Bab 25
Setelah mendapatkan informasi mengenai keberadaan kitab Tebro, Jack membuka portal ke hutan perbatasan Kilead. Suasana hijau nan asri, serta pepohonan rindang diiringi angin sepoi-sepoi segera menyambut kehadiran mereka. Ketika itu hari tengah beranjak sore.
"Ke mana kita akan mulai mencari?" tanya Fiona.
"Wanda bilang kalau serigala akan menuntun kita menemukannya. Sebaiknya kita menunggu hingga malam tiba, saat serigala akan melolong," sahut Susan.
"Baiklah, kalau begitu kita bisa beristirahat sejenak. Membuka portal ke tempat yang jauh cukup menguras energi sihirku," timpal Jack.
"Aku akan pergi mencari makanan." Lily yang mampu mengendalikan energi tentunya bisa berburu dengan lebih mudah. Ia pun pergi sejenak ditemani Fiona. Sebagai seorang proctrium, ia bisa membantu jika Lily sempat terluka.
Sementara itu, Susan memilih menemani ayahnya beristirahat. Sambil duduk bersandar di sebuah batang pohon, mereka menikmati angin yang bertiup semilir sambil melepas rindu.
"Aku benar-benar tak menyangka kita bisa bertemu lagi," tukas Jack memecah keheningan.
"Ya, aku mengalami waktu-waktu yang sulit di pulau itu," sahut Susan dengan pandangan menerawang. Ia lalu menceritakan petualangannya melawan Victor bersama Peter, Borin, Anna, dan Gladys di sana.
"Kau memiliki kawan-kawan yang hebat. Seandainya saja kita bisa berjuang bersama," desah Jack. "Sayang sekali Hans dan Wanda, orang tua mereka, memilih jalan yang berseberangan."
Sejenak kemudian, keheningan menyergap sementara kegalauan kembali menyelimuti hati Susan.
"Bagaimana kau yakin bahwa yang kita perjuangkan adalah hal yang benar?" tanya Susan kemudian.
"Entahlah ... sebenarnya apa kebenaran itu?" sahut Jack sambil menatap putrinya. "Yang aku tahu, para penyihir telah banyak menderita akibat ketidakadilan selama ini, dan Stevan lah satu-satunya yang mungkin bisa membawa keadilan itu. Dia membawa pengharapan," desah Jack. "Terkadang kau tidak bisa yakin akan sesuatu, tetapi bukankah pengharapan adalah sesuatu yang layak untuk diperjuangkan?"
Susan terdiam mendengarnya. Pandangannya menerawang ke langit yang mulai gelap di sela-sela pepohonan.
"Apakah kau siap jika suatu saat harus berhadapan dengan kawan-kawan lamamu?"
Susan menggeleng pelan. "Aku tak tahu ... rasanya akan sulit. Bahkan sekarang pun aku ragu. Bisakah kita mengambil kitab itu dari tangan orang tua Borin tanpa menyakiti mereka? Dia juga seorang penyihir, sama seperti kita."
"Aku pun tak tahu. Dulu, ketika aku dan Lily menemui Hans untuk mengajaknya bergabung dalam perjuangan ini, aku tak pernah menyangka kalau semuanya justru akan berakhir dengan kematiannya," desah Jack.
Setelah itu keduanya terdiam, larut dalam pemikirannya masing-masing. Susan kembali dihantui perasaan kalut kala membayangkan dirinya harus berhadapan dengan kawan-kawannya. Namun, detik itu juga bayangan Anna yang terikat di tiang bakar kembali melintas dalam benaknya, membuat keyakinannya menguat. Ia harus menyelesaikan misinya, apa pun risikonya. Gadis itu yakin, jika kawan-kawannya memahami motivasinya, mereka pasti bisa mengerti.
Tak lama kemudian, Lily dan Fiona pun kembali untuk memanggil Susan dan Jack. Mereka berhasil membunuh seekor babi hutan tetapi tak sanggup membawanya. Jack lalu membantu menguliti binatang itu dan mereka pun makan dengan lahap.
Setelah kenyang, kini mereka kembli meningkatkan kewaspadaan. Suara lolongan serigala bisa terdengar kapan saja.
Jack duduk sambil mengasah pedang yang ia dapatkan dari Fortsouth. "Persiapkan diri kalian," ujarnya pada yang lain. Susan pun menyiapkan anak panahnya sementara Fiona menyarungkan pisaunya. Sebagai seorang proctrium yang tak memiliki sihir untuk bertarung, Fiona telah membekali diri dengan keterampilan melempar pisau.
Beberapa saat larut dalam keheningan, tiba-tiba suara lolongan yang mereka tunggu pun terdengar. "Dari sana," desis Jack. Ia lalu bergerak memimpin kawan-kawannya masuk lebih jauh ke dalam hutan.
Seiring langkah mereka menyusuri rimba, lolongan itu terdengar beberapa kali lagi, semakin lama semakin keras. Hingga akhirnya Jack mendapati apa yang mereka cari.
Seekor serigala hitam dengan mata kuning sedang berdiri di sela-sela pepohonan. Menyadari kehadiran tamu tak diundang, serigala itu menggeram memamerkan taringnya.
"Waspadalah, serigala selalu berada dalam kawanan," bisik Jack sambil mengangkat pedang.
Benar saja, tak lama kemudian, beberapa ekor lagi muncul dari balik pepohonan, mengepung keempat penyihir itu. Semuanya menggeram bersiap menerkam.
"Bagaimana ini?" bisik Susan dengan panah terentang. Lily pun bersiap dengan sihirnya, kilatan-kilatan petir terlihat menyambar-nyambar di antara jemari tangannya.
Sesaat kemudian, Glarmarck muncul sambil menunggang seekor serigala besar. Tangan kanannya menggenggam kapak, sementara tangan kirinya terlindung perisai. Mata kapak serta bagian tengah perisainya terbuat dari logam yang berwarna biru terang dan menyala dalam kegelapan.
"Apa yang kalian cari?" tanyanya dengan suara berat.
"Kami mencari kitab Tebro. Serahkan saja dan kami akan pergi," seru Jack.
"Aku tak tahu apa yang kau bicarakan. Pergilah!" sahut Glarmarck tenang.
"Kami mohon, Tuan ... kami tak menginginkan adanya pertumpahan darah," ujar Susan.
"Kalau begitu pergilah. Serigala-serigala ini tak akan melukai kalian," tegas Glarmarck lagi.
Mengetahui negosiasi akan berakhir buntu, Susan mencoba merapalkan mantra halusinasi pada Glarmarck. "porta alegios," bisiknya sambil menatap mata Glarmarck. Ia mencoba menciptakan imajinasi bahwa dirinya adalah Muriel, sementara Jack adalah Borin. Siapa tahu jika merasa bahwa yang meminta kitab itu adalah orang yang dikenalnya, Glarmarck bersedia menyerahkan Kitab Tebro.
Namun, beberapa detik setelah merapalkan mantra, Susan justru merasa kepalanya sangat pusing. Panahnya terjatuh ke tanah sementara gadis itu berlutut sambil mengerang kesakitan dan memegangi kepalanya.
"Sudah kubilang, kau tak akan bisa mempengaruhi pikiran seorang dwarf," cetus Fiona. Sementara itu, Jack berusaha menolong putrinya, membantunya bangkit kembali. Setelah berhenti mencoba, Susan merasa kepalanya tak sakit lagi.
"Ini tak akan berhasil," bisik Lily. "Aku akan menangani para serigala. Kau pergilah ke belakang dwarf itu dan letakkan pedangmu di lehernya. Semoga dalam kondisi terancam dia bersedia bernegosiasi."
Jack mengangguk singkat lalu segera merapal mantranya, "tias alpaleta." Detik itu juga, tubuhnya seperti terhisap oleh sebuah titik hitam lalu lenyap seluruhnya. Sekejap kemudian, hampir sama seperti ketika menghilang, tubuh Jack seperti disemburkan dari sebuah titik di belakang Glarmarck.
"Di belakangmu!" Bersamaan dengan kemunculan Jack, suara seorang wanita terdengar dari balik lebatnya pepohonan hutan. Glarmarck pun dengan sigap mengayunkan sikutnya ke belakang, menghantam dada Jack, membuat pria itu terpelanting ke tanah.
Sementara itu, Lily melemparkan petirnya mengenai salah seekor serigala. Kilatan cahayanya kemudian memantul dan menyambar serigala-serigala lainnya. Susan, yang sudah pulih kembali, ikut membantu menembakkan panah dan membunuh beberapa ekor serigala.
Lain halnya dengan Fiona, tak memiliki kemampuan bertarung, ia memilih menyingkir dari kekacauan.
Di sisi lain, Jack masih rebah di tanah sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri. Sementara itu, Glarmarck melompat dari atas serigala dengan kapak teracung. Ia tak mau memberikan kesempatan lawan beristirahat.
Tepat sebelum kapak itu menghantam tubuhnya, Jack menghilang lagi dan muncul di belakang Glarmarck.
"Belakang kanan!" Sama seperti sebelumnya, suara itu terdengar lagi. Glarmarck refleks menendang ke arah yang disebutkan dan mengenai paha Jack. Penyihir loctrum itu pun mundur terhuyung ke belakang, sementara sang dwarf kembali mengayunkan kapaknya menyasar lawan.
Susah payah, Jack menahan serangan itu dengan pedangnya. Kedua tangannya gemetar menahan kapak sang dwarf yang kekuatannya setara dengan dua orang dewasa.
Belum sempat berbuat lebih banyak, perisai Glarmarck terayun menghantam wajah Jack. Penyihir itu pun tumbang ke tanah sementara darah mengalir dari hidungnya.
"AYAAH!" teriak Susan di tengah-tengah kesibukannya menembaki serigala yang terus bermunculan seolah tak ada habisnya. Seperti harimau ciptaan Victor, serigala-serigala itu tak meninggalkan jejak ketika mati. Mereka lenyap ditelan kabut asap.
"Sial! Ini tak ada habisnya," gerutu Lily. "Kau harus mencari Wanda! Dia yang menciptakan serigala-serigala ini! Bergegaslah, sebelum energiku terkuras!" teriak Lily pada Jack dengan napas memburu.
Jack yang masih sempat berteleportasi untuk menghindari tebasan Glarmarck pun pergi meninggalkan lawan. Ia berpindah mendekati sumber suara wanita yang tadi selalu memperingatkan Glarmarck mengenai posisinya.
"Wanda?" gumamnya ketika menemukan sang wanita.
"Jack ... aku tak menyangka kita akan bertemu lagi," balas Wanda.
"Yah, aku pun begitu," ujar Jack dengan napas terengah-engah. Tolong, berikan kitab itu dan kita tak perlu saling membunuh."
"Selama belasan tahun aku menjaga kitab itu, bahkan rela berpisah dengan anakku sendiri! Jangan pikir kau akan mendapatkannya begitu saja!" seru Wanda.
"Luprio Emerati!" Ia pun merapal mantra dan menciptakan lebih banyak serigala di sekitarnya.
"Oh, sial!" gumam Jack. Menghindari terkaman serigala, ia pun berpindah ke sana kemari menggunakan sihirnya.
Sementara itu, sepeninggal Jack, Glarmarck menunggang serigala dan merangsek menyerbu ke arah Lily. Penyihir wanita itu menembakkan api dan petir untuk menjatuhkan Glarmarck, tetapi dwarf itu terlalu perkasa. Dengan perisai di depan tubuh, sihir Lily bak menghantam sebuah tembok tebal.
"AWAS!" Susan menubruk Lily, menyelamatkannya dari serbuan Glarmarck. Keduanya pun terjatuh berguling-guling di tanah, sementara beberapa ekor serigala tampak melompat menerkam. Dengan sigap Lily mengeluarkan sihirnya lagi dan membunuh serigala-serigala itu. Ia lalu melihat kondisi Susan yang tampaknya terluka akibat sabetan kapak Glarmarck.
"Sial, lukanya cukup dalam," gumam Lily sambil meraba punggung Susan yang kini basah oleh darah. Meski Fiona bisa menyembuhkan luka Susan, tetapi situasinya saat itu benar-benar tidak memungkinkan. Saat itu Glarmarck terlihat sudah memacu serigalanya menyerbu ke arah kedua perempuan itu.
Sementara situasi Lily dan Susan semakin terpojok, Jack masih sibuk berpindah ke sana kemari menghindari terkaman serigala. Sial, jika begini terus aku akan segera kehabisan energi ... gumamnya. Sepertinya aku harus melukaimu. Maafkan aku Wanda. Setelah itu Jack pun berteleportasi ke belakang sang penyihir factrum dan menghunuskan pedangnya.
Di luar dugaan, Wanda berkelit dengan gesit dan tiba-tiba, sebuah cakar besar terayun merobek dada Jack, menimbulkan bekas luka yang cukup dalam. Pria itu pun terjatuh ke tanah sambil meringis kesakitan.
"A-apa ini?" gumam Jack keheranan. Sambil memegangi dadanya yang perih, pria itu pun mendongak pada Wanda.
Jack sontak terperangah ketika mendapati tubuh sang penyihir wanita kini ditumbuhi bulu-bulu kasar berwarna putih, sementara rahangnya penuh dengan taring yang tajam. Rupanya Wanda telah berubah menjadi seorang manusia serigala.
"Pergilah! Tinggalkan kami!" geramnya sambil melangkah mendekati Jack dan memamerkan cakar dan taringnya.
Bersamaan dengan itu, Glarmarck yang melihat kedua lawannya telah mati langkah, melompat dari atas serigala dengan kapak teracung. Perisainya terangkat di depan tubuh menahan kilatan-kilatan petir yang terus ditembakkan Lily dengan putus asa.
Ketika semuanya tampak akan segera berakhir untuk Lily dan Susan, tiba-tiba sebuah pisau melesat dari sela-sela pepohonan hutan dan menancap telak di leher Glarmarck. Dwarf itu pun jatuh tersungkur di tanah bersimbah darah. Fiona, dari tempat persembunyiannya, melempar senjata untuk menyelamatkan rekannya.
'TIDAAAK!!" Melihat suaminya ambruk, Wanda dalam wujud serigalanya berteriak pilu. Ia langsung berlari melesat, berharap nyawa Glarmarck masih bisa diselamatkan.
Lily yang melihat seekor serigala besar menyerbu ke arahnya, segera menembakkan sihir apinya. Semburan panas itu mengenai targetnya dengan telak, membakar sekujur tubuh Wanda, dan membuatnya melolong kesakitan. Serigala-serigala ciptaannya pun lenyap seiring tubuhnya yang terluka parah.
Sementara Wanda bergulingan berusaha memadamkan api di tubuhnya, Fiona segera merangsek dari balik pepohonan untuk menolong Susan. "Passima laetrix!" serunya bersamaan dengan munculnya sinar putih dari telapak tangannya. Berkat Fiona, pendarahan Susan pun berangsur mengering.
"Cepat baca pikirannya!" seru Lily pada Susan setelah ia pulih. "Aku melihat beberapa obor dari hutan bergerak mendekat ke sini."
Mendengar itu, Susan pun beringsut mendekati tubuh Wanda yang kini tergeletak tak berdaya. Ia telah kembali ke wujud aslinya akibat menderita luka bakar serius.
"Maafkan aku," bisik Susan. Sambil menitikkan air mata, gadis itu pun menyentuh tubuh lemah Wanda lalu merapal mantranya, "Ergisum provero!"
Detik itu juga, Susan mengetahui bahwa kitab yang ia cari diletakkan di dalam rumah, tersembunyi di bawah lantai kolong tempat tidur. "Cepat bawa aku ke dalam rumahnya!" pinta Susan pada Jack yang luka-lukanya juga telah disembuhkan Fiona.
Kedua ayah dan anak itu pun berteleportasi ke dalam rumah Wanda dan langsung mengambil apa yang mereka butuhkan. Setelah mendapatkannya, mereka segera kembali menemui Lily dan Fiona yang menunggu di luar.
"Ayo cepat, orang-orang itu akan segera tiba!" seru Lily.
Jack pun segera merapal mantra untuk membawa rekan-rekannya berpindah ke tempat lain yang lebih aman. Sebelum terhisap oleh sihir Jack, Susan sempat melihat Wanda beringsut mendekati Glarmarck lalu memeluk tubuh suaminya yang sudah tidak bernyawa.
Maafkan aku, Borin ... batin Susan sambil terisak. Setelah itu, ia pun lenyap terhisap oleh sebuah titik.
Bersamaan dengan lenyapnya mereka, Borin tiba di situ bersama Eric dan beberapa orang prajurit. Dalam perjalanan pulang ke Fortsouth, ia sengaja mengajak Eric, berniat memperkenalkannya pada Glarmarck dan Wanda.
"AYAH! IBU!" Borin berteriak pilu begitu mengetahui kondisi kedua orang tuanya yang penuh luka. Obornya jatuh ke tanah sementara ia menghambur mendekap tubuh Wanda yang sudah sekarat.
"Ayaah ... ibuuuu ...." Tangisnya pecah saat itu juga. "Ke-kenapa jadi begini? Siapa yang melakukannya?" Borin menangis tersedu-sedu. Air matanya tumpah ruah membasahi wajah. Eric yang melihat itu pun ikut menangis. Hatinya trenyuh melihat Borin yang baru saja bertemu dengan orang tuanya, tetapi sudah harus segera berpisah lagi ... untuk selamanya.
Dengan tangan gemetar, Wanda menyentuh pipi Borin. Ia lalu berkata dengan sisa-sisa kekuatannya, "Kau tak perlu mengetahui siapa pelakunya. Balas dendam hanya akan melahirkan kebencian tak berkesudahan ... Setelah ini, pergilah ke Gunung Grimforge. Bawa perisai dan kapak ayahmu lalu berlindunglah di sana. Aku khawatir tak lama lagi akan pecah perang yang besar."
Meski belum mengerti maksud ibunya, Borin mengangguk-angguk diiringi air mata yang terus mengalir.
"Buka mulutmu," ujar Wanda lagi. Borin pun menurut saja.
Wanda meletakkan ibu jarinya yang berdarah di lidah Borin lalu merapal sebaris mantra, "Sangerin ore alterin." Bersamaan dengan itu, selama beberapa detik, sinar kemerahan terpancar dari ibu jari Wanda.
"Aku baru saja menyerahkan kemampuan sihirku padamu. Sekarang kau adalah seorang penyihir, sama sepertiku. Temukan buku catatan sihirku di lemari pakaian dan pelajarilah. Itu akan membantumu bertahan hidup jika ada bahaya." Bersamaan dengan itu, tangan Wanda pun jatuh terkulai dan sinar matanya meredup.
Ia baru saja mengembuskan napas terakhirnya.
"TIDAAAAK!! IBUUU!!" Borin berteriak sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh Wanda yang sudah tidak bernyawa. Bersamaan dengan guntur yang menggelegar di langit, tangisnya pun pecah menembus lebatnya pepohonan hutan, menyayat setiap sanubari yang sempat mendengarnya.
Meski hatinya hancur melihat kesedihan Borin, Eric berusaha menghibur dengan merangkul pundaknya dari belakang. Tak ada kata yang terucap, hanya air mata yang mengalir sebagai wujud empati teramat dalam.
Selama beberapa saat, Borin terus terduduk sambil menangis. Giginya bergemeretak kuat menahan duka yang begitu lara. Dadanya sesak dan pikirannya seperti mengambang. Ia tak habis pikir kenapa takdir begitu kejam. Ia yang baru saja bergembira karena berhasil bertemu kedua orang tuanya, kini harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka harus wafat dengan begitu tragis. Ia bahkan tak sempat mengetahui siapa pelakunya. Seandainya saja ia tiba beberapa saat lebih cepat, mungkin tak akan seperti ini kejadiannya.
Borin merasa tubuhnya ringan sementara jiwanya kosong. Sambil berteriak sekuat tenaga, tubuhnya bergetar semakin hebat. Ia seperti hampir gila. Sementara itu, Eric terus memeluknya erat.
"Tak apa, berteriaklah sekeras mungkin, lepaskan saja emosimu," bisik Eric di telinga Borin.
"AAAAAAARGH!" Borin pun berteriak lagi sambil memukul-mukul tanah. Ia tak peduli dengan kepalan tangannya yang mulai berdarah. Rasa sakitnya tak seberapa jika dibandingkan dengan luka menganga di dalam hati.
Tetes-tetes hujan mulai jatuh membasahi bumi bersamaan dengan Borin yang harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk bangkit. Ia mengambil kapak ayahnya lalu mulai menggali tanah untuk menguburkan jasad kedua orang tuanya. Eric dan beberapa prajurit yang lain ikut membantu dengan menggunakan senjata yang mereka punya.
Dalam beberapa kali ayunan, Borin merasa tak kuat lagi untuk mengangkat kapak ayahnya. Selain karena senjata itu memang berat, kondisi mentalnya yang hancur membuat tubuhnya begitu lemah seperti tak bertulang. Pemuda itu pun jatuh berlutut. Namun, ia tidak berhenti, dengan tangan kosong, ia terus menggali.
Ketika akhirnya liang selesai digali, Borin, Eric, bersama beberapa pasukan itu mengangkat tubuh Wanda dan Glarmarck bergantian, menguburkannya perlahan.
Saat itu juga, dunia terasa runtuh dan waktu seolah terhenti. Masih sambil terisak, Borin berlutut di samping jenazah kedua orang tuanya sambil melemparkan tanah sedikit demi sedikit.
Usai kubur tertutup seluruhnya, Borin melangkah gontai, mengambil sebuah tonggak kayu lalu mengukir nama kedua orang tuannya dan menancapkannya di kubur mereka.
"Beristirahatlah dengan tenang, Ayah, Ibu ...," lirihnya sambil mengusap tonggak itu.
Setelah itu, Borin terduduk beberapa saat sambil mengusap air matanya. Eric dan para prajurit yang ikut di situ hanya diam sambil memandang Borin haru.
Cukup lama terpekur di samping pusara, Borin lalu berdiri dan menatap rumah sederhana kedua orang tuanya.
"Aku ingin tinggal di sini untuk yang terakhir kali," ujarnya pada Eric. Kesatria itu mengangguk lalu berjalan mengiringi Borin. Ia tahu, pemuda itu akan membutuhkan dukungan untuk melewati masa-masa yang berat ini.
Malam itu menjadi malam yang sangat kelam bagi Borin. Di atas pembaringan orang tuanya, ia terus menangis hingga air matanya mengering. Meski ibunya berpesan untuk tidak membalas dendam, Borin merasa hatinya sangat panas dan dadanya sesak. Ia tak bisa menerima kematian kedua orang tuanya begitu saja. Bagaimanapun juga, ia bertekad untuk berlatih sihir dan menjadi kuat sehingga bisa membalaskan kematian kedua orang tuanya.
Sementara itu, Susan yang berada di sisi lain hutan ikut merasa trenyuh mendengar teriakan Borin. Ia terduduk memeluk lutut sambil menitikkan air mata haru. Meski tahu tak akan terdengar, ia berulang kali membisikkan kata maaf untuk Borin.
Jack memeluk putrinya dengan lembut. Ia dapat memahami putrinya yang merasa begitu bersalah telah ikut ambil bagian dalam kematian Glarmarck dan Wanda.
"Jangan sia-siakan kematian mereka, kita harus menuntaskan misi ini. Jangan sampai ada lagi darah penyihir yang harus tertumpah," bisiknya.
Susan pun hanya bisa mengangguk pelan sambil mengusap air matanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro