Bab 15
Menjelang subuh, Susan dan Fiona akhirnya tiba di Pulau Barnes. Entah kenapa, suasana suram yang begitu pekat terasa seperti menyeruak dari balik pepohonan rindang. Sinar mentari yang seharusnya memberi gradasi penghias langit seolah terhalang selubung kabut kelabu.
"Baiklah, aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini," ujar Berinon datar. Kekhawatiran tampak tergurat jelas di wajahnya.
"Terima kasih atas tumpangannya," sahut Fiona sambil beranjak menuruni kapal.
"Sampai jumpa lagi," timpal Susan.
"Yah, semoga saja kita benar-benar bisa berjumpa lagi." Berinon berpaling kembali ke geladak lalu meminta anak buahnya untuk segera berlayar kembali ke laut lepas. Ia sepertinya benar-benar tak berminat untuk berlama-lama tinggal di situ. Dalam waktu sebentar saja, siluet kapal pun hilang ditelan kabut tebal.
"Sekarang, apa rencana kita?" tanya Susan pada Fiona. Keduanya masih berdiri di tepi pantai, tak yakin dengan apa yang sebaiknya dilakukan. Tak ada petunjuk apa pun di sana. Hanya belantara hutan yang terhampar tak jauh dari bibir pantai.
"Menjelajah hutan. Mungkin?"
"Ya, sepertinya kita tak punya pilihan lain," sahut Susan.
Tak mungkin terus berdiam di pantai, kedua perempuan itu akhirnya melangkahkan kaki memasuki pepohonan rindang, menembus udara yang berselimutkan kabut tebal. Angin dingin yang tiba-tiba berembus kencang dari sela pepohonan seolah menyampaikan pesan bahwa kehadiran pendatang adalah sesuatu yang tidak dikehendaki.
Susan berjalan selangkah demi selangkah dengan mata nyalang menatap ke sekitar. Sulur bergelantungan dan akar melintang yang semakin rapat seolah berusaha melindungi apa pun yang tersembunyi di kedalaman hutan. Suara-suara ganjil yang sesekali terdengar membuat bulu kuduk terasa meremang. Aura mistis pun terasa semakin kental, seiring langkah keduanya berjalan semakin jauh ke dalam hutan
Entah sudah berapa lama mereka berjalan, tiba-tiba Fiona berhenti melangkah. Susan hampir saja menabrak jika saja ia tidak cukup sigap untuk menghentikan kakinya.
"Ada apa?" tanya Susan dari balik punggung Fiona. Ia tak melihat sedikit pun alasan untuk berhenti. Mereka belum menemukan apa pun selain perdu dan pepohonan rindang.
Fiona berbalik dengan mata berkilat lalu tersenyum aneh. Susan mengernyit melihat ekspresi tak biasa dari bibinya itu. "A-ada apa?" tanyanya lagi.
Tanpa menjawab, tiba-tiba Fiona mengambil sebuah batang kayu. Dan seperti kesurupan, ia mengayunkannya keras-keras berusaha memukul Susan.
Beruntung, Susan masih cukup sigap untuk menghindar. "K-kenapa?" tanyanya sambil berusaha menjaga keseimbangan.
Tak ada jawaban untuk pertanyaan itu selain serangan berikutnya. Susan berhasil menangkap batang kayu yang diayunkan ke kepalanya, lalu menendang bibinya kuat-kuat. Fiona jatuh terjengkang sementara Susan memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari secepat yang ia bisa.
Entah untuk alasan apa, Fiona tidak membiarkan keponakannya lolos begitu saja. Ia bangkit dan segera berlari mengejar. Susan pun berusaha mempercepat langkah. Pikirannya kalut. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang telah terjadi.
Dengan napas tersengal-sengal, Susan melihat ada perkampungan di depannya. Untunglah, pasti ada orang yang bisa membantu, pikirnya.
Namun, kenyataannya sama sekali berbeda. Dari jarak yang masih cukup jauh, beberapa orang warga melihat ke arah Susan dengan tatapan keji. Mereka lalu mengambil apa pun yang ada untuk dijadikan senjata.
Melihat balok kayu, bambu, cangkul, bahkan arit yang teracung ke arahnya, Susan terpaksa menghentikan langkah. Sementara di belakangnya, Fiona masih berlari mengejar dengan sebatang kayu.
Susan pun tak memiliki banyak pilihan. Dengan jantung berdebar tak karuan, ia spontan mengambil langkah ke kiri untuk menghindari serangan dari dua arah yang sama sekali tidak ia pahami alasannya.
Tanpa berani menoleh lagi, gadis itu pun melesat secepat yang ia bisa. Meski tak tahu ke mana akan menuju, berhenti sudah pasti bukan pilihan yang baik. Benaknya tak mampu mencerna apa yang sedang terjadi. Entah mengapa bibinya tiba-tiba berubah sementara para penduduk di sana begitu beringas.
Meski sudah berlari jauh ke dalam hutan, orang-orang itu tampaknya tak berniat berhenti mengejar. Susan pun semakin kelelahan. Peluhnya mengucur deras membanjiri wajah, sementara napasnya memburu seperti hampir putus.
Ya Tuhan, apakah aku akan berakhir di sini, batinnya panik. Namun ia tak punya pilihan selain terus berlari.
Di tengah keputusasaan, tiba-tiba Susan melihat seekor kera bergelantungan dari dahan satu ke dahan lainnya sambil berteriak-teriak seolah memanggil. Terdorong oleh insting, Susan pun mengikuti ke arah mana kera itu pergi.
Sambil melompat-lompat gesit, kera itu membawa Susan terus berlari melewati pepohonan dan melompati akar-akaran hingga akhirnya tiba di tepi sebuah tebing. Tak ada jalan lain selain melompat atau menyerahkan diri pada warga yang beringas.
"Kenapa kau membawaku ke sini? Kau ingin aku mati?" geram Susan pada si kera yang kini berdiri di atas sebuah pohon besar dengan sulur-sulur panjang menjuntai. Sambil mengikik, kera itu lalu mengambil salah satu yang cukup panjang dan kuat lalu menyerahkannya pada Susan sambil menunjuk-nunjuk ke bawah tebing.
"Kau ingin aku melompat?" tanya Susan lagi.
Si kera mengangguk.
"Astaga! Kau ingin aku mati?" Susan tak habis pikir. Namun, melihat segerombolan warga yang kian mendekat dengan bermacam senjata teracung, Susan tak punya pilihan.
Semoga keputusanku mempercayai seekor kera tidaklah salah, batinnya.
Setelah mengembuskan napas panjang untuk mengumpulkan keberanian, ia menggenggam sulur itu erat-erat lalu berlari mengambil ancang-ancang. Detik berikutnya, dengan mata terpejam, ia pun melompat sambil berteriak ketakutan. Sementara itu, sang monyet ikut melompat dan berpegangan pada tubuh Susan.
Seiring lompatan, angin kencang pun berderu memenuhi pendengaran dan menerbangkan helai-helai rambut hitamnya. Napasnya tertahan sementara jantungnya memompa adrenalin ke seluruh tubuh. Perutnya mendadak mual dan kepalanya terasa berputar-putar.
Ayunan itu semakin lama semakin pelan hingga berhenti pada titik terjauhnya akibat kehabisan momentum. Setelah itu, tubuh Susan mulai berayun ke arah sebaliknya—menuju dinding tebing karang.
Entah karena alasan apa, si kera mulai berteriak-teriak sambil memukuli kepala Susan seperti ingin menunjukkan sesuatu. Meski ketakutan setengah mati, Susan akhirnya membuka mata. Rupanya ada sebuah gua di dinding tebing, tetapi posisinya agak ke bawah. Gadis itu harus menurunkan sedikit posisinya.
Dengan tangan basah dan gemetar, Susan mulai beringsut menuruni sulur. Waktunya tak banyak, terlambat sedikit saja, ia akan menabrak dinding padas.
Namun dalam detik-detik yang menentukan, Susan tiba-tiba merasa tangannya seperti kram. Ia tak sanggup menyesuaikan posisi tubuh dengan lubang gua. Pikirannya mendadak kalut. Si kera yang panik mulai berteriak-teriak dan memukuli tubuh Susan dengan lebih keras.
Ketika semua seperti sudah tak ada harapan, Susan yang hampir menabrak padas tiba-tiba seperti mendengar bisikan dalam kepalanya.
Lepaskan genggamanmu ...
Entah bagaimana, Susan—yang sepertinya sudah kehilangan kontrol atas dirinya—menurut saja. Ia menutup mata lalu melepas genggamannya. Tubuhnya pun melayang selama beberapa detik berkat momentum ayunannya.
Dan mendadak, semua terasa gelap.
Detik itu juga, Susan terpelanting. Tubuhnya melayang sejenak sebelum jatuh berguling-guling di rerumputan dan semak perdu yang tumbuh liar di dekat mulut gua.
Susan mengembuskan napas panjang ketika pada akhirnya ia berhenti berguling. Jantungnya masih berdegup kencang seperti hampir keluar dari rongga dadanya. Sementara itu, kepalanya berdenyut terasa terus berputar-putar. Di sela-sela pandangannya yang kabur, gadis itu menangkap sesosok wanita tua yang sepertinya tidak asing.
"Ne-nenek?" racaunya. Sesaat sebelum kehilangan kesadaran.
***
Sadarlah ...
Susan mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha mendapatkan informasi mengenai kondisi di sekitarnya.
Dinding padas berlumut dengan tanah yang dipenuhi semak dan perdu liar. Susan pun teringat bahwa ia kini berada di sebuah gua. Sinar mentari sore yang hangat tampak menyorot dari mulut liang, sementara udara terasa dingin dan lembap.
Susan berusaha bangkit dari pembaringan sambil memegangi kepalanya yang pening. Ingatannya terbawa kembali pada kejadian di hutan kala Fiona tiba-tiba berubah agresif dan mengejarnya bersama seluruh warga.
Apa yang terjadi? Di mana ini? Mengapa Bibi Fiona tiba-tiba berubah sadis? Kera itu? Bisikan tadi ... dan nenek? Berbagai tanya kini berseliweran dalam benaknya.
Susan terdiam sambil memegangi kepalanya yang masih terasa sedikit pusing.
"Kau sudah sadar?"
Susan menoleh begitu mendengar suara itu.
Sesosok nenek tua dengan rambut yang telah memutih seluruhnya tampak duduk tak jauh darinya sambil menggosok ranting untuk membuat api. "Kau ingat padaku?" tanyanya.
Sementara itu, Susan menatap sosok yang tak asing itu lekat-lekat, berusaha menarik memori dari dalam benaknya.
"Nenek Margaret?" tanya Susan meminta afirmasi.
Wanita tua itu tersenyum tipis lalu menyahut, "Syukurlah kau masih ingat."
"Bagaimana aku bisa lupa? Kau yang mengajarkanku mantra pembaca pikiran." Seulas senyum tersungging di bibir sang gadis. Ia merasa lega karena setidaknya berhasil bertemu dengan seseorang yang ia kenal.
"Apa yang sudah terjadi pada Bibi Fiona? Mengapa dia tiba-tiba berubah?" Susan bertanya sambil beringsut mendekati neneknya. Api kini telah menyala, menyinari wajah keriput sang wanita renta.
"Dia kerasukan."
Susan menangkupkan kedua telapaknya ke mulut. "Ya Tuhan. Bagaimana bisa?"
"Kau tak tahu? Pulau ini dipenuhi oleh banyak sekali arwah penasaran."
Seketika itu, Susan merasa bulu kuduknya meremang. "Pantas saja aku merasakan aura mistis yang begitu kental begitu tiba di sini. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa begitu banyak arwah penasaran?"
Nenek Margaret terdiam sesaat sambil tersenyum memandangi wajah Susan. Dalam hatinya bersyukur bisa bertemu lagi dengan cucu yang telah lama berpisah. Bersamaan dengan itu, seekor kera melompat masuk dari mulut gua sambil membawa beberapa buah pisang.
"Terima kasih, Ollie," ujar Nenek Margaret sambil mengelus kepala si kera.
"Dia peliharaanmu?" tanya Susan.
"Bukan. Dia sahabatku. Dia lah yang selama ini membantuku mendapatkan makanan."
"Wah, hebat sekali. Hai, Ollie." Susan mengulurkan tangannya pada si kera yang langsung menyambutnya sambil cengar-cengir.
Ketiganya pun makan dengan lahap ditemani kehangatan api unggun yang menari-nari di tengah gua.
"Jadi, pulau ini terkutuk?"
Nenek Margaret mengangguk sekilas. "Dulu sekali, terjadi wabah penyakit yang sangat mengerikan di sini. Penduduk yang terkena penyakit itu akan merasakan gatal yang begitu parah di sekujur tubuh. Begitu gatalnya hingga mereka tak bisa lagi tidur karena sibuk menggaruk hingga kulit lecet dan mengelupas. Semuanya mati akibat penyakit itu dan berubah menjadi arwah penasaran.
Susan pun menggigit bibir. Ketegangan kembali terasa merayapi sekujur tubuh. Rupanya kini ia berada di sebuah pulau yang dihuni ratusan arwah penasaran yang sedang mencari tubuh untuk dirasuki. "Lalu kenapa mereka tak merasukiku?" tanyanya lagi.
"Itu karena kau memiliki roh penjaga. Seseorang dengan penjaga tak mudah dirasuki."
"Oh ya? Siapa penjagaku?"
"Seorang pria berkulit gelap dan bertubuh kekar dengan luka tusukan di dada."
Susan pun tertegun mendengarnya. "Pogna," lirihnya. Tanpa terasa, air mata pun menggenang di sudut matanya.
"Kau beruntung memilikinya. Dia sangat menyayangimu."
"Ya, aku sangat-sangat beruntung ... rasanya berjuta-juta terima kasih pun tak akan cukup." Susan terisak sambil memeluk lututnya. "Apakah aku akan bisa berkomunikasi dengannya?"
"Tidak semua orang bisa berkomunikasi dengan roh. Aku adalah salah satu dari sedikit orang yang memiliki anugerah itu."
"Kalau begitu tolong sampaikan kalau aku sangat mencintainya."
"Dia sudah tahu ..." sahut Margaret tenang.
"Yah ... tentu saja," gumam Susan. "Apakah kau juga memiliki seorang penjaga?"
"Ya, arwah kakekmu ada di sini menemaniku."
Mendengar itu, Susan tertegun sejenak. Memorinya memutar kembali kenangan masa kecilnya saat tinggal di Kingsfort bersama ayah, Bibi Fiona serta kakek dan nenek. Sungguh kenangan masa kecil yang indah. Semua hancur akibat kebijakan Raja Agra yang mengusik ketenangan para penyihir dengan mengusir dan menganggap mereka sebagai warga kelas dua.
Tanpa terasa, gigi Susan pun bergemeretak geram.
"Lalu bagaimana dengan ayah? Apakah dia masih hidup?"
"Fisiknya masih hidup, tetapi jiwanya telah dirasuki."
"Astaga. Jadi hanya kita berdua yang masih tersisa?"
"Ya, sepertinya begitu," sahut Margaret. "Semuanya bermula dari peristiwa pemberontakan Stevan enam belas tahun yang lalu." Wanita tua itu melemparkan pandangan menerawang ke langit-langit gua. Lalu, sambil tersenyum ke arah cucunya, ia berkata, "Pejamkan matamu. Aku akan mentransfer ingatanku padamu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro