Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Mentari pagi baru saja terbit dari ufuk timur. Semburat jingga menyeruak menyapa dunia diiringi kicau burung gereja dan kokok ayam bersahut-sahutan. Borin menguap sambil meregangkan tubuhnya menyambut pagi di kastel Fortsouth.

"Pagi, Bu ...." Sambil mengusap matanya yang masih terasa berat, pemuda itu menyapa Muriel, ibu angkatnya. Sesuai janji Gideon, keduanya kini diizinkan untuk tinggal dalam sebuah kamar yang lebih layak di dalam kastel.

"Pagi, Borin. Ayo kita makan. Aku sudah menyiapkan roti panggang ham dan telur rebus." Karena statusnya telah diangkat oleh Gideon, mereka sebenarnya berhak mendapatkan pelayanan yang setara dengan para bangsawan. Namun, atas kemauannya sendiri, Muriel memilih untuk tetap bekerja sebagai kepala dapur.

Mendengar ibunya, Borin beranjak dari tempat tidur lalu melangkah menuju sebuah meja kecil, tempat makanan telah terhidang. Ia menarik sebuah kursi kayu dan duduk berhadapan dengan Muriel. Keduanya mulai makan dengan lahap.

"Kira-kira apa yang sedang dilakukan Peter ya?" Muriel bergumam sambil melempar tatap keluar jendela. "Aku sangat merindukannya ...."

"Dia pasti sedang belajar menyihir batu menjadi roti," sahut Borin dengan mulut penuh makanan.

"Dasar, kau ini ada-ada saja." Muriel tersenyum geli mendengar jawaban ngawur dari putra angkatnya itu. "Terkadang aku merasa takdir memang lucu. Dulu aku sempat khawatir jika Peter belajar sihir, maka hidupnya tak akan normal lagi. Tapi kini ia justru mendapatkan seorang guru yang sangat hebat," gumam Muriel pada dirinya sendiri. "Mungkin semesta sudah memiliki rencana sendiri untuk anakku."

Tak ada tanggapan dari Borin yang memilih sibuk mengunyah. Untuk beberapa saat, keduanya terdiam sambil menikmati santapan.

Di tengah-tengah makan, tiba-tiba Borin bertanya, "Err ... apakah Ibu benar-benar tidak tahu apa-apa mengenai orang tuaku? Maksudku orang tua kandungku."

Mendengar pertanyaan yang mendadak itu, Muriel hampir saja tersedak.

"Uh ... I-iya," gagap Muriel. "Bukankah sudah berkali-kali kuceritakan padamu kalau aku menemukanmu terapung di sungai?"

"Ah iya," sahut Borin datar. Ia sebenarnya cukup bahagia dibesarkan oleh Muriel bersama Peter, tetapi bagaimanapun juga, ada keingintahuan dari dalam dirinya yang akhir-akhir ini terasa semakin membesar.

"Hanya ini yang saat itu kutemukan bersama tubuh mungilmu." Muriel melanjutkan kalimat seraya bangkit dari tempat duduknya. Ia mengambil sebuah sapu tangan kecil berwarna biru polos dari lemari pakaiannya. Ada sebuah jahitan kecil di sudutnya bertuliskan nama Borin.

Muriel lalu menyerahkan sapu tangan itu pada anak angkatnya. "Simpanlah, siapa tahu ini bisa menjadi semacam jimat keberuntunganmu."

Borin menatap sapu tangan mungil itu sesaat, lalu memasukkannya ke dalam lipatan baju. Dalam hati ia bergumam, ayah, ibu jika kalian masih hidup, aku ingin bertemu ....

Beberapa saat kemudian, usai makan dan bersiap, Borin pun keluar dari kamarnya untuk menemui Eric. Semenjak Ramos wafat di Pulau Amui dan Peter memutuskan pergi untuk mengikuti Ronald, Borin kini menggantikan posisi Peter sebagai ajudan bagi Eric.

Seperti rutinitasnya selama beberapa minggu terakhir, Ia menemui Eric di halaman kastel.

"Genggam erat senjata dan siapkan kuda-kudamu!" perintah Eric pada remaja pendek yang berdiri di hadapannya. Sama seperti Peter, Borin tampaknya juga lebih menyukai tongkat daripada pedang karena jangkauannya yang lebih panjang. Hal itu memang lebih cocok baginya yang berpostur pendek dan sedikit tambun.

Karena keseriusannya berlatih, kemampuan Borin pun berkembang cukup pesat. Dalam beberapa kali latihan, ia sudah bisa menahan dua hingga tiga kali serangan Eric-meski pukulan berikutnya selalu berhasil membuatnya mengaduh kesakitan.

"Eric!" Di sela-sela latihan, tiba-tiba terdengar suara Arden memanggil. Kesatria itu pun berhenti sejenak dan berjalan menghampiri sang penasihat.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sahutnya menyapa Arden.

"Pergilah ke Kilead. Kelompok Harduin menyerang dan berhasil merebut kekuasaan di sana. Bawalah prajurit-prajurit terbaikmu," ujar Arden pada Eric.

"Ternyata selama ini mereka bersembunyi dan membangun kekuatan untuk merebut kembali kekuasaan atas pulau ini," desah Arden. "Mereka memiliki setidaknya seribu orang prajurit."

Kilead sendiri adalah sebuah kota yang terletak di sebelah barat pulau Yaendill. Sedangkan kelompok Harduin adalah mereka yang setia pada kepemimpinan Charles Harduin, penguasa pulau Yaendill sebelum diambil alih oleh keluarga Fernir.

Sebelum menjadi bagian dari kerajaan Ethardos, pulau Yaendill dikuasai oleh keluarga Harduin yang memerintah dengan sewenang-wenang. Ia hanya memikirkan kepentingan keluarga beserta orang-orang yang dekat dengannya saja sementara mengabaikan kesejahteraan rakyat banyak.

Hal itu terus berlangsung selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, karena tak tahan lagi, pecahlah revolusi yang dipimpin oleh keluarga Fernir.

Pada awalnya, revolusi itu hanya bersifat sporadis sehingga mudah dipatahkan. Keluarga Fernir yang masih berstatus warga biasa tentunya tidak memiliki akses terhadap persenjataan dan dukungan dari pasukan terlatih.

Hingga pada suatu ketika, pemberontakan itu terendus oleh Damien, raja Ethardos yang sedang gencar memperluas wilayahnya.

Damien menawarkan bantuan berupa pasukan dan persenjataan kepada keluarga Fernir dengan satu syarat, setelah berhasil mengalahkan keluarga Harduin, ia harus menjadikan pulau Yaendill sebagai bagian dari kerajaan Ethardos.

Gayung bersambut, keluarga Fernir menyetujui syarat dari ayah Agra itu. Beberapa tahun kemudian, dengan dukungan pasukan dan persenjataan dari Ethardos, akhirnya kekuasaan keluarga Harduin berhasil digulingkan.

Untuk menepati janji, Bernard Fernir---ayah Gideon---langsung memproklamirkan pulau Yaendill sebagai bagian dari kerajaan Ethardos dengan Fortsouth sebagai ibu kotanya.

Kini, para loyalis Harduin yang tersingkir rupanya telah membangun kekuatan untuk merebut kembali kekuasaan atas pulau Yaendill. Mereka sengaja memulai pemberontakan dari wilayah Kilead yang lebih lemah dan jauh dari Fortsouth agar keluarga Gideon kesulitan mengirimkan bantuan.

"Kurasa dengan pasukan kita sekarang, kau bisa merebut kembali Kilead," ujar Arden.

Eric mengangguk setuju. "Baiklah, kalau begitu aku akan segera mempersiapkan semua," tegasnya.

Setelah memahami perintah yang diberikan, Eric kembali menghampiri Borin. Ia menceritakan misinya itu, lalu bertanya, "Apakah kau mau ikut bersamaku ke Kilead?" Eric menatap mata Borin lekat-lekat.

"Aku mungkin bisa melatih teknik menggunakan senjata di sini, di tempat yang aman. Namun, seorang kesatria terlahir tidak melulu dari kemampuannya menggunakan senjata, melainkan mental yang ditempa sekuat baja. Dan hanya pertempuran sesungguhnya yang mampu mengajarkanmu hal itu," jelas Eric.

Melihat wajah Borin yang seketika berubah pucat, Eric berkata lagi. "Aku tentunya tidak akan menempatkanmu langsung di barisan depan, tetapi merasakan atmosfer peperangan akan membuatmu menjadi seseorang yang berbeda."

Mendengar penuturan tersebut, Borin termenung sejenak. Ia memang telah menempuh bahaya bersama kawan-kawannya di pulau Amui. Namun, saat itu dirinya tidak terlalu banyak berperan. Ia lebih banyak menjadi pengikut yang bahkan mungkin malah membebani teman-temannya. Dalam hati, ia pun berharap dapat menjadi lebih kuat agar bisa melindungi orang-orang yang ia sayangi.

"Baiklah, aku akan ikut," tegas Borin.

Eric pun tersenyum mendengarnya. "Bagus! Berlatihlah dengan lebih keras. Kita akan berangkat dalam lima hari. Aku akan segera mempersiapkan pasukan dan logistik yang diperlukan." Eric pun pergi meninggalkan Borin di halaman kastel.

Setelah terdiam beberapa saat lagi untuk memantapkan hati atas keputusan yang baru diambilnya, remaja pendek itu kembali mengayunkan tongkat, mengulang kembali beberapa teknik yang sudah diajarkan Eric.

"Ternyata kau hebat juga." Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan di sela-sela latihan Borin.

"Oh ... Hai ... Selamat siang Nona Gladys," sapa Borin pada putri bangsawan yang datang menghampirinya. Tangannya tampak menggenggam busur dan panah.

"Kau sendiri juga sudah semakin mahir memanah," balas Borin.

"Terima kasih," jawab Gladys sambil tersenyum. "Maaf mengganggu, aku juga ingin berlatih." Setelah itu, ia berpaling lalu bersiap untuk menarik busurnya, membidik sebuah sasaran yang tergantung di batang pohon.

Halaman kastel Fortsouth memang cukup luas sehingga keduanya bisa berlatih bersama tanpa saling mengganggu.

Semenjak pengalamannya di pulau Amui, Gladys kini telah banyak berubah. Ia menjadi seseorang yang lebih kuat dan tak lagi cengeng. Berkat bimbingan sang ayah, kemampuan memanahnya pun terus meningkat. Setidaknya, kini ia bisa melindungi diri ketika ada bahaya yang mengancam.

Begitu Gladys melepas tarikannya, desingan anak panah pun melesat dan dengan cepat menancap di sasaran. Agak sedikit meleset dari pusat lingkaran yang seharusnya dibidik.

Namun, alih-alih kecewa, Gladys tampaknya sama sekali tidak terganggu dengan kegagalannya. Pandangannya tetap fokus ke depan sementara tangan kirinya meraih anak panah yang lain untuk mengulang kembali tembakannya.

Melihat determinasi dan semangat yang ditunjukkan Gladys, Borin pun ikut terpacu untuk semakin menempa diri. Setelah mengambil jarak yang cukup dari perempuan itu, ia mengggenggam erat tongkatnya dan mengayunkannya sekuat tenaga menghantam tanah.

***

Pagi itu di kediaman Ronald, Susan yang mulai merasa bosan karena terus berada di hutan mengajak Anna pergi ke ibu kota. Gadis itu berharap dapat menemukan sesuatu yang menarik di sana sekaligus mendapatkan petunjuk mengenai keberadaan sang ayah. Ditambah lagi, ia juga sudah selesai menjahit bajunya sendiri, yang lebih sesuai untuk dikenakan di ibu kota.

"Wah... Kau tampak cantik dengan baju barumu." Anna memuji penampilan baru Susan.

Susan tersenyum. Ada sedikit kebanggaan yang tersirat dari air mukanya. "Terima kasih. Beberapa hari belakangan, aku sibuk menjahitnya. Akan aneh jika aku pergi ke ibu kota dengan baju suku Amui."

Susan kini mengenakan sebuah baju terusan panjang cokelat berlengan pendek sebagai ganti pakaian lamanya---baju tanpa lengan yang terbuat dari kulit binatang.

"Jadi? Kau mau pergi bersamaku?"

"Sepertinya akan seru." Anna tersenyum sambil mengangguk bersemangat. "Kau mau ikut?" Ia lalu menyampaikan ajakan untuk Bram.

"Err ... tidak. Aku dilarang masuk ke ibu kota oleh sang raja." Bram tampak muram. "Aku akan tinggal di sini untuk memperbaiki atap yang bocor saja."

"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu." Setelah itu, Anna dan Susan pun berpamitan.

"Jaga diri baik-baik dan pulanglah sebelum gelap!" Bram berpesan sebelum kedua perempuan itu mulai berjalan meninggalkan gubuk.

Sinar mentari yang bersinar hangat membuat Anna dan Susan menikmati perjalanan mereka menembus hutan. "Aku tak pernah menyangka akhirnya akan kembali lagi ke sana." Susan bergumam mengenang kembali masa kecilnya. Ia pernah menghabiskan hidupnya selama enam tahun di ibu kota. Sudah terbayang kembali rumah kayu di dekat pasar yang dulu ia tinggali bersama sang ayah.

"Yah, semoga kau bisa segera menemukan ayahmu lagi," sahut Anna sambil melempar senyum pada Susan.

"Terima kasih, aku pun berharap demikian."

"Bagaimana kalau kita berlari sampai ke ibu kota?" usul Anna.

"Baiklah, ayo!" Susan menanggapi usul kawannya dan langsung melesat menembus hutan.

"Tu-tunggu! Kau curang!" Anna yang tertinggal langsung mengikuti rekannya memacu langkah secepat mungkin. Susan hanya tertawa kecil ketika melihat Anna yang berusaha mengejar sambil memasang wajah cemberut.

Tak lama kemudian, setelah terus berlari menembus kerimbunan hutan, mereka akhirnya tiba. Susan yang terbiasa hidup di alam liar berhasil tiba lebih dulu disusul Anna yang tampak terengah-engah.

"Akhirnya sampai juga." Anna jatuh terduduk di tanah dengan napas memburu.

Susan mengikuti rekannya duduk melepas lelah di pinggir hutan sambil menyaksikan gerbang ibu kota yang ramai orang berlalu lalang. Mereka datang dari berbagai wilayah untuk berdagang. Sebagai ibu kota, Kingsfort memang adalah kota terbesar di seluruh kerajaan. Susan pun takjub melihat perkembangan pesat yang sudah terjadi semenjak dirinya terakhir kali menginjakkan kaki di situ---enam belas tahun yang lalu.

Setelah beristirahat selama beberapa saat, kedua gadis itu pun bangkit untuk melanjutkan langkah memasuki gerbang kota. Enam orang penjaga ditugaskan di situ untuk memeriksa mereka yang keluar masuk. Jika ada yang tampak mencurigakan atau membawa barang-barang berbahaya, sudah pasti akan ditangkap untuk diperiksa. Di belakang para penjaga itu, tertempel beberapa lembar kertas bergambar wajah-wajah mereka yang dilarang masuk karena dianggap kriminal.

Karena Susan dan Anna tidak membawa apa pun yang mencurigakan, para penjaga langsung membiarkan keduanya lewat. Sekilas, Anna sempat melihat wajah Bram ada di kertas yang tertempel di situ. Penggambaran yang kurang mirip menurutnya. Pipi Bram tampak tergambar terlalu besar sementara hidungnya agak kekecilan.

"Ke mana tujuan kita?" Anna bertanya pada Susan yang sedikit banyak memiliki gambaran akan ibu kota.

"Kita ikuti saja ke mana orang-orang itu pergi. Rumah ayahku ada di dekat pasar." Susan pun melangkah mengikuti jalan utama kota dan bergabung bersama keramaian.

Setibanya di pasar, Anna segera tertarik untuk melihat-lihat. Ia yang sudah lama tak pernah merasakan kebebasan, kini berjalan berkeliling dengan antusias. Secepat kilat ia berpindah dari kios satu ke kios lainnya. Dari pedangang perhiasan, ke warung kudapan, dan sedetik berikutnya mampir ke penjual pakaian. Susan pun kewalahan mengikuti pergerakan kawannya yang selincah kancil.

"Lihat di sana ada pakaian yang cantik." Anna menarik tangan Susan lalu melesat pada seorang penjual baju. Ia mengangkat sebuah pakaian berwarna putih kekuningan dengan hiasan renda di leher dan lengannya, memamerkannya pada Susan. "Apakah ini terlihat cocok untukku?"

Susan mengangkat kedua jempol sambil tersenyum sebagai jawaban. Dalam hatinya, ia hanya ingin secepatnya pergi dari situ untuk melihat kondisi rumah yang sudah begitu lama ia tinggalkan.

"Berapa harganya?" tanya Anna pada si pedagang.

"Tiga keping emas."

Seketika itu raut Anna berubah sendu. "Mahal sekali ...," gerutunya. Ia tak memiliki koin emas sebanyak itu.

"Kau boleh menukarnya dengan dua kendi madu hutan." Sang pedagang menyampaikan penawarannya. Barter memang bukan hal yang aneh pada masa itu. Tak semua orang memiliki keping emas.

"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali lagi setelah mengumpulkan madu. Tolong simpan baju ini untukku." Anna tampak kembali riang. Di hutan dekat gubuk Ronald ada sarang lebah yang bisa dipanen. Ia pun berpikir untuk meminta bantuan Bram.

Setelah itu, Susan pun mengajak Anna pergi meninggalkan pasar untuk mengunjungi rumah masa kecilnya yang terletak tak jauh situ. Setelah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter, mereka berhenti di depan sebuah rumah kayu. Bangunannya cukup besar dan bertingkat, hanya saja kurang terawat.

Keduanya pun melangkah masuk dan menemukan banyak papan yang sudah lapuk serta beberapa genteng berlubang. Namun anehnya, ruangan di dalam rumah tidak terlalu kotor.

"Aneh ... rasanya ini terlalu bersih untuk sebuah rumah yang sudah lama tak berpenghuni." Susan mengutarakan keheranannya sambil menyeka sebuah bangku kayu.

"Kita bisa tinggal di sini dengan sedikit perbaikan." Anna sama herannya dengan Susan.

Keduanya pun berjalan mengelilingi rumah kosong itu. Susan memilih menaiki tangga kayu dan masuk ke kamarnya dulu. Aura nostalgia seketika merasuki pikirannya. Baju dan bermacam mainan masa kecilnya masih terimpan rapi di dalam sebuah lemari kayu seolah menunggunya untuk kembali.

Susan mengambil sebuah kotak musik lalu memutarnya. Sebuah melodi lembut pun terdengar mengalun memenuhi rumah.

"Banyak sekali mainanmu." Anna yang mengikuti Susan ke dalam kamar tampak terkagum-kagum. Masa kecil Anna memang kurang beruntung jika dibandingkan Susan yang memiliki ayah seorang pedagang.

"Ya, dulu ayahku memang orang yang berkecukupan. Seandainya saja ia masih ada bersamaku." Susan memandangi sebuah boneka kayu kesayangannya dulu.

Ketika kedua gadis itu masih sibuk mencermati seisi kamar, tiba-tiba terdengar suara pintu depan berderak terbuka. Anna dan Susan bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang. Keduanya pun melongokkan kepala dari balkon lantai dua.

Namun aneh, tak ada siapa pun di sana. Pintu itu bergerak terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Seketika itu, Susan merasakan bulu kuduknya meremang melihat kejanggalan yang terjadi tepat di hadapannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro