girondin jatuh, bukan tak mungkin berikutnya Kingsfort yang akan jatuh. Tak ada benteng lain di antara kedua kota itu," sahut kesatria yang lain.

Raja Agra menghela napas gusar. "Baiklah akan kupikirkan dulu. Untuk sementara ini, beritahu Edgar dan Gideon melalui surat agar sedapat mungkin mengirimkan pasukan untuk mempertahankan Girondin. Semoga saja Edgar bersedia mendengar titahku," gumamnya.

"Persiapkan juga pasukan kita yang akan berangkat ke sana, dan jangan lupa untuk menyampaikan pesan pada Humphrey, penguasa Girondin." Raja Agra menutup pertemuan lalu pergi. Hatinya terasa masygul memikirkan permasalahan pelik yang tengah menimpanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro