Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Peter dan Zalika berjalan beriringan menyusuri jalanan Kota Bergstone hingga tiba di pasar. Meski panas dan berdebu, suasana pasar sangat ramai oleh penjual dan pembeli yang saling bertransaksi. Untuk mengurangi teriknya sengatan sinar mentari, ada kain yang sengaja dibentangkan di atas, terikat antara dua bangunan yang saling berseberangan, menghasilkan bayang-bayang yang sedikitnya mengurangi intensitas panas.

"Aku akan mentraktirmu makan. Aku tahu kau pasti masih lapar," ujar Zalika sambil tersenyum.

"T-tidak." Peter berusaha berbohong. Ia merasa tak enak harus merepotkan putri penguasa wilayah.

"Kau tidak bisa membohongiku. Ayo!" Tanpa mempedulikan lagi reaksi Peter, Zalika langsung melangkah menyusuri jalanan ramai di pasar Bergstone. Peter pun tak memiliki pilihan selain mengikutinya.

Zalika berjalan ke arah seorang penjual makanan di pinggir jalan, lalu memesan satu untuk Peter. "Makanlah. Kau pasti suka."Makanan itu berbentuk seperti gulungan dengan isian daging dan sayur di dalamnya.

"Terima kasih," sahut Peter. Sedikit ragu, ia pun memasukkan makanan itu ke dalam mulutnya.

"Enak juga," sahut Peter dengan mulut penuh.

"Ssh ... jangan berbicara saat makan." Zalika mengingatkan dengan meletakkan telunjuknya di bibir.

Mendengar teguran dari sang putri, Peter pun menutup mulut lalu melahap makanannya hingga tak bersisa. "Lezat sekali," gumamnya. "Apa nama makanan ini?"

"Namanya kendap," sahut Zalika sambil menyerahkan satu keping koin perak pada sang penjual.

"Lalu apa rencanamu setelah ini?" Zalika bertanya sementara Peter menenggak minuman dari kantong airnya.

"Kembali berlatih ... mungkin," sahut Peter. Di kota yang asing itu ia memang tidak memiliki aktivitas lain. Sebuah hal yang bagus untuk membantunya berkembang dengan lebih pesat.

"Boleh aku ikut?" tanya Zalika. "Sudah lama aku ingin melihat ilmu sihir."

"Err ... b-boleh saja. Tapi aku akan berlatih di padang pasir. Apakah kau—"

"Tak masalah! Ayo!" Tanpa basa-basi, Zalika langsung menarik tangan Peter, membawanya berlari menyusuri kota menuju pintu gerbang.

Huh, kenapa gadis ini selalu menarikku sesuka hatinya, gerutu Peter dalam hati. Namun ia tetap mengikutinya tanpa perlawanan.

Di dekat tembok kota, ada unta-unta tertambat yang bisa disewa, lengkap dengan pelana terpasang dan kantong-kantong persediaan air. Zalika segera melompat ke salah satunya, lalu menyuruh Peter mengikuti tindakannya.

"Hei, tunggu!" teriak sang empunya unta. Tanpa sepatah kata, Zalika melemparkan sekantong uang—guna membungkam mulut pria yang tadi berteriak—lalu memacu sang binatang gurun berderap keluar dari kota.

Padang gurun seluas pandang segera menyambut di balik kokohnya tembok kota. Angin gurun yang kering, disertai debu pasir berterbangan membuat Peter sedikit terbatuk-batuk. Sementara itu, Zalika sendiri sudah lebih siap dengan menutup hidungnya menggunakan cadar. Saat itu, meski sudah lewat tengah hari, sinar mentari terik masih menyengat, memaksa Peter menggunakan kain untuk menutupi kepalanya.

Beberapa saat berjalan, Peter mulai membuka percakapan. "Mengapa kau memilih menggunakan unta yang disewakan? Bukankah di kastelmu banyak unta?"

"Orang tuaku takkan mengizinkan aku pergi keluar dari kota," sahut Zalika enteng. 

Mendengar jawaban itu, Peter pun menyadari bahwa sosok putri Bergstone sama sekali bukan tipe gadis bangsawan kebanyakan yang manja dan penurut. Di balik paras cantiknya, tersembunyi jiwa petualang yang tak mudah dikekang.

"Ke mana kita akan pergi?" tanya Peter pada Zalika sambil berusaha mengendalikan untanya.

"Ke hutan kaktus. Aku akan mengajakmu melihat keajaiban gurun." Setelah itu, Zalika memacu tunggangannya agar melangkah lebih cepat. Debu pasir pun berterbangan semakin tebal seiring derap langkah sang unta yang berlari semakin kencang.

"Ayo kita berlomba!" ujarnya sambil tertawa ceria.

Setelah terbatuk-batuk sejenak karena pasir yang berterbangan dari belakang unta Zalika, Peter segera memacu untanya mengikuti sang tuan putri.

Di tengah hamparan pasir, mereka terus berkejaran hingga akhirnya tiba di bagian lain gurun yang dipenuhi tumbuhan kaktus raksasa. Tingginya bervariasi mulai dari satu hingga lima meter. Sambil terengah, Peter pun terpana melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.

"Wow," ujarnya takjub.

"Menurut legenda, kaktus-kaktus raksasa ini adalah jelmaan dari para kesatria Bergstone yang gugur di medan perang. Ratusan tahun yang lalu, di sini memang pernah terjadi pertempuran berdarah melawan bangsa orc," tutur Zalika.

Peter menganggukan kepalanya sambil bergumam, "Aku kagum dengan para kesatria itu. Para pasukan Bergstone memang terkenal sangat tangguh."

"Ya, lingkungan tempat tinggal kami tidak memberikan tempat bagi yang lemah." Zalika lalu tersenyum pada Peter. "Ayo, tunjukkan sihirmu."

"B-baiklah. Akan kucoba." Setelah turun dari tunggangan, Peter berjalan menjauhi Zalika. Bagaimanapun juga ia khawatir jika sampai tak sengaja melukai sang tuan putri.

"Invigor das pilia." Peter merapalkan mantra sambil memusatkan konsentrasi. Secercah sinar kuning pun muncul di antara kedua telapak tangannya yang saling berhadapan. Ketika bola cahaya yang semula kecil itu dirasa sudah cukup besar, Peter melemparkannya menghantam sebuah kaktus setinggi dua meter, membuatnya bergoyang.

Lumayan, batin Peter. Ia pun berjalan mendekati kaktus yang baru saja terkena sihirnya. Sebuah cekungan sebesar bola energi tampak di sana, mengeluarkan getah.

"Waah ... hebat sekali!" Zalika berlari mendekati Peter.

"Tidak juga, sebenarnya aku baru menguasai satu sihir." Peter tersenyum kecut.

"Tapi aku yakin kau pasti akan segera menguasai sihir yang lain."

"Yah, semoga saja."

"Cobalah." Zalika menatap mata Peter sambil tersenyum penuh arti.

"Kau yakin? Aku khawatir akan membahayakanmu. Ronald sedang tak ada."

"Aku percaya padamu." Zalika menepuk bahu Peter lalu berlari menjauh. Bagaimanapun juga ia tak mau celaka.

Peter tercenung sambil mempertimbangkan sihir apa yang akan ia coba berikutnya. Sihir petir atau api sepertinya akan terlalu berbahaya. Apalagi dengan sihir yang memanfaatkan energi negatif. Peter ketakutan ketika membayangkan apa yang terjadi pada dirinya kala segel sihirnya terbuka.

Sihir angin mungkin tak akan terlalu berbahaya, batin Peter.

Sejenak, ia pun mengingat kembali mantra yang harus diucapkan. Ronald sudah pernah memberitahunya bahwa ada lima mantra utama seorang ectrum, masing-masing untuk untuk mengendalikan cahaya, angin, api, petir dan es.

"Ecctus tarbantum!" Peter berseru sambil mengayunkan tangan, berharap angin muncul seiring gerakannya. Namun, percobaan pertama itu gagal, tak ada angin apa pun yang tercipta. 

Pemuda itu pun tersenyum kecut pada Zalika yang masih menatapnya penuh harap.

"AYO COBA LAGI!" seru sang putri dari kejauhan.

Peter pun menuruti permintaan Zalika. Ia pun berusaha meningkatkan pemusatan energi sihir ke ujung jemari. "Ecctus tarbantum!" ujarnya lagi sambil mengayunkan tangan. Angin semilir kecil terasa bertiup mengikuti gerakan jemarinya.

"AKU BERHASIL!" Pemuda itu berseru sambil tersenyum lebar ke arah Zalika, tetapi gadis itu hanya mengangkat bahu tampak kebingungan. Rupanya tiupan angin yang tadi tercipta masih terlalu kecil untuk dapat terlihat dari jarak yang lumayan jauh

Peter mendesah kecewa. Ia ingin setidaknya berhasil menunjukkan satu sihir lagi di hadapan tuan putri. 

Baiklah, akan kucoba lagi, batin Peter.

"Ecctus tarbantum!" ucapnya sambil mengulangi gerakan sebelumnya, hanya saja lebih kencang. Tiba-tiba dari ayunan tangannya, terbentuklah sebuah pusaran angin yang cukup kuat. Debu-debu pasir pun berterbangan mengaburkan pandangan, sementara Peter sendiri terhempas sejauh beberapa meter.

"Aduh ..." Pemuda itu mengerang sambil memegangi pinggangnya. Beruntung, ia jatuh di pasir yang empuk sehingga tidak ada luka serius pada tubuhnya.

Zalika berlari mendekati Peter untuk melihat kondisinya. "Kau tak apa?" tanyanya khawatir.

"Ya, aku baik-baik saja." Pemuda itu menyahut sambil menunduk malu.

"Tak perlu kecewa. Kau sudah hampir berhasil tadi. Aku yakin, dengan latihan terus menerus, kau akan segera menjadi penyihir hebat." Zalika berusaha membangkitkan semangat Peter.

"Terima kasih," sahut Peter sambil mendongakkan wajah, menatap manik sekelam malam yang kini menatapnya. Untuk sesaat, pemuda itu merasa seperti terhipnotis oleh pesona alami sang gadis gurun. Ia sempat terdiam sejenak hingga Zalika mengembalikannya pada kenyataan.

"Ayo kita kembali ke kastel. Hari sebentar lagi gelap, dan aku tak ingin ada masalah dengan orang tuaku, terutama ayah." Dengan senyum terkembang, Zalika mengulurkan tangan untuk membantu Peter berdiri.

"Baiklah, ayo," sahut Peter sambil menyambut uluran tangan Zalika.

Keduanya lalu menunggangi unta masing-masing, menyeberangi padang gurun untuk kembali ke Bergstone. Debu pasir kembali berterbangan seiring derap langkah tunggangan mereka yang saling berkejaran.

Sambil memacu untanya, dalam hati Peter merasa kagum akan sosok Zalika yang mandiri dan penuh semangat. Meskipun begitu, ia menyadari bahwa perasaannya terhadap Anna masih terlalu kuat. Apalagi, gadis itu adalah seorang putri bangsawan yang sudah dijodohkan.

Sambil menatap Zalika dari belakang, seulas senyum tipis pun terbit di bibirnya.

Terima kasih telah bersedia berteman denganku, batinnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro