Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18

Seketika keluar dari portal sihir, Susan merasakan pasir yang lembut di telapak kakinya. Deburan ombak terdengar bak simfoni ritmis yang menyapa pendengaran. Angin bertiup lembut membawa aroma laut, sementara langit tampak merona merah, pertanda sore akan segera menjelang. 

Berkat sihir Jack, keempat penyihir itu kini berhasil tiba di sebuah pantai di pulau Nohr.  

"Baiklah, sekarang tugas kami sudah selesai," ujar Dimitri yang kini berada dalam fisik Jack.

Untuk beberapa saat, Susan menatap sang ayah lalu menghambur memeluknya. "Terima kasih ..." bisik Susan dengan mata yang mulai basah. Ia tahu bahwa tak lama lagi, arwah sang kakek akan pergi untuk selamanya.

Suasana haru pun segera menyeruak dalam hati mereka.

Setelah Susan selesai berpamitan dengan Dimitri, Margaret berpesan, "Sepeninggal kami, kau harus memulihkan alam sadar mereka menggunakan sihir memperbaiki ingatan. Kau bisa menemukan mantranya dalam buku catatan sihirku.

"Menyadarkan Fiona akan lebih mudah karena ia belum lama dirasuki, tetapi Jack dan Lily akan berada dalam kondisi koma. Kau harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan kesadaran mereka."

"Baiklah," sahut Susan. Ia kini ganti memeluk tubuh Lily untuk menyampaikan perpisahannya pada sang nenek. 

"Aku yakin, kau pasti bisa menjadi seorang antorum yang hebat," bisik Margaret di telinga Susan. Ia mencium dahi sambil mengelus puncak kepala sang cucu penuh kasih.

"Terima kasih, Nek ... untuk semuanya," sahut Susan sambil masih terisak.

Setelah memeluk Jack dan Lily bergantian. Susan mengalihkan tatapan pada Fiona. Ada sorot mata Pogna di sana.

"Terima kasih banyak ... Semoga kau bahagia di alam sana." Dengan mata yang basah, Susan memeluk Fiona erat-erat. Ia tak tahu lagi bagaimana cara mengungkapkan perasaannya yang kini membuncah di dalam dada. Pogna adalah satu-satunya orang yang selalu ada untuk dirinya. Bahkan setelah kematiannya. 

Pogna tersenyum sambil mengelus puncak kepala Susan, "Teruslah berjuang untuk mimpi-mimpimu. Aku percaya, kau dilahirkan untuk sesuatu yang besar."

Susan merasakan air matanya mengalir semakin deras. Meski tanpa kata, tak ada lagi yang perlu dijelaskan. Ia yakin Pogna mengerti bagaimana suasana hatinya saat ini.

Setelah lama saling mengungkap rasa, Susan akhirnya melepas pelukan. Ia tahu perpisahan ini harus terjadi. Sambil menghela napas panjang, perempuan itu menatap Margaret, Dimitri, dan Pogna bergantian. 

"Kau siap?" tanya Margaret melalui bibir Lily.

Susan mengusap air matanya lalu mengangguk.  

"Baiklah, kalau begitu kami pergi dulu," ujar Margaret.

Detik berikutnya, tubuh Lily mendadak ambruk ke tanah. Jack dan Fiona menyusul tak lama kemudian.  Arwah Margaret, Dimitri dan Pogna telah pergi meninggalkan raga mereka.

Sepenuhnya sendiri, Susan mengusap air mata sambil menatap ketiga raga yang tergolek lemah di hadapannya. 

Ia lalu duduk berselonjor di atas pasir sambil menatap sosok sang ayah yang telah lama menghilang. Rambut cokelat gelapnya terlihat berantakan dengan butiran-butiran pasir menempel di sana. Meski sudah berusia setengah abad, parasnya masih tampak memikat dengan garis rahang yang tegas berbingkai jambang.

Begitu pula dengan Lily yang usianya beberapa tahun lebih muda dari Jack. Aura kecantikan tampak masih memancar dari wajahnya yang tirus. Rambutnya bergelombang berwarna kecoklatan senada hamparan pasir di sekitarnya.

Ingin segera menyadarkan ketiganya, Susan mulai membolak-balik catatan dari Margaret.

Sihir halusinasi ... Mantra pembaca pikiran ... Teknik membuat pingsan ... gumam Susan dalam hati. Netranya berkelana dalam lembaran-lembaran kusam itu.

Susan tersenyum tipis seketika menemukan yang ia cari. Ia pun segera membacanya dengan saksama.

SIHIR MEMPERBAIKI PIKIRAN SADAR

Sihir ini akan membutuhkan energi yang cukup besar tergantung dari tingkat kerusakan ingatan. Makin lama seseorang berada dalam kondisi tidak sadar, makin besar energi sihir serta makin lama waktu yang akan dibutuhkan untuk memperbaiki ingatannya.

Selama melakukan sihir memperbaiki ingatan, konsentrasi harus tetap terjaga agar sihir bisa berhasil. Hampir sama dengan sihir membaca pikiran, kau akan terbawa masuk dan menyelami ingatan mereka. 

Jika sudah siap, sentuhlah kepalanya lalu ucapkan mantranya : "Allure Nia Origo"

Sihirnya akan segera bekerja. 

Setelah mengucap mantra, kau tidak boleh menghentikan sihir sampai dia tersadar, atau ingatannya akan rusak permanen.

Usai membaca catatan itu, Susan menghela napas panjang. Ia lalu bersiap untuk menyadarkan Fiona terlebih dahulu. Karena belum lama kerasukan, rasanya tak akan sulit untuk memulihkannya.

"Allure Nia Origo,"  ucap Susan sambil menyentuh kepala Fiona. Dan sekejap kemudian, ia pun terbawa masuk ke dalam memori Fiona beberapa hari sebelum tiba di Pulau Barnes. Semuanya bergulir hingga sesaat sebelum kerasukan, ia seperti melihat sesosok mengerikan dengan tubuh penuh luka. 

Karena terkejut, Susan tersentak. Dan bersamaan dengan itu, Fiona terlonjak kaget.

"Astaga! Apa itu?! Mengerikan sekali!" Dengan napas memburu Fiona menatap nyalang ke sekitarnya. 

"Tenanglah, kita sudah aman sekarang," ujar Susan berusaha menenangkan bibinya.

"Susan? Apa yang terjadi? Bukankah seharusnya kita berada di Pulau Barnes?" tanya Fiona kebingungan.

"Ya, misi kita berhasil." Susan menyahut sambil menoleh pada tubuh Jack dan Lily.

"Wow ... t-tapi bagaimana? Kenapa ingatanku terasa kabur? Setibanya di Pulau Barnes, aku merasakan aura mistis yang sangat kuat. Setelah itu ... aku melihat sosok mengerikan itu lalu semuanya gelap. Rasanya seperti tertidur."

"Kau kerasukan," sahut Susan singkat.

"Ya Tuhan .... Lalu apa yang terjadi berikutnya?" tanya Fiona lagi. Ia benar-benar tak memiliki ingatan setelah itu.

Susan menjawab dengan menceritakan apa yang ia alami. Bagaimana ia kabur dari kejaran para warga yang kerasukan, bertemu Margaret dengan bantuan Ollie, hingga Dimitri yang membawa mereka semua ke pantai itu.

"Ooh ... Maaf, aku sudah sangat merepotkan," gumam Fiona penuh penyesalan.

"Bukan masalah. Bukankah kita memang harus saling membantu." Susan tersenyum lembut. "Sekarang aku juga harus mengembalikan pikiran sadar mereka," ujar Susan sambil menatap tubuh Jack dan Lily yang tergolek tak jauh dari situ.

"Kau yakin bisa melakukannya? Mereka sudah lama kerasukan." Fiona terlihat sangsi.

"Entahlah, tapi aku harus mencobanya."

"Setidaknya makanlah dahulu. Memulihkan pikiran mereka akan membutuhkan energi sihir yang besar," saran Fiona lagi.

"Baiklah." Susan setuju dan ia pun segera melahap pepes ikan buatannya sendiri. Beruntung Ollie memberikan makanan itu sesaat sebelum ia memasuki portal.  

Setelah kenyang, ia melangkah mendekati tubuh sang ayah, menyentuh kepalanya lalu merapalkan mantra. Sama seperti saat memulihkan ingatan Fiona, ia terbawa masuk ke dalam ingatan Jack. Hanya saja, karena sudah tidak sadar selama bertahun-tahun, Susan pun terbawa cukup jauh ke dalam ingatan sang penyihir loctrum

Saat itu, Jack dan Lily sedang berkunjung ke kastel Fortsouth untuk menemui Hans Cornell, ayah Peter.

"Apa tujuan kalian?" tanya Hans pada kedua tamunya. Ketiganya sedang berdiri di atas tembok kastel. Hans sengaja membawa Jack dan Lily ke sana karena tak mau Muriel--istrinya--mendengar apa yang akan mereka bicarakan. Wanita itu sedang menanti kelahiran Peter.

"Kau tentunya sudah mendengar bahwa saat ini komunitas anti sihir terus meluas. Mereka semakin giat menyebarkan propaganda-propaganda yang mendiskreditkan dunia sihir," ujar Jack membeberkan maksud kedatangannya. "Kematian Ratu Angela tampaknya hanya memberikan dampak temporer. Para penyihir hampir selalu dituding sebagai biang kerok ketika ada penyakit atau musibah yang terjadi. Sementara itu, Raja Agra tampaknya tak mau ambil pusing dan membiarkan nasib para penyihir semakin buruk."

"Jadi? Langsung saja pada intinya," potong Hans.

"Ikutlah bersama kami untuk mendukung Stevan menduduki takhta. Dia juga seorang penyihir, sama seperti kita. Hanya dia yang bisa memperjuangkan nasib kita," sambung Lily.

Mendengar itu, Hans mengembuskan napas gusar. Ia sebenarnya sudah bisa menebak maksud kedatangan Jack dan Lily. Sebagai seorang yang berada dekat dengan lingkaran kekuasaan, ia cukup memahami kondisi politik saat itu. Pria itu pun terdiam beberapa saat di tepi tembok sambil melemparkan pandangan ke halaman kastel. Tampak Tuan Gilbert dan Ramos kecil sedang bermain-main di sana.

"Kalian pasti sudah tahu kalau aku tak bisa," sahut Hans. "Aku terikat sumpah untuk melindungi keluarga Fernir. Melawan Raja Agra sama saja dengan melawan sumpahku. Lagipula pemberontakan pasti akan mengakibatkan jatuhnya banyak korban tak berdosa."

"Lalu bagaimana saranmu agar para penyihir tidak semakin tertindas?" balas Jack.

"Hingga saat ini aku juga masih memikirkannya. Untuk sementara, menyingkirlah ke hutan-hutan di luar kota."

"Sementara kau bisa hidup enak di dalam kastel? Begitu?" potong Lily yang mulai kehabisan kesabaran. Sejak awal ia memang tidak setuju dengan usul Jack untuk mengajak Hans ikut bergabung dalam rencana pemberontakan mereka.  

"Ssh ... tenanglah kita bisa bicarakan ini baik-baik," Jack berusaha meredam emosi rekannya. Ia lalu ganti menatap mata Hans. "Semakin lama kita bertindak, semakin banyak pula darah penyihir yang harus tertumpah. Kau tentu sadar akan hal ini," tegas Jack pada Hans.

"Aku tahu ... hanya saja aku berpikir bahwa merebut takhta bukanlah cara yang baik. Nyawa seorang manusia, meskipun hanya seorang prajurit rendahan, sama artinya dengan nyawa seorang penyihir."

"Jadi kau lebih memilih melindungi manusia-manusia keji itu daripada berjuang untuk kepentingan kaummu?!" sergah Lily dengan suara yang mulai meninggi. "Kedua orang tuaku sendiri mati akibat dituduh menyebabkan bencana di tempat asalku. Mereka bahkan tega menyewa seorang pembunuh bayaran untuk menyusup ke dalam rumah." Suara Lily terdengar bergetar mengingat sepotong memori kelam dalam hidupnya. 

"Kau tahu? Meski pada akhirnya aku berhasil mengusir mereka, tapi ayah ibuku mati di depan mataku." Lily tampak berusaha keras membendung air matanya agar tidak tertumpah.

"Aku turut sedih mengenai itu. Tapi pemberontakan juga bukanlah jalan yang baik," balas Hans. "Aku bukan seorang pengkhianat yang dengan mudahnya mengingkari sumpah."   

"Kau tega mengabaikan jeritan para penyihir yang mati demi sumpah bodohmu itu?!"

"KURANG AJAR KAU!" Emosi Hans akhirnya terpancing mendengar pilihan hidupnya dilecehkan. Tongkat sihirnya kini teracung mengarah ke wajah Lily.

"Tenang dulu kawan, kami ke sini bukan ingin membuat keributan." Jack maju mencoba meredam suasana. "Baiklah, jika memang itu keputusanmu, kami akan pergi, tapi tolong serahkan kitab itu."

"Aku tak bisa ..." sahut Hans. "Kitab itu tak ada padaku."

"BOHONG!" sergah Lily gusar. "Kami sendiri sudah pergi ke pulau itu. Victor mengatakan kalau kau yang mengambilnya!"

"Jaga mulutmu, Jalang!" bentak Hans. "Aku sudah membunuh Victor dengan tanganku sendiri! Jangan coba-coba menipuku dengan menggunakan nama penyihir kotor itu!"

"Tenangkan dirimu, Kawan ... dia tidak berbohong, kami benar-benar telah ke sana," sahut Jack berusaha menenangkan emosi kedua penyihir di hadapannya. "Baiklah, kami percaya jika kitab itu tak ada bersamamu, tapi aku yakin kau tahu mengenai keberadaannya. Tolong katakan saja dan kami akan pergi."

Hans mengembuskan napas gusar. Ia tak mungkin mengatakan bahwa kitab itu disimpan oleh Wanda dan Glarmarck atau nyawa keduanya akan berada dalam bahaya. "Maaf, aku tak bisa mengatakannya pada kalian."

"Benar-benar keras kepala!" lirih Lily yang masih terdengar oleh Hans.

"APA KATAMU!" Hans kembali mengacungkan tongkat sihirnya ke arah Lily. "Sejujurnya aku ragu dengan niatmu. Aku sama sekali tak yakin kau benar-benar tulus ingin membela nasib para penyihir. Kau hanya ingin duduk sebagai ratu bukan?" Hubungan asmara antara Stevan dan Lily saat itu memang sudah diketahui banyak orang, terutama di kalangan bangsawan.

"KURANG AJAR!" Bersamaan dengan itu, Lily langsung mengangkat tongkatnya dan mengeluarkan sihir. Kilatan cahaya ungu pun melesat ke arah Hans.

Untuk melindungi diri, Hans dengan sigap mengayunkan tangan, membuat sihir Lily terpantul ke arah yang lain. Namun, detik itu juga, terdengar teriakan dari halaman kastel. Hans menoleh dan mendapati Tuan Gilbert telah ambruk karena terkena pantulan sihir itu.

Melihat orang yang seharusnya ia lindungi tewas seketika, Hans mendadak murka. Dengan wajah merah padam, ia mengacungkan tongkat sihirnya yang mulai mengeluarkan percikan-percikan cahaya pada Lily.

Jack melangkah ke depan berusaha menenangkan Hans. "Tenanglah ... kita tak perlu saling membunuh seperti ini."

"Kalian telah menyebabkan kematian Tuan Gilbert. Aku harus membalaskan dendamnya!" serunya gusar. Bersamaan dengan itu, kilatan cahaya pun meluncur dari tongkat Hans. 

Melihat bahaya, Jack segera menggunakan sihir teleportasinya dan lenyap dari tempatnya semula berdiri.

Pada saat yang bersamaan, Lily--yang merasa kesabarannya telah habis--berguling menghindar lalu membalas sihir Hans, mengenainya dengan telak dan membunuhnya saat itu juga.

"Astaga, ini sangat kacau," ujar Jack gusar sambil menatap Hans yang telah ambruk. Ia lalu segera membawa Lily pergi berteleportasi keluar dari kastel Fortsouth.

Setelah kematian Tuan Gilbert karena sihir, sentimen negatif terhadap para penyihir jadi semakin meluas bak api yang disiram bensin. Hingga akhirnya, Agra pun terpaksa mengeluarkan perintah agar seluruh penyihir pergi dari kota, dan pecahlah pemberontakan.

Susan mendesah panjang melihat kejadian itu. Ia akhirnya mengetahui misteri kematian Tuan Gilbert dan ayah Peter. Namun, karena tak boleh kehilangan konsentrasi ia harus terus melanjutkan sihirnya. 

Ingatan Jack terus bergulir hingga akhirnya ia memutuskan untuk menitipkan Susan pada sang nenek di Pulau Amui sementara kudeta berlangsung. Kejadian berikutnya pun sudah bisa diketahui. Pemberontakan itu gagal dan Jack diasingkan ke Pulau Barnes. 

Setelah mencapai ingatan terakhir sebelum kerasukan, Jack akhirnya tersadar. Matanya membelalak terkejut dengan ekspresi kebingungan. Sama seperti Fiona, ia tidak dapat mengingat kejadian apa pun setelah kerasukan.  

"Su-susan?" gagap Jack. 

Tanpa menunggu, Susan langsung memeluk tubuh Jack penuh haru. Setelah belasan tahun, ia akhirnya bisa bertemu lagi dengan sosok yang sangat dirindukan.

"Kau benar-benar putriku?" sahut Jack tergagap. Ia tak pernah membayangkan akan bisa bertemu lagi dengan putrinya itu. Setelah sekian lama.

Susan mengangguk dengan air mata berlinang. Keduanya lalu berpelukan lagi dengan lebih erat. Fiona yang juga sudah lama berpisah dengan sang adik ikut bergabung dan larut dalam suasana haru.

Setelah beberapa saat melepas rindu, mereka pun beristirahat sambil memakan buah kelapa yang dikumpulkan Fiona saat Susan sedang memulihkan Jack tadi. Airnya yang segar dan daging buahnya yang lembut memberikan suntikan energi baru bagi mereka.

"Aku tak menyangka, ternyata ayah terlibat dalam kematian Hans Cornell," gumam Susan memecah keheningan. "Aku melihat potongan memori itu saat berusaha menyadarkan ayah tadi."

"Yah ... begitulah. Aku pun tak menyangka akan jadi seperti itu. Kau tahu Hans Cornell?" tanya Jack balik pada putrinya.

"Aku mengenal anaknya. Namanya Peter. Dia kawanku," desah Susan sambil menggigit bibir. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya jika mereka sempat bertemu di kemudian hari. 

Setelah itu, Susan menceritakan pengalamannya di Pulau Amui bersama Peter, dan bagaimana mereka bekerjasama mengalahkan Victor.

"Astaga. Ini bisa jadi semakin rumit," desah Jack. Mereka lalu terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Cukup lama larut dalam keheningan, Susan yang merasa energinya sudah pulih bangkit berdiri. "Kurasa sebaiknya aku segera menolong Lily," ujarnya sambil berjalan mendekati wanita itu.

"Allure Nia Origo," ujar Susan sambil menyentuh kepala Lily. Sama seperti sebelumnya, ia pun terbawa masuk ke dalam ingatan sang ectrum. Sesuai apa yang dikatakan Hans, ia memang adalah kekasih Stevan. Keduanya sudah cukup lama menjalin asmara hingga akhirnya harus terpisah oleh kematian. 

Lily akhirnya sadar beberapa saat kemudian sementara Susan terduduk kelelahan. Mengembalikan kesadaran tiga orang sekaligus telah menguras habis energi sihirnya.   

"Jack? Fiona?" Lily tampak kebingungan menatap kawan-kawan lamanya telah berkumpul di situ.

"Hai Lily ... selamat datang kembali," sambut Fiona. 

"Uh ... ya. Lalu ... kau?" Lily ganti menatap Susan ragu. Ia merasa pernah mengenal gadis itu tapi tak bisa mengingat secara persis.

"Dia Susan, anakku," ujar Jack mengingatkan. "Kau harus berterima kasih padanya. Dialah yang menolong kita semua."

"Ah ya ... terima kasih banyak." Lily segera memeluk Susan erat. "Terakhir kali melihatmu, kau masih seorang gadis kecil. Dan sekarang kau sudah tumbuh secantik ini," gumam Lily.

"Terima kasih," balas Susan sambil tersenyum.

Setelah semua tersadar, keempat penyihir itu melangkah meninggalkan pantai dan membuat api unggun di tepi hutan. Berkat sihir api Lily, mereka pun tak perlu kerepotan menggosok ranting kering.

Ditemani kehangatan api unggun dan derik jangrik di hutan, Susan pun mengungkap alasannya menyelamatkan Jack dan Lily. Eksekusi terhadap Anna telah membulatkan tekadnya untuk ikut memperjuangkan nasib para penyihir.

"Yah, memang hal itu juga yang telah kami perjuangkan sejak belasan tahun yang lalu. Sayang sekali Stevan sudah mati. Hanya dia yang bisa kita harapkan untuk duduk di takhta dan membela hak-hak kaum penyihir." Jack mendesah gusar.

"Kitab Tebro. Kita harus mencarinya lagi. Aku pernah mendengar ada sebuah ritual untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati," sergah Lily.

"Tapi kitab itu sepertinya berisi sihir-sihir gelap." Susan mengungkap kekhawatirannya. 

"Menurutku tak ada yang dikenal sebagai sihir gelap atau sihir terang. Sang pengguna lah yang menentukan," balas Lily. 

Susan hanya terdiam mendengarnya. Pendapat Lily itu sedikit banyak ada benarnya. Sihir hanyalah sebuah alat. Sang penyihir lah yang menentukan apakah sihir itu digunakan untuk tujuan baik atau buruk. 

"Kalau begitu ke mana kita harus mulai mencari?" tanya Fiona.

"Fortsouth," sahut Jack. "Hans Cornell adalah penyihir yang merebut kitab itu dari tangan Victor. Mungkin kita bisa mencari petunjuk dari sana. Kita lanjutkan kembali pencarian yang sudah tertunda selama belasan tahun ini."

"Baiklah, kalau begitu malam ini sebaiknya kita beristirahat dulu. Besok kita akan berangkat ke Fortsouth untuk mencari kitab itu," tanggap Fiona.

Malam itu, di bawah naungan sinar rembulan, mereka pun mulai mencari tempat yang nyaman untuk berbaring. 

Sementara yang lain mulai terlelap, Susan merasa hatinya terusik. Di satu sisi ia merasa bersalah pada Peter, tapi di sisi lain ia juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan Lily maupun ayahnya. Semuanya telah terjadi begitu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro