Bab 21
Mentari telah bergeser ke barat ketika terjadi sebuah kericuhan di Bergstone. Zalika yang melarikan diri dari kastel dikejar-kejar oleh para pengawal ayahnya. Suasana petang yang semula tenang mendadak berubah ricuh.
"Tuan Putri, tolong berhenti!" seru salah seorang prajurit. Namun, Zalika sama sekali tak peduli. Ia terus memacu langkah menyusuri jalan menuju gerbang kota.
Namun, ketika sudah hampir keluar, gadis itu justru terpeleset dan jatuh terjerembab ke tanah. Para prajurit pun berhasil mendekat.
Sial! gumam Zalika sambil berupaya berdiri lagi.
Bersamaan dengan itu, Peter yang baru selesai dari latihannya datang membantu. Meski belum mengerti duduk permasalahannya, ia merasa harus bertindak dulu.
"Écctus tarbantum!" serunya. Angin keras berembus dan menghantam para prajurit hingga terpelanting ke belakang.
"Ayo!" Sambil menggandeng tangan sang putri, Peter segera membawanya berlari.
Zalika yang terkejut hanya bisa memandang Peter sekilas lalu segera mengikuti instruksinya.
Sementara itu, dua orang prajurit penjaga pintu gerbang tampak berupaya menutup pintu untuk mencegah Zalika pergi meninggalkan kota.
Melihat itu, Peter merapal mantranya lagi. Angin kencang pun bertiup mendorong dirinya sendiri bersama Zalika yang berpegangan erat pada tubuhnya. Keduanya lalu melayang melewati celah sempit yang masih tersisa.
Meski berhasil keluar dari kota, situasi sama sekali belum aman bagi mereka. Para prajurit menunggang unta dan memacunya mengejar ke padang gurun. Sepasang anak muda itu pun dipaksa untuk terus berlari melintasi gurun.
Belum jauh berlari, tiba-tiba angin bertiup kencang, menerbangkan jutaan partikel pasir ke udara, menghalangi pandangan dan mengganggu pernapasan.
"Badai gurun!" seru Zalika panik.
"Ecctus tarbantum!" Peter berseru sambil memutar tangan. Seketika itu juga, muncullah perisai angin di sekitarnya, melindungi mereka dari badai yang bertiup kencang.
"Ayo kita berlindung di sana!" seru Peter sambil menunjuk sebuah gua. Sambil berpegangan tangan, keduanya pun berjalan terseok-seok dengan kaki melesak ke dalam pasir. Beruntung, sihir Peter setidaknya bisa melindungi mereka dari badai gurun yang makin ganas.
"Untung, ada gua ini. Setidaknya kita selamat untuk sementara." Zalika menghela napas panjang. Ia duduk berselonjor sambil menatap pasir yang berterbangan tertiup angin di luar mulut gua.
Sementara itu, Peter mengambil tempat duduk di sebelahnya lalu terdiam sejenak. Untuk beberapa saat hanya deru angin kencang yang mengisi rungu mereka.
"Kenapa kabur dari rumah sendiri?" tanya Peter beberapa saat kemudian.
Zalika menatap Peter sambil meneguk ludahnya kasar. Punggungnya--yang sebelumnya bersandar rileks di dinding batu--kini menegak. "Aku benci terlahir sebagai putri bangsawan," gumamnya. "Aku ingin menjadi rakyat biasa saja."
"M-maksudmu?" Peter pun merasa heran dengan pernyataan Zalika.
"Yah, sejujurnya ... aku iri denganmu. Kau bebas memutuskan hendak pergi ke mana. Kau bisa memilih jalan hidupmu sendiri. Dan kau juga bebas menentukan ... pendamping hidupmu."
Mendengar itu, Peter menatap pada Zalika penuh tanya. Untuk beberapa saat, keduanya saling berpandangan.
"Err ... b-begitukah? Aku malah selalu berpikir bahwa terlahir sebagai bangsawan sangat menyenangkan."
"Ya, sebagai seorang putri, aku tak punya kebebasan. Orang tuaku selalu memilih untukku. Mereka lah yang berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk bagiku," desah Zalika.
Ia lalu menghela napas beberapa kali sebelum melanjutkan cerita. "Mereka memaksaku untuk menikah dengan seorang putra bangsawan Girondin yang sama sekali tak kusukai. Hari ini mereka datang untuk membawaku. Maka dari itulah aku kabur dari kastel." Sambil memeluk lututnya sendiri, gadis itu terdiam beberapa saat.
"Bagaimana menurutmu?" Manik mata zalika kini menatap pada Peter, mengharapkan dukungan.
"Umm ... me-menurutku, seseorang tak seharusnya dipaksa untuk melakukan apa yang tak ia sukai."
"Benar kan? Kupikir juga begitu! Kenapa mereka tak bisa mengerti hal sesederhana ini," gumam Zalika. Ia lalu menyandarkan kepala ke pundak Peter sambil memejamkan mata. "Kumohon, bawa aku pergi ...," lirihnya di sela-sela badai yang menderu.
Peter terdiam lagi. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Sebersit penyesalan kini menyeruak dalam hatinya karena telah ikut campur dalam urusan pribadi sang putri. Belum juga Ronald kembali, ia justru terlibat dalam masalah. Ia sadar, Tuan Edgar tak akan menyukai perbuatannya membantu Zalika kabur.
Malam pun menjelang seiring badai gurun yang mulai mereda. Gugusan bintang tampak bersinar gemerlap menghiasi gelapnya langit malam. Seiring lingsirnya sang mentari, suhu udara kini mulai menurun dengan drastis. Zalika pun menggigil kedinginan.
Merasa kasihan, Peter merapal sebaris mantra. Sebentuk bara api pun tercipta menghangatkan suasana. Berkat latihan intensif, pemuda itu kini telah berhasil menguasai dasar-dasar sihir angin dan api.
"Kau sangat ajaib," ujar Zalika sambil meringkuk di dekat Peter, menyerap kehangatan sihir apinya.
Pemuda itu tersenyum sekilas memandangi Zalika. Wajahnya yang ayu tampak nyaman bergelung di dekat kakinya.
Beberapa saat kemudian, seiring dengan sihirnya yang mulai memudar, Peter pun terlelap karena lelah.
***
Rasanya baru sebentar ketika tiba-tiba Peter merasa tubuhnya tersentak kuat.
"BANGUN PEMALAS!"
"Ugh ...." Peter berusaha keras melawan kantuk dan membuka mata. Sinar mentari yang menyorot dari mulut gua membuat netranya tak mampu terbuka lebar.
Dari pandangannya yang sempit, pemuda itu mendapati bahwa para prajurit Bergstone telah berhasil menemukan tempat persembunyiannya.
Sial, gumamnya dalam hati.
"LEPASKAN!" teriak Zalika berusaha memberontak. Namun percuma saja. Para prajurit itu mencekalnya dengan kuat.
"Maaf, Tuan Putri, tapi kami harus membawamu pulang," ujar salah seorang dari prajurit itu.
Peter sendiri tidak melawan ketika para penjaga membawanya kembali ke kota. Selain karena energi sihirnya yang belum pulih sepenuhnya, ia juga tak ingin mendapat masalah yang lebih besar karena melawan petugas sekaligus membawa kabur seorang putri bangsawan.
Sudah terlambat memang, tapi setidaknya ia merasa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia tak ingin mencoreng nama sang guru di depan kakaknya sendiri.
Ia pun hanya terdiam pasrah ketika dihadapkan pada Tuan Edgar yang tampaknya sangat murka.
"JADI DIA! DEMI LAKI-LAKI INI KAU TEGA MEMPERMALUKAN AYAHMU?" tegasnya pada sang putri. Teriakannya menggelegar memecah keheningan aula kastel.
"TAPI AKU TIDAK MENCINTAINYA AYAH!" Zalika membalas tak kalah keras.
"KAU HARUS BELAJAR MENGENDALIKAN SOPAN SANTUNMU GADIS MUDA!" teriak Edgar lagi. Sementara itu Sofia tampak berusaha meredakan emosi suaminya. "Sudahlah, tenanglah dulu. Biarkan aku yang bicara padanya."
"PENJARAKAN PEMUDA INI! AKU TAK INGIN MELIHATNYA LAGI!" seru Edgar pada para penjaga. Setelah itu, ia pun pergi meninggalkan Zalika yang menangis dalam pelukan Sofia.
Sementara itu, para penjaga yang mendapat perintah langsung menyeret Peter ke dalam penjara tanpa memedulikan lagi permohonan Zalika.
"Tenanglah Sayang, tolong mengertilah sedikit." Sofia berusaha menenangkan putrinya yang menangis semakin kencang.
"LALU SIAPA YANG MAU MENGERTI AKU!" teriak Zalika. Ia lalu berlari ke kamarnya sambil berurai air mata. "AKU BENCI TERLAHIR SEBAGAI PUTRI BANGSAWAN!" serunya sambil membanting pintu kamar. Ia langsung mengempaskan tubuh di pembaringannya dan menangis semakin keras.
Siang itu, meski rombongan dari Girondin telah pergi sejak tadi, suasana di kastel Bergstone benar-benar kacau. Edgar--yang merasa dipermalukan karena putrinya kabur dari calon suami pilihannya--melampiaskan kemarahan dengan melemparkan barang-barang di kamar. Sofia hanya bisa terdiam ketakutan di sudut kamar.
Peter sendiri justru terseret dalam permasalahan pelik itu dan harus mendekam di penjara. Dalam hati ia hanya bisa berharap agar Ronald segera kembali dan membantunya lepas dari masalah.
Sementara itu, sang guru yang mengikuti Karl hingga masuk ke dunia orc terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka bahwa ternyata pasukan orc masih begitu besar. Apalagi ditambah dengan kecerdasan Karl, mereka kini telah membangun persenjataan perang yang lebih canggih. Pelontar jarak jauh, tangga dorong maupun pelantak tubruk telah siap untuk dioperasikan. Pasukan pun tampak telah terlatih untuk menggunakan busur dan panah serta membentuk formasi dengan rapi.
Aku harus segera memberitahu Edgar, batin Ronald. Secara geografis, Bergstone memang adalah benteng terdekat dari pintu gerbang dunia orc.
Setelah mengisi kantong airnya dari sungai yang ia temukan di dunia orc serta memetik beberapa buah sebagai bekal perjalanan, Ia pun bergegas keluar dari sana dan memacu langkah untuk menemui kakaknya sesegera mungkin. Sambil sesekali melayang, penyihir itu menyeberangi gersang dan teriknya padang gurun.
Malam itu juga, sang penyihir akhirnya tiba di Kota Bergstone. Ia langsung menemui Edgar di aula kastel. Sang penguasa tampak masih begitu gusar akibat perselisihannya dengan Zalika siang tadi.
"Bangsa orc akan segera bangkit! Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar. Sebaiknya kosongkan kota ini dan mengungsi ke kastel Girondin. Gabungkan pasukan untuk bertahan dari serbuan mereka," saran Ronald.
"Perjodohan putriku dengan putra Girondin baru saja gagal dan sekarang kau menginginkanku bersembunyi di balik ketiak mereka? Omong kosong!" sahut Edgar gusar.
"Kekuatan pasukanmu saja tidak akan mampu menahan gempuran bangsa orc. Mereka terlalu besar."
"Para leluhur telah membuktikan bahwa mereka mampu bertahan menghadapi mereka. Dari balik tembok kokoh Bergstone, aku akan mengirim mereka semua ke neraka!" tegas Edgar.
"Tapi dulu kaum orc tidak memiliki perlengkapan perang yang memadai. Kini mereka telah mengembangkan berbagai teknologi untuk menghancurkan bentengmu. Mereka juga memiliki seorang penasihat!"
"OMONG KOSONG! Keputusanku sudah bulat! Aku akan bertahan di kota ini!" gusar Edgar. "Lebih baik mati demi membela rumah sendiri daripada kabur dan bersembunyi seperti seorang pengecut."
Mendengar itu Ronald pun terdiam. Ia sudah lama mengenal kakaknya sebagai orang yang keras kepala. Merasa tak ada lagi yang bisa disampaikan, penyihir botak itu pun memilih untuk undur diri. "Kalau begitu aku akan pergi dari sini. Di mana Peter? Dia akan ikut bersamaku."
"Sekarang dia sudah menjadi tawananku. Dia berani membawa putriku kabur."
Mendengar itu Ronald pun mendesah gusar. Dalam hatinya kecewa pada sang murid. Sudah berulang kali aku sampaikan agar tidak menyinggung Edgar ... sekarang semua menjadi semakin rumit, racaunya dalam hati.
Tanpa sepatah kata lagi, Ronald pun berbalik pergi meninggalkan sang kakak yang terduduk di kursinya. Ia bermaksud kembali ke Kingsfort untuk menyampaikan segala sesuatunya pada sang raja. Titah raja mungkin bisa memperbaiki semua.
Dengan tergesa, Ronald pun memacu kuda berderap menyusuri sungai melintasi padang gurun. Ia harus menemui Agra secepat mungkin atau semuanya akan terlambat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro